.

Sejarah Kain Tenun Khas Sipirok yang Mulai Dilupakan

item-thumbnail

Budi Hutasuhut | Jurnalis Sinar Tabagsel

Bangunan berornamen rumah adat Batak Angkola bercat putih itu sesungguhnya sangat mentereng. Tapi kondisinya tak terurus, bertahun-tahun tak dipakai, tersembunyi di dalam hutan belukar semak di Kelurahan Bunga Bondar, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebuah papan merek berupa plat besi seukuran 2 m x 80 cm dengan tiang dari pipa besi berdiri di halamannya,  tapi tak ada lagi huruf yang terbaca di sana. Tiang besi itu sendiri sudah dimakan korosi.   

Tahun 1987 pertama kali merek itu ditancapkan, dan gedung seluas sekitar 350 m2 itu diresmikan Gubernur Sumatra Utara Raja Inal Siregar. Tulisan yang tertera pada merek itu berbunyi: “Unit Pertenunan Mitra Usaha PT Indosat Kelurahan Bunga Bondar, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan”.  Inilah proyek prestisius (pilot project) dari Gubernur Sumatra Utara yang terkenal dengan program pembangunannya, Marsipature Huta Na Be (Martabe). 

Gubernur Raja Inal Siregar seorang perwira tinggi ABRI, berpangkat mayor jenderal, mendapat dukungan dari Presiden Soeharto untuk menjadi Gubernur Sumatra Utara. Waktu itu, para menteri dalam Kabinet Pembangunan Presiden Soeharto, banyak diisi tokoh-tokoh yang berasal dari Provinsi Sumatra Utara, khususnya dari wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan -- sebelum kabupaten ini dimekarkan pada tahun 1999. 

Gerakan Martabe, digaungkan Raja Inal Siregar sebagai gerakan "cinta kampung halaman", ditandai dengan melibatkan semua perantau di luar Provinsi Sumatera Utara agar ikut berpartisipasi membangun daerah kelahirannya masing-masing.  Raja Inal Siregar yang kelahiran Kelurahan Bunga Bondar, mengawali gerakan itu dengan membangun infrastruktur untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat daerah lewat industrialisasi budaya wastra (kain).  Mendapat dukungan modal dari PT Indosat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang telekomunikasi,  dua gedung sebagai sentral pertemuanan ATBM dibangun di Kecamatan Sipirok. Selain di Kelurahan Bunga Bondar, satu lagi dibangun di Desa Padang Bujur. 

Ketika gedung di Kelurahan Bunga Bondar diresmikan, di dalam gedung itu ada 10 unit ATBM, dan para penenun yang sedang bekerja. Para penenun itu, semuanya masih anak gadis, baru saja selesai mengikuti pelatihan bertenun ATBM dengan penenun di Silungkang, Sumatra Barat. Itu sebabnya, pusat ATBM itu awalnya lebih dikenal sebagai tenun Silungkang, meskipun saat ini dikenal sebagai tenun Sipirok.

Sejak peresmian dua gedung pusat industri tenun, Kecamatan Sipirok kemudian dikenal sebagai sentra industrui tenun. Bertenun bagi masyarakat Sipirok merupakan salah satu jenis mata pencaharian yang diperoleh secara turun-temurun, dan bentuknya berupa tenun tradisional (gedokan) yang menghasilkan kain tradisional Abit Godang dan Parompa Saudun. Kedua jenis kekayaan tradisi wastra masyarakat Sipirok ini, diproduksi untuk kepentingan adat-istiadat. Kedua jenis wastra ini harus ada dalam setiap kegiatan adat-istiadat, sehingga penenunnya akan selalu ada dan produksi Abit Godang maupun Parompa Sauudun tidak akan pernah berhenti selama adat-istiadat menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. 

Keterampilan bertenun gedokan itulah yang ditingkatkan dengan kehadiran pusat pertenunan ATBM, di mana para penenun diberdyakan agar tidak hanya memproduksi wastra untuk kepentingan adat-istiadat. Tenun ATBM diharapkan memproduksi kain (tektil) untuk kebutuhan sandang, sehingga tingkat produksinya bisa lebih banyak guna memenuhi kebutuhan pasar. 

Setelah peresmian berbagai infrastruktur pusat pertenunan ATBM, Kelurahan Bunga Bondar kemudian santer sebagai daerah produksi tenun kain khas Kecamatan Sipirok. Kain tenun ini mengandalkan ornament-ornamen tradisional seperti yang banyak ditemukan pada ulos (kain adat). Namun, dua unit pusat pertenunan ATBM itu, dalam perkembangan akhir-akhir ini, tidak kedengaran lagi geliatnya sebagai pusat produksi kain tenun khas Sipirok. 

Kondisi paling parah terjadi di Kelurahan Bunga Bondar, karena fasilitas-fasilitas bantuan PT Indosat  dibiarkan terbengkalai dan tak diurus. Gedung mentereng sebagai tempat usaha yang dibangun dengan disain khas rumah adat Batak Angkola, tersembunyi di dalam belukar dan rusak pada beberapa bagian. Gedung itu menjadi bangunan tua yang menunggu saat untuk rubuh. Berbagai fasilitas berupa peralatan ATMB di dalamnya sudah hilang, sebagian lainnya rusak dan tak bisa dimanfaatkan. 

Kondisi unit pertenunan ATBM di Desa Padang Bujur memang jauh lebih terawat, meskipun kemampuan produksinya menurun jauh. Tak seperti unit usaha pertenunan ATBM di Kelurahan Bungan Bondar, unit usaha di Desa Padang Bujur mampu meregenerasi para penenun baru. Setelah penenun-penenun lama yang mendapat berbagai pelatihan berumah tangga dan tak bisa aktif lagi, muncul penenun-penenun baru. Namun, para penenun ini jarang bekerja karena unit usaha pertenunan ATBM Desa Padang Bujur kekurangan modal usaha. 

Berkembang Pesat

Jejak sejarah kain tenun ATBM di Kecamatan Sipirok kembali menggeliat pada tahun 2006 pada masa Bupati Tapanuli Selatan, Ongku P. Hasibuan yang berkuasa 2005-2010. Di masa pemerintahannya, Ongku P Hasibuan mengangkat kembali citra kain tenun ATBM Sipirok yang sempat tenggelam pasca ditinggalkan Gubernur Raja Inal Siregar. 

Melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Tapanuli Selatan, yang dimpimpin oleh Ibu Bupati Tapanuli Selatan, sektor ekonomi berupa unit usaha produksi kain tenun ATBM Sipirok kembali menggeliat. Para penenun yang sebelumnya mati suri, kembali dihidupkan dan diberi pelatihan terkait kualitas produksi dan variasi motif dan ornamen. Sejumlah penenun diberi modal, dan persoalan pasar yang dihadapi para penenun diatasi dengan membuat kebijakan "mewajibkan ASN menggunakan seragam berbahan kain tenun Sipirok". 

Saat itulah penenun baru tumbuh dan mulai memproduksi kain tenun ATBM. Kebutuhan akan kain tenun meningkat mengingat seluruh ASN di jajaran Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan diwajibkan memiliki pakaian seragam berbahan hasil tenunan ATBM Sipirok. Tingginya permintaan terhadap kain tenun ATBM membuat generasi muda belajar menjadi penenun, sehingga bermunculan pusat-pusat pertenuanan baru seperti di Desa Pahae Aek Sagala, Desa Padang Bujur, Keruhan Baringin, Kelurahan Hutasuhut, Kelurahan Parau Sorat, dan lain sebagainya.  

Kain tenun ATBM Sipirok yang semula hanya tersentralisasi di Kelurahan Bunga Bondar dan Desa Padang Bujur, saat ini sudah menjadi produksi dari sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah yang digerakkan masyarakat. Bahkan,  sejumlah penguasa pemilik toko di Kelurahan Pasar Sipirok yang selama ini tidak tertarik menjual kain tenun ATBM, mulai mengembangkan usaha pertenunan ATBM. 

Kembali Anjlok

Citra kain tenun ATBM Sipirok kembali jatuh setelah Ongku P. Hasibuan tidak lagi jadi Bupati Tapanuli Selatan. Penggantinya, Syahrul Mangapul Pasaribu, tidak melanjutkan kebijakan yang dibuat Ongku P Hasibuan terkait penampungan produksi hasil tenun ATBM kain Sipirok. Syahrul Mangapul Pasaribu malah memilih mengganti nama kain tenun Sipirok menjadi kain tenun Tapsel dan membuat para perajin yang bermodal rendah bersaing dengan pengusaha tenun ATBM terkait pemasaran hasil produksi. 

Akibatnya, pengusaha ATBM memperlakukan perajin sebagai buruh, memberikan peralatan tenun dan bahan baku kepada perajin dan membeli hasil produksi dengan harga yang ditentukan oleh pengusaha ATBM. Masyarakat perajin tidak bisa lagi ikut dalam program pengadaan kain tenun untuk  seragam resmi ASN, tapi hanya bisa diikuti oleh para pengusaha yang memperlakukan perajin tidak lebih dari buruh pekerja. 


Lanjut baca »

A.M. Hoeta Soehoet, Pahlawan Nasional dari Padang Sidimpuan

item-thumbnail

Penulis: Budi Hatees | Peneliti pada Institute Pustaha

Pada 23 Februari 2023, tepat 12 tahun H. Ali Moechtar Hoeta Soehoet pergi. Pada 23 Feberuari 2011, mantan Komandan Tentara Pelajar Indonesia di Kota Padang Sidimpuan ini meninggal dunia dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

"Tulisan apa ini," kata A.M. Hoeta Soehoet tahun 1992, setelah dia membaca cerpen aku yang disiarkan di Harian Jayakarta--anak perusahan Grup Sinar Kasih. "Kalau saya editor koran itu, tulisan ini tak akan pernah diterbitkan."
Dia kemudian menyuruh aku menulis lagi, yang lebih bagus lagi. Tentu saja aku terus menulis. Dan, ternyata, sampai hari ini aku tak pernah mampu menghasilkan tulisan yang bagus.
Tahun 1992, aku sering mengobrol dengan A.M. Hoeta Soehoet. Dia abang (saudara paling tua) dari ayahku -- mereka sebelas orang bersaudara. Dia lahir di Gunung Baringin (sekarang Kabupaten Mandailing Natal) pada 28 Oktober 1928 (kalau aku tidak keliru).
Tanggal 28 Oktober 1928 itu punya nilai sejarah bagi bangsa kita, merupakan Hari Sumpah Pemuda. Kelak, pada tanggal 28 Oktober 1953, peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu diperingati dan menjadi tanggal saat isi Sumpah Pemuda kembali digelorakan.
Butuh 25 tahun bagi bangsa ini untuk mengaungkan kembali tiga Sumpah Pemuda itu karena situasi negara sedang tak kondusif. Sejak 1928, terlalu banyak peristiwa yang menyita perhatian setiap orang hingga puncaknya pada 17 Agustus 1945.
Namun, pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Jepang datang dan Perang Dunia Kedua pecah di seluruh dunia. Setelah itu, Belanda melakukan agresi militer. Situasi negara benar-benar chaos. Belanda ingin menjajah kembali, tapi kemudian disingkirkan.
Aman, belum. Pasca kegagalan agresi Belanda, situasi politik nasional sedang goyah. Dampak perkembangan internasional banyak mempengaruhi, belum lagi kekuatan-kekuatan lokal di tanah air bermunculan untuk membangun negara baru.
Tahun 1953, ketika segala sesuatu mulai berbenah, semangat persatuan dan kesatuan digelorakan kembali dengan memperingati Hari Sumpah Pemuda. A.M. Hoeta Soehoet menjadi panitia penyelenggara peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1953 itu. Usianya 25 tahun saat itu. Dia baru beberapa tahun sampai di Batavia, datang ke sana dari Ford de Kock, pasca kembalinya pusat pemerintahan Indonesia dari Sumatra Barat ke Jakarta.
Tahun 1948, saat berjuang di Kota Padang Sidimpuan menghantam pasukan agresi militer Belanda dan ikut dalam peristiwa "Bumihangus Kota Padang Sidempuan", A.M. Hoeta Soehoet didatangi Parada Harahap.
Waktu itu, Parada Harahap mendapat pesan dari Muhammad Hatta yang sedang diasingkan Belanda pasca agresi militer pertama di Jogjakarta, meminta Parada Harahap agar mendukung Republik Indonesia Sementara (RIS) yang berpusat di Bukit Tinggi (Ford de Kock) dalam kapasitasnya sebagai orang pers.
Parada Harahap yang tinggal dan menjadi pengusaha pers di Batavia, memutuskan pulang kampung ke Padang Sidimpuan. Setelah mempersiapkan segala sesuatu untuk membangun institusi pers di Bukit Tinggi, Parada harahap kemudian memindahkan mesin cetak miliknya yang ada di Kota Padang Sidimpuan ke Kota Bukit Tinggi.
Untuk memuluskan usaha memindahakan mesin cetak itu, Parada Harahap mengajak anak-anak muda yang tergabung dalam Tentara Pelajar Indonesia di Kota Padang Sidimpuan. A.M. Hoeta Soehoet, yang merupakan Komandan Tentara Pelajar Indonesia, mendapat tanggung jawab membawa mesin itu ke Kota Bukit Tinggi.
Tak cukup hanya membawa, ternyata Parada Harahap juga menugasi A.M. Hoeta Soehoet untuk kerja di percetakan sambil belajar jurnalistik. Sejak itulah, A.M. Hoeta Soehoet berguru kepada Parada Harahap.
Kelak, setelah Ibu Kota kembali ke Jakarta, Parada Harahap juga kembali ke Jakarta. Di masa penjajahan Jepang, Parada Harahap yang unya hubungan dekat dengan Kaisar Jepang sejak 1930-an, dipercaya mengelola media propganda milik Jepang. Kelak, Parada Harahap banyak belajar dari situasi tersebut terkait bisnis media dan membuatnya menjadi The King of Java Press di Pulau Jawa.
Tidak puas hanya mendirikan surat kabar dan menjadi Raja Suratkabar, Parada Harahap kemudian mendirikan kantor berita, lalu mendirikan Akademi Wartawan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang andal di bidang jurnalistik.
A.M. Hoeta Soehoet menjadi mahasiswa angkatan pertama di Akademi Wartawan, yang kemudian menjadi Ketua Senat. Sebagai Ketua mahasiswa, dia mendapat tanggung jawab menjadi panitia peringatan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1953 itu.
Sukses dengan peristiwa 28 Oktober 1953, A.M. Hoeta Sohoet yang merupakan mahasiswa kewartawan, mulai bekerja di sejumlah surat kabar. Dia sudah pernah bergabung dengan surat kabar milik Rosihan Anwar, lalu bergabung dengan Indonesia raya milik Mochtar Lubis.
Belakangan, Akademi Wartawan berkembang pesat. Kemudian pengelolaannya diserahkan kepada para mantan mahasiswa. A.M. Hoeta Soehoet kelak fokus mengelola perguruan tinggi yang kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi Publisistik itu.
Selamat jalan A.M. Hoeta Soehoet, ayah, guru sekaligus sahabat berdebat tentang banyak hal di dunia jurnalistik dan aku tidak pernah menang.
Lanjut baca »

Sejarah Awal Kota Padangsidimpuan (1)

item-thumbnail

Sejarah Kota Padangsidimpuan yang dipahami masyarakat saat ini bias kepentingan kolonialisme Pemerintah Hindia Belanda.

Penulis: Budi Hatees | peminat sejarah

Nyaris tidak ada ahli sejarah yang membicarakan Kota Padangsidimpuan secara khusus. Memang ada orang yang lahir atau pernah bersentuhan dengan Kota Padangsidimpuan membicarakan kota yang terletak di Provinsi Sumatra Utara, tapi pembicaraannya serbaringkas. Terutama pembicaraan-pembicaraan yang dipacu oleh semangat tourism,  karena hanya hal-hal yang mengesankannya yang dibicarakan, meskipun ada banyak hal yang mengesankan di Kota Padangsidimpuan tetapi kurang diketahui publik.

Bagi para ahli sejarah, atau mereka yang punya ketertarikan terhadap sejarah Kota Padangsidimpuan, biasanya membicarakan kota ini sembari mengutif referensi yang pernah dibuat pada abad ke-19. Referensi itu sangat kuat dipengaruhi semangat kolonialisme, karena bentuknya berupa catatan pribadi, surat-surat, atau kesan-kesan yang ditulis oleh orang-orang Eropa (terutama pejabat di lingkungan Pemerintah Hindia Belanda) saat datang atau tinggal di Kota Padangsidimpuan.  Namun, sulit menemukan realitas dalam tulisan-tulisan yang dibuat hanya untuk menyenangkan penguasa kolonial, karena tulisan tersebut bias kepentngan kolonialisme.

Meskipun begitu, referensi-referensi yang bias kolonialisme itu tetap dipakai karena tidak ada referensi alternatif . Masyarakat Kota Padangsidimpuan sendiri kurang begitu perduli terhadap sejarah kotanya, karena sejarah terlanjur dipahamkan sebagai masa lalu, dan orang-orang cenderung untuk melupakan masa lalu dengan cepat.  Kecenderungan untuk melupakan itu pun semakin kuat ketika masyarakat Kota Padangsidimpuan tidak pernah mendorong generasi mudanya untuk menjadi ahli sejarah, tetapi mendesak anak-anak mereka untuk menjadi sarjana yang mudah diterima di dunia pekerjaan. 

Sejarah Kota Padangsidimpuan berikut dinamika masyarakatnya di masa lalu semakin dilupakan. Namun, sekali-sekali, ada orang yang mencoba mengisahkan kembali masa lalu Kota Padangsidimpuan. Kita misalnya menemukan cerita itu dalam penulisan profil Kota Padangsidimpuan yang disusun Pemerintah Daerah Kota Padangsidimpuan untuk keperluan administrasi pemerintahan daerah. Dan, sungguh, cerita dalam profil itu tidak beranjak dari referensi yang sudah diketahui secara umum, yakni kisah-kisah bias kolonial yang diciptakan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Salah satu cerita sejarah Kota Padangsidimpuan yang bias kolonial itu menyebutkan, bahwa Kota Padangsidimpuan mulai dibicarakan setelah pasukan Belanda mendarat di pesisir pantai Barat Sumatra, di daerah yang bernama Natal. Pasukan itu datang dengan alasan mengejar sisa pasukan Tuanku Imam Bonjol yang lari ke Utara pasca penangkapan dan pembuangan Tuanku Imam Bonjol. Sisa pasukan itu disebut sebagai penyebab kekacauan, penjahat, kriminal yang harus ditangkap karena ulah mereka menyebabkan dinamika pembangunan di Hindia Belanda tertunda-tunda.

Ini simpulan yang tak sulit diterima. Pasalnya, Pemerintah Hindia Belanda tahu persis, para pejuang padri menyebar di mana-mana dari Sumatra Barat sampai Sumatra Utara, dan penangkapan Tuanku Imam Bonjol tidak akan membuat perjuangan melawan kolonialisme akan berhenti. Bagi Belanda, perlawanan oleh kaum yang berbasis agama Islam sebagaimana yang terjadi dalam perjuangan Pangeran Diponegoro di Pulau Jawa, tidak akan pernah berhenti meskipun pimpinannya sudah ditangkap. 

Makanya, strategi perang melawan Pangerang Diponegoro dipraktikkan kembali menghadapi perlawanan pejuang padri dengan menangkap Tuanku Imam Bonjol, meskipun Tuanku Imam Bonjol hanya satu dari sekian banyak pemimpin perjuangan, yang berkuasa di wilayah Minangkabau. Pemimpin pejuang padri lainnya adalah Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao, keduanya memimpi perjuangan kaum padri di wilayah Tapanuli. 

Tuanku Tambusai memimpin perjuangan melawan kolonialisme untuk wilayah Tapanuli bagian Timur, mencakup daerah Rokan hingga pesisir pantai Timur. Sedangkan Tuanku Rao memimpin perjuangan mencakup wilayan Barat hingga pesisir pantai Barat.  Baik Tuanku Tambusai maupun Tuanku Rao sering bertemu di daerah Padang Lawas untuk membicarakan strategi perang melawan Belanda pasca penangkapan Tuanku Imam Bonjol. Keduanya terus melakukan perlawanan, namun perlawanan mereka perlahan-lahan dapat dilemahkan karena tidak mendapat dukungan dari kaum adat.


Pemerintah Hindia Belanda berhasil melemahkan pejuang-pejuang padri dengan memberi tempat kepada kaum adat dalam pemerintahan dengan memperkenalkan sistem pemerintahan kuriahoft untuk wilayah Tapanuli bagian Timur dan pemerintahan luathooft untuk wilayah Tapanuli bagian Barat. Para pemimpin berbasis adat ini akhirnya berhadap-hadapan dengan pejuang padri, dan mereka didukung oleh tentara Hindia Belanda. Lama kelamaan, pejuang padri melemah karena semua masyarakat terpaksa mendukung pemerintahan adat, sebab segala urusan pemerintahan diatur oleh Luathooft dan Kuriahoof setelah Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem pemerintahan dengan mendirikan pemerintahan afdheling.

Lahirnya sistem pemerintahan afdheling buatan Pemeritah Hindia Belanda sering disebut cikal-bakal Kota Padangsidimpuan, apalagi setelah Kota Padangsidimpuan ditetapkan sebagai Afdheling Padngsidimpuan. Kenyataannya, sebelum Pemerintah Hindia Belanda masuk dan memperluas wilayah jajahannya hingga ke Tapanuli, Kota Padangsidimpuan sudah ada. Kota Padangsidimpuan berada dalam perlindungan pejuang padri yang dipimpin oleh Tuanku Rao bersama muridnya, Tuanku Lelo. Mereka membangun daerah kekuasaannya dengan mendirikan benteng yang dipagari batas alam berupa sungai, Batang Ayumi.  Benteng pejuang padri ini berupa tanggul yang menjadi tempat persembunyian para pendukung padri dari serangan Belanda.

Jauh sebelum Belanda masuk, Kota Padangsidimpuan hanyalah perkampungan kecil yang berfungsi sebagai tempat persinggah para saudagar. Kota ini merupakan sebuah lahan kosong yang konturnya datar (dimpu dalam bahasa Batak menurut Kamus Bahasa Angkola yang disusun Arden Siregar) dan ditumbuhi oleh padang rumput atau dalam bahasa Batak disebut padang. Sebagai tempat persinggahan para saudagar,  daerah ini kemudian diberi nama "padang di dimpuan" yang akhirnya kalimat "padang di dimpuan" berubah menjadi "Padangsidimpuan".   (bersambung)

Budi Hatees menulis buku Sejarah Sutan Pangurabaan Pane, Pendiri Muhammadiyah di Sipirok (2019), Sahala Muda Pakpahan, Revolusi Fisik di Sipirok 1945-1948 (2020), dan puluhan buku sastra. Budi Hatees nama pena dari Budi P. Hutasuhut lahir di Hutasuhut, Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.  Saat ini sedang menyusun buku sejarah Kota Padangsidimpuan dan sejarah sejumlah tokoh asal Tapanuli bagian Selatan.  


   

Lanjut baca »

Gerasi Muda Tabagsel Berkontribusi Dalam Sejarah Nasional

item-thumbnail


Generasi muda dari Tapanuli bagian Selatan memiliki kontribusi besar atas peristiwa bersejarah Sumpah Pemuda pada 28 Oktobet 1928.

Reporter: Ayu Ningsih I Editor : Budi Hutasuhut

Sejak tahun 1856 pemuda dari Tapanuli bagiian Selatan sudah menjadi pionir dalam banyak bidang, mulai dari kedokteran, pendidikan, pers, sastra, kebudayaan (bahasa), dan pergerakan. 

Akhir Martua Harahap, pengamat masalah sejarah Tapanuli bagian Selatan, mengungkapkan hal itu dalam webbinar yang digelar Bagas Godang Institut dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda, Kamis, 28 Oktober 2021.



Dia membabar, dokter pertama warga pribumi bernama fokter Asta dari Mandailing. Pada tahun 1856, Asta muda berangkat le Batavia dan mendaftar di sekolah kedokteran yang saat itu diperuntukan bagi warga Eropa. 

Tahun 1857, giliran Sati Nasution yang kemudian berubah nama jadi Willem Iskander setelah dibaptis masuk Keristen, berangkat ke Belanda untuk mengikuti pendidikan guru. "Willem Iskander dari Tano Bato, Mandailing, orang Indonesia yang pertama bersekolah ke Belanda," katanya.

Akhir Martua Harahap, seorang ahli statistik yang mengajar di Universitas Indonesia, menyebit Willem Iskander adalah inspirator bagi generasi muda berikutnya. Dia mendirikan sekolah, Kweekschool Tano Bato, dan dari sekolah itulah muncul generasi muda yang pionir di bidang masing-masing. 

"Pendidikan di Tani Bato yang kemudian dipindah ke Padang Sidempuan, melahirkan alumni seperti Sutan Casayangan. Dia orang pertama Indonesia yang mendirikan organisasi pelajar di luar negeri," katanya.

Pembabaran dan pembabakan sejarah yang dibuat Akhir Martua Harahap sangat runut, dan mempunyai garis merah bahwa semua pelaku pergerakan nasional sejak era Boedi Otomo masih dapam satu rangkaian. "Setiap generasi saling mendukung, semacam estapet," katanya, "Semua bergerak atas nama persatuan dan lesatuan."

Baharuddin Aritonang, mantan anggota DPR RI, yang juga putra daerah Tapanuli bagian Selatan, tampil sebagai pemantik dalam webbinar tersebut. Penulis buku Orang Batak Berpuasa ini meminta para generasi muda di Tabagsel untuk mengikuti langkah yang telah dibuat generasi lama. 

"Ambil peran masing-masing, lakukan apa yang bisa dilakukan," katanya.

Baharuddin Aritonang juga menekankan, generasi muda jangan terlalu memikirkan ingin melakukan hal-hal besar karena semua hal yang dianggap kecil bisa berdampak besar. 

"Perdulilah kepada sesama. Ikutlah mengingatkan masyarakat akan bajaya Covid-19, misalnya," katanya.

Bagas Godang Institute merupakan wadah yang dibentuk oleh para anak muda yang ada di Tapanuli Bagian Selatan.





Lanjut baca »

Sanusi Pane, Dari Sipirok untuk Indonesia

item-thumbnail
Oleh Budi Hateespeminat masalah sejarah

Sanusi Pane, Muhammad Yamin, dan sejumlah tokoh yang terlibat dalam Sumpah Pemuda

Orang menyebut Sanusi Pane berasal dari Muara Sipongi, padahal ayahnya Sutan Pangurabaan Pane berasal dari Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, dan adiknya, Lafran Pane, dikenal secara luas sebagai tokoh yang berasal dari Pangurabaan, Sipirok. 

Orang-orang tak pernah bertanya siapa Sanusi Pane sampai suatu hari pada tahun 2020, Balai Bahasa Sumatra Utara (BBSU) -- lembaga Bahasa Indonesia yang ada di Provinsi Sumatra Utara -- menggelar seminar tentang dirinya. Seminar itu untuk menguatkan visi dan misi BBSU yang berhasrat mendorong pemerintah agar menjadikan Sanusi Pane sebagai pahlwan nasional. 

Mudah ditebak, para pembicara yang tampil dalam seminar, mulai dari sejarawan sampai pengurus BBSU sendiri, berusaha menerangjelaskan siapa Sanusi Pane. Kenapa dia harus diberi gelar pahlawan nasional. 

Hasil seminar itu kemudian dirangkum, lalu dibundel berikut data-data pendukung lainnya sebagai syarat pengusulan seseorang menjadi pahlawan nasional. Bundelan itu diberikan kepada Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi. Bundel itu berisi informasi yang akan dipakai Pemda Provinsi Sumatra Utara untuk mendukung surat Gubernur Sumatra Utara tentang pengusulan Sanusi Pane menjadi pahlawan nasional.

Kini tahun 2021, tapi belum ada kabar apakah usulan itu diterima atau tidak. Kita menunggu bulan November 2021,  bulan yang biasanya dipakai untuk mengumumkan siapa yang dinobatkan Presiden Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional, tepat pada Hari Pahlawan Nasional, 10 November setiap tahun. Semoga nama Sanusi Pane ada dalam daftar itu, dan itu berarti dia menjadi pahlawan nasional setelah adiknya, Lafran Pane.

Kita menunggu apakah pemerintah menjadikan Sanusi Pane sebagai pahlawan nasional. Sembari menunggu keputusan, mari kita kupas sosok Sanusi Pane. Biografi hidupnya sangat sedikit diketahui publik, mirip seperti ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang sastrawan, wartawan, guru, budayawan, dan politisi. 
 
Dari Sipirok, Lahir di Muara Sipongi

Sanusi Pane adalah kedua dari enam anak Sutan Pangurabaan Pane. Dia berasal dari Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, anggotra keluarga Raja Panusunan Bulung di Desa Panguraan, yakni keluarga pendiri Desa Pangurabaan. 

Dalam ikatan keluarga luas secara antropologi, Dalihan Na Tolu, marga Pane adalah anak boru dari marga Siregar. Leluhur marga Pane menikahi anak gadir marga Siregar, kemudian keluarga baru itu oleh leluhur marga Siregar diberi lahan untuk membuka perkampungan (manjae). Perkampungan itu tepat di Utara dari wilayah marga Siregar, yang kemudian diberi nama Desa Pangurabaan.

Tidak banyak masyarakat di Desa Pangurabaan yang tahu tentang keluarga Sutan Pangurabaan Pane, karena masa kecilnya dihabiskan di Sipirok Godang, tinggal bersama ibu dan tulangnyanya -- saudara laki-laki ibunya--yang bermarga Siregar, Syekh Badurrahman Siregar. 

"Ketika usianya empat tahun, ayah Sutan Pangurabaan Pane meninggal dunia karena sakit. Sejak itu dia tinggal bersama tulangnya di Sipirok Godang," kata Malawat Pane, sepupu Sutan Pangurabaan Pane, seperti dikutif M. Yunus Hutasuhut dalam buku biografi Sutan Pangurabaan Pane yang diterbitkan Kemendikbud, 2019. 

Syekh Badurrahman Siregar (sejumlah kalangan menyebutnya Syekh Badurrahman Pane dan ini keliru) adalah anggota keluarga besar tiga Raja Panusunan Bulung yang oleh Pemerintah Hindia Belanda dipilh menjadi kuria dalam wilayah Onderafdeeling Sipirok: Kuria Sipirok Godang, Kuria Baringin, dan Kuria Parau Sorat. Dia satu keluarga besar dengan keluarga besar kepala Kuria Sipirok Godang, tapi dia memilih jalan hidup sebagai mubaliq, pensyiar agama Islam.
Sebagai keluarga kuria, Syekh Badurrahman Siregar dekat dengan penguasa Pemerintah Hindia Belanda, Controleur di Afdeeling Madinas en Ankola -- tahun 1906 berubah menjadi Afdeeling Padang Sidempuan. Hubungan kedekatan antara keluarga klan marga Siregar yang juga pemimpin kekuriaan, memberi peluang bagi seluruh anggota keluarga untuk mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah yang didirikan Belanda. 

Lantaran Sutan Pangurabaan Pane menjadi anggota keluarga Kuria Sipirok Godang, dia mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal yang didirikan Belanda di Sipirok. Pada tahun 1886, ketika Belanda melakukan zending di Sipirok dan menugaskan Pendeta Gustav van Asselt, pendeta yang diutus Zending Belanda ini berhasil mendirikan sekolah formal di Parau Sorat. Sekolah formal Belanda itu menerima murid dari kalangan kaum bangsawan, baik beragama Kristen maupun Islam, Sutan Pangurabaan Pane mengenyam pendidikan masa kecil di sekolah ini, tapu Syekh Badurrahman Siregar tetap membimbingnya untuk menguasai ilmu agama Islam di madrasyah yang dikelolanya.  

Sutan Pangurabaan Pane menjadi lulusan terakhir dari Kweekshool Padang Sidempuan, sekolah guru yang cikal-bakalnya didirkan oleh Willem Iskander dengan nama Kweekshool Tanobato. Sebagai lulusan Kweekschool Padang Sidempuan, Sutan Pangurabaan Pane berkesempatan menjadi guru. Begitu lulus, dia dipindahkan ke Muara Sipongi, kemudian menikahi anak dari Syekh Badurrahman Siregar. Dia dan istrinya tinggal di Muara Sipongi, di tempat ini lahir anak-anak, salah satunya Sanusi Pane dan Armijn Pane. 

Pada dekade 1900-an, pasca keberhasilan Kweekschool Tanobato dan Kweekschool Padang Sidempuan melahirkan generasi inteletual, para keluarga aristokrat di wilayah Afdeeling Mandailing en Ankola terobsesi untuk fokus pada sekolah formal. Setiap orang tua, baik dari keluarga aristokrat, pejabat, pegawai negeri, maupun pedagang bersaing satu sama lain untuk melihat keluarga siapa yang bisa membanggakan anak lulusan sekolah formal, apalagi Hollandsch-Inlandsche Scholen (HIS) yang berbahasa Belanda. 

Mampu menyekolahkan anak menjadi lencana kehormatan keluarga. Nilai itu ada dalam diri Sutan Pangurabaan Pane, apalagi dia seorang guru. Untuk menyekolahkan anak-anaknya, Sutan Pangurabaan Pane menjadi guru di HIS Muara Sipongi sekaligus menjadi pedagang hasil bumi. Dari pekerjaannya itu, Sutan Pangurabaan Pane banyak mengenal masyarakat Muara Sipongi, baik masyarakat biasa maupun para kepala adat. Tapi, hari ini, tidak ada lagi orang di Muara Sipongi yang mengingat tentang Sutan Pangurabaan Pane.

Semua anak-anak Sutan Pangurabaan Pane, terutama Sanusi Pane dan Armijn Pane, disekolahkan ke sekolah formal. Sedangkan anak-anak perempuannya, memutuskan menikah begitu dewasa. 

Sanusi Pane bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) di Sibolga, mengikuti kakaknya yang tinggal di Sibolga setelah menikah dengan dr. Tarib Nasution, tapi kemudian pindah ke HIS Padang Sidempuan dan lulus. HIS Padang Sidempuan saat itu dipimpin oleh Sutan Pangurabaan Pane. Lulus HIS, Sanusi Pane melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di For de Kock (Bukit Tinggi). 

Saat Sanusi Pane sedang bersekolah di Bukit Tinggi, ayahnya yang mengajar di HIS Padang Sidempuan, menulis sebuah novel berbahasa Batak dan diterbitkan secara bersambung di surat kabar Pardomoean. Tahun 1914, novel berjudul Toelbok Haleon, mendapat tanggapan luas dari masyarakat. Sejak itu, Sutan Pangurabaan Pane menyadari bakatnya sebagai penulis, dan sejak itu dia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di HIS Padang Sidempuan. 

Kelak, popularitas novel Toelbok Haleon yang ditulis Sutan Pangurabaan Pane akan menginspirasi dua anaknya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, untuk menjadi penulis. Bahkan, Armijn Pane, mengikuti jejak ayahnya menjadi novelis dengan menerbitkan novel Belenggu, sebuah novel moderen pertama yang bicara tentang psikologi. 
Sutan Pangurabaan Pane kemudian mendirikan surat kabar Partopaan, terbit dua kali sepekan, Rabu dan Senin -- kedua hari itu dipilih karena merupakan hari pasar di wilayah Afdeeling Padang Sidempuan.  Dua tahun kemudian, 1916, Penerbit Partopan Tapanoeli di Padangsidimpuan menerbitkan dalam bentuk buku, dua edisi. Pada tahun 1937, novel itu diterbitkan untuk edisi keempat oleh Handel Mij. Indische Drukkerij di Medan.
Novel Toelbok Haleon ditulis Sutan Pangurabaan Pane dalam bahasa Batak untuk menegaskan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa masyarakat Batak memiliki bahasa sendiri yang lebih bagus dari bahasa Belanda. Bahkan, untuk mengkampanyekan bahwa bahasa Batak  bisa menjadi alat komunikasi yang lebih diterima oleh masyarakat, Sutan Pangurabaan Pane menyusun Kamus Bahasa Batak. 

Pada saat itu, Pemerintah Hindia Belanda sedang mengupayakan mendorong bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dengan mengedepankan Adrian van Opusyen sebagai ahli bahasa, yang kemudian dikenal sebagai ejaan van Opuesyen. Sutan Pangurabaan Pane sempat belahjar bahasa dengan van Opusyen saat sekolah di Kweekschool Padangsidempuan, karena Adrian van Opuesyen adalah guru kepala di Kweekschool Padangsidempuan. Dari mempelajari karya-karya Adrian van Opuesyen, Sutan Pangurabaan Pane kelan menerbitkan Kamus Bahasa Angkola. 
Popularitas novel Toelbok Haleon bukan saja menginspirasi anak-anak Sutan Pangurabaan Pane untuk menempuh hidup sebagai penulis, tapi juga mendorong lahirnya para penulis lain untuk menghasilkan cerita dalam bahasa Batak. 

MJ Sutan Hasundutan Sipahutar, yang berasal dari Sipirok, menulis novel Sitti Djaoerah. Kedua novel berbahasa Batak membuat penulisnya populer sebagai tokoh di masyarakat, dan karya mereka menjadi bacaan di sekolah-sekolah formal. 
Popularitas kedua novel ini kemudian diantisipasi Pemerintah Hindia  Belanda dengan menerbitkan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel yang bercerita tentang "buruknya" nilai-nilai adat di Sipirok ini, seakan-akan sebuah kesengajaan untuk menjatuhkan citra novel Toelbok Haleon maupun Sitti Djaoerah yang bercerita tentang perjuangan rakyat untuk bisa hidup di zaman kolonialisme Belanda. 
Susan Rodgers, profesor antropologi di College of the Holy Cross, Worcester, Massachusetts, menulis tentang novel Sutan Pangurabaan Pane ini dalam sejumlah penelitiannya. Dalam "Sutan Pangurabaan Rewrites Sumatran Language Landscapes, The Political Possibilities of Commercial Print in The Late Colonial Indies", menulis buku Sutan Pangurabaan Pane membentuk pemahaman Batak Angkola tentang kehidupan di Hindia 'modern'. Tolbok Haleon melakukan ini dalam perpaduan elegan dari Angkola Batak tingkat percakapan yang dicampur secara bebas dengan frasa dari oratorium lama dan epos yang dilantunkan turi-turian.

Selama tahun 1920-an Sutan Pangurabaan beralih dari pekerjaan sekolah formal menjadi wartawan, penulis, dan aktivis politik penuh waktu. Dia bekerja sebagai editor surat kabar di Sipirok di 1927 dan 1928 untuk mingguan bahasa Batak Angkola Pardomoean. Ia juga aktif dalam partai politik nasionalis, membantu mendirikan Partai Indonesia (PARTINDO) di Tapanuli. Aktivisme politiknya di PARTINDO di Sibolga dan Sumatera bagian selatan mungkin membuat pekerjaan sekolah lebih lanjut menjadi tidak mungkin. 

Inspirasi dari Ayah

Balai Bahasa Sumatra Utara adalah lembaga penelitian dan pengembangan bahasa yang yang ada di Sumatra Utara. Emberio lembaga bahasa ini diasumsikan sudah ada sejak lama, namanya Institut Bahasa Indonesia. Lembaga ini, merupakan buah pemikiran Sanusi Pane. 

Setelah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang salah satu poin pentingnya mengenai Bahasa Indonesia sebagai "bahasa persatuan", Sanusi Pane menawarkan pentingnya sebuah lembaga yang khusus mengurus soal Bahasa Indonesia itu. Nama "Institute Bahasa Indonesia" ditawarkan, tapi usulan itu kurang mendapat tanggapan, karena setiap orang masih menyimpan euforia atas Sumpah Pemuda. 
Para pemuda, yang karena berhasil membuat peristiwa bersejarah, tak pernah bertanya: Bagaimana selanjutnya? Apa yang akan dilakukan pasca Sumpah Pemuda? Mereka, sebagian besar pemuda yang terlibat dalam peristiwa Sumpah Pemuda, mendadak jadi selebritis yang namanya dikenang sebagai intelektual. Nama besar mereka menjadi modal utama untuk lebih masuk terjum ke kancah politik, menjadi pendiri atau pengurus partai politik, dan kelak kemudian menjadi bagian dari elite Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita bisa menyebut Muhammad Yamin, orang yang mengonsep teks Sumpah Pemuda. Pasca peristiwa Sumpah Pemuda, dia banyak terjun ke wilayah pergerakan nasional, dekat dengan para founding father, dan akhirnya diangkat menjadi menteri. Orang-orang mengenal Muhammad Yamin karena biografinya bertebaran, dan Muhammad Yamin lebih sering dikaitkan dengan peristiwa Sumpah Pemuda dibandingkan nama-nama lain yang juga punya andil besar.
Sanusi Pane nyaris tidak pernah dikaitkan dengan peristiwa Sumaph Pemuda, padahal dia punya andil besar dalam mendorong kelahiran Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dibandingkan Muhammad Yamin, yang sejak awal menolak "Bahasa Indonesia"  sebagai bahasa persatuan, Sanusi Pane justru sudah menggagas pentingnya ada bahasa persatuan sejak Kongres Pemuda I yang digelar 30 April 1926-2 Mei 1926. 
Di dalam Kongres Pemuda I, Sanusi Pane merupakan pimpinan kongres sekaligus perumus hasil kongres. Kongres Pemuda I itu berhasil membangun kolektivitas pemuda-pemuda di sejumlah daerah, melepas semua embel-embel organisasi kedaerahan, bersatu menjadi pemuda Indonesia. 
Supaya persatuan para pemuda lebih kuat, perlu ada pemersatu berupa bahasa yang memungkin semua pemuda bisa berkomunikasi sekalipun latar-belakang budayanya berbeda dan bahasa daerahnya berbeda. Bahasa Melayu menjadi bahasa untuk berkomunikasi yang bisa berterima secara universal, dan bahasa Melayu itulah yang kemudian diberi nama Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda II.
Peran Sanusi Pane terinspirasi dari apa yang dilakukan ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane. Sanusi Pane yang lahir 1905, pada tahun 1926 masih berusia 21 tahun, dan dia sudah dikenal sebagai penulis puisi yang disiarkan di majalah Jong Sumatra Bond. Dia mengikuti jejak ayahnya memilih jalan menulis untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dalam lingkup yang lebih luas, Indonesia. Namun, sebagaimana ayahnya menulis dengan semangat menguatkan nilai-nilai kelokalan, maka Sanusi Pane menulis untuk menguatkan nilai-nilai Timur. 

Bagi Sanusi Pane, masyarakat Timur kaya akan sumber daya alam sehingga masyarakatnya lembut, tidak sekeras orang Eropa yang harus berperang demi mendapatkan sumber daya alam orang lain. Sebab itu, masyarakat Timur harus selalu arif dengan alam semesta, berkomunikasi dengan alam semesta, menyatu dengan alam semesta. keyakinan Sanusi Pane tentang Timur inilah yang membuatnya menentang gagasan Sutan takdir Alisjahbana tentang pentingnya melihat ke Barat.

Kelak, Sanusi Pane akan memperdalam pemahaman dan pengetahuannya tentang Timur dengan cara pergi ke India. Saat itu, dia berpendapat, Indonesia berakar dari India, dari kebudayaan Hindu. Setelah peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Sanusi Pane bertolak ke India pada awal 1929. Di India, dia belajar filsafat India, membaca buku-buku sastra India, dan menerjemahkan kitab-kitab Hindu ke dalam bahasa Indonesia. 

Bahasa Indonesia 

Orang hanya tahu, Sanusi Pane seorang sastrawan--sama seperti sebagian besar intelektual pada dekade 1920-an--karena dia menulis sajak, esai, naskah drama, dan menerjemahkan karya-karya asing (India) ke dalam Bahasa Indonesia. Karya-karyanya, terutama esai yang mempertahankan gagasannya tentang Timur sebagai orientasi kebudayaan Indonesia pada masa depan, melahirkan perdebatan-perdebatan sebagai sejarah paling memberkas tentang bagaimana seharusnya para intelektual mempertahankan gagasannya. 

Dia, dan sejumlah intelektual yang terlibat polemik kebudayaan nasional saat itu, menjadi peletak dasar bagaimana seharusnya para intelektual mengambil peran dalam perjuangan menentang kolonialisme, dan mereka tidak mengangkat senjata. Mereka mengandalkan ilmu pengetahuan, mencerdaskan masyarakat dengan membuka wawasan masyarakat tentang berbagai hal berkaitan dengan peradaban manusia. 

Pada dekade 1920-an, seperti halnya di dekade 1900-an, politik etis kolonialisme Belanda di bidang pendidikan formal bagi rakyat jajahan, melahirkan intelektual-intelektual muda dari rahim lembaga-lembaga pendidikan formal. Intelektual yang muncul saat itu, mengawali keterlibatannya sebagai penulis (sastra), yang bekerja di lingkungan media cetak. Mereka menulis, mengartikulasikan gagasan dan pemikirannya, dan orang-orang menandai mereka sebagai para pemikir. 

Selesai MULO di For de Kock, Sanusi Pane melanjutkan Kweekschool Gunungsahari di Jakarta. Di sekolah ini, dia mempelajari cara menulis sambil tetap berkomunikasi dengan ayahnya. Dari ayahnya, Sanusi Pane banyak mendapat ilmu pengetahuan tentang menulis. Lantaran tulisan-tulisannya di majalah-majalah, Sanusi Pane berkenalan dengan para founding father seperti Muhammad Hatta yang saat itu aktif dalam Jong Sumatra Bonda. Lantaran tulisan pula Sanusi Pane akhirnya berkenalan dengan Muhammad Yamin, lalu mereka berkolaborasi merekrut pemuda-pemuda perantau asal Pulau Sumatra untuk masuk ke dalam kelompok Jong Sumatra Bond. 

Sanusi Pane menjadi bagian dari Jong Sumatra Bond saat masih sekolah di Kweekschool Gunungsahari. Setelah lulus dari Kweekschool Gunungsahari, Sanusi Pane mengajar di almamaternya. Tapi, kesibukan mempersipakan Kongres Pemuda I tahun 1926 membuat pekerjaannya ditinggalkan, karena Sanusi Pane harus bolak-balik dari Batavia ke Padangsidempuan untuk mensosialisasikan pentingnya peratuan dan kesatuan. 

Dari hasil pertemuan Sanusi Pane dengan ayahnya dan tokoh-tokoh masyarakat di Padangsidempuan, Sanusi Pane kemudian berkenalan dengan Amir Syarifuddin Harahap. Tokoh asal Padangsidempuan yang baru pulang dari Belanda ini, berkawan karib dengan Sanusi Pane. Perkawanan mereka melahirkan gagasan pentingnya membangun persatuan dan kesatuan atas nama etnik, maka semua pemuda perantau asal Batak keluar dari Jong Sumatra Bond dan mendirikan Jong Batak Bond. 

Membawa nama Jong Batak Bond, Sanusi Pane kemudian dinobatkan jadi pimpinan Kongres Pemuda I. Di dalam kongres ini, Sanusi Pane mengaskan sikapnya tentang masyarakt Timur yang terdiri dari beragam-ragam suku namun tetap harus menjaga persatuan dan kesatuan. Dia juga menjelaskan, keluarnya pemuda Batak dari Jong Sumatra Bond merupakan wujud dari keberagaaman, dan bukan akibat pertentangan. Lahirnya Jong Batak Bond untuk mempertegas bahwa keberagaman bukan penghalang untuk bersatu atas nama bangsa Indonesia.

Sanusi Pane adalah orang yang punya gagasan tentang pentingnya ada bahasa persatuan, dan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu menjadi alternatif, karena bahasa Melayu dipakai semua suku di Indonesia.

Sanoesi Pane mengatakan, politik bahasa penguasa Belanda yang membedakan antara Bahasa Melayu Tinggi dan Bahasa Melayu Rendah serta Bahasa Melayu-Riau dengan Bahasa Melayu-Pasar, tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Yang ada bagi Sanoesi Pane adalah pembedaan Bahasa Melayu Daerah, Bahasa Melayu Kesusastraan, dan Bahasa Melayu Perhubungan (komunikasi).

Sanoesi nyatakan bahwa sebelum VOC datang, Bahasa Melayu Komunikasi sudah berkembang di mana-mana di Indonesia. Pada zaman itu dia nyatakan, bahasa itu sudah bersifat Bahasa Indonesia. Karena pengaruh-pengaruh (kemajuan) Barat dan karena keinginan akan masyarakat baru maka di Indonesia terjadi perubahan bentuk masyarakat, pandangan hidup, dan semangat. Orang dengan sadar menumbuhkan Bahasa Indonesia dalam lapangan yang sudah disediakan oleh Bahasa Melayu Perhubungan (bahasa sehari-hari).

Di akhir kata Sanoesi Pane menyatakan bahwa Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa kebudayaan dan akan tumbuh dengan kebudayaan Indonesia. Tapi, gagasan Sanusi Pane ini seakan-akan milik tokoh yang menjadi pahlwan karena Sumpah Pemuda. Hal ini terjadi karena Sanusi Pane bukan orang yang ingin dikenang, sama seperti ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane. 

Sanusi Pane selalu mengutif kalimat ayahnya "saya bukan siapa-siapa" setiap kali ada orang yang bertanya tentang dirinya. 



Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda