Kapasitas fiskal Kabupaten Mandailing Natal sangat rendah, hanya 0,860 atau lebih rendah dibandingkan kabupaten/kota lain yang mekar dari Kabupaten Tapanuli Selatan.
Penulis: Nasaktion Efry | Putra daerah Kabupaten M1andailing Natal, kelahiran Muara Sipongi
Dalam program seratus hari kerja, Bupati Mandailing Natal, H. Saipullah Nasution, meyakini BUMD (badan usaha milik daerah) sebagai solusi meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Sebab itu, Kepala Daerah yang merupakan putra daerah, ini berencana mendirikan banyak BUMD untuk mengelola berbagai bidang usaha.
Tanpa menjelaskan BUMD yang dimaksud, Bupati Saipullah menguraikan bahwa BUMD-BUMD yang akan didirikan itu b8akan mengurusi masalah agrobisnis sawit, tambang mineral, dan aneka usaha lainnya. Dengan banyaknya BUMD yang dibangun, Bupati Saipullah meyakini PAD akan meningkat.
Dengan PAD yang tinggi, Bupati Saipullah membayangkan hal yang indah, bahwa tingkat ketergantungan keuangan daerah terhadap dana-dana dekonsentrasi dari pemerintah pusat akan berkurang.
Tentu saja situasi perekonomian daerah tidak bisa berdinamika jika hanya mengandalkan angan-angan. Pertumbuhan ekonomi daerah dipengaruhi banyak faktor yang saling berkaitan. Faktor yang memengaruhi perekonomian daerah meliputi sumber daya manusia dan alam, infrastruktur dan teknologi, kebijakan pemerintah, serta kondisi ekonomi makro.
Tingginya PAD tidak menjamin perekonomian daerah akan tumbuh dengan baik. Untuk mengelola PAD yang tinggi, dibutuhkan sumber daya manusia yang mampu merumuskan kebijakan-kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Tanpa SDM yang berkualitas, PAD bukannya terkumpul secara intensif, tapi justru bocor menjadi bancakan aparatur pemerintahan daerah.
Semua faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi daerah harus diestimasi lebih dahulu dengan berbagai model optimasi pertumbuhan ekonomi yang bisa diterapkan.
Kabupaten Madina sangat lemah di segala faktor pertumbuhan ekonomi daerah. Kabupaten yang pertama kali mekar sebagai daerah otonomi baru pada tahun 1998, kemandirian keuangan daerahnya sangat lemah. Jika dilihat dari kapasitas fiskal daerah, seharusnya Madina lebih cepat mandiri.
Kabupaten Madina sangat lemah di segala faktor pertumbuhan ekonomi daerah. Kabupaten yang pertama kali mekar sebagai daerah otonomi baru pada tahun 1998, kemandirian keuangan daerahnya sangat lemah. Jika dilihat dari kapasitas fiskal daerah, seharusnya Madina lebih cepat mandiri.
Nyatanya, kapasitas fiskal Madina hanya 0,860 atau sangat rendah. Di wilayah bekas Kabupaten Tapanuli Selatan, kapasitas fiskal Madina lebih rendah dibandingkan kapasitas fiskal Padang Lawas Utara 0,978, Padang Lawas (0,997), Padang Sidempuan (1,353), dan Tapanuli Selatan (1,556).
Dengan kasitas fiskal yang rendah, mustahil bagi Kabupaten Madina untuk mendirikan BUMD. Selain tidak ada modal kerja, BUMD itu akan dibebankan kepada APBD dalam bentuk penyertaan modal. jauh lebih efektif apabila fokus Bupati Saipullah diarahkan untuk mengejar desentralisasi ekonomi.
Namun, bila Bupati Saipullah tetap ngotot untuk mendirikan BUMD dengan membebani APBD, bisa dipastikan hal itu hanya bisa dilakukan dengan cara mengurangi pos-pos anggaran lain. Sangat mungkin, anggaran yang seharusnya untuk kepentingan publik, akhirnya diirit demi obsesi Bupati Saipullah untuk bisa memiliki banyak BUMD.
Kinerja BUMD Tak Memuaskan
Banyak BUMD yang diciptakan pemerintah daerah justru menjadi masalah baru bagi perekonomian daerah. Tiap tahun, BUMD yang diharapkan menyumbang terhadap PAD, justru harus disusui karena tidak kunjung mandiri.
Berdasarkan data di Kementeri Dalam Negeri, sebanyak 1.091 BUMD yang ada di seluruh Indonesia, kinerjanya belum memuaskan. Alih-alih menjadi sumber pendapatan, keberadaan BUMD itu membebani anggaran pemerintah. Sebanyak 300 BUMD merugi dengan total kerugian sebesar rp5,5 triliun.
Dalam rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025, di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Jakarta Pusat, pada 20 Oktober 2025 lalu, Menteri Dalam Negeri Tito Karnivian mengungkapkan, jika BUMD merugi maka pemerintah daerah juga merugi. Pasalnya, APBD yang dialokasikan untuk operasional APBD mencapai sekitar Rp1.300 triliun dengan total aset yang dimiliki BUMD senilai Rp1.240 triliun dan jumlah dividen yang dihasilkan mencapai Rp13,02 triliun.
Sumber pembiayaan BUMD itu sebagian besar atau sebanyak Rp919 triliun berasal dari dana pusat yang ditransfer ke daerah (TKD), sekitar Rp402 triliun berasal dari PAD.
Dirinci berdasarkan jenis usaha dari 300 BUMD yang merugi, ada BUMD bergerak di bidang Bank Perkreditan Rakyat (BPR), 127 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), 4 BUMD yang bergerak di bidang industri agro, 5 perusahaan Jaminan Perkreditan Rakyat (Jamkrida), 12 perusahaan migas daerah, 8 BUMD yang bergerak di bidang pengelolaan pasar, 7 BUMD di sektor pariwisata, dan 112 BUMD aneka usaha lainnya.
BUMD bukan Solusi
Mendirikan sejumlah BUMD menjadi program prioritas pemerintahan Saipullah-Atika. BUMD itu akan bergerak di bidang perkebunan sawit. BUMD perkebunan sawit ini dibayangkan akan lahir sebagai perusahaan yang mengelola kebun sawit milik perusahaan tetapi tidak sesuai dengan luas lahan konsesinya.
"Kami akan mengaudit lahan-lahan perkebunan yang ada. Jika ada selisih dari izin yang ditetapkan, lahan itu akan ditarik untuk dikelola BUMD," kata Bupati Saipulloh.
Kebijakan mengambil lahan dari para investor perkebunan sawit yang ada di Kabupaten Madina jelas akan menimbulkan persoalan baru. Pasalnya, persoalan kelebihan lahan pada sejumlah perusahaan agroindustri sawit di Madina hal yang biasa dan dibiarkan.
Sebagian besar investro sawit memperluas lahannya melapaui luas lahan yang diizinkan. Lahan-lahan yang ditambahi secara sepihak oleh para investor sawit ini diambil secara paksa dari lahan rakyat, yang menyebabkan terjadinya konflik antara rakyat dengan investor.
Konflik antara rakyat sebagai pemilik tanah dengan investor agroindustri sawit di Kabupaten Madina tidak bisa diselesaikan pemerintah daerah dengan cara mengambil alih sisa lahan. Pasalnya, lahan-lahan yang diserobot para investor bukan lahan tanpa pemilik, tapi lahan yang sejak lama sudah menjadi areal budidaya masyarakat yang statusnya merupakan lahan pribadi maupun lahan adat.
Selain itu, banyak lahan yang diambil investor sawit di Kabupaten Madina merupakan kawasan hutan lindung. Pemerintah daerah tidak memiliki wewenang untuk mengambil lahan hutan lindung dan menjadikannya menjadi aset BUMD.
Peraturan perundang-undangan memberi kewenangan kepada Badan Bank Tanah untuk mengambil alih aset-aset tanah yang ada di daerah dan tidak dimanfaatkan secara baik. Wewenang Badan Bank Tanah menyangkut lahan-lahan eks hak guna usaha (HGU) yang pernah diberikan pemerintah kepada investor.
Badan Bank Tanah lewat payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 64/2021 menguasai lahan tanah untuk didistribusikan. Artinya, jika pemerintah daerah menemukan perbedaan luas lahan pada HGU investor dengan kenyataan di lapangan, bukan wewenang pemerintah daerah untuk mengambil alih kelebihan lahan itu dan menjadikannya aset BUMD.
BUMD Objek Pejabat
Dalam banyak kasus, pemerintah daerah berusaha menyehatkan BUMD yang dimiliki dengan membebani APBD. Padahal, kinerja BUMD belum diperbaiki dan tata kelolanya sangat buruk. Artinya, berapa pun besar dana yang dialokasikan untuk menyehatkan BUMD, hal itu akan percuma selama tata kelola BUMD tidak diperbaiki.
Kondisi seperti ini dapat dilihat pada BUMD yang bergerak di bidang Perusahaan Air Minum ( PDAM ), Tirta Madina. PDAM milik Pemda Madina ini berkinerja buruk, pelayanannya acap dikeluhkan pelanggan. Penyebabnya, infrastruktur milik PDAM Tirta Madina tidak memadai, sehingga pelayanan kurang memuaskan.
Lemahnya kinerja BUMD Tirta Madina menjadi bukti betapa pemerintah daerah belum mampu mengelola BUMD yang dimiliki. Padahal, PDAM Tirta Madina merupakan satu-satunya perusahaan yang mengelola air minum, tetapi justru tidak bisa tumbuh dengan baik.
Lemahnya kinerja BUMD Tirta Madina menjadi bukti betapa pemerintah daerah belum mampu mengelola BUMD yang dimiliki. Padahal, PDAM Tirta Madina merupakan satu-satunya perusahaan yang mengelola air minum, tetapi justru tidak bisa tumbuh dengan baik.
PDAM Tirta Madina tidak menjadi sumber PAD bagi Kabupaten Madina. Sebaliknya, BUMD ini justru menjadi beban bagi APBD Kabupaten madina.
Di Sumatra Utara, banyak BUMD yang berbentuk PDAM. Namun, hanya dua PDAM yang bekerja maksimal yakni PDAM Tirta Nauli milik Pemda Kota Sibolga dan PDAM Tirtanadi yang dikelola Pemda Provinsi Sumatra Utara. Selain kedua PDAM ini, sebagian besar PDAM yang ada di Provinsi Sumatra Utara berkinerja buruk.
Mendagri Tirto Karnivian mengungkapkan, sebagian besar PDAM masih rugi meskipun pemerintah pusat telah berupaya keras menyehatkannya.
Lemahnya kinerja korporasi BUMD membuatnya membebani APBD. Pasalnya, pengelola manajemen BUMD masih didominasi pejabat daerah, baik eksekutif maupun legislatif. Dalam tata kelola perusahaan, peran internal pengurus BUMD sangat minim.
BUMD sering kali menjadi obyek pemerasan pejabat daerah. BUMD biasanya jadi ATM (anjungan tunai mandiri). Kondisi seperti ini dialami BUMD yang dimiliki Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, PT Tapanuli Selatan Membangun (TSM).
PT TSM merupakan BUMD yang diyakini publik sebagai induk dari PT Artha Nugraha Agung (ANA), perseroda yang diinformasikan sebagai pemegang 5% saham PT Agincourt Resources. Kenyataannya, PT ANA hanya sebuah perusahaan cangkang, yang dibangun oleh para pejabat di lingkungan Pemda Tapsel dan Pemda Provinsi Sumut untuk membancak 5% divestasi saham PT AR.
Diberitakan bahwa saham PT ANA sebanyak 70% dipegang oleh PT TSM atas nama Pemda Kabupaten Tapsel, sisanya 30% dikuasai BUMD milik Pemda Provinsi Sumatra Utara.
Sebagai pemegang saham PT ANA yang paling dominan, PT TSM yang memegang kendali penuh atas dinamika manajemen PT ANA. Itu berarti PT TSM juga mengendalikan bagaimana proses kepemilikan atas 5% saham PT AR. Artinya, jika PT AR membagikan deviden saham 5%, PT TSM yang paling berperan dalam mengelola dana tersebut.
Sayangnya, PT TSM ternyata tidak punya kuasa atas PT ANA. Sebaliknya PT ANA justru yang memiliki kekuasaan penuh sehingga berperan penting membagi-bagikan bagi hasil deviden 5% saham di PT AR. Fakta ini menunjukkan, PT ANA bukan anak perusahaan PT TSM sebagaimana selama ini dikomunikasikan Pemda Kabupaten Tapsel kepada publik. Dengan kata lain, PT TSM nyaris tak ada kaitan manajemen dengan PT ANA.
PT ANA berdiri sendiri, lepas dari PT TSM, dan kemungkinan besar juga tak ada katannya dengan Pemda Kabupaten Tapsel. Pasalnya, keberadaan PT ANA tidak pernah disinggung sebagai salah satu BUMD milik Pemda Kabupaten Tapsel yang telah memperoleh keuntungan besar dalam menjalankan bisnisnya. Keuntungan yang diperoleh PT ANA berupa deviden 5% saham di PT AR tidak pernah dikirim ke rekening Pemda Kabupaten Tapsel di Bank Sumut.
COMMENTS