.

Bokor Hutasuhut, Sastrawan yang Berpolitik

item-thumbnail

Bokor Hutasuhut, sastrawan yang muncul sejak dekade 1950-an, punya peran tak sedikit dalam perkembangan kesusastraan di negeri ini. Novel Penakluk Ujung Dunia,  karyanya, merekam realitas lokal masyarakat Balige (Batak), membuat masyarakat luas semakin memahami realitas antropologi masyarakat ini.

Beberapa tahun pasca peristiwa 30 S PKI yang menjadi akhir dari polemic kebudayaan antara kubu sastrawan yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan sastrawan penandatangan Manifes (Manifestasi Kebudayaan), nama Bokor Hutasuhut sebagai salah seorang penggagas dan penandatangan  Manifestasi Kebudayaan bagai menghilang dari jagat kesusastraan di negeri ini.[1] Karya-karyanya, yang sering muncul di hampir semua media publikasi berupa majalah seperti Mimbar Indonesia, Sastra, dan lain sebagainya, semakin jarang dibaca. Bokor Hutasuhut bagai telah menarik diri dari hiruk-pikuk dunia kesusastraan Indonesia yang keras, penuh fitnah, dan ketegangan politik.  

Bokor Hutasuhut menulis kembali cerita bersambunganya, Pantai Barat,  yang pernah terbit di majalah Sastra. Dia juga menyusun ulang dua belas cerita pendekkan untuk menjadi buku dan diberi judul, Menyilang ke Utara. Manuskrip kumpulan cerita pendek Menyilang ke Utara dikirimkan ke sejumlah penerbit buku, hampir bersamaan dengan manuskrip novel Pantai Barat, dikirim ke berbagai penerbit buku. Bahkan, rekan-rekan Bokor Hutasuhut seperti HB Jassin, Ras Siregar, A.M. Hoeta Soehoet, dan banyak lagi sudah berusaha ikut mempromosikan manuskrip-manuskrip itu. Namun, tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkannya karena kondisi perekonomian nasional waktu itu sedang kurang bagus.

Menghadapi realitas kehidupan pasca peristiwa 1965 yang mengorbankan banyak hal, terutama perkawanan antarpengarang,  Bokor Hutasuhut  mulai berpikir untuk mencari sumber penghasilan lain. Namun, pertama-tama dia harus menikah untuk membangun keluarga. Bokor Hutasuhut kemudian merambah dunia usaha di bidang lain dan akhirnya tahun 1968 dia pulang kampung ke Sipirok untuk menikah dengan D. Sari Hafni Siregar asal Desa Parsorminan, Kecamatan Sipirok.  Dari pernikahan ini, Bokor Hutasuhut dikarunia empat orang anak: Irma Bulan Hutasuhut, Syamsul Wahidin Hutasuhut, Tama Alamsyah Hutasuhut, dan  Muhammad Layan Hutasuhut. 

 2


Bokor Hutasuhut adalah tokoh besar dalam kesusastraan Indonesia. Ia tidak hanya terlibat dan menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia sekaitan
  prahara budaya, tetapi juga menghasilkan karya-karya sastra yang membuka wawasan masyarakat pembaca di Indonesia tentang fungsi sebuah karya sastra sebagai perekan kondisi social budaya masyarakat.  Novelnya, Penakluk Ujung Dunia, diterbitkan tahun 1964 menjadi mahakarya Bokor Hutasuhut meskipun dia telah menulis dua novel lain, Tanah Kesayangan (1965) dan Pantai Barat (1988) serta cerita pendek yang terkumpul dalam buku Datang Malam (1963) dan ratusan cerita pendek lainnya yang berserakan di sejumlah majalah sejak dekade 1950-an. Sebagai sebuah mahakarya,  Penakluk Ujung Dunia jadi metafora bagi Bokor Hutasuhut untuk mendaku dirinya sebagai penakluk ujung dunia. [2]

Novel Penakluk Ujung Dunia berkisah tentang orang yang berhasil menaklukkan ujung dunia, dan Bokor Hutasuhut adalah seorang pengarang yang sangat biografis dalam menghasilkan karyanya.[3] Di dalam sebagian besar karyanya, pembaca seakan-akan melihat dua penggal hal yang sangat mendasar; sepenggal riwayat hidup Bokor Hutasuhut lengkap dengan alam di mana ia lahir dan besar, penggalan sisanya adalah imajinasi yang berfungsi sebagai bumbu agar riwayat hidup itu tidak kering saat dinikmati pembaca. Dalam novel ini, dua hal itu sangat kental. Bokor Hutasuhut merekam pengalaman pribadinya keluar-masuk ke perkampungan masyarakat Batak bersama ayahnya yang menjadi seorang mubaliq, dan pengalaman pribadi itu berupa mendapatkan cerita-cerita rakyat dari orang-orang yang ditemui terkait realitas antropologi masyarakat Batak yang ada di sekitar Danau Toba.

Dalam banyak cerita rakyat yang berkembang disebutkan, pernah pada suatu masa leluhur masyarakat Batak hidup untuk menyalakan peperangan terus-menerus, mencari komunitas-komunitas masyarakat adat yang lemah untuk diperangi agar tanah dan harta-benda mereka bisa dikuasai.  Peperangan menjadi pilihan utama untuk mempertahankan hidup yang sangat tergantung terhadap pemberian sumber daya alam.  Begitu juga sebaliknya, setiap komunitas masyarakat marga harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan berperang untuk menghadapi serbuan dari komunitas lain agar tidak kehilangan kehormatan dan hidup dalam penderitaan sebagai jappurut akibat kalah dalam peperangan.[4]

Bokor Hutasuhut yang lahir dan besar di Balige menyadari betul, masa lalu leluhur bangso Batak yang keras dan selalu berperang itu, erat kaitannya dengan  bonabulu (tanah kelahiran) atau tanah asal. Setiap komunitas masyarakat adat ditandai dengan adanya wilayah sendiri yang diatur oleh seorang pemimpin sebagai pemegang kekuasaan atas sistem yang diwarisi secara turun-temurun. Ketika tanah atau daerah suatu komunitas tidak bisa dipertahankan oleh pemiliknya karena kalah perang, maka komunitas itu akan punah. Kalau tidak punah atau saat perang mereka ditangkap (ditaban), seumur hidup mereka akan menyandang predikat sebagai keturunan jappurut, status sebagai budak kalah perang yang diperjualbelikan dan tidak memiliki hak-hak adat sesuai dengan hokum adat yang berlaku dalam komunitas masyarakat adat yang menahannya. Sampai sekarang, pada beberapa komunitas masyarakat adat bermarga Batak, masih ada trauma masa lalu akibat leluhurnya diperlakukan sebagai jappurut. 

Bokor Hutasuhut merekam sejarah bangso Batak yang selalu identik dengan tanah (lahan hidup). Tanah bagi orang Batak adalah tahta, kekuasaan, kehidupan, keutuhan, dan kasih sayang terhadap sesama. Sebuah komunitas masyarakat marga belum bisa disebut masyarakat bila tak punya bona (tempat tinggal) yang dalam bahasa umpasa (metaforik) disebut portibi atau banua, yaitu sepetak tanah di mana masyarakat membangun perkampungan, memiliki lahan pertanian, dan menata sistem sosialnya. Tapi Bokor Hutasuhut justru menciptakan Ronggur, tokoh utama dalam Penakluk Ujung Dunia, seorang anak muda yang berpikiran maju, yang menolak ikut berperang, dan mencarikan solusi dengan cara mencari tanah lain sebagai daerah baru. [5]

Pengalaman masa kecil Bokor Hutasuhut melahirkan gagasan tentang “kenapa harus berperang kalau yang diinginkan hanya tanah” dan “bukankah tanah bisa dicari dengan menemukan lahan baru”.  Gagasan dasarnya, merekam sejarah bangso Batak yang masyarakatnya selalu berpikir mencari inovasi dalam mengatasi persoalan kehidupan akibat daerahnya tak subur, sehingga yang dibutuhkan bangso Batak adalah mengubah pola pikir agar bisa mendapatkan solusi atas persoalan-persoalan krusial yang sedang dihadapi.

Novel Penakluk Ujung Dunia menampilkan tokoh yang berpikiran maju yang bertolak-belakang dengan masyarakatnya yang tradisional, dan kelahiran tokoh seperti ini erat kaitannya dengan sosok Bokor Hutasuhut yang mengikuti ayahnya berdakwa agama ke perkampungan-perkampungan untuk membuka pola pikir masyarakat. 

Dalam novel Tanah Kesayangan dan novel Pantai Barat, tokoh-tokoh Bokor Hutasuhut identik sebagai manusia  yang berpikiran maju, selalu punya alternative atas persoalan yang dihadapi, dan keluar dari mainstream yang kuat dipengaruhi tradisi.  Setiap novel Bokor Hutasuhut menegaskan, selain pentingnya tanah bagi bangso Batak, juga yang sangat penting adalah mengubah pola pikir agar tidak menderita (karena beban tradisi menjadi japuurut dalam Penankluk Ujung Dunia, atau dijajah Belanda dan Jepang dalam Tanah Kesayangan dan Pantai Barat) atau hidup miskin dan terbelakang. 

3


Selama “menghilang” dari dunia kreatif berkesusastraan, Bokor Hutasuhut menjadi pengusaha sembari mengumpulkan cerpen-cerpennya yang pernah disiarkan di media cetak. Manuskrip-manuskrip kumpulan cerita pendek Bokor Hutasuhut seperti
Menyilang ke Utara, Daerah Toba Danauku Sayang, Pecahan Yang Menggumpal,  dan Di Atas Sepeda. Sementara novelnya Pantai Barat, mulai menemukan penerbit.

Tahun 1980-an manuskrip Pantai Barat  ditawarkan para sastrawan Medan ke penerbit di Malaysia. Salah satu penerbit yang tertarik adalah  Penerbit Marwillis Publisher, Selangor, Malaysia Penerbit ini bermaksud menerbitkan manuskrip Pantai Barat dan beberapa novel Bokor Hutasuhut lainnya seperti Penakluk Ujung Dunia dan Tanah Kesayangan.  Namun, untuk Pantai Barat, penerbit memberi syarat ada revisi dari pengarang. Revisi tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan antara novel yang berlatar Tanah Batak yang mayoritas Kristen dengan pembaca Malaysia yang beragama Islam. Kesepakatan didapat, dengan mengganti isu gereja dengan bunyi loncengnya menjadi masjid dengan suara azannya. Jadilah novel ini diterbitkan pada tahun 1988 dengan judul tetap Pantai Barat.

Setelah novel Pantai Barat terbit, Bokor Hutasuhut kembali menulis untuk koran-koran di Medan. Pada dekade 1980-an Bokor Hutasuhut mulai sering keluar rumah dan bertemu kawan-kawan sastrawan. Waktu itu, dari Sumatra Utara muncul banyak nama sastrawan yang mengisi majalah sastra Horison seperti Sori Siregar, Pamusuk Eneste, Hamsad Rangkuti, B.Y. Tand, Zainuddin Tamir Koto, Damiri Mahmud, A. Rahim Qahar, Rusli A. Malem, AA Bungga, Herman KS, dan banyak nama lagi termasuk Saut Mangapul Situmorang—mahasiswa Universitas Sumatra Utara yang kelak memakai nama Saut Situmorang. 

Munculnya   sastrawan-sastrawan asal Sumatra Utara di majalah Horison membuat Sumatra Utara menjadi salah satu kiblat perkembangan karya sastra di Tanah Air tidak lepas dari sosok Bokor Hutasuhut. Keberangkatannya dari Medan ke Jakarta dan kemudian menjadi bagian terpenting dari sejarah kesusastraan nasional, tidak hanya membuat masyarakat Batak menjadi salah satu kebudayaan daerah yang mengundang perhatian public, tetapi juga menginspirasi generasi-gerasi muda di Sumatra Utara untuk menjadi sastrawan. Bokor Hutasuhut adalah sastrawan yang melanjutkan generasi lama yang sebelumnya sudah lebih dahulu menjadi fenomena dalam dunia kesusastraan nasional sejak era Merari Siregar (Sipirok), Armijn Pane dan Sanusi Pane (Sipirok), Amir Hamzah (Tanjung Pura), Chairil Anwar (Medan), Sitor Situmorang (Samosir), Bakri Siregar (Medan), Matu Mona (Medan), Bahrum Rangkuti (Medan), Bokor Hutasuhut (Balige), dan banyak nama lainnya. Keikutsertaan Bokor Hutasuhut kembali ke dunia sastra setelah menghilang hampir selama 1970-an, menambah gairah kesusastraan di Sumatra Utara.   

Pada Jumat, 4 Agustus 2017, Bokor Hutasuhut meninggal dunia.


Tulisan ini disampaikan Budi P Hutasuhut dalam acara "Tribute to Bokor Hutasuhut", salah satu agenda Balige Writers Festival 2023 di TB Silalahi Center, Balige, pada 27 Oktober 2023.



[1] Alexander Supartono merekam kembali polemic Lekra versus Manifesta Kebudayaan dalam skripsinya berjudul Lekra Vs Manipol untuk keperluan mendapatkan gelar sarjana di STF Dirkaryasa tahun 2000.  DS Muljanto dan Taufiq Ismail juga merekam apa yang mereka sebut prahara seputar polemic Lekra versus Manifestasi Kebudayaan di dalam buku  Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.,.

[2] Bokor Hutasuhut dalam percakapan dengan penulis sering mendaku dirinya sebagai: “penakluk ujung dunia”.

[3]  Kritikus sastra HB Jassin dalam tulisannya, “Bokor Hutasuhut Pengarang Romantik”, terbit di Mimbar Indonesia Nomor:3-4 Maret-April 1966 Tahun XX, menyebut realitas Bokor Hutasuhut adalah realitas romantic dan mengukur dunianya haruslah dengan realitas romantik.

[4] Sitor Situmorang membahas perang bius sebagai bagian dari sejarah antropologi masyarakat Batak di sekitar Danau Toba. , Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX (Cet-2),  2009, Jakarta : Komunitas Bambu.

[5] Budi P Hutasuhut, Historiografi Padang Sidimpuan, 2022. Penerbit Pustaha, Padang Sidimpuan

 

Lanjut baca »

Mengapa Tulisan Aku Ditolak Media

item-thumbnail

 Penulis: Budi P Hutasuhut |  Jurnalis Sinar Tabagsel



Mengapa tulisan yang aku kirim ke Sinar Tabagsel tidak satu pun yang dimuat atau dipublikasikan? 

Pertanyaan seperti itu, atau yang mirip seperti itu, yang intinya mempertanyakan kenapa tulisannya tidak disiarkan di Sinar Tabgsel, berkali-kali disampaikan para penulis. 

Tidak ada yang salah dengan pertanyaan seperti itu, atau tidak ada peraturan yang dilanggar jika para penulis mempertanyakan nasib hasil karyanya.  Itu hal yang wajar. Bahkan, sudah seharusnya seorang penulis mempertanyakan nasib karya tulisnya. 

Sebab itu, tulisan berikut ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Saya tidak berharap jawaban ini akan memuaskan semua orang yang bertanya, karena setiap orang berbeda antar satu dengan lainnya, dan dengan sendirinya berbeda pula tingkat kepuasannya atas sesuatu hal.

Saya mulai dengan menjelaskan tulisan yang bisa disiarkan di Sinar Tabagsel.  Sudah menjadi kesepakatan redaksi, tulisan dari para penulis di luar internal Sinar Tabagsel yang dapat disiarkan adalah puisi, cerpen, esai, opini, dan resensi buku. 

Tulisan-tulisan itu akan disiarkan di Sinar Tabgsel jika redaktur, pertama-tama, tidak menemukan kesalahan teknis dalam penulisan. Sebagai contoh, banyak tulisan yang dikirim ke redaksi tetapi tidak menerakan atau mencantumkan nama penulisnya, tidak pula memiliki alamat yang jelas dan nomor kontak yang bisa dihubungi. 

Kenapa perihal data-data penulis ini penting? Karena  menulis adalah laku berpikir, yang menghasilkan gagasan-gagasan penting dan orisinal, yang besar kemungkinan dapat membantu perikehidupan manusia. Sebagai gagasan, tulisan itu memiliki hak cipta dan hak intelektual yang melekat kepada penulisnya. 

Untuk menghargai para penulis, Sinar Tabagsel memutuskan tidak akan menyiarkan tulisan yang tidak mencantumkan nama penulisnya. Resikonya berkaitan tentang hukum, karena dikhawatirkan tulisan tersebut tidak orisinal, sehingga ada hak orang lain yang disalahgunakan. 

Dengan kata lain, pencantuman nama penulis berkaitan dengan pengakuan sah dari seorang penulis atas gagasan yang ada dalam tulisannya. Jika gagasan itu kemudian bertentang dengan hukum yang berlaku, sudah barang tentu penulis bersangkutan bertanggung jawab untuk menjelaskan gagasan yang disampaikannya.

Kesalahan teknis lainnya terjadi sebagai akibat dari ketidaktelitian dalam bekerja. Kesalahan-kesalahan dalam pemakaian bahasa Indonesia acap terjadi. Kesalahan yang fatal dalam berbahasa Indonesia sering disebabkan para penulis memasukkan bahasa lisan (sehari-hari) ke dalam bahasa tulisan, yang menunjukkan bahwa penulis bersangkutan kurang menguasai bahasa Indonesia yang baik dengan ejaan yang baik. 

Ketidaktelitian dalam berbahasa Indonesia sering juga disebabkan si penulis terlalu cepat merasa puas atas hasil kerjanya. Dia tidak bertindak sebagai editor atas hasil tulisannya. Seorang penulis seharusnya merangkap sebagai editor, yakni orang yang melakukan kerja pengeditan terhadap tulisan. Kerja seorang editor tidak hanya mengurusi perkara bahasa, tetapi juga perkara logika berbahasa. Contohnya, jika dalam tata bahasa Indonesia ada logika berbahasa yang disebut diterangkan menerangkan, maka seorang editor mesti melakukan pengeditan (bila perlu menghapus) logika berbahasa yang terbalik, atau diterangkan menerangkan. 

Kesalahan lain yang sering kami temui dalam tulisan yang dikirim, terkait dengan tema yang dibicarakan. Sebagian besar penulis, menulis tema yang tidak dikuasainya dengan sangat baik. Pengetahuannya tentang tema yang ditulisnya tidak dipupuk atau ditingkatkan dengan ragam bacaan yang menjadi referensi, sehingga pembabaran atau analisis yang disampaikan terhadap persoalan yang dipersoalkan menjadi sangat dangkal, hanya membicarakan tingkat permukaan. 

Tulisan yang hanya bermain-main di permukaan dari persoalan tidak akan membawa manfaat terhadap pembaca, sehingga seorang penulis disyaratkan mesti menggali lagi lebih dalam ke inti dan subtansi dari persoalan-persoalan yang dibicarakan. 

Intinya, pekerjaan menulis merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketekunan, ketelitian, kedalaman, dan semua itu dilakukan dengan riang gembira. Pada akhirnya, semua tulisan bertujuan untuk menghibur para pembaca. Menghibur secara cerdas. Sebab, seseorang yang bisa menangkap makna dari sebuah tulisan akan merasa senang dan terhibur setelah membaca tulisan tersebut.

 

Lanjut baca »

Jejak Sejarah Kritik Sastra Kita

item-thumbnail

Penulis Budi Hatees | seorang esais

Sastra berbahasa Angkola, novel Toelbok Haleon karya Soetan Pangoerabaan, ayah dari Sanusi Pane dan Armijn Pane, yang ditulis 1909, jauh sebelum sastra Indonesia mengenal Angkatan Balai Pustaka atau sebelum Merari Siregar menulis novel Azab dan Sengsara.  

Kritik sastra kita masih seperti pada zaman generasi Pujangga Baru.  Kita membaca tulisan-tulisan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan J. E. Tatengkeng yang diterbitkan di majalah Pujangga Baru. Bentuknya berupa  resensi buku atau tinjauan buku, berisi apresiasi pribadi penulisnya terhadap karya sastra (buku) yang sifatnya impresionistik. Semacam fragmen pendek yang tak mendalam penggarapannya.

Selain tidak kita temukan sebuah metodelogi dengan pisau bedah yang tajam hingga tulisan-tulisan mereka mampu mengungkapkan apa yang disampaikan dan tidak disampaikan sastrawan, tulisan-tulisan itu terkesan dibuat untuk mendukung tujuan-tujuan politik tertentu.  Tujuan-tujuan politik dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan situasi zaman pada era itu, dekade 1920-an atau 1930-an, saat bangsa kita belum bernama Republi Indonesia. 

Tujuan-tujuan politik yang tampak adalah politik identitas. Pada era Pujangga Baru, era ketika mulai banyak kaum intelektual terdidik yang lahir dari lembaga  pendidikan formal yang diselenggarakan kolonialis, manusia dihantui oleh pendapat global yang melihat dan mengaakui eksistensi manusia lain karena pendidikan formal yang diterimanya. 

Saat itu, mereka yang berpikir seperti Eropa (dengan sendirinya penjajah) dianggap sebagai manusia paripurna karena hidup tercerahkan. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang menganggap makan sirih sebagai perilaku barbar, dan menyajikan wiski kepada tamu sebagai gaya hidup baru. Mereka sibuk dengan urusan penampilan pribadi, memakai pantalon dan jas warna putih, dan tak terlalu perduli kenapa orang di luar rumah masih banyak yang tak memakai baju. 

Orang-orang terdidik dalam lembaga pendidikan buatan kolonial, memposisikan dirinya sekaligus diposisikan masyarakatnya pada level kelas sosial yang tinggi. Mereka semacam aristokrat di Eropa, yang berbicara tentang berapa keuntungan yang diperoleh dari perkebunan tembakau di Sumatra Timur tetapi tidak pernah bertanya berapa kali kuli kontrak mendapat cambukan dipunggungnya hanya untuk menghasilkan sekotak tembakau.

Mereka, kaum intelektual yang keintelektualannya selalu dimulai dan ditandai dengan menjadi penulis karya sastra,  memiliki tujuan politik yang belum tegas tentang bentuk sebuah bangsa merdeka dari kolonialisme, meskipun mereka sudah role model nasionalisme sebagaimana diwariskan dr. Budi Utomo pada 1908.  Namun, nasionalisme Budi Utomo itu,  bukan gagasan yang menjadi tanggung jawab bersama para intelektual. 

Pasca 1908, pada saat pencerahan Eropa menjadi ekspektasi pribadi para intelektual,  Sutan Takdir Alisjahbana kemudian menulis tentang pentingnya pengembangan kebudayaan berorientasi ke Barat karena peradaban manusia sudah berkembang pesat di Barat akibat penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan. Segala sesuatu kemudian menjadi kehilangan subtansinya manakala Sanusi Pane menegaskan pentingnya kebudayaan berorientasi ke Timur, yang akhirnya melahirkan polemik berkepanjangan tentang Barat versus Timur.  

Polemik Barat versus Timur menjauh dari semangat nasionalisme Budi Utomo, membuat para intelektual yang seharusnya melahirkan gagasan-gagasan lanjutan untuk mengkonstruksikan apa itu nasionalisme dan bagaimana membangkitkannya, justru terfragmentasi ke dalam kubu-kubu yang mendukung jalan pikiran Sutan Takdir Alisjahbana dan yang mendukung orientasi Sanusi Pane. Fragmentasi ini tak hanya terjadi dalam pemikiran kebudayaan, tapi juga mempengaruhi arah apresiasi karya sastra.  

Sutan Takdir Alisjahbana mengkritik sajak-sajak dan naskah drama Sanusi Pane lewat perspektif seseorang yang menginginkan perkembangan kebudayaan berorientasi ke Barat. Dia menyebut Sanusi Pane hanya merayakan tradisi Timur sehingga menjauh dari dinamika peradaban modern. Tak mau kalah, Sanusi Pane mengkritik karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagai tak berakar di lingkungan masyarakatnya, terutama karena tokoh-tokoh dalam novelnya, Layar Terkembang, merupakan karya yang mengadobsi sastra Belanda. 

Polemik kebudayaan itu terjadi pada dekade 1930-an, dua tahun setelah emberio Indonesia disepakati para pemuda lewat Kongres Pemuda Indonesia ke-2 yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.  Peristiwa Sumpah Pemuda sesungguhnya anak tangga berikutnya setelah dr. Budi Utomo memperkenalkan nasionalisme pada 1908. Namun, polemik kebudayaan menyebabkan tindaklanjut dari tiga poin penting dalam Sumapah Pemuda itu jadi terabaikan. Frasa “Tanah Air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”  kemudian terabaikan, seakan-akan peristiwa Sumpah Pemuda itu tidak pernah terjadi. 

Dari empat nama sastrawan Pujangga Baru yang menulis kritik sastra (kita sebut saja tulisan mereka sebagai jejak awal kritik sastra), mereka terpolarisasi ke dalam dua kubu berseberangan dengan orientasi budaya yang bertolak belakang. Sutan Takdir Alisjahbana pembawa semangat moderenisasi yang memuja Eropa (Barat), dan Sanusi Pane pemuja Timur.  Mereka sibuk saling mengejek karya. Takdir meremehkan novel Belenggu karya Armijn Pane dan drama-drama Sanusi Pane sebagai tidak bersemangat membangun zaman. Sementara Armijn Pane dan Sanusi Pane mengejek Layar Terkembang, novel yang ditulis Takdir, sebagai tidak sesuai jiwa orang Timur. 

Sejarah kritik sastra kita diletakkan pertama kali sebagai alat untuk mengejek dan saling menjatuhkan. Pertarungan kubu Takdir versus kubu Sanusi merembet kepada persolan lain, kait-berkait dengan masalah lain. Padahal, kedua kubu itu sama-sama tidak bisa dibela karena mereka mengabaikan orang banyak yang hidup dalam tekanan kolonialisme Belanda.  Kedua kubu terlalu sibuk dengan orientasi Barat versus Timur, tapi lupa bahwa mereka hanyalah rakyat dari sebuah bangsa yang dijajah oleh kolonialisme.

Meningkat ke pasca Pujangga Baru,  kritik sastra kita masih belum bergeser dari perkara non-sastra. Pertarungan antara sastrawan senior yang menjadi pendukung kekuasaan Jepang versus sastrawan junior yang tidak diperhitungkan,  merembet ke perkara-perkara non-sastra.  Kritik sastra masa itu masih melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh tua dunia sastra, yang mengkritik sajak-sajak Chairil Anwar sebagai mirip rujak (enak dimakan tapi tak perlu). Kritik yang dibalas Chairil Anwar dengan menyebut Pujangga Baru sebagai masa lalu, meskipun Chairil Anwar sendiri bersepakat dengan gagasan Takdir yang berorientasi ke Barat.

Setelah Jepang kalah, kritik sastra kita memasuki priode baru dengan lahirnya tulisan-tulisan HB Jassin. Tapi, masih seperti tulisan era Pujangga Baru, sifatnya hanya berupa apresiasi yang impresionistik.  Bedanya, Jassin mulai memperkenalkan kritik sastra yang punya hasrat untuk mengungkapkan apa yang ditulis dan tidak ditulis oleh sastrawan.  Jassin berorientasi untuk memperkenalkan sastra dan sastrawan kepada masyarakat, tapi kurang mengelaborasi untuk apa sastra dibaca oleh masyarakat.

Dampak upaya Jassin, karya sastra makin banyak ditulis dan regenerasi sastrawan terjadi.  Nama-nama sastrawan baru bermunculan seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer,  Idrus, Asrul Sani, Rivai Avin, Bakri Siregar, Achidiat K Mihardja, M. Balfas, dan lain sebagainya.  Nama-nama ini kemudian mengambil alih peran sastrawan Pujangga Baru yang sudah menjadi masa lalu. Sajak-sajak Chairil Anwar, novel-novel Pramoedya Ananta Toer, dan cerpen-cerpen Idrus menyebabkan karya-karya sastrawan Pujangga Baru tidak lagi dibaca.  Namun, kritik sastra terhadap karya-karya sastra yang fenomenal itu, masih saja belum bergeser dari sejarah kritik sastra yang dibawa generasi Pujangga Baru.  

Sajak Chairil Anwar tidak dibicarakan sebagai persoalan teks sastra, tetapi sebagai persoalan pribadi Chairil Anwar selaku “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”.  Novel-novel Pramoedya Ananta Toer tidak dibicarakan sebagai persoalan teks sastra, tetapi sebagai pribadi Pramoedya yang mengalami kepahitan hidup karena sering keluar masuk penjara.  

Dunia sastra kita berkembang pesat (kalau memang berkembang) dengan produksi karya sastra berlimpah. Regenerasi sastrawan tidak pernah berhenti. Tapi, kritik sastra kita menunjukkan gejala mengalami stagnasi karena grafik pertumbuhannya jomplang jika dibandingkan grafik pertumbuhan karya sastra. Jumlah kritik sastra kita tidak signifikan. Bila kita baca kritik sastra yang sedikit itu, isinya tidak bergeser dari apa yang pernah dipersoalkan di masa lalu,  yang menyebabkan rendahnya wibawa kritik sastra di masyarakat.  

Wiratmo Sukito pernah menulis esai, “Kegagalan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini", di  Harian Kami edisi 30 Oktober 1968, dan mengatakan penyebab rendahnya wibawa kritik sastra karena “kekuatan politik masih tetap digunakan untuk menentukan kritik sastra”.  

Pernyataan tersebut muncul setelah Wiratmo Sukito menghadapi realitas kritik sastra dan realitas rumah tangga kesusastraan kita pada dekade 1950 dan 1960-an ketika para sastrawan terpolarisasi ke dalam dua kubu yang berseberangan: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) versus Surat Kepercayaan Gelanggang (Gelanggang). Pada masa itu, setiap kubu memperjuangkan kekuatan politik dari partai politik yang menjadi afiliasinya, dan tidak menyadari bahwa mereka sama-sama telah melakukan kesalahan fatal dengan tidak memposisikan karya sastra sebagai persoalan teks sastra. 

Mereka mengabaikan pentingnya teks sastra dalam setiap pembicaraan tentang karya sastra, lalu memposisikan para sastrawan dalam isme-isme sebagai pusat segala pembicaraan tentang kesusastraan. Pramoedya dan kawan-kawan kemudian identik dengan Lekra, lalu Asrul Sani dan kawan-kawan identik dengan Gelanggang.  Pramoedya membicarakan seni harus membawa semangat realisme sosial dan bertendensi politis, sementara Asrul Sani mengusung seni humanis universal dan bertendi politik.

Lebih dua dekade kedua kubu ini bertarung sangat keras. Setiap kubu saling menjatuhkan, saling serang fisik dan mental. Pemikiran sastra direduksi menjadi strategi politik yang berimbas ke berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dampaknya, karya-karya sastra dibakar dan dilarang dibaca.  Banyak karya kubu Pramoedya yang hilang, begitu juga karya kubu Gelanggang. 

Kritik sastra pada masa ini tidak lebih dari propaganda politik untuk memperjuangkan semangat kubu sekaligus untuk menjatuhkan kubu lawan.  Namun, pada dasarnya, persoalan yang dipersoalkan kedua kubu ini nyaris tak berbeda, dan sesungguhnya kedua kubu ini tanpa sadar juga saling memuji.  

Sejarah kritik sastra kita tidak berlebihan bila disebut sejarah pertarungan sastrawan versus sastrawan. Pertarungan yang tidak berlangsung di wilayah sastra, tetapi melebar ke wilayah non-sastra, dan sering berakhir jadi persoalan politik. Kondisi seperti ini terus berlangsung sampai sekarang, di mana para sastrawan terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan kelompoknya. 

Bedanya, para sastrawan tidak lagi berafiliasi politik dengan orientasi untuk memperjuangkan isme tertentu, tetapi sastrawan hari ini lebih luas lagi wilayah garapannya. Mereka berkubu-kubu untuk memulus tujuan-tujuan ekonomi dengan melakukan strategi-strategi  perjuangan yang dikesankan seakan-akan bicara soal teks sastra.

Ada sastrawan yang memilih menjadi juru bicara dari moderenisme, ada yang anti-moderenisme. Semua yang dibicarakan pada akhirnya tergantung pada kepentingan siapa yang akan diperjuangkan.  Jika kepentingan itu terkait orientasi bisnis dari kapitalis, maka sastrawan tidak sungkan-sungkan akan menulis karya sastra yang memuluskan langkah kapitalis tersebut.  Kritik sastra pun diarahkan untuk memuluskan langkah tersebut.

Bagaimana dengan posisi public sastra? Bagi mereka, public pembaca hanya bagian dari pasar karya sastra yang bisa ditangani sebagaimana para konsumen dengan gampang dimanjakan oleh iklan. Karya-karya sastra pada akhirnya hanyalah produk barang yang diproduksi untuk konsumen. 


Lanjut baca »

Lahir Seorang Besar dan Tenggelam Beratus Ribu

item-thumbnail
Oleh: Asep Sambodja |  Seorang sastrawan

Ketika saya mendapat pesan singkat dari Saut Situmorang bahwa buku puisinya, Otobiografi telah terbit, saya sedang berada di kereta Taksaka menuju Yogyakarta. Dan saya memutuskan untuk segera mencari buku itu begitu sampai. Keesokan harinya, saya kesusahan mencari buku itu di Toko Buku Social Agency Kaliurang yang terkenal murah itu. Setelah lelah mencari, akhirnya saya meminta bantuan petugas untuk mencarikan di komputernya. Ternyata buku Otobiografi Saut Situmorang itu diletakkan di rak buku sejarah, berdekatan dengan biografi Tan Malaka dan Pengantar Ilmu Sejarah Kuntowijoyo.


Memang kalau kita lihat cover buku itu sama sekali tidak ada informasi yang menjelaskan kepada pembaca bahwa buku Otobiografi merupakan buku puisi. Nama Saut Situmorang baru dikenal di kalangan penyair, namun tidak semua orang di republik ini mengenalnya sebagai penyair, termasuk pedagang buku di Social Agency, Gunung Agung, Toga Mas, dan Gramedia. Makanya, tidak heran kalau bukunya diletakkan di deretan buku-buku biografi yang kebanyakan berisi tokoh-tokoh politik itu. 

Foto Saut Situmorang kecil yang terpampang di cover depan dan Saut Situmorang besar di cover belakang rupanya tidak banyak membantu untuk menjelaskan kepada pedagang-pedagang buku itu bahwa Otobiografi karya Saut Situmorang sesungguhnya buku puisi dan bukan buku biografi biasa.
Begitulah. Begitu buku ini lahir, ternyata sudah disalahpahami. Namun, itulah Saut Situmorang, penyair yang lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara, 29 Juni 1966. Cukup banyak pikiran, tindakan, dan ucapannya yang menggelisahkan dan disalahpahami banyak orang. Dalam pengantar buku ini, nama pertama yang langsung dikritiknya adalah Nirwan Dewanto, sastrawan dari komunitas Teater Utan Kayu (TUK) dan Salihara, yang mengatakan bahwa novelis Ayu Utami tidak terlahir dari sejarah sastra Indonesia. Pernyataan Nirwan tersebut seolah-olah ingin mengatakan bahwa Ayu Utami turun dari langit ke tujuh begitu saja.

Pernyataan Nirwan itu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan beruntun Saut yang kritis: Mungkinkah seorang sastrawan tidak terlahir dari sejarah sastra nasionalnya sendiri, sementara dia memakai bahasa nasionalnya sebagai media ekspresi sastranya? Bisakah seorang sastrawan memasabodohkan sejarah sastra nasionalnya sendiri? Kalau benar Ayu Utami terlahir bukan dari sejarah sastra Indonesia, lantas dari mana dia berasal? Dan kenapa dia masih menganggap perlu menulis dalam bahasa Indonesia, yang merupakan bahasa ekspresi dari sastra Indonesia itu, dan bukan dalam bahasa Inggris, misalnya? (hlm. 11).

Dalam pengantar itu pula, bisa kita baca, bahwa Saut Situmorang sangat sadar posisinya sebagai penyair. Tiga alinea terakhir dari pengantarnya itu secara tidak langsung memperlihatkan kredonya sebagai seorang penyair. Saut mengatakan, “Penyair 1990-an tidak lagi berusaha untuk menjadi pemusik atau pelukis waktu menulis puisi, tapi hanya untuk menjadi penyair.” Selain itu, katanya, “Sebuah motif dominan lain pada puisi penyair 1990-an adalah politik. Para penyair 1990-an tidak lagi tabu atau malu-malu untuk mempuisikan politik, mempolitikkan puisi, malah justru pada periode inilah puisi politik mencapai puncak ekspresi artistiknya yang melampaui apa yang sebelumnya dikenal sebagai sajak protes dan pamflet penyair seperti pada puisi Wiji Thukul.” (hlm. 17). Meski Saut menyebutnya “Penyair 1990-an” namun saya menangkapnya termasuk Saut di dalamnya.

Dari sinilah saya mencoba memahami puisi-puisi Saut Situmorang dalam Otobiografi dengan perspektif postkolonialisme. Arief Budiman (2006) dalam buku Kebebasan, Negara, Pembangunan mengatakan sejak Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) lahir pada 17 Agustus 1950, politik masuk demikian jauh ke dalam sastra Indonesia. Dengan konsep “seni untuk rakyat” dan “politik adalah panglima” sastrawan-sastrawan Lekra memproduksi karya-karya mereka dengan benar-benar mengamati kenyataan yang terjadi di lingkungan masyarakatnya. Hal ini dimungkinkan karena mereka diwajibkan “turba” atau turun ke bawah atau turun ke lapangan dan langsung menghayati kehidupan rakyatnya.

Pernyataan Arief Budiman tersebut sejalan dengan pernyataan Joebaar Ajoeb yang dikutip dalam buku Lekra Tak Membakar Buku yang dieditori Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan (2008), yang mengatakan sastrawan harus berpolitik, bahkan seharusnya masuk ke dalam partai politik. Sebab, kata Joebaar, kalau sastrawan tidak berpolitik, maka “politik yang akan mencampuri sastrawan”.

Saya tidak sepenuhnya setuju dengan Joebaar Ajoeb. Kalau sastrawan harus mengerti politik, itu sudah pada tempatnya. Tapi, kalau sastrawan diharuskan masuk partai politik, maka saya tidak setuju karena ada kecenderungan orang yang masuk ke dalam sebuah partai politik akan beradaptasi dengan ideologi partai, yang terkadang harus meminggirkan nurani. Ada kecenderungan pula kalau kita masuk partai politik, kita akan seperti “memakai kacamata kuda”. Apa yang ditulis dan dilakukan Saut Situmorang jelas berwawasan politik, tapi setahu saya dia tidak berpartai. Ia independen.

Dalam buku ini, Saut memasukkan puisi-puisinya ke dalam tiga bagian, yakni Cinta, Politik, dan Rantau. Dalam kesempatan ini, saya akan memfokuskan perhatian saya pada puisi-puisinya yang terhimpun dalam bagian Politik. Puisi-puisinya yang terhimpun dalam Cinta dan Rantau akan dibicarakan dalam kesempatan lain. Dengan demikian saya akui bahwa pembicaraan ini masih belum komprehensif benar. Dan sangat kebetulan bahwa sebagian besar puisinya yang terhimpun dalam payung Politik itu pernah dimuat di buku puisinya, Catatan Subversif (2004). Dalam tulisan saya sebelumnya, “Kontroversi KLA 2008”, saya mengatakan Saut Situmorang berhak mendapat penghargaan KLA 2008 karena puisi-puisinya bergizi. Yang saya maksud adalah puisi-puisinya yang terhimpun dalam payung Politik ini.

Menurut saya, buku Otobiografi Saut Situmorang inilah yang bisa mengungguli buku himpunan puisi Jantung Lebah Ratu karya Nirwan Dewanto (2008) dalam hal merebut penghargaan Khatulistiwa Literary Award 2008. Sayang, Saut Situmorang menolak dinilai oleh dewan juri KLA yang menurutnya tidak jelas dan tidak menyehatkan dunia sastra Indonesia itu. Perbandingan antara Saut Situmorang dengan Nirwan Dewanto secara detail akan dibicarakan dalam kesempatan lain pula. Tulisan pendek ini hanya akan mencoba membaca ideologi Saut Situmorang sebagai penyair Indonesia modern, yang memulai menuliskan karyanya pada 1990-an.

Marsinah, Wiji Thukul, Munir

Cukup banyak pokok dan tokoh yang tercatat di media massa. Kalau menggunakan perspektif jurnalisme, nama tokoh yang tercatat itu setidaknya memiliki daya tarik, nilai jual, penting di mata pembaca, atau dengan kata lain tokoh itu layak berita. Sekarang tergantung media yang akan memuatnya: dia akan menempatkan tokoh itu sebagai pahlawan atau pecundang? Saya pikir pers yang masih memiliki idealisme akan berusaha melihat segala sesuatu secara objektif dan proporsional dengan berpegang pada prinsip cover both side.

Dengan mengangkat tiga tokoh, yakni Marsinah, Wiji Thukul, dan Munir, dan menangkap message yang disampaikan Saut Situmorang melalui puisi-puisinya, jelas bahwa ia ingin melihat sebuah peristiwa dengan sudut pandang korban kekuasaan. Kebetulan bahwa ketiga tokoh tersebut adalah korban tindak kekerasan dari kaki tangan penguasa Rezim Orde Baru. Ketiganya mati setelah bersuara. Marsinah sebagai buruh pabrik arloji di Sidoarjo bersuara meminta kenaikan upah sebesar Rp550,- agar sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) Jawa Timur, namun ia diciduk aparat dan mati setelah mengalami proses penganiayaan di selangkangannya.

Wiji Thukul sebagai penyair menyuarakan kehidupannya sendiri, mempertanyakan ketimpangan sosial yang dialaminya, menggugat, dan kemudian sampai pada pencapaian estetis yang luar biasa melalui puisi “Peringatan”, dengan kata-kata yang berjiwa, “hanya ada satu kata: lawan!” Kemudian pasca peristiwa 27 Juli 1996, ia dikejar-kejar aparat karena partainya, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dijadikan kambing hitam dalam peristiwa perebutan Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Wiji Thukul diculik dan setelah itu orang-orang menduga bahwa ia telah mati dibunuh.

Munir pun bersuara membela orang-orang tertindas. Mulai dari membela buruh, aktivis yang diculik, hingga korban peristiwa Tanjung Priok 1984, korban Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh 1989-1998, hingga korban Tragedi ’65. Ketika hendak kuliah pascasarjana di Belanda, ia mati sahid karena diracun di pesawat Garuda Indonesia Airways yang membawanya belajar ke Belanda. Munir pun mati. Orang-orang yang bersuara kritis mati.

Bagaimana Saut Situmorang memotret peristiwa itu? Dengan keberanian seperti apa Saut Situmorang menempatkan ketiga nama itu sebagai tokoh? Kalau Sapardi Djoko Damono menulis puisi “Dongeng Marsinah” dalam buku Ayat-ayat Api (2000) dengan bahasa metaforis dan terasa sangat ironis, bagaimana dengan Saut Situmorang? Saya kira “kredo” yang ditulisnya di pengantar buku Otobiografi ada di sini.

Marsinah

dari luka luka tubuhmu
tercipta bintang bintang
setiap bintang adalah sajak
yang mengabadikan suaramu

perempuan muda yang berani itu
mati terbunuh.
kenapa?

tubuhnya yang indah yang suci
rusak
ternodai—kematian yang laknat
menghancurkan
beribu doa ibu yang tinggal termangu.
kenapa?

perempuan muda yang berani angkat suara
karena tak adilnya matahari yang menyengat muka
perempuan bernama marsinah itu
mati dibunuh

dibunuh seperti kambing hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti babi hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti anjing hitam yang cuma binatang
dibunuh seperti cuma seekor binatang!

kenapa lobang tanah yang sempit yang hitam
lebih menerima seorang manusia yang perempuan
dibanding kita makhluk yang lebih tinggi dari
malaikat tuhan?

seorang perempuan muda
mati
hanya karena berani.

terlalu tinggi dia

bagi kita
yang terkutuk hidup
sebagai

pengecut!

Penyair Saut Situmorang sampai pada kesimpulan bahwa perempuan muda itu mati karena berani, dan kita yang hidup di negeri ini tak lebih dari sekadar manusia pengecut. Puisi yang bermuatan politik ini memang tak menuding pelaku kekerasan itu secara jelas, sama halnya dengan puisi Sapardi, namun pembaca bisa menafsirkannya karena puisi tersebut sarat dengan pertanyaan dan gugatan yang bersandarkan pada nurani. Kedudukan Marsinah yang direndahkan oleh aparat keamanan Sidoarjo ditinggikan atau dipulihkan kehormatannya oleh Saut Situmorang. Repetisi yang digunakan Saut Situmorang dalam puisi ini dan juga dalam puisi-puisinya yang lain menguatkan pesan yang ingin disampaikan penyair.

Saya teringat dengan pernyataan Harry Aveling ketika ia bicara mengenai puisi Indonesia modern 1990-an. Sebenarnya Harry Aveling (2003) sudah cukup bagus menjelaskan puisi Indonesia di masa Orde Baru dalam bukunya, Rahasia Membutuhkan Kata: Puisi Indonesia 1966-1998. Namun, saat mengisi waktu senggang di ruang Program Studi Indonesia FIB UI tetap saja saya tanyakan mengenai puisi-puisi 1990-an itu. Dan, jawabannya sangat sederhana, yakni “kecenderungan puisi Indonesia 1990-an sama seperti lukisan di cover buku Saut Situmorang yang berjudul Catatan Subversif.”

Sepulang dari kampus, saya mencoba melihat kembali cover buku itu, yang ternyata lukisan Edvard Munch yang berjudul “Scream” (1893). Dalam lukisan itu, tampak wajah seseorang yang merasa ketakutan, dan tidak jauh di belakangnya tampak dua sosok manusia—yang membuatnya takut. Saya menafsir gambar itu sebagai sesuatu yang menggambarkan suasana suram, yang di antaranya mengakibatkan siapa pun takut untuk bersuara. Ini, di kemudian hari, tertera dengan cukup jelas dalam pengantar buku Otobiografi (2008). Ada persamaan antara pernyataan Harry Aveling dengan pengantar Saut Situmorang itu.

Puisi yang bertendens semacam ini terkadang bisa menjebak penyairnya menulis sajak-sajak pamflet atau sajak-sajak protes yang mirip poster-poster demonstran. Tapi, bagaimanapun sajak-sajak semacam ini memang punya hak hidup yang sama dengan puisi lainnya. Hal ini sangat bergantung pada konteks yang melahirkannya. Karena, sebuah puisi protes bisa lahir akibat kemampatan politik atau karena pemberantasan korupsi yang mengalami stagnasi terus-menerus, misalnya.

Lihat sajak “Peringatan Rakyat” Saut yang semua isinya bertuliskan dengan huruf kapital: KORUPSI DAPAT MENYEBABKAN KANKER, SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN. Menurut saya, puisi sederhana ini bicara sangat banyak. Puisi ini saya sukai, meskipun diambil begitu saja dari pelarangan yang melekat di bungkus rokok—yang ternyata sangat tidak penting dan bisa dihiraukan begitu saja itu—namun memiliki makna yang dalam.

catatan subversif tahun 1998

—disebabkan oleh Wiji Thukul

kau adalah kemarau panjang
yang hanya membawa kematian
kepada daun, bunga, dan
ikan ikan di sungai
kampung tercinta

karena kau adalah kemarau
maka airmata marah kami akan
menggenangi bumi
jadi embun
naik ke langit jadi awan awan
dan dengarlah gemuruh suara kami
sebagai hujan turun

mengusirmu dari sini!

maret 1998

Puisi “Catatan Subversif tahun 1998” ditulis sebelum lengsernya Soeharto. Keterpurukan ekonomi pada 1997-1998 dan demonstrasi mahasiswa memaksa Soeharto hengkang dari singgasananya pada 21 Mei 1998. Dalam suasana semacam itu Saut Situmorang menulis puisi yang “disebabkan oleh Wiji Thukul”. Kita tahu bahwa Wiji Thukul “menghilang” pascaperistiwa 27 Juli 1996 (“Kuda Tuli”—Kasus Dua Tujuh Juli), dan dia dikenal sebagai penyair yang berani, sama seperti Saut Situmorang ini. Kepenyairan Wiji Thukul yang penuh totalitas itu, yang menyebabkan dia harus ditempatkan sebagai orang yang harus dihapus oleh negara, menyebabkan Wiji Thukul sebagai penyair besar yang menenggelamkan banyak nama seangkatannya. Keberanian. Itulah faktor kebesaran Wiji Thukul. “Kalau takut, jangan jadi pengarang!” kata Pramoedya Ananta Toer suatu kali.

Dalam puisi ini, Saut ingin menegaskan bahwa kau (‘penguasa’) sebagai penyebab kematian “daun”, “bunga”, dan “ikan-ikan” (yang melambangkan keberagaman masyarakat) di negeri ini. Dan karena itulah kami (‘rakyat’) berupaya menghimpun penderitaan yang dialaminya menjadi kekuatan untuk menggulingkan kekuasaan. Keberanian Wiji Thukul sebagai seorang penyair menempatkannya di posisi yang terhormat dalam sejarah sastra Indonesia. Ulasan yang cukup panjang mengenai Wiji Thukul sudah saya tuliskan dalam artikel “Wiji Thukul: Sekali Berarti, Sudah Itu Mati”, yang dimuat dalam buku Kebenaran akan Terus Hidup yang dieditori Wilson (2007).

Namun, satu hal yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwa sejatinya seorang penyair atau sastrawan atau seniman pada umumnya harus melihat dan “membaca” kenyataan di sekitarnya. Inilah yang pernah disarankan oleh Arief Budiman dan Ariel Heryanto mengenai sastra kontekstual, dan dalam beberapa hal pernah disinggung sastrawan Lekra sebagai “sastra untuk rakyat”, yang menyarankan semua sastrawannya untuk benar-benar memahami dan merasakan kehidupan rakyatnya.

Tugas sastrawan kemudian adalah menyuarakannya dalam bentuk karya sesuai dengan hati nurani rakyat (hanura). Saut Situmorang telah melakukannya dengan baik. Dalam kesempatan ini pula saya ingin menggarisbawahi pernyataan Seno Gumira Ajidarma, “Ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara!”. Pernyataan Seno itu menempatkan sastra sebagai sesuatu yang penting dan berarti dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang diucapkan Seno itu mewujud dalam sebagian besar karyanya hingga terbaca dalam cerpen terbarunya, “Ibu yang Anaknya Diculik Itu”, yang dimuat Kompas, 16 November 2008. Meskipun demikian, ini tidak berarti saya mengharamkan atau menafikan karya sastra yang bicara tentang cinta ataupun eksistensialisme.

Puisi Saut yang juga ditujukan untuk Wiji Thukul, “Sajak Mimpi”, yang merupakan puisi eksperimental itu lebih mendeskripsikan mengenai Indonesia dan keberagaman yang terkandung di dalamnya. Indonesia digambarkan sebagai negeri impian yang di dalamnya ada keindahan, namun ada pula kekerasan. Hidup di negeri impian memang terkadang membuat kita tidak sadar dan kurang waspada. Hari ini kita bisa bermain-main, esok hari kita ternyata sudah mati. “Indonesia adalah mimpi di mana aku tak perlu lagi bermimpi seperti ini!” kata Saut Situmorang (hlm. 171).

Parabel

: Mengenang Munir

seorang bocah laki laki
main layangan
di lapangan

langit biru
angin berhembus sejuk
layangan meliuk indah
di atas ladang sawah

angin tiba tiba meniup kencang
langit mendung gelap
seekor burung garuda raksasa
muncul dari balik awan
menyambar bocah laki laki itu

dan melarikannya ke ujung cakrawala yang jauh

di tanah lapang
sepasang sandal kecil
basah lumpur
oleh hujan yang semalaman tak reda

layangan itu sendiri hilang entah ke mana

Jogja, 10 Nov 2005

Sajak “Parabel” Saut Situmorang yang juga dimuat di buku Nubuat Labirin Luka: Antologi Puisi untuk Munir (2005) ini merekam dengan bagus sekali peristiwa pembunuhan terhadap tokoh HAM Indonesia yang bersahaja itu. Kerja kemanusiaan yang tengah dikerjakan oleh Munir dihentikan oleh negara begitu saja. Dan, kenyataannya, bukan Munir saja yang sirna, tapi nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri pun ikut lenyap entah ke mana.

Hingga kini kasus kematian Munir masih bergulir di pengadilan dengan beberapa terdakwa, termasuk mantan petinggi Badan Intelijen Nasional (BIN), Muchdi Pr. Kita lihat saja apakah pengadilan kita bisa memberikan rasa keadilan atau tidak. Dalam buku Untukmu Munir (2008), saya merasa pesimistis pengadilan kita bisa memberikan rasa keadilan itu, dengan berbagai alasan yang terang-benderang, di antaranya aparat penegak hukum masih menjalankan transaksi perkara dengan terdakwa. Jaksa Urip adalah contoh paling konkret.

Sebuah puisi memang terbuka atas beragam interpretasi. Sajak yang ditujukan untuk mengenang Munir tersebut, dalam interpretasi saya, membawa message yang penting bahwa upaya pembunuhan terhadap Munir membawa dampak yang lebih luas, yakni lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan di negeri ini.

Timor Timur, Aceh, Yogyakarta


Ketika Yoselda Malona, mahasiswa Program Studi Indonesia FIB UI, menganalisis buku saut kecil bicara dengan tuhan (2003), ia sampai pada sebuah puisi yang membuatnya masygul, yakni “Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu”. Bagaimana membaca puisi ini? Saya berusaha menjelaskannya tanpa menutup kemungkinan interpretasinya yang lain terhadap puisi itu.

Pertama, dari judul puisi itu, bagi pembaca puisi Indonesia modern akan mengingat puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Aku Ingin”, yang baris pertamanya berbunyi “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”. Nah, puisi masterpiece Sapardi ini kemudian diplesetkan atau diparodikan Saut sedemikian rupa sehingga terkesan vulgar dan sarkastis. Sebelumnya, Saut juga menulis puisi dengan judul yang sama, yakni “aku ingin”, yang baris pertamanya berbunyi “aku ingin mencintaiMu dengan membabi buta—“ (hlm. 95). Dalam puisi ini, Saut memadukan karya Sapardi Djoko Damano dan William Shakespeare hingga melahirkan sebuah karya yang kuat. Sementara dalam puisinya yang lain, dengan judul yang juga sama, “aku ingin”, Saut bicara tentang cinta dengan setting gempa bumi di Yogya (hlm. 162).

Kedua, penggunaan huruf kapital –Ku dan –Mu yang biasanya diperuntukkan pada Tuhan yang maha kuasa, oleh Saut Situmorang dijungkirbalikkan begitu saja. “Karena aku tak percaya segala tuhan itu ada,” katanya (hlm. 215). Huruf kapital bisa digunakan secara arbitrer, siapa pun berhak menggunakan huruf besar pada pronomina. Sepanjang pengetahuan saya, baru kali inilah ada penyair Indonesia yang secara manasuka, bahkan dapat dikatakan secara liar, menggunakan simbol-simbol yang semula diperuntukkan kepada yang maha kuasa menjadi kepada siapa saja.

Ketiga, karena kita terbiasa hidup dengan eufemisme, maka tak heran kita mudah terkejut manakala Saut Situmorang menggunakan kata “jembut” yang di kamus berarti ‘rambut kemaluan’. Sebenarnya Chairil Anwar dan penyair-penyair kita senantiasa mencoba menggunakan kata-kata baru, ataupun berusaha kembali menghadirkan kata-kata arkais. Dan itu hal yang sangat biasa dan lazim.
Saya tidak akan berpanjang-panjang membicarakan hal ini, selain menggarisbawahi bahwa Saut Situmorang secara terus-terang mengakui adanya tradisi kepenyairan yang serta-merta melekat pada dirinya, yang sama sekali sulit dihindari manusia yang lahir di era globalisasi ini. Dalam beberapa puisinya, meskipun dengan gaya parodi, kita bisa menangkap tradisi Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Apollinaire, dan Chairil Anwar.

Di bawah ini sebuah puisi Saut Situmorang yang mengingatkan saya pada bentuk puisi Chairil Anwar yang berjudul “1943” yang demikian impresif.

requiem

langit hitam
bumi hitam
tanah hitam
asap hitam
puing puing membara
puing puing membara
mobil membara
asap hitam
jalanan kosong
asap hitam
potongan kaki
potongan kaki
potongan tangan
sepatu
sandal
potongan kepala
asap hitam
asap hitam
puing puing membara
langit sunyi
bumi sunyi
asap hitam
jalanan kosong
sunyi
langit
bumi
diam
sunyi
timor timur
mati

15 September 1999

Puisi Saut Situmorang di atas demikian dalam mendeskripsikan Timor Timur saat “lepas” dari cengkeraman Indonesia. Pada 1975-1976, Amerika Serikat dan negara-negara Barat, juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung Indonesia menduduki Timor Timur semata-mata untuk melenyapkan partai Fretilin yang kekiri-kirian. Namun, pada 1999, setelah Soeharto lengser dan Habibie menggantikannya menjadi presiden, setelah ada tekanan internasional, setelah Uskup Belo dan Ramos Horta meraih penghargaan Nobel, setelah dilakukan referendum dan 78,5% penduduk Timor Timur mendukung kemerdekaan, terjadi kekerasan yang memakan korban saudara-saudara kita sendiri. M.C. Ricklefs (2005) mencatat orang-orang prokemerdekaan dibunuh, banyak rumah pribadi, perusahaan swasta, bangunan umum, gereja, dan lainnya dihancurkan, serta sekitar 800.000 orang menjadi pengungsi.

Politik “bumi hangus” ini terjadi karena Indonesia yang mau didikte begitu saja oleh Amerika Serikat ketika pertama kali menduduki Timtim. Padahal, waktu itu Indonesia belum memiliki pasukan tempur yang tangguh, akibatnya banyak tentara yang mati saat pendudukan itu. Ketika tekanan internasional demikian keras hingga berujung pada kemerdekaan Timor Leste, tentu saja militer yang telah banyak berkorban atau “dikorbankan” itu melakukan aksi balas dendam. Dalam kondisi seperti ini, yang menjadi korban pastilah rakyat. Dan Saut Situmorang merekam peristiwa lepasnya Timor Timur itu dengan lagu duka dalam “Requiem”. Dalam bentuk prosa, Seno Gumira Ajidarma juga merekamnya dalam Saksi Mata (1994) dan Jazz, Parfum, dan Insiden (2004).

Tidak hanya bencana politik yang diangkat Saut ke permukaan. Puisi-puisi di bawah ini bicara tentang bencana alam, yakni tsunami di Aceh pada 2004 dan gempa bumi di Yogyakarta pada 2006. Kepekaan yang memang harus dimiliki oleh setiap penyair yang memiliki nurani.

buat Fikar

—melebihi Belanda
itulah Jakarta!

aku tak percaya tuhan membuat
bencana itu, seperti kata nabi nabi palsu itu,
karena aku tak percaya segala tuhan itu ada.
aku cuma percaya
tak akan begitu banyak saudara kita
binasa sia sia
kalau Jakarta bisa seperti Belanda

menyayangi anak anaknya.

sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penderitaan saja yang diciptakannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi ketakadilan saja yang dikembangbiakkannya
sudah puluhan tahun Jakarta berkuasa
tapi penjara dan bukit tengkorak saja yang diberikannya

pada setiap keluh kesah kita.

seperti yang kau katakan sendiri,
puluhan tahun Jakarta, seperti lintah,
menghisap segalanya,
gas alam,
minyak,
emas,
hutan,
sampai akar rumput bumi

sambil mengutip kitab suci!

wahai Fikar,
tak ada negeri yang tak punya bencana alam
di bumi ini, bahkan tsunami
tak jarang terjadi di kepulauan ini. Flores
sudah biasa dengan tsunami, sudah
berpengalaman dengan tsunami

tapi Jakarta tidak mau menyimpan memori ini,
Jakarta tak peduli pengalaman Flores ini,
Jakarta lupa kepulauan negeri kita, nusantara nama kita,

walau diwajibkannya kita untuk menghapalnya:
“dari barat sampai ke timur berjejer…”

Jakarta pinjam uang beli teknologi canggih luar negeri
cuma untuk memata matai kita
cuma untuk menindas kita
cuma untuk keamanannya sendiri

dan kita juga yang harus melunasinya nanti!

wahai sahabatku Fikar,
bukan bencana itu benar yang menusuk kalbu
tapi jumlah saudara kita yang binasa sia sia
terlalu tinggi buat kota kampung kita

yang bertahun sudah dinista moncong senjata tentara.

kalau Jakarta, bisa seperti Belanda,
menyayangi anak anaknya,
sudah lama kita akan diberi tahu
apa arti gelombang yang jauh menyurut,
meninggalkan batas pasir pantai, setelah bumi menggeliat di perut laut.

bahkan bangsa asing menolong kita pun mereka curigai!

itulah Jakarta, begitulah Jakarta.

Jogja, 2 Feb 2005

Puisi “buat Fikar” ini memang ditujukan pada Fikar W. Eda, penyair Aceh yang telah menghasilkan buku puisi Rencong (2003), yang di dalamnya sarat lukisan penderitaan bangsa Aceh, terutama di masa Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan selama satu dekade (1989-1998). Al Chaidar (1998) cukup tajam merekam peristiwa ini dalam tulisan jurnalistik yang demikian memikat, dalam Aceh Bersimbah Darah, yang sangat membantu memaknai puisi-puisi Fikar W. Eda tersebut. Sastrawan Helvy Tiana Rosa (2002), untuk menyebut nama lain, juga merekam peristiwa berdarah itu dalam cerpen “Jaring-jaring Merah” yang sangat memikat pembaca sekaligus mengundang empati pada masyarakat Aceh yang teraniaya.

Dalam puisi itu, Saut Situmorang mengkritik Jakarta sebagai pusat pemerintahan yang selalu saja menciptakan kesusahan dan kegetiran bagi masyarakat Aceh. Dari segi keamanan, Jakarta jauh lebih kejam dari Belanda karena memberlakukan DOM yang mengakibatkan korban tewas sekitar 5.000 orang. Untuk menggambarkan hal ini, Al Chaidar (1998) mengutip Nikita Khruschev, “One man death is a tragedy, but million death is a statistic.” Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata lagi bagaimana penderitaan rakyat Aceh itu.

Namun, di sisi lain, Jakarta tidak belajar banyak dari Belanda yang bisa hidup bersahabat dengan laut. Ketika tsunami datang dan merenggut sedikitnya 150.000 warga di Aceh, Jakarta seperti terkesiap, tak sanggup berbuat banyak untuk mengantisipasi datangnya bencana. Sudah telanjur. Sudah kebacut. Bahkan ada yang mengatakan Tuhan tengah menguji ummatnya. Saut Situmorang mencatatnya musibah tsunami itu bukan kreasi Tuhan, karena ia “tak percaya segala Tuhan”, melainkan karena kelalaian petugas yang berwenang, dalam hal ini Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) di Jakarta. Di mata Saut, Jakarta sebagai pusat sudah seharusnya bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di daerah yang “dikuasainya”. Jangan hanya mengeruk kekayaan alamnya saja.

Blues for Allah

kehidupan begitu fana
dan kematian begitu abadi

bau mayat mayat busuk
dan erang anak anak
terserak antara puing puing rumah
rongsokan mobil dan sandal jepit jepang
di bawah langit biru
di batas debur ombak
dalam peta negeriku
yang sobek tak lagi terbaca –
setelah tentara tentara asing
masuk ke mari
dan menembaki kami
sekarang amarah samudera
menghabisi apa yang
masih tersisa

kehidupan begitu fana
kematian begitu abadi,
dan kata kata? apa yang sanggup
dilakukan kata kata penyair
selain menyanyikan lagu duka
nyiur melambai di pantai
yang kehilangan celoteh camar
dan angkuh sobek layar
nelayan penguasa buih pagi?

kehidupan begitu fana
dan rintih ikan ikan kecil
terdampar di trotoar aspal jalanan
jadi azan terakhir
mengetuk ngetuk
pintu langit tak bernama
menembus kabut awan airmata
semoga diterbangkan burung musim ke batas cakrawala

Buchholz-Hamburg, 7 jan 2005

Sepertinya puisi “Blues for Allah” di atas sangat religius. Sepertinya pula dalam puisi ini Saut masih percaya adanya Allah, Tuhan sekalian alam. Nada dalam puisinya penuh luka, yang masih menyoal penderitaan bangsa Aceh. “Kehidupan begitu fana, dan kematian begitu abadi,” menjadi kata-kata sakti untuk menggambarkan bangsa Aceh yang demikian menderita. Setelah menderita akibat masuknya “tentara-tentara asing”, mereka juga dihantam “amarah samudera”. Bangsa Aceh sepertinya tak putus dirundung malang.

Puisi “Blues for Allah” demikian menyayat hati, sebagaimana lagu blues yang sering dinyanyikan orang-orang negro di Amerika sejak 1911, yang penuh ratapan. Meratap sembari berusaha survive dalam hidup yang penuh cobaan, sambil berupaya untuk bangkit, bebas, dan merdeka. Puisi ini menjadi sangat indah justru karena menyuarakan kepedihan.

Saut Situmorang cukup banyak menghasilkan puisi pascagempabumi di Yogyakarta. Di antaranya puisi “27 Mei 2006”, “bapa kami yang ada di sorga”, “aku ingin”, dan “Blues untuk Jogja”. Hal ini bisa dimaklumi karena ia menyaksikan bahkan mengalami sendiri gempa 5,9 skala richter itu. Saut Situmorang bersama Ahmadun Yosi Herfanda, Kurnia Effendi, dan Endo Senggono menjadi editor buku Jogja 5,9 Skala Richter (2006) yang berisi puisi tentang gempa di Yogya karya 100 penyair Indonesia.

Dalam puisi “bapa kami yang ada di sorga”, Saut Situmorang seperti mengucapkan doa berulang-ulang dengan kata-kata yang sama: “di kepalaku ada gempa” (hlm. 161). Doa atau wirid yang diucapkan Saut hanya satu kalimat itu saja, karena dalam keadaan seperti itu biasanya manusia tak bisa berpikir dengan tenang.

1966, 1998


Kesadaran akan sejarah bangsanya juga tampak melekat pada Saut Situmorang sebagai penyair. Dalam dua puisinya berikut, terbaca bahwa peristiwa 30 September 1965 tak bisa dilupakan begitu saja. Segala keruwetan, kabut yang menyelimuti kebenaran peristiwa itu hingga kini masih menjadi topik yang terus diteliti dan dibicarakan. Pembicaraan siapa dalang peristiwa itu, apa dan siapa tokoh-tokoh seperti Sjam Kamaruzzaman, Soeharto, D.N. Aidit, Soekarno, Adam Malik, Sarwo Eddi Wibowo, Letkol Untung, Kolonel Latief, Njono, Subandrio, Oemar Dhani, Sudisman, Ali Murtopo, Yoga Sugama, dan sebagainya terus dibicarakan hingga hari ini.

Peristiwa ini menarik untuk dibicarakan bukan saja lantaran pemainnya adalah tokoh-tokoh penting di negeri ini, melainkan justru yang utama adalah pembunuhan massal yang terjadi pada 1965-1966. Buku John Roosa (2008), Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, merupakan buku terbaru yang memberikan perspektif yang baru sama sekali, yang jauh berbeda dengan buku karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh (1989), Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia.

1996

—untuk Jimi Hendrix

di malam aku lahir
bulan merah api
dan hujan turun
langit merah basah
bumi merah basah

orang orang menangis
orang orang marah
dan orang orang ketakutan

di malam aku lahir
anjing anjing setan gentayangan di jalanan
mendobrak rumah rumah
dan membunuh dan membunuh dan membunuh

bulan merah api
malam merah api
rumah rumah dicat merah darah
jalanan merah darah
sungai sungai merah darah
danau danau merah darah
dan mayat mayat rusak terapung
di sungai sungai danau danau merah darah
di bawah hujan merah darah

di malam aku lahir

Saut Situmorang lahir pada 29 Juni 1966. Dan malam-malam sebelum kelahirannya, Indonesia bermandi darah. Puisi “1966” karya Saut Situmorang ini merupakan refleksi atas peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) atau orang-orang yang dicap atau diberi stigma sebagai simpatisan PKI yang mencapai angka 1 juta jiwa. Orang-orang PKI yang sebagian besar buruh dan petani itu mati dihabisi oleh militer yang melibatkan warga dan ormas Islam yang berseberangan dengan PKI. Dalam perspektif yang agak berbeda, peristiwa ini juga terekam dengan sangat apik dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma (2007) dan kumpulan cerpen Linda Christanty (2004), Kuda Terbang Maria Pinto.

Sebuah puisinya yang juga menggambarkan peristiwa sejarah yang masih samar adalah “Jakarta, 14 Mei 1998”. Peristiwa ini tidak hanya terjadi di ibukota menjelang Soeharto turun tahta, melainkan juga terjadi di Palembang, Solo, Surabaya, dan Lampung. Namun, kejadian yang terparah terjadi di Jakarta. Kerusuhan sengaja diciptakan, sebagaimana laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Perempuan-perempuan keturunan China banyak yang diperkosa. Penjarahan terjadi di mal-mal yang terbakar. Banyak warga yang mati terpanggang. Namun, tak ada yang bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Tak ada yang diadili dalam peristiwa itu. Dalam buku Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data, Analisis yang dieditori Raymond R. Simanjorang (2007), pihak yang paling bertanggung jawab adalah aparat keamanan, karena ada sinergis antara tindakan aparat keamanan dengan provokator dan pelaku kerusuhan.

Jakarta, 14 Mei 1998

seorang laki laki
seorang bapak
berdiri tegak
hening
sebuah kaleng kecil di tangannya

seorang perempuan kecil
masih anak anak
terduduk di lantai
airmata di wajahnya
memandangnya

“bapak, berikanlah, bapak”
suara memelas itu begitu lembut
begitu pedih

airmata yang tak henti mengalir
jadi genangan kecil di lantai
bercampur darah
bercampur isak tangis…

seorang laki laki tua
seorang bapak
roboh ke lantai
tanpa suara

di sampingnya di tengah genangan darah airmata
anak perempuan kecilnya
mati menenggak sekaleng racun serangga
anaknya satu satunya

Puisi ini hanyalah salah satu perspektif saja dari peristiwa Mei 1998. Meskipun demikian, rasa perih dan tragis yang timbul saat itu tertangkap dengan jelas dalam puisi ini. Rasa putus asa dan malu dan marah yang bercampur-baur melahirkan keinginan untuk bunuh diri. Cukup banyak sastrawan yang merekam peristiwa menjelang reformasi ini dengan berbagai perspektif. Dapat disebut, misalnya, Veven Sp. Wardhana melalui Panggil Aku: Peng Hwa (2002), Seno Gumira Ajidarma lewat “Clara atawa Wanita yang Diperkosa” dalam buku Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Agus Noor melalui “Jerangkong” dalam buku Bapak Presiden yang Terhormat (2000), Sapardi Djoko Damono melalui Ayat-ayat Api (2000), dan puisi-puisi Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Rendra, Ahmadun Yosi Herfanda, yang terhimpun dalam Horison edisi “Reformasi”.

Demikianlah.

Citayam, 21 Desember 2008

Asep Samboja, buku puisi yang telah diterbitkan Menjelma Rahwana (1999), Kusampirkan Cintaku di Jemuran (2006), Ballada Para Nabi (2007). Buku nonfiksi yang ditulis antara lain Cara Mudah Menulis Fiksi (2007)


Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda