.

Situs Lobudao, Objek Wisata di Saipar Dolok Hole yang Diabaikan


Lobudao merupakan situs arkeologis dari zaman prasejarah, membentang seluas sekitar lima hektare di Desa Parsuluman, Kecamatan Saipardolok Hole, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatra Utara. Di dalam kawasan ini, ditemukan fragmen relief-relief yang dipahatkan pada papan-papan batu putih (andesit) khas batu dari tradisi megalitik dan fragmen patung-patung manusia.

Kami mendapat informasi di media sosial tentang Ekspedisi Meraba Sipirok (EMAS) IV akan digelar Juni 2020. Kali ini, ekspedisi akan mengeksplorasi sejumlah potensi yang ada di Kecamatan Saipar Dolok Hole dengan rute Situs Lobudao, Gunung Batara Wisnu, dan objek-objek wisata alam lainnya. Kami langsung menghubungi Sinar Tabagsel, yang menggagas ekspedisi ini untuk menjadi peserta.

Sudah lama kami dengar ekspedisi EMAS. Awalnya, ekspedisi EMAS digagas sejumlah aktivis lingkungan hidup asal Sipirok pada tahun 2011. Ekspedisi EMAS I ke kawasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali, lalu tahun 2012 digelar ekspedisi EMAS II ke kawasan Pegunungan Bukit Aek Bariba, dan pada tahun 2013 ekspedisi EMAS III ke kawasan Situs Megalitik di Hopong melalui jalur Cagar Alam Dolok Sipirok. 

Pada Rabu, 10 Juni 2020, ekspedisi EMAS IV digelar. Kali ini diikuti 18 peserta yang berasal dari sejumlah lembaga seperti Ikatan Mahasiswa asal Sipirok, Arse, Saipardolok Hole, dan Aek Bilah (Imasada), Komunitas Pencita Alam (KPA) Forrester Tabagsel, KPA Kopi Kelam Sipirok, Komunitas Seni Budaya (Konsep) Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan, Mapala Institut Pendidikan Tapanuli Selatan, Pusat Kajian Kebudayaan Tapanuli, dan pengusaha kopi bubuk Surya Top Sipirok. 
Sebelum berangkat, Ardi Yunus Siregar, salah seorang penggasan ekspedisi, mengatakan kata Lobudao berasal dari dua kata dasar dalam bahasa Batak: "Lobu" dan "Dao". Dalam Kamus Bahasa Angkola yang disusun Arden Siregar dkk., disebutkan kata "lobu" bermakna "perkampungan atau pemukiman yang telah ditinggalkan penghuninya dalam kurun yang sangat lama", sedangkan "dao" artinya "sangat jauh". Lobudao secara harfiah berarti perkampungan lama yang berada di tempat jauh.

Rombongan kemudian bergerak menuju Situs Lobudao. Kawasan situs megalitik ini berada tidak terlalu jauh dari perkampungan terakhir, Desa Parsuluman. Desa Parsuluman bisa ditempuh sekitar satu jam dari Kelurahan Sipagimbar, ibu kota Kecamatan Saipardolok Hole, ke arah Biru, ibu kota Kecamatan Aek Bilah.

Kami sengaja menyewa truk dari Kota Sipirok, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, menuju Kecamatan Saipardolok Hole. Bertolak pukul 13.00 Wib dari Sipirok, kami tiba pada pukul 15.00 Wib di Kelurahan Sipagimbar, ibu kota Kecamatan Saipardolok Hole. Setelah berbincang sebentar dengan Andri Daulat Pasaribu, warga Sipagimbar yang akan memandu perjalanan kami ke Situs Lobudao, truk bergerak ke titik Situs Lobudao tersebut. 

Melewati jalan onderlaq selebar tiga meter, yang kadang menyempit di beberapa bagian karena ditutupi rumpun semak perdu, kami disuguhi pemandangan asri dari perkebunan warga yang ditanami berbagai tanaman produksi seperti karet dan kopi. Kecamatan Saipardolok Hole terkenal sebagai salah satu sentra kopi (varietas Robusta maupun Arabika) di Kabupaten Tapanuli Selatan. Bila kopi sedang musim berbunga biasanya akan tercium aroma bunga yang harum. Sayang, kami datang di pertengahan tahun, sedangkan musim kopi berbunga pada akhir tahun.

Lahan-lahan kebun kopi membentang hijau dan berakhir di kaki-kaki pegununangan bukit barisan yang terlihat bagai pagar. Namun, menjelang tanjakan menuju batas Desa Parsuluman, hamparan lahan kering dengan tanah coklat menyambut kami. Pada tahun 2000, daerah ini masih asri sebagai lahan hutan produksi yang ditanami tusam (Pinus markusii)dengan diameter pohon mencapai satu meter.

Sekitar dekade 1970-an, pemerintah pusat mendorong warga pemilik hak ulayat atas sejumlah lahan di Kabupaten Tapanuli Selatan untuk bekerja sama dengan perusahaan pemegang HPH (hak pengelolaan hutan) guna menanami lahan-lahan kosong dengan tusam. Warga pemilik hak ulayat atas lahan di Kecamatan Saipardolok Hole tidak terkecuali, ikut dalam kebijakan reboisasi (penghijauan) yang ternyata mendukung perusahaan pemilik HPH untuk menanami lahan mereka dengan tusam.

Namun, pada 2017, hutan pinus ditebangi oleh sebuah perusahaan yang mendapat kontrak kerja dengan perusahaan pulp (bubuk kertas) yang ada di Utara dan mengirimkan batang-batang pinus itu ke Utara. Sejak itu, hutan produksi raib dan meninggalkan lahan kering dipenuhi potongan-potongan kayu gelondongan yang tak sempat terangkut. Kawasan hutan yang merupakan habitat sejumlah flora dan fauna ini pun menjadi hancur.

Masyarakat tampak berusaha menggarap beberapa petak lahan bekas hutan produksi dengan menanami kopi,  tapi tanaman budidaya itu tumbuh tak maksimal. Daya tumbuhnya tak mampu mengalahkan tingkat pertumbuhan semak perdu dan ilalang yang begitu tinggi, yang membuat daerah itu bagai padang gersang.

"Dulu, di daerah ini bisa ditemukan rusa, kancil, harimau, beruang, siamang, dan binatang-bintang hutan lain dengan sangat mudah," kata Andri Daulat Pasaribu, warga Kelurahan Sipagimbar, yang menjadi pemandu kami ke kawasan Situs Lobudao.

Meskipun kami agak kecewa mendapati kawasan yang gersang, namun kekecewaan kami sedikit terobati. Saat kendaraan yang kami tumpangi memasuki batas jalan yang bisa dilalui, dan kami harus berjalan kaki sekitar dua kilometer menuju kawasan Situs Lobudao. Saat itulah kami bertemu ragam spesies kantong semar (Naphenten Sp.) di sepanjang perjalanan, dan beberapa tegakan pohon pinus terlihat menjulang dan ramping. Sore hari ketika kami melangkah, disambut kicau berbagai jenis burung. 

Gunung Batara Wisnu

Situs Lobudao tepat berada di lereng bukit Lobudao (Tor Lobudao). Pada jarak yang tidak begitu jauh, di sebelah tenggaranya terdapat Gunung (Dolok) Batara Wisnu. Dari ketinggian Tor Lobudao menatap ke Utara, bisa dilihat Dolok Hajoran atau Tor Sijomba-jomba, di wilayah yang termasuk dalam Kabupaten Tapanuli Utara.

Nama Dolok Batara Wisnu terdengar asing di telinga masyarakat marga Batak yang tinggal di sekitarnya, yang dominan masyarakat maga berkebudayaan Batak. Masyarakat marga ini nyaris tak punya persentuhan apapun dengan salah satu nama Dewa dalam kisah pewayangan itu, Dewa Batara Wisnu.

Tidak jelas bagaimana latar sejarah sehingga gunung setinggi lebih 1.600 mdpl itu diberi nama Batara Wisnu. Namun, tradisi lisan di lingkungan masyarakat di desa-desa di Saipardolok Hole menyebut, nama Batara Wisnu sudah identik sejak lama. Sejak leluhur pertama mereka yang datang dari Utara tiba di Saipardolok ratusan tahun lalu, nama Batara Wisnu sudah melekat dengan gunung tersebut.

Versi lain menyebutkan, nama Batara Wisnu punya kaitan dengan sejumlah titik situs tinggalan arkeologi yang mengelilingi gunung tersebut. Di semua arah mata angin, tinggalan arkeologis berupa situs  perkampungan kuno dengan kompleks pemakaman ditemuka di kaki gunung tersebut. Keberadaan situs-situs perkampungan itu memberi kesan atau berorientasi bahwa masyarakat yang tinggal di kaki gunung menempatkan Gunung Batara Wisnu pada posisi yang agung untuk disembah.

Menurut masyarakat, saat membangun Pasar Sipagimbar, para pekerja sering menemukan potongan-potongan patung dan batu-batu yang dihiasi relief. Lantaran ketidaktahuan mereka, puing-puing arkeologis itu dibuang dan akhirnya hancur begitu saja. Ada juga yang dipergunakan untuk memperkuat fondasi bangunan pasar.

Pada tahun 2004, sejumlah peneliti dari Badan Arkeologi Medan melakukan survei arkeologis, mendatangi lokasi-lokasi situs yang berorientasi ke Gunung Batara Wisnu. Saat itu, para peneliti mengawali penelitiannya dengan menyurvei objek-objek arkeologis berupa candi (biaro) di Padang Lawas, sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Barumun  dan Batang Pane. Guna mencari tahu siapa masyarakat yang memiliki tinggalan arkeologis candi tersebut, para peneliti melakukan survei ke ulu  Barumun dan Batang Pane hingga menemukan peninggalan-peninggalan bertradisikan - atau memang merupakan peninggalan masa--prasejarah di kaki Gunung Batara Wisnu.

Pada tahun 2009, enam orang peneliti dari Badan Arkeologi Medan yang dipimpin Lucas Partanda Koestoro, melakukan ekskavasi di Situs Lobudao. Selama 14 hari, dilakukan sejak 13 April 2009 sampai   26 April 2009, para peneliti melakukan pemetaan dan penggalian tinggalan arkeologi. Mereka menemukan artefak berupa relief pada permukaan batu dan patung yang posisinya mengarah ke Gunung Batara Wisnu.

Dalam berita penelitian yang disiarkan Badan Arkeologi Medan disebutkan, para peneliti yang pernah datang dan melakukan eskavasi menyimpulkan, setiap penduduk di situs perkampungan itu memposisikan Tor Batara Wisnu sebagai objek agung yang menyimbolkan penguasa jagat raya.

Dalam filsafat Adwaita Wedanta atau tradisi Hindu umumnya, Batara Wisnu adalah putra kelima dari Batara Guru (Sang Hyang Manikmaya) dengan Dewi Umayi. Batara Wisnu memiliki lima saudara: Batara Sambo, Batara Brahma, Batara Indra, Batara Bayu, dan Batara Kala. Dalam mitologi Jawa, Batara Wisnu menjadi Dewa Keadilan dan Kesejahteraan.

Lantaran Batara Wisnu merupakan simbol Keadilan dan Kesejahteraan, orang-orang mengait-kaitkan gunung itu dengan Batara Wisnu. Bisa jadi, penamaan ini berkaitan dengan pernyataan F. M Schnitger, arkeolog dari Leiden, Belanda, dalam The Archaeology of Hindoo-Sumatra (1957). Dia menyebut tinggalan arkeologi di Sumatra merupakan pengaruh Hindu. Kesimpulan itu tidak bisa jadi rujukan karena nyaris semua tinggalan arkeologi di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, dikait-kaitkan para ilmuwan dengan Hindu dan diperkirakan dibangun pada rentang abad ke-8 sampai abad ke-12.

Schnitger melakukan eskavasi di situs arkeologi sekitar candi-candi di Padanglawas, dan menemukan relief maupun patung yang menggambarkan sosok Batara Wisnu, sehingga daerah-daerah di sekitar Padanglawas pun diasumsikan sebagai bagian dari masyarakat pemilik candi-candi yang ada di sana. Dari hasil penelitian itu, Schnitger menyimpulkan Hindu mempunyai pengaruh besar di lingkungan masyarakat pemilik candi-candi dan mereka memposisikan Dewa Batara Wisnu sebagai sembahan sebagaimana masyarakat Hindu melakukannya.

Simpulan itu berkaitan dengan posisi Gunung Batara Wisnu yang berada pada jalur peta migrasi manusia di masa lalu dari Padanglawas ke Saipar Dolok Hole. Jalur itu melalui Desa Pargumbangan dan Mandalasena, dua desa di Kecamatan Saipar Dolok Hole, Tapanuli Selatan. Lebih kurang dua kilometer sebelum Sipagimbar, tempat yang lebih dikenal dengan Simpang Mandala, mengarah ke kanan adalah jalan menuju Pargumbangan dan Mandalasena.

Kata "Pargumbangan" dalam Kamus Bahasa Angkola berarti "gerbang desa" yang terbuat dari dua tiang. Apabila sebuah desa di pintu gerbangnya terdapat dua tiang (agak miring), dan tiang itu terbuat dari kayu khusus, pertanda desa itu memiliki kelebihan atau keistimewaan.

Sedangkan "Mandalasena" bisa dipahamkan dari dua bahasa: Batak dan Sansekerta. Dalam Bahasa Sansekerta, "Mandalasena" terdiri dari kata "Mandala" dan "Sena". "Mandala" berarti "Gelanggang" atau "Arena", "Sena" atau "Seno" berarti "Pemuda" atau "Remaja". Mandalasena berarti "Gelanggang Remaja".

Dalam Bahasa Angkola, "Mandalasena" berasal dari kata "Mundala" dan "Usena". "Mundala"  berarti "tempat susu ternak" dan "Usena" adalah "tertumpahan". Tempat susu di mana susu ditumpahkan, atau secara harfiah dipahamkan sebagai "tempat persembahan".

Setiap orang yang melewati gerbang Pargumbangan akan memberikan persembahan di Mandalasena, sebelum bergerak mencari tempat tinggal baru di wilayah Saipardolok Hole. Persembahan dengan sikap sembah berupa jari tangan ditautkan di sekitar perut itu diarahkan ke Gunung Batara Wisnu untuk meminta keadilan dan kesejahteraan.

Sikap sembah itu membentuk simbol vulva (menurut berita Badan Arkeologi Medan). Namun, Ardi Yunus Siregar, peneliti adat budaya Angkola dari Pusat Penelitian Kebudayaan Tapanuli, menilai simbol yang disebut vulva itu dalam bahasa Angkola disebut longgom (ketenangan, kebahagian, kesuburan, dan kesejahteraan).

"Simbol longgom itu banyak ditemukan pada reliet dan patung di sejumlah situs di Tapanuli bagian Selatan. Ini simbol yang muncul jauh sebelum ada peradaban Hindu di lingkungan masyarakat," kata Ardi Yunus Siregar, yang juga salah seorang penggagas ekspedisi EMAS.


Situs Lobudao

Keberadaan Situs Lobudao diperkirakan ada sebelum masa Hindu, atau masuk dalam situs arkeologi prasejarah. Sebab itu, situs Lobudao ini nyaris tidak ada kaitannya dengan penamaan Gunung Batara Wisnu meskipun temuan-temuan arkeologi di kawasan situs berorientasi ke Gunung Batara Wisnu.

Saat kami tiba di kawasan Situs Lobudao, kami disambut kawasan hutan bekas areal hutan produksi yang ditanami pinus. Tunggul-tunggul pohon  dan kayu pinus gelondongan menyebar di mana-mana. Beberapa pohon pinus yang sudah mati tampak tegak. Sekitar 50 meter melewati hutan pinus, kami tiba di kawasan Situs Lobudao. Program reboisasi penanaman pinus pada dekade 1970-an di Kecamatan Saipardolok Hole tidak dilakukan areal Situs Lobudau. Itu berarti, pemerintah dan masyarakat sejak dekade 1970-an lama sudah memperhatikan keberadaan Situs Lobudao dan melindunginya agar tidak ditanami pinus. 

Di areal itu, kami melakukan pengamatan permukaan, mencari tanda-tanda yang menyimbolkan perkampungan kuno, dan menemukan batas perkampungan berupa tanggul dari tanah yang berfungsi sebagai benteng. Sebagian tanggul yang menjadi batas perkampungan sudah hilang, berganti dengan bekas roda kendaraan berat. Kemungkinan besar, saat alat-alat berat dipergunakan untuk menebangi pinus pada tahun 2017, sejumlah tinggal arkeologi Situs Lobudao telah mengalami kerusakan akibat dilindas roda kendaraan dan tertimpa pohon yang tumbang.

Dari pengamatan, kami menemukan  gejala-gejala  yang tampak di permukaan situs, dan mendapatkan kejelasan tentang benda sisa aktivitas manusia masa lalu. Kami kemudian menyisiri kawasan situs dan menemukan tinggalan arkelogis berupa fragmen keramik. Selain itu, pengamatan yang dilakukan menampak gundukan-gundukan tanah di areal pemakaman. Kemungkinan besar, pemakaman pada masa itu bukan berupa galian tanah, tetapi mayat yang dimakamkan ditaruh di permukaan tanah kemudian ditimbun.

Gundukan yang menjadi kuburan itu diberi pagar berupa lempeng atau papan batu berdiameter 50 cm 40 cm, dan pada beberapa lempeng batu itu ditemukan relief berupa ukiran atau pahatan batu yang menggambarkan sosok manusia sedang menyembah dengan tangan membentuk simbol longgom atau vulva pada bagian bawah perut (pusar). Kubur-kubur itu jiratnya dibangun dengan papan batu berbentuk persegi, yang pada salah satu bagian dibiarkan terbuka, Bagian itu mengarah ke Gunung Batara Wisnu atau tidak diberi pagar berupa papan batu.

Beberapa fragmen patung berhasil ditemukan, umumnya bagian  badan,  dan sebuah  fragmen yang merupakan potongan kepala patung. Patung-patung tersebut merupakan bagian dari makam, karena fragmen potongan patung ada di dalam makam yang diberi pagar berupa papan-papan batu. Potongan fragmen patung berada pada posisi menghadap ke arah Gunung Batara Wisnu.

Kami kemudian melakukan pembersihan dan penggalian beberapa makam. Setiap makam dikelilingi papan batu berupa batu kapur berwarna putih yang mudah pecah. Papan-papan batu bersusun membentuk persegi empat sekaligus berfungsi membatasi  bagian  makam  satu dengan makam lain. Dalam Berita Penerbitan Arkeologi No.24 yang diterbitkan oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Balai Arkeologi Medan, tahun 2010 menyebutkan, ada 20 makam di lokasi Situs Lobudao.

Pada beberapa makam, ada bekas fragmen patung berbentuk kaki, tertanam cukup dalam. Kami mencoba menggali patung-patung tanpa kepala dan badan itu, namun sampai 50 cm belum juga bertemu dasarnya. Kami perkirakan, jika kondisinya utuh, maka bentuk asli patung itu memiliki tinggi sekitar satu meter. 

Makam-makam di Situs Lobutua berbeda satu dengan yang lain. Pada beberapa makam, dilengkapi dengan patung-patung atau relief di bagian depannya. Patung-patung tersebut ditanam di bagian depannya, terlihat dari pahatannya yang tidak mencapai bagian bawah, yang  menunjukkan bahwa patung-patung  tersebut di tanam. Selain  itu  juga  terdapat beberapa patung dalam keadaan tertanam.

Ukuran makam-makam tersebut berbeda satu dengan yang lain, demikian juga dengan susunan batunya. Umumnya makam-makam itu memiliki jirat sederhana, hanya membentuk denah persegi, namun ada pula yang jiratnya terbentuk oleh susunan batu yang berlapis.

Situs Lobudao masih membutuhkan penelitian lanjut untuk mengungkapkan siapa masyarakat yang membangun perkampungan ini. Namun, sebelum penelitian dilakukan, ada baiknya pemerintah daerah menjaga situs ini dengan baik agar tidak dijarah. Pasalnya, sebagian besar tinggalan arkeologis berupa fragmen-fragmen keramik, patung, dan relief yang ada di lokasi ini memiliki nilai sejarah yang tinggi, juga nilai ekonomi yang jadi incaran para pencuri.

Penulis: Fadjri Ikhlas Tambunan, Amru Hutabarat
Editor: Efry Nasaktion

1 komentar

Kabar ALAM mengatakan...

Sangat luar biasa kawan kawan, Tapanuli Selatan memang sangat kaya terutama kekayaan alam yang membentang luas dikabupaten Tapanuli Selatan
Harapan kita kedepannya apa yang sudaha da jangan dirusak
Dan apa yang sudah rusak diperbaiki
#salam lestari
#salam dari Johan Harefa (ketua mapala Ipts)

Beranda