|
Sanusi Pane, Muhammad Yamin, dan sejumlah tokoh yang terlibat dalam Sumpah Pemuda |
Orang menyebut Sanusi Pane berasal dari Muara Sipongi, padahal ayahnya Sutan Pangurabaan Pane berasal dari Pangurabaan, Sipirok, Tapanuli Selatan, dan adiknya, Lafran Pane, dikenal secara luas sebagai tokoh yang berasal dari Pangurabaan, Sipirok.
Orang-orang tak pernah bertanya siapa Sanusi Pane sampai suatu hari pada tahun 2020, Balai Bahasa Sumatra Utara (BBSU) -- lembaga Bahasa Indonesia yang ada di Provinsi Sumatra Utara -- menggelar seminar tentang dirinya. Seminar itu untuk menguatkan visi dan misi BBSU yang berhasrat mendorong pemerintah agar menjadikan Sanusi Pane sebagai pahlwan nasional.
Mudah ditebak, para pembicara yang tampil dalam seminar, mulai dari sejarawan sampai pengurus BBSU sendiri, berusaha menerangjelaskan siapa Sanusi Pane. Kenapa dia harus diberi gelar pahlawan nasional.
Hasil seminar itu kemudian dirangkum, lalu dibundel berikut data-data pendukung lainnya sebagai syarat pengusulan seseorang menjadi pahlawan nasional. Bundelan itu diberikan kepada Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi. Bundel itu berisi informasi yang akan dipakai Pemda Provinsi Sumatra Utara untuk mendukung surat Gubernur Sumatra Utara tentang pengusulan Sanusi Pane menjadi pahlawan nasional.
Kini tahun 2021, tapi belum ada kabar apakah usulan itu diterima atau tidak. Kita menunggu bulan November 2021, bulan yang biasanya dipakai untuk mengumumkan siapa yang dinobatkan Presiden Republik Indonesia sebagai pahlawan nasional, tepat pada Hari Pahlawan Nasional, 10 November setiap tahun. Semoga nama Sanusi Pane ada dalam daftar itu, dan itu berarti dia menjadi pahlawan nasional setelah adiknya, Lafran Pane.
Kita menunggu apakah pemerintah menjadikan Sanusi Pane sebagai pahlawan nasional. Sembari menunggu keputusan, mari kita kupas sosok Sanusi Pane. Biografi hidupnya sangat sedikit diketahui publik, mirip seperti ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane, seorang sastrawan, wartawan, guru, budayawan, dan politisi.
Dari Sipirok, Lahir di Muara Sipongi
Sanusi Pane adalah kedua dari enam anak Sutan Pangurabaan Pane. Dia berasal dari Pangurabaan, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, anggotra keluarga Raja Panusunan Bulung di Desa Panguraan, yakni keluarga pendiri Desa Pangurabaan.
Dalam ikatan keluarga luas secara antropologi, Dalihan Na Tolu, marga Pane adalah anak boru dari marga Siregar. Leluhur marga Pane menikahi anak gadir marga Siregar, kemudian keluarga baru itu oleh leluhur marga Siregar diberi lahan untuk membuka perkampungan (manjae). Perkampungan itu tepat di Utara dari wilayah marga Siregar, yang kemudian diberi nama Desa Pangurabaan.
Tidak banyak masyarakat di Desa Pangurabaan yang tahu tentang keluarga Sutan Pangurabaan Pane, karena masa kecilnya dihabiskan di Sipirok Godang, tinggal bersama ibu dan tulangnyanya -- saudara laki-laki ibunya--yang bermarga Siregar, Syekh Badurrahman Siregar.
"Ketika usianya empat tahun, ayah Sutan Pangurabaan Pane meninggal dunia karena sakit. Sejak itu dia tinggal bersama tulangnya di Sipirok Godang," kata Malawat Pane, sepupu Sutan Pangurabaan Pane, seperti dikutif M. Yunus Hutasuhut dalam buku biografi Sutan Pangurabaan Pane yang diterbitkan Kemendikbud, 2019.
Syekh Badurrahman Siregar (sejumlah kalangan menyebutnya Syekh Badurrahman Pane dan ini keliru) adalah anggota keluarga besar tiga Raja Panusunan Bulung yang oleh Pemerintah Hindia Belanda dipilh menjadi kuria dalam wilayah Onderafdeeling Sipirok: Kuria Sipirok Godang, Kuria Baringin, dan Kuria Parau Sorat. Dia satu keluarga besar dengan keluarga besar kepala Kuria Sipirok Godang, tapi dia memilih jalan hidup sebagai mubaliq, pensyiar agama Islam.
Sebagai keluarga kuria, Syekh Badurrahman Siregar dekat dengan penguasa Pemerintah Hindia Belanda, Controleur di Afdeeling Madinas en Ankola -- tahun 1906 berubah menjadi Afdeeling Padang Sidempuan. Hubungan kedekatan antara keluarga klan marga Siregar yang juga pemimpin kekuriaan, memberi peluang bagi seluruh anggota keluarga untuk mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah yang didirikan Belanda.
Lantaran Sutan Pangurabaan Pane menjadi anggota keluarga Kuria Sipirok Godang, dia mendapat kesempatan mengenyam pendidikan formal yang didirikan Belanda di Sipirok. Pada tahun 1886, ketika Belanda melakukan zending di Sipirok dan menugaskan Pendeta Gustav van Asselt, pendeta yang diutus Zending Belanda ini berhasil mendirikan sekolah formal di Parau Sorat. Sekolah formal Belanda itu menerima murid dari kalangan kaum bangsawan, baik beragama Kristen maupun Islam, Sutan Pangurabaan Pane mengenyam pendidikan masa kecil di sekolah ini, tapu Syekh Badurrahman Siregar tetap membimbingnya untuk menguasai ilmu agama Islam di madrasyah yang dikelolanya.
Sutan Pangurabaan Pane menjadi lulusan terakhir dari Kweekshool Padang Sidempuan, sekolah guru yang cikal-bakalnya didirkan oleh Willem Iskander dengan nama Kweekshool Tanobato. Sebagai lulusan Kweekschool Padang Sidempuan, Sutan Pangurabaan Pane berkesempatan menjadi guru. Begitu lulus, dia dipindahkan ke Muara Sipongi, kemudian menikahi anak dari Syekh Badurrahman Siregar. Dia dan istrinya tinggal di Muara Sipongi, di tempat ini lahir anak-anak, salah satunya Sanusi Pane dan Armijn Pane.
Pada dekade 1900-an, pasca keberhasilan Kweekschool Tanobato dan Kweekschool Padang Sidempuan melahirkan generasi inteletual, para keluarga aristokrat di wilayah Afdeeling Mandailing en Ankola terobsesi untuk fokus pada sekolah formal. Setiap orang tua, baik dari keluarga aristokrat, pejabat, pegawai negeri, maupun pedagang bersaing satu sama lain untuk melihat keluarga siapa yang bisa membanggakan anak lulusan sekolah formal, apalagi Hollandsch-Inlandsche Scholen (HIS) yang berbahasa Belanda.
Mampu menyekolahkan anak menjadi lencana kehormatan keluarga. Nilai itu ada dalam diri Sutan Pangurabaan Pane, apalagi dia seorang guru. Untuk menyekolahkan anak-anaknya, Sutan Pangurabaan Pane menjadi guru di HIS Muara Sipongi sekaligus menjadi pedagang hasil bumi. Dari pekerjaannya itu, Sutan Pangurabaan Pane banyak mengenal masyarakat Muara Sipongi, baik masyarakat biasa maupun para kepala adat. Tapi, hari ini, tidak ada lagi orang di Muara Sipongi yang mengingat tentang Sutan Pangurabaan Pane.
Semua anak-anak Sutan Pangurabaan Pane, terutama Sanusi Pane dan Armijn Pane, disekolahkan ke sekolah formal. Sedangkan anak-anak perempuannya, memutuskan menikah begitu dewasa.
Sanusi Pane bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) di Sibolga, mengikuti kakaknya yang tinggal di Sibolga setelah menikah dengan dr. Tarib Nasution, tapi kemudian pindah ke HIS Padang Sidempuan dan lulus. HIS Padang Sidempuan saat itu dipimpin oleh Sutan Pangurabaan Pane. Lulus HIS, Sanusi Pane melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di For de Kock (Bukit Tinggi).
Saat Sanusi Pane sedang bersekolah di Bukit Tinggi, ayahnya yang mengajar di HIS Padang Sidempuan, menulis sebuah novel berbahasa Batak dan diterbitkan secara bersambung di surat kabar Pardomoean. Tahun 1914, novel berjudul Toelbok Haleon, mendapat tanggapan luas dari masyarakat. Sejak itu, Sutan Pangurabaan Pane menyadari bakatnya sebagai penulis, dan sejak itu dia meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di HIS Padang Sidempuan.
Kelak, popularitas novel Toelbok Haleon yang ditulis Sutan Pangurabaan Pane akan menginspirasi dua anaknya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, untuk menjadi penulis. Bahkan, Armijn Pane, mengikuti jejak ayahnya menjadi novelis dengan menerbitkan novel Belenggu, sebuah novel moderen pertama yang bicara tentang psikologi.
Sutan Pangurabaan Pane kemudian mendirikan surat kabar Partopaan, terbit dua kali sepekan, Rabu dan Senin -- kedua hari itu dipilih karena merupakan hari pasar di wilayah Afdeeling Padang Sidempuan. Dua tahun kemudian, 1916, Penerbit Partopan Tapanoeli di Padangsidimpuan menerbitkan dalam bentuk buku, dua edisi. Pada tahun 1937, novel itu diterbitkan untuk edisi keempat oleh Handel Mij. Indische Drukkerij di Medan.
Novel Toelbok Haleon ditulis Sutan Pangurabaan Pane dalam bahasa Batak untuk menegaskan kepada Pemerintah Hindia Belanda bahwa masyarakat Batak memiliki bahasa sendiri yang lebih bagus dari bahasa Belanda. Bahkan, untuk mengkampanyekan bahwa bahasa Batak bisa menjadi alat komunikasi yang lebih diterima oleh masyarakat, Sutan Pangurabaan Pane menyusun Kamus Bahasa Batak.
Pada saat itu, Pemerintah Hindia Belanda sedang mengupayakan mendorong bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dengan mengedepankan Adrian van Opusyen sebagai ahli bahasa, yang kemudian dikenal sebagai ejaan van Opuesyen. Sutan Pangurabaan Pane sempat belahjar bahasa dengan van Opusyen saat sekolah di Kweekschool Padangsidempuan, karena Adrian van Opuesyen adalah guru kepala di Kweekschool Padangsidempuan. Dari mempelajari karya-karya Adrian van Opuesyen, Sutan Pangurabaan Pane kelan menerbitkan Kamus Bahasa Angkola.
Popularitas novel Toelbok Haleon bukan saja menginspirasi anak-anak Sutan Pangurabaan Pane untuk menempuh hidup sebagai penulis, tapi juga mendorong lahirnya para penulis lain untuk menghasilkan cerita dalam bahasa Batak.
MJ Sutan Hasundutan Sipahutar, yang berasal dari Sipirok, menulis novel Sitti Djaoerah. Kedua novel berbahasa Batak membuat penulisnya populer sebagai tokoh di masyarakat, dan karya mereka menjadi bacaan di sekolah-sekolah formal.
Popularitas kedua novel ini kemudian diantisipasi Pemerintah Hindia Belanda dengan menerbitkan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Novel yang bercerita tentang "buruknya" nilai-nilai adat di Sipirok ini, seakan-akan sebuah kesengajaan untuk menjatuhkan citra novel Toelbok Haleon maupun Sitti Djaoerah yang bercerita tentang perjuangan rakyat untuk bisa hidup di zaman kolonialisme Belanda.
Susan Rodgers, profesor antropologi di College of the Holy Cross, Worcester, Massachusetts, menulis tentang novel Sutan Pangurabaan Pane ini dalam sejumlah penelitiannya. Dalam "Sutan Pangurabaan Rewrites Sumatran Language Landscapes, The Political Possibilities of Commercial Print in The Late Colonial Indies", menulis buku Sutan Pangurabaan Pane membentuk pemahaman Batak Angkola tentang kehidupan di Hindia 'modern'. Tolbok Haleon melakukan ini dalam perpaduan elegan dari Angkola Batak tingkat percakapan yang dicampur secara bebas dengan frasa dari oratorium lama dan epos yang dilantunkan turi-turian.
Selama tahun 1920-an Sutan Pangurabaan beralih dari pekerjaan sekolah formal menjadi wartawan, penulis, dan aktivis politik penuh waktu. Dia bekerja sebagai editor surat kabar di Sipirok di 1927 dan 1928 untuk mingguan bahasa Batak Angkola Pardomoean. Ia juga aktif dalam partai politik nasionalis, membantu mendirikan Partai Indonesia (PARTINDO) di Tapanuli. Aktivisme politiknya di PARTINDO di Sibolga dan Sumatera bagian selatan mungkin membuat pekerjaan sekolah lebih lanjut menjadi tidak mungkin.
Inspirasi dari Ayah
Balai Bahasa Sumatra Utara adalah lembaga penelitian dan pengembangan bahasa yang yang ada di Sumatra Utara. Emberio lembaga bahasa ini diasumsikan sudah ada sejak lama, namanya Institut Bahasa Indonesia. Lembaga ini, merupakan buah pemikiran Sanusi Pane.
Setelah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang salah satu poin pentingnya mengenai Bahasa Indonesia sebagai "bahasa persatuan", Sanusi Pane menawarkan pentingnya sebuah lembaga yang khusus mengurus soal Bahasa Indonesia itu. Nama "Institute Bahasa Indonesia" ditawarkan, tapi usulan itu kurang mendapat tanggapan, karena setiap orang masih menyimpan euforia atas Sumpah Pemuda.
Para pemuda, yang karena berhasil membuat peristiwa bersejarah, tak pernah bertanya: Bagaimana selanjutnya? Apa yang akan dilakukan pasca Sumpah Pemuda? Mereka, sebagian besar pemuda yang terlibat dalam peristiwa Sumpah Pemuda, mendadak jadi selebritis yang namanya dikenang sebagai intelektual. Nama besar mereka menjadi modal utama untuk lebih masuk terjum ke kancah politik, menjadi pendiri atau pengurus partai politik, dan kelak kemudian menjadi bagian dari elite Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kita bisa menyebut Muhammad Yamin, orang yang mengonsep teks Sumpah Pemuda. Pasca peristiwa Sumpah Pemuda, dia banyak terjun ke wilayah pergerakan nasional, dekat dengan para founding father, dan akhirnya diangkat menjadi menteri. Orang-orang mengenal Muhammad Yamin karena biografinya bertebaran, dan Muhammad Yamin lebih sering dikaitkan dengan peristiwa Sumpah Pemuda dibandingkan nama-nama lain yang juga punya andil besar.
Sanusi Pane nyaris tidak pernah dikaitkan dengan peristiwa Sumaph Pemuda, padahal dia punya andil besar dalam mendorong kelahiran Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dibandingkan Muhammad Yamin, yang sejak awal menolak "Bahasa Indonesia" sebagai bahasa persatuan, Sanusi Pane justru sudah menggagas pentingnya ada bahasa persatuan sejak Kongres Pemuda I yang digelar 30 April 1926-2 Mei 1926.
Di dalam Kongres Pemuda I, Sanusi Pane merupakan pimpinan kongres sekaligus perumus hasil kongres. Kongres Pemuda I itu berhasil membangun kolektivitas pemuda-pemuda di sejumlah daerah, melepas semua embel-embel organisasi kedaerahan, bersatu menjadi pemuda Indonesia.
Supaya persatuan para pemuda lebih kuat, perlu ada pemersatu berupa bahasa yang memungkin semua pemuda bisa berkomunikasi sekalipun latar-belakang budayanya berbeda dan bahasa daerahnya berbeda. Bahasa Melayu menjadi bahasa untuk berkomunikasi yang bisa berterima secara universal, dan bahasa Melayu itulah yang kemudian diberi nama Bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda II.
Peran Sanusi Pane terinspirasi dari apa yang dilakukan ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane. Sanusi Pane yang lahir 1905, pada tahun 1926 masih berusia 21 tahun, dan dia sudah dikenal sebagai penulis puisi yang disiarkan di majalah Jong Sumatra Bond. Dia mengikuti jejak ayahnya memilih jalan menulis untuk melanjutkan cita-cita ayahnya dalam lingkup yang lebih luas, Indonesia. Namun, sebagaimana ayahnya menulis dengan semangat menguatkan nilai-nilai kelokalan, maka Sanusi Pane menulis untuk menguatkan nilai-nilai Timur.
Bagi Sanusi Pane, masyarakat Timur kaya akan sumber daya alam sehingga masyarakatnya lembut, tidak sekeras orang Eropa yang harus berperang demi mendapatkan sumber daya alam orang lain. Sebab itu, masyarakat Timur harus selalu arif dengan alam semesta, berkomunikasi dengan alam semesta, menyatu dengan alam semesta. keyakinan Sanusi Pane tentang Timur inilah yang membuatnya menentang gagasan Sutan takdir Alisjahbana tentang pentingnya melihat ke Barat.
Kelak, Sanusi Pane akan memperdalam pemahaman dan pengetahuannya tentang Timur dengan cara pergi ke India. Saat itu, dia berpendapat, Indonesia berakar dari India, dari kebudayaan Hindu. Setelah peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Sanusi Pane bertolak ke India pada awal 1929. Di India, dia belajar filsafat India, membaca buku-buku sastra India, dan menerjemahkan kitab-kitab Hindu ke dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Indonesia
Orang hanya tahu, Sanusi Pane seorang sastrawan--sama seperti sebagian besar intelektual pada dekade 1920-an--karena dia menulis sajak, esai, naskah drama, dan menerjemahkan karya-karya asing (India) ke dalam Bahasa Indonesia. Karya-karyanya, terutama esai yang mempertahankan gagasannya tentang Timur sebagai orientasi kebudayaan Indonesia pada masa depan, melahirkan perdebatan-perdebatan sebagai sejarah paling memberkas tentang bagaimana seharusnya para intelektual mempertahankan gagasannya.
Dia, dan sejumlah intelektual yang terlibat polemik kebudayaan nasional saat itu, menjadi peletak dasar bagaimana seharusnya para intelektual mengambil peran dalam perjuangan menentang kolonialisme, dan mereka tidak mengangkat senjata. Mereka mengandalkan ilmu pengetahuan, mencerdaskan masyarakat dengan membuka wawasan masyarakat tentang berbagai hal berkaitan dengan peradaban manusia.
Pada dekade 1920-an, seperti halnya di dekade 1900-an, politik etis kolonialisme Belanda di bidang pendidikan formal bagi rakyat jajahan, melahirkan intelektual-intelektual muda dari rahim lembaga-lembaga pendidikan formal. Intelektual yang muncul saat itu, mengawali keterlibatannya sebagai penulis (sastra), yang bekerja di lingkungan media cetak. Mereka menulis, mengartikulasikan gagasan dan pemikirannya, dan orang-orang menandai mereka sebagai para pemikir.
Selesai MULO di For de Kock, Sanusi Pane melanjutkan Kweekschool Gunungsahari di Jakarta. Di sekolah ini, dia mempelajari cara menulis sambil tetap berkomunikasi dengan ayahnya. Dari ayahnya, Sanusi Pane banyak mendapat ilmu pengetahuan tentang menulis. Lantaran tulisan-tulisannya di majalah-majalah, Sanusi Pane berkenalan dengan para founding father seperti Muhammad Hatta yang saat itu aktif dalam Jong Sumatra Bonda. Lantaran tulisan pula Sanusi Pane akhirnya berkenalan dengan Muhammad Yamin, lalu mereka berkolaborasi merekrut pemuda-pemuda perantau asal Pulau Sumatra untuk masuk ke dalam kelompok Jong Sumatra Bond.
Sanusi Pane menjadi bagian dari Jong Sumatra Bond saat masih sekolah di Kweekschool Gunungsahari. Setelah lulus dari Kweekschool Gunungsahari, Sanusi Pane mengajar di almamaternya. Tapi, kesibukan mempersipakan Kongres Pemuda I tahun 1926 membuat pekerjaannya ditinggalkan, karena Sanusi Pane harus bolak-balik dari Batavia ke Padangsidempuan untuk mensosialisasikan pentingnya peratuan dan kesatuan.
Dari hasil pertemuan Sanusi Pane dengan ayahnya dan tokoh-tokoh masyarakat di Padangsidempuan, Sanusi Pane kemudian berkenalan dengan Amir Syarifuddin Harahap. Tokoh asal Padangsidempuan yang baru pulang dari Belanda ini, berkawan karib dengan Sanusi Pane. Perkawanan mereka melahirkan gagasan pentingnya membangun persatuan dan kesatuan atas nama etnik, maka semua pemuda perantau asal Batak keluar dari Jong Sumatra Bond dan mendirikan Jong Batak Bond.
Membawa nama Jong Batak Bond, Sanusi Pane kemudian dinobatkan jadi pimpinan Kongres Pemuda I. Di dalam kongres ini, Sanusi Pane mengaskan sikapnya tentang masyarakt Timur yang terdiri dari beragam-ragam suku namun tetap harus menjaga persatuan dan kesatuan. Dia juga menjelaskan, keluarnya pemuda Batak dari Jong Sumatra Bond merupakan wujud dari keberagaaman, dan bukan akibat pertentangan. Lahirnya Jong Batak Bond untuk mempertegas bahwa keberagaman bukan penghalang untuk bersatu atas nama bangsa Indonesia.
Sanusi Pane adalah orang yang punya gagasan tentang pentingnya ada bahasa persatuan, dan bahasa Indonesia yang berakar dari bahasa Melayu menjadi alternatif, karena bahasa Melayu dipakai semua suku di Indonesia.
Sanoesi Pane mengatakan, politik bahasa penguasa Belanda yang membedakan antara Bahasa Melayu Tinggi dan Bahasa Melayu Rendah serta Bahasa Melayu-Riau dengan Bahasa Melayu-Pasar, tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Yang ada bagi Sanoesi Pane adalah pembedaan Bahasa Melayu Daerah, Bahasa Melayu Kesusastraan, dan Bahasa Melayu Perhubungan (komunikasi).
Sanoesi nyatakan bahwa sebelum VOC datang, Bahasa Melayu Komunikasi sudah berkembang di mana-mana di Indonesia. Pada zaman itu dia nyatakan, bahasa itu sudah bersifat Bahasa Indonesia. Karena pengaruh-pengaruh (kemajuan) Barat dan karena keinginan akan masyarakat baru maka di Indonesia terjadi perubahan bentuk masyarakat, pandangan hidup, dan semangat. Orang dengan sadar menumbuhkan Bahasa Indonesia dalam lapangan yang sudah disediakan oleh Bahasa Melayu Perhubungan (bahasa sehari-hari).
Di akhir kata Sanoesi Pane menyatakan bahwa Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa kebudayaan dan akan tumbuh dengan kebudayaan Indonesia. Tapi, gagasan Sanusi Pane ini seakan-akan milik tokoh yang menjadi pahlwan karena Sumpah Pemuda. Hal ini terjadi karena Sanusi Pane bukan orang yang ingin dikenang, sama seperti ayahnya, Sutan Pangurabaan Pane.
Sanusi Pane selalu mengutif kalimat ayahnya "saya bukan siapa-siapa" setiap kali ada orang yang bertanya tentang dirinya.