.

Bokor Hutasuhut, Sastrawan yang Berpolitik

item-thumbnail

Bokor Hutasuhut, sastrawan yang muncul sejak dekade 1950-an, punya peran tak sedikit dalam perkembangan kesusastraan di negeri ini. Novel Penakluk Ujung Dunia,  karyanya, merekam realitas lokal masyarakat Balige (Batak), membuat masyarakat luas semakin memahami realitas antropologi masyarakat ini.

Beberapa tahun pasca peristiwa 30 S PKI yang menjadi akhir dari polemic kebudayaan antara kubu sastrawan yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan sastrawan penandatangan Manifes (Manifestasi Kebudayaan), nama Bokor Hutasuhut sebagai salah seorang penggagas dan penandatangan  Manifestasi Kebudayaan bagai menghilang dari jagat kesusastraan di negeri ini.[1] Karya-karyanya, yang sering muncul di hampir semua media publikasi berupa majalah seperti Mimbar Indonesia, Sastra, dan lain sebagainya, semakin jarang dibaca. Bokor Hutasuhut bagai telah menarik diri dari hiruk-pikuk dunia kesusastraan Indonesia yang keras, penuh fitnah, dan ketegangan politik.  

Bokor Hutasuhut menulis kembali cerita bersambunganya, Pantai Barat,  yang pernah terbit di majalah Sastra. Dia juga menyusun ulang dua belas cerita pendekkan untuk menjadi buku dan diberi judul, Menyilang ke Utara. Manuskrip kumpulan cerita pendek Menyilang ke Utara dikirimkan ke sejumlah penerbit buku, hampir bersamaan dengan manuskrip novel Pantai Barat, dikirim ke berbagai penerbit buku. Bahkan, rekan-rekan Bokor Hutasuhut seperti HB Jassin, Ras Siregar, A.M. Hoeta Soehoet, dan banyak lagi sudah berusaha ikut mempromosikan manuskrip-manuskrip itu. Namun, tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkannya karena kondisi perekonomian nasional waktu itu sedang kurang bagus.

Menghadapi realitas kehidupan pasca peristiwa 1965 yang mengorbankan banyak hal, terutama perkawanan antarpengarang,  Bokor Hutasuhut  mulai berpikir untuk mencari sumber penghasilan lain. Namun, pertama-tama dia harus menikah untuk membangun keluarga. Bokor Hutasuhut kemudian merambah dunia usaha di bidang lain dan akhirnya tahun 1968 dia pulang kampung ke Sipirok untuk menikah dengan D. Sari Hafni Siregar asal Desa Parsorminan, Kecamatan Sipirok.  Dari pernikahan ini, Bokor Hutasuhut dikarunia empat orang anak: Irma Bulan Hutasuhut, Syamsul Wahidin Hutasuhut, Tama Alamsyah Hutasuhut, dan  Muhammad Layan Hutasuhut. 

 2


Bokor Hutasuhut adalah tokoh besar dalam kesusastraan Indonesia. Ia tidak hanya terlibat dan menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia sekaitan
  prahara budaya, tetapi juga menghasilkan karya-karya sastra yang membuka wawasan masyarakat pembaca di Indonesia tentang fungsi sebuah karya sastra sebagai perekan kondisi social budaya masyarakat.  Novelnya, Penakluk Ujung Dunia, diterbitkan tahun 1964 menjadi mahakarya Bokor Hutasuhut meskipun dia telah menulis dua novel lain, Tanah Kesayangan (1965) dan Pantai Barat (1988) serta cerita pendek yang terkumpul dalam buku Datang Malam (1963) dan ratusan cerita pendek lainnya yang berserakan di sejumlah majalah sejak dekade 1950-an. Sebagai sebuah mahakarya,  Penakluk Ujung Dunia jadi metafora bagi Bokor Hutasuhut untuk mendaku dirinya sebagai penakluk ujung dunia. [2]

Novel Penakluk Ujung Dunia berkisah tentang orang yang berhasil menaklukkan ujung dunia, dan Bokor Hutasuhut adalah seorang pengarang yang sangat biografis dalam menghasilkan karyanya.[3] Di dalam sebagian besar karyanya, pembaca seakan-akan melihat dua penggal hal yang sangat mendasar; sepenggal riwayat hidup Bokor Hutasuhut lengkap dengan alam di mana ia lahir dan besar, penggalan sisanya adalah imajinasi yang berfungsi sebagai bumbu agar riwayat hidup itu tidak kering saat dinikmati pembaca. Dalam novel ini, dua hal itu sangat kental. Bokor Hutasuhut merekam pengalaman pribadinya keluar-masuk ke perkampungan masyarakat Batak bersama ayahnya yang menjadi seorang mubaliq, dan pengalaman pribadi itu berupa mendapatkan cerita-cerita rakyat dari orang-orang yang ditemui terkait realitas antropologi masyarakat Batak yang ada di sekitar Danau Toba.

Dalam banyak cerita rakyat yang berkembang disebutkan, pernah pada suatu masa leluhur masyarakat Batak hidup untuk menyalakan peperangan terus-menerus, mencari komunitas-komunitas masyarakat adat yang lemah untuk diperangi agar tanah dan harta-benda mereka bisa dikuasai.  Peperangan menjadi pilihan utama untuk mempertahankan hidup yang sangat tergantung terhadap pemberian sumber daya alam.  Begitu juga sebaliknya, setiap komunitas masyarakat marga harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan berperang untuk menghadapi serbuan dari komunitas lain agar tidak kehilangan kehormatan dan hidup dalam penderitaan sebagai jappurut akibat kalah dalam peperangan.[4]

Bokor Hutasuhut yang lahir dan besar di Balige menyadari betul, masa lalu leluhur bangso Batak yang keras dan selalu berperang itu, erat kaitannya dengan  bonabulu (tanah kelahiran) atau tanah asal. Setiap komunitas masyarakat adat ditandai dengan adanya wilayah sendiri yang diatur oleh seorang pemimpin sebagai pemegang kekuasaan atas sistem yang diwarisi secara turun-temurun. Ketika tanah atau daerah suatu komunitas tidak bisa dipertahankan oleh pemiliknya karena kalah perang, maka komunitas itu akan punah. Kalau tidak punah atau saat perang mereka ditangkap (ditaban), seumur hidup mereka akan menyandang predikat sebagai keturunan jappurut, status sebagai budak kalah perang yang diperjualbelikan dan tidak memiliki hak-hak adat sesuai dengan hokum adat yang berlaku dalam komunitas masyarakat adat yang menahannya. Sampai sekarang, pada beberapa komunitas masyarakat adat bermarga Batak, masih ada trauma masa lalu akibat leluhurnya diperlakukan sebagai jappurut. 

Bokor Hutasuhut merekam sejarah bangso Batak yang selalu identik dengan tanah (lahan hidup). Tanah bagi orang Batak adalah tahta, kekuasaan, kehidupan, keutuhan, dan kasih sayang terhadap sesama. Sebuah komunitas masyarakat marga belum bisa disebut masyarakat bila tak punya bona (tempat tinggal) yang dalam bahasa umpasa (metaforik) disebut portibi atau banua, yaitu sepetak tanah di mana masyarakat membangun perkampungan, memiliki lahan pertanian, dan menata sistem sosialnya. Tapi Bokor Hutasuhut justru menciptakan Ronggur, tokoh utama dalam Penakluk Ujung Dunia, seorang anak muda yang berpikiran maju, yang menolak ikut berperang, dan mencarikan solusi dengan cara mencari tanah lain sebagai daerah baru. [5]

Pengalaman masa kecil Bokor Hutasuhut melahirkan gagasan tentang “kenapa harus berperang kalau yang diinginkan hanya tanah” dan “bukankah tanah bisa dicari dengan menemukan lahan baru”.  Gagasan dasarnya, merekam sejarah bangso Batak yang masyarakatnya selalu berpikir mencari inovasi dalam mengatasi persoalan kehidupan akibat daerahnya tak subur, sehingga yang dibutuhkan bangso Batak adalah mengubah pola pikir agar bisa mendapatkan solusi atas persoalan-persoalan krusial yang sedang dihadapi.

Novel Penakluk Ujung Dunia menampilkan tokoh yang berpikiran maju yang bertolak-belakang dengan masyarakatnya yang tradisional, dan kelahiran tokoh seperti ini erat kaitannya dengan sosok Bokor Hutasuhut yang mengikuti ayahnya berdakwa agama ke perkampungan-perkampungan untuk membuka pola pikir masyarakat. 

Dalam novel Tanah Kesayangan dan novel Pantai Barat, tokoh-tokoh Bokor Hutasuhut identik sebagai manusia  yang berpikiran maju, selalu punya alternative atas persoalan yang dihadapi, dan keluar dari mainstream yang kuat dipengaruhi tradisi.  Setiap novel Bokor Hutasuhut menegaskan, selain pentingnya tanah bagi bangso Batak, juga yang sangat penting adalah mengubah pola pikir agar tidak menderita (karena beban tradisi menjadi japuurut dalam Penankluk Ujung Dunia, atau dijajah Belanda dan Jepang dalam Tanah Kesayangan dan Pantai Barat) atau hidup miskin dan terbelakang. 

3


Selama “menghilang” dari dunia kreatif berkesusastraan, Bokor Hutasuhut menjadi pengusaha sembari mengumpulkan cerpen-cerpennya yang pernah disiarkan di media cetak. Manuskrip-manuskrip kumpulan cerita pendek Bokor Hutasuhut seperti
Menyilang ke Utara, Daerah Toba Danauku Sayang, Pecahan Yang Menggumpal,  dan Di Atas Sepeda. Sementara novelnya Pantai Barat, mulai menemukan penerbit.

Tahun 1980-an manuskrip Pantai Barat  ditawarkan para sastrawan Medan ke penerbit di Malaysia. Salah satu penerbit yang tertarik adalah  Penerbit Marwillis Publisher, Selangor, Malaysia Penerbit ini bermaksud menerbitkan manuskrip Pantai Barat dan beberapa novel Bokor Hutasuhut lainnya seperti Penakluk Ujung Dunia dan Tanah Kesayangan.  Namun, untuk Pantai Barat, penerbit memberi syarat ada revisi dari pengarang. Revisi tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan antara novel yang berlatar Tanah Batak yang mayoritas Kristen dengan pembaca Malaysia yang beragama Islam. Kesepakatan didapat, dengan mengganti isu gereja dengan bunyi loncengnya menjadi masjid dengan suara azannya. Jadilah novel ini diterbitkan pada tahun 1988 dengan judul tetap Pantai Barat.

Setelah novel Pantai Barat terbit, Bokor Hutasuhut kembali menulis untuk koran-koran di Medan. Pada dekade 1980-an Bokor Hutasuhut mulai sering keluar rumah dan bertemu kawan-kawan sastrawan. Waktu itu, dari Sumatra Utara muncul banyak nama sastrawan yang mengisi majalah sastra Horison seperti Sori Siregar, Pamusuk Eneste, Hamsad Rangkuti, B.Y. Tand, Zainuddin Tamir Koto, Damiri Mahmud, A. Rahim Qahar, Rusli A. Malem, AA Bungga, Herman KS, dan banyak nama lagi termasuk Saut Mangapul Situmorang—mahasiswa Universitas Sumatra Utara yang kelak memakai nama Saut Situmorang. 

Munculnya   sastrawan-sastrawan asal Sumatra Utara di majalah Horison membuat Sumatra Utara menjadi salah satu kiblat perkembangan karya sastra di Tanah Air tidak lepas dari sosok Bokor Hutasuhut. Keberangkatannya dari Medan ke Jakarta dan kemudian menjadi bagian terpenting dari sejarah kesusastraan nasional, tidak hanya membuat masyarakat Batak menjadi salah satu kebudayaan daerah yang mengundang perhatian public, tetapi juga menginspirasi generasi-gerasi muda di Sumatra Utara untuk menjadi sastrawan. Bokor Hutasuhut adalah sastrawan yang melanjutkan generasi lama yang sebelumnya sudah lebih dahulu menjadi fenomena dalam dunia kesusastraan nasional sejak era Merari Siregar (Sipirok), Armijn Pane dan Sanusi Pane (Sipirok), Amir Hamzah (Tanjung Pura), Chairil Anwar (Medan), Sitor Situmorang (Samosir), Bakri Siregar (Medan), Matu Mona (Medan), Bahrum Rangkuti (Medan), Bokor Hutasuhut (Balige), dan banyak nama lainnya. Keikutsertaan Bokor Hutasuhut kembali ke dunia sastra setelah menghilang hampir selama 1970-an, menambah gairah kesusastraan di Sumatra Utara.   

Pada Jumat, 4 Agustus 2017, Bokor Hutasuhut meninggal dunia.


Tulisan ini disampaikan Budi P Hutasuhut dalam acara "Tribute to Bokor Hutasuhut", salah satu agenda Balige Writers Festival 2023 di TB Silalahi Center, Balige, pada 27 Oktober 2023.



[1] Alexander Supartono merekam kembali polemic Lekra versus Manifesta Kebudayaan dalam skripsinya berjudul Lekra Vs Manipol untuk keperluan mendapatkan gelar sarjana di STF Dirkaryasa tahun 2000.  DS Muljanto dan Taufiq Ismail juga merekam apa yang mereka sebut prahara seputar polemic Lekra versus Manifestasi Kebudayaan di dalam buku  Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.,.

[2] Bokor Hutasuhut dalam percakapan dengan penulis sering mendaku dirinya sebagai: “penakluk ujung dunia”.

[3]  Kritikus sastra HB Jassin dalam tulisannya, “Bokor Hutasuhut Pengarang Romantik”, terbit di Mimbar Indonesia Nomor:3-4 Maret-April 1966 Tahun XX, menyebut realitas Bokor Hutasuhut adalah realitas romantic dan mengukur dunianya haruslah dengan realitas romantik.

[4] Sitor Situmorang membahas perang bius sebagai bagian dari sejarah antropologi masyarakat Batak di sekitar Danau Toba. , Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX (Cet-2),  2009, Jakarta : Komunitas Bambu.

[5] Budi P Hutasuhut, Historiografi Padang Sidimpuan, 2022. Penerbit Pustaha, Padang Sidimpuan

 

Lanjut baca »

Tunggu Aku di Pojok Jalan Itu

item-thumbnail

Cerpen Oleh: Iwan Simatupang


“Tunggu aku di pojok jalan itu,” katanya. “Aku beli rokok dulu ke warung sana.”

Ia pergi. Sejak itu, istrinya tak pernah melihatnya lagi. Sepuluh tahun kemudian, ia kembali ke kota itu. Dilihatnya istrinya masih menunggu di pojok jalan itu.

“Selamat sore,” sapa istrinya.

“Selamat sore,” sahutnya.

Ia mengharap lebih dari hanya selamat sore. Tetapi, istrinya tak lagi berkata apa. Ia cepat berpaling kepada laki-laki lain yang datang menghampirinya. Kepadanya ia juga memasang muka manis, dan menyapa, “Selamat sore.”

Laki-laki itu tak menjawab, tetapi terus saja menjentik pipi istrinya. Mereka bercakap sebentar. Berpegangan tangan, mereka kemudian menyusuri kakilima.

Ia memburu istrinya. Tetapi dilihatnya wajah istrinya sangat terusik.

“Selamat sore!” kata istrinya lagi.

Suaranya sangat saran dengan anjuran keras jangan mengganggu lagi.

Lama ia tegak termangu di bawah lentera pojok jalan itu. Angin malam sangat dingin. Leher bajunya ditegakkannya. Langkah-langkahnya yang lambat berangkat dari tempat itu menjalin perasaannya ke dalam kenangannya. Ia mengerti! Keratasapuan biru di langit malam yang masih muda, menyiramkan kesejukan maaf ke dalam dadanya.

Ia tersenyum, menganggukkan kepalanya. Cepat langkah-langkahnya menuju hotel kecil tempat ia menginap. Bersiul kecil, ia mengambil kunci kamarnya dari kantor pengusaha hotel.

“Agaknya kota kami menyenangkan Tuan?” sapa pengusaha hotel, seorang janda gemuk, lewat lima puluhan.

“Sangat menyenangkan,” sahutnya. “Mungkin saya menetap di sini.”

“Syukur.”

Otaknya cepat menghitung uang bayar makan per bulan yang akan dimintanya dari tamu yang tampaknya selalu riang ini. Di kamar mandi, dia ini senantiasa menyanyikan lagu-lagu yang kebetulan juga kesukaannya. Tetapi ia sangat heran, ketika tamunya itu menolak dipinjami gramofon bersama piringan hitam dari justru lagu-lagu yang dinyanyikannya di kamar mandi itu.

“Saya suka Tuan menyukainya,” katanya kecewa.

“Menyukainya tak harus berarti kita menjadi budaknya.”

Ia berusaha keras jangan melukai hati perempuan itu.

“Tuan sakit?” tanya janda itu sejam kemudian mengetuk pintu kamarnya. Di tangannya sepiring sup panas.

“Tidak,” sahutnya ramah. Hatinya mengutuk perempuan gemuk jelek yang tampaknya ingin mengobral kebaikan hati itu.

“Mengapa Tuan tidak pergi jalan-jalan? Di musim begini, kota kami paling indah.” Ia letakkan sup di atas meja. Dan, sambungnya genit, “Kota kami terkenal wanita-wanita cantiknya.” Ia mengedipkan mata kirinya.

“Mungkin besok. Tetapi malam ini, terang tidak.”

Dengan hormat sekali, ia untuk kedua kalinya malam itu berusaha jangan terlalu melukai perempuan itu. Pelan-pelan ia mengiringnya keluar pintu.

“Selamat sore,” sapanya sekali lagi, petang esoknya.

“Selamat sore.”

Nada suara istrinya seperti kemarin. Lurus, dangkal. Netral, seperti netralnya keindahan barang-barang di balik kaca pajangan.

Ia melihat ke sekeliling. Tak ada laki-laki lain. Ia hampiri istrinya. Istrinya memandanginya. Persis pandangan pedagang jagal sapi pada langganan yang baru masuk kedainya.

Bingung ia dibuat pandangan seperti itu. Danau biru bening yang ditinggalkannya sepuluh tahun lalu pada kedua mata itu, tak ditemuinya. Tiba-tiba satu rasa yang khas menusuk masuk ke dalam dirinya. Rasa, yang menyuruh ia cepat berpaling saja, lari meninggalkan istrinya. Tetapi, niatnya ini dibatalkan segera oleh satu bau di udara. Bau minyak wangi dan pupur harga murah.

Ia terkejut sekali! Berbeda bau ini dari minyak wangi yang dulu acap dibelinya bagi istrinya. Memang, tak sering ia membelinya. Tetapi, sekali ia beli, pastilah itu dari jenis paling bagus, paling mahal. Bau ini dapat memuncakkan segala kasih birahinya kepada istrinya.

Satu rangsang nakal hinggap atas pelupuk matanya. Ia ingin tajam-tajam memandang dalam mata istrinya. Kalau perlu, dengan segala risiko yang dibawa oleh pandangan nakal serupa itu.

Tetapi… di luar dugaannya, istrinya sedikit pun tak menundukkan kepalanya. Dengan usaha untuk di saat terakhir mempertahankan dirinya, ia membalas tatapan mata suaminya itu. Untuk suatu ketika, mereka saling berpandangan, menerobos ke lubuk jiwa masing-masing.

Tetapi, bintang-bintang di langit malam yang berangkat tua, memberi kodrat lain pada pertemuan pandang seperti itu. Apakah arti sepuluh tahun di bumi bagi bintang-bintang di ruang angkasa?

Sebelum keduanya tahu apa-apa, keduanya telah menemui diri mereka dalam pelukan pihak lain. Mata mereka basah. Bibir mereka berkali-kali saling bersentuhan. Sentuhan, yang dengan paksa membuka pintu besi berkarat ke masa lampau.

Tangan mereka saling berpegangan. Keduanya tak tahu mau mengungsikan ke mana bahagia mereka malam ini.

“Ke mana?” tanya istrinya.

Ke mana? Ya, Allah! Sesudah sepuluh tahun, ia masih juga belum dapat menjawab pertanyaan serupa itu. Dirinya adalah justru tanya itu sendiri, bukan jawabnya.

“Entah,” bisiknya. Bisik, antara bisik dan usaha untuk … namun tak menyia-nyiakan malam ini.

“Kau masih seperti dahulu juga,” kelakar istrinya.

Suara itu menyatakan dakwaan yang mengambang dalam kasmaran yang telah memperbarui dirinya kembali.

“Aku masih tetap aku,” jawabnya. Tangan istrinya semakin erat digenggamnya. Keduanya tak adapat memulai percakapan biasa. Dada mereka terlalu sesak. Kata-kata mereka sangkut di kerongkongan, untuk kemudian mereka telan kembali bersama ludah asin.

Mereka sampai di ujung kakilima. Mereka berhenti. Persimpangan jalan yang dihadapi itu sangat membingungkan. Ia selalu dibingungkan oleh sekian arah sekaligus. Pandangnya dilarikannya ke bintang-bintang langit malam. Lama ia menatapnya, sambil mendengarkan pernapasan istrinya yang tegak di sampingnya. Pelan mereka membalik, menyusuri kakilima itu kembali.

“Ya. Tampaknya kau masih tetap kau juga,” kata istrinya.

Ia terkejut. Suatu nada asing ditemuinya pada suara istrinya.

“Mengapa kau terkejut?” tanya istrinya.

“Kau bukan kau lagi.”

“Aku masih saja… menunggu,” sahut istrinya.

Ia berusaha memperdengarkan suara sungguh-sungguh.

“Ya. Kulihat kemarin.”

“Habis, kau suruh aku menunggu….”

Tiba-tiba mereka merasa yang sepuluh tahun itu telah menghadirkan dirinya antara mereka. Kehadiran, yang dipantulkan bintang-bintang di langit, yang berkedip telah jutaan tahun. Gong dalam hati sanubari mereka berbunyi. Gong! Yang menyatakan gugurnya babak bagi mungkinnya mereka bersatu kembali di masa datang.

Suatu benci mengental dalam dirinya. semua pada wanita yang tegak di sampingnya ini dibencinya. Sangat dibencinya! Minyak wanginya, pupurnya, cat bibirnya, cat kukunya, gaunnya dari sutra hijau. Semua dari harga murah, dengan hanya tugas: merangsang birahi jalang pada laki-laki.

Tiba-tiba saja ia memutuskan bagi dirinya, bahwa wanita yang berjalan di sampingnya ini pada hakikatnya adalah sama saja dengan wanita-wanita lainnya yang pernah ditegurnya di kaki-kaki lima. suatu rasa asing merebut dirinya. Napasnya mulai panas, sesak.

“Mari!” bisiknya, padat dengan birahi.

“Ke mana?” tanya istrinya. Pengalamannya selama sepuluh tahun ini cepat dapat menerka makna pegangan tangan dan tarikan napas laki-laki seperti itu.

“Masa kau tak tahu. Ayo!”

Istrinya tersenyum. Sejenak, ia menatapi suaminya baik-baik. Matanya menyatakan penjungkiran suatu harapan yang hampir berhasil dibangunnya. Sinar gaib memancar dari kedua bola matanya. Sinar dari penderitaan selama (dan pembalasan untuk) sepuluh tahun. Senyum bibirnya sejak itu memiliki kepastian.

“Ayo! Mari…,” desaknya lagi.

Berpegangan tangan erat sekali mereka berdua pergi dari pojok jalan itu. Langkah-langkahnya doyong, diseret oleh langkah-langkah pasti istrinya. Tiba-tiba istrinya berhenti.

“Tunggu dulu!” katanya, sambil mengetuk tangan suaminya.

“Ada apa?”

“Tarifku dua ratus sampai tengah malam. Sampai pagi, dobel….”

Seperti kena sambar halilintar di siang bolong, tubuhnya menjadi kejang dan kelu. Mukanya pucat pasi. Ludah basi dan asin sekali dengan kentalnya merekatkan geraham-gerahamnya. Pandangannya pudar, makin pudar. ia melihat segumpal bayang saja lagi.

Tetapi tak lama kiamat kecil ini berlangsung dalam dirinya. Pelan-pelan ia bangkit kembali dari titik nadir kesadarannya dan naik ke titik zenith-nya untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan tentang dirinya di dalam pertautan persoalan antara dia, istrinya, dan seluruh alam raya. Ia mengerti!

Pelan-pelan getar-getar kecil tadi datang kembali, makin lama makin banyak. Napasnya, tubuhnya, kembali membara. Akhirnya, ia dapat memulihkan kembali garis-garis profil wajah istrinya, wajah yang tersenyum menantang, tersenyum menang….

Esok paginya, dengan kereta api pertama yang berangkat subuh, ia meninggalkan kota itu. Ia telah memutuskan untuk mencari kota lain saja tempat ia menetap.

Petangnya, di bawah lentera di pojok sebuah jalan di kota itu, seorang wanita dalam gaun sutra hijau menunggu…, menunggu laki-laki mana saja. Kepada mereka yang datang kepadanya ia selalu berseru, “Selamat sore….”

***


Disalin dari Tegak Lurus dengan Langit, Lima Belas Cerita Pendek Iwan Simatupang, Penerbit Sinar Harapan, cetakan II, 1985


Lanjut baca »

Robbie Ross dan Puisi Muhammad Asqalani Eneste Lainnya

item-thumbnail


Muhammad Asqalani eNeSTe lahir di Paringgonan, 25 Mei 1988. Seorang Youtuber di channel Dunia Asqa. Pemenang II Duta Baca Riau 2018. Terpilih mengikuti Residensi Seniman Riau Katagori Puisi 2023. 

Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Islam Riau (UIR).  Mengajar Bahasa Inggris di Smart Fast Education dan TK Islam Annur Bastari. Dia mentor menulis di Kelas Puisi Online (KPO) - WR Academy dan Asqa Imagination School (AIS). 

Ia memenangi Malam Anugerah Ngewiyak Vol.1 2022 dengan predikat PUISI TERBAIK.  1 Januari 2019 buku puisinya berjudul doksologi memenangi Sayembara Buku Fiksi, Komunitas Menulis Pontang - Tirtayasa (Komentar).

Menulis sejak 2006. Biografinya ditulis Novita Rahayu, mahasiswi Ilmu Kepustakaan, Universitas Lancang Kuning (Unilak). Puisi-puisinya dijadikan skripsi "Lisensia Puitika Puisi-Puisi Muhammad Asqalani, Sebuah Kajian Stilistika” oleh Raka Faeri (NPM: 086210631). Pernah menjadi redaktur sastra Majalah Frasa. Meraih gelar Penulis Pembaca Puisi Muda Terpuji Riau 2011. 

Berikut puisi-puisinya:

 

Robbie Ross


kenapa orang-orang meletakkan pisau di kelangkang,

seolah akan menikam perempuan di selangka kelam?

padahal mereka pemilik jiwa narsisus paling licin basah.

kau, laki-laki yang menjuntaikan lidah ke leher penyair,

yang mengubah laknat jadi nikmat, jadi buih-buih putih sia-sia.

kau mematikan merah gairah kebanyakan, menjadi pekat liar paling personal,

di mana tubuh penyair jadi lumpur, kau tindas atas kepentingan birahi angin.

saat kematianmu jadi bayang-bayang burung ajaib,

puisi hinggap di sebuah penjara,

yang mendekam tubuh seorang ikal Irlandia.

begitulah dunia menjilat sejarah kejimu;

sedarah setali nikmat sekumpul laknat.

Kubang Raya, 27 Februari 2023

 

African Proverb


laki-laki yang berjalan sendirian seperti kijang di tengah malam.

melintasi orang-orang yang menguap di lopo kopi,

anak-anak yang menjerit diganggu setan, serta nenek-nenek tua

yang rajin memerdukan batuk.

sampailah lelaki itu di depan batu keyakinan, yang dipuja orang-orang

dari kota-kota yang purba, ia berdehem, lantas berjalan kembali,

mengabaikan batu, yang diagungkan semua orang.

jika pagi mengangkang, ia akan melangkaui batu-batu sungai,

bersama kawanan pemburu burung, terperangkap buluh-buluh

berbalut getah.

inilah mereka, kawanan pejalan jauh yang percaya pendapat orang-orang tua

di Afrika; jika berjalan jauh, hendaklah beberapa tubuh, agar segala yang bikin rubuh,

dapat pula saling menopang, saling sokong dan sokang.

tiba mereka di gunung yang penuh lubang-lubang pekuburan,

mereka mandi dan berdoa untuk keselamatan orang-orang angkuh di bumi.

kening mereka mendekat, merekat, lalu menyatu dengan tanah.

Kubang Raya, 16 Januari 2022

 

Manyokkir


suara surau parau. barah itu kiamat lagi;

sisa-sisa siksa--berulang-ulang.

Kubang Raya, 27 Februari 2023

 

Titisan Dorian


ia duduk di atas kursi kayu, matanya sayu, wajahnya kuyu,

hatinya lebih ayu dari wanita mana pun, dalam dongeng bangsa apa pun.

kami tak mengenalnya. ia mengaku Dorian. dari ketinggian harapan laki-laki,

juga kerendahan derajat perempuan. ia mengaku, ksatria yang kalah hadapi pria,

dalam cermin paling cekung, dalam lubuk mimpi orang-orang berkabung.

aku mencintai lelaki pemiara ular rahasia serupa Hydra. berkepribadian tiga,

timbul tenggelam dalam pemikiran telaga, yang keruh dalam ruh-ruh suci

dalam sebutir percik agama.

lalu, tiga puluh sembilan senja di penghujung ciuman,

ada yang datang dan terus memandang.

aku Dorian, yang dilibas kenangan tentang orang mati

dan ketakutan atas ketiadaan pengampunan.

ini Hydra dalam tubuhku. terimalah. terimalah.

orang-orang menderma kebingungan, terus mengular,

terus memanjang, memandang ke dalam kuburan 1798.

Kubang Raya, 16 Januari 2022

 

Mirza

 

Mirza,

bunga imitasi berjanji padaku akan lebih mekar dari imaji,

akan lebih kuar dari wangi, akan lebih kekal dari ajal.

cinta mengajarinya begitu, doa menjemari begitu, hati menggemari begitu,

semesta kata-kata dari jiwa paling nelangsa mengaku moksa dan anti sengsara.

 

Mirza,

meski aku percaya tak ada yang bercahaya selain matamu yang sendu,

tiada yang lebih membuatku masygul selain tebal alismu sembul,

pun tak ada yang meringiskanku selain gingsul kirimu yang bungsu.

pada jarak paling pisah, menara dalam keyakinanku setinggi basah,

kesedihan bagai lelehan marwah di balik panas wasangka yang goyah.

 

mestinya tak ada apa-apa,

selain kita yang goyah mengaku gagah,

mengutip bintang-bintang redup dari bentang hidup,

aku terkesima, pada aksioma yang luruh di tubuhmu bila subuh,

saat matiku yang sementara kembali memujamu serupa stupa,

petapa yang papa tanpa tanda cinta di batu kelaminnya.

 

Khuruj 2015 – Pekanbaru 2022

Lanjut baca »

Wangi Bunga di Pemakaman Jamil

item-thumbnail

Cerpen Oleh: Ilham Wahyudi



Lantunan doa berkumandang di rumah orang tua Jamil. Banyak pelayat tak menyangka Jamil begitu cepat menghadap Sang Pengadil. Begitu pula kedua orang tua Jamil—terkejut tak percaya. Tadi subuh selepas orang pulang salat di masjid, Jamil masih tampak segar bugar menggerakkan tubuhnya di halaman rumah. Jamil memang rajin olahraga, meski kesehariannya lebih sering menenggak minuman keras.

Minum miras bagi Jamil sudah seperti minum air putih. Ia tak ragu mengganti air putih dengan miras sehabis makan berat. Pagi-pagi sebelum sarapan—Jamil tak gentar menghadiahkan lambungnya dengan miras. Bendera putih pun dikibarkan orang tua Jamil: pasrah pada semua kelakuan Jamil. Hanya doa yang mereka andalkan—semoga Jamil berubah suatu saat nanti. Tapi sayang, Jamil keburu menghadap.

Kebiasaan Jamil bermula setelah ia patah hati pada seorang gadis yang tak lain atasan Jamil sendiri. Marlina namanya. Cinta Jamil kepada Marlina bukan hanya bertepuk sebelah tangan. Lebih parah daripada itu: Marlina sama sekali tidak menganggap Jamil. Sungguh membuat hati Jamil hancur serupa kerupuk ditelan hujan.

Maka, hari-hari selanjutnya adalah mabuk dan bergumul sampai pagi dengan siapa saja yang mencintai isi kantong Jamil—bukan hati Jamil. Habis sudah semua tabungan Jamil yang susah payah ia kumpulkan.

Jamil sebenar sakit. Ia telah bersumpah akan terus minum dan bergumul di ranjang sampai ajal menjemput. Sumpah itu pun akhirnya sungguh terwujud.

“Kapan meninggalnya?” tanya seorang pelayat.

“Tadi pagi sebelum sarapan tiba-tiba menggelepar setelah menenggak miras,” jawab pelayat lain.

“Berarti mati saat minum miras?” tanya pelayat lain pula penasaran.

“Sudah! Tak baik menceritakan orang yang sudah meninggal!” jawab seorang pelayat paruh baya.

Para pelayat hening.

Sementara itu, di sebuah dimensi yang lain, dimensi yang tak pernah bisa dijangkau manusia, sekelompok makhluk tampak bersorak gembira. Seperti sedang merayakan kemenangan dari sebuah pertempuran.

“Hore... Aku berhasil! Aku akan naik pangkat dan akan mendapatkan tantangan yang lebih hebat lagi.”

“Kau memang berbakat. Tentu akan dipromosikan. Untuk itu, kau harus menyiapkan rencana dan strategi yang lebih jitu,” kata salah satu senior makhluk yang bersorak gembira itu.

“Tapi apakah aku harus memastikan cucu Adam itu benar masuk jahanam?” tanya makhluk yang baru saja berhasil membuat seorang cucu Adam mati dalam kondisi su’ul khatimah.

“Benar! Sebab tiket tantangan itu hanya keluar kalau cucu Adam yang kau goda valid masuk jahanam.”

“Baiklah, aku akan menunggu di pintu jahanam, memastikan kerjaku berhasil.”

“Pergilah!”

Makhluk itu pun bergegas menuju pintu jahanam.

Ritual memandikan jenazah selesai, dan jenazah Jamil siap disalatkan.

Pelayat yang datang tampak semakin ramai. Padahal sedang pandemi, tidak boleh ada kerumunan manusia. Selain itu, orang tua Jamil juga bukan pejabat atau pengusaha kaya raya. Sungguh kehadiran pelayat yang begitu ramai terasa cukup janggal. Jamil pun bukanlah tipe anak gaul. Tapi mengapa pelayat yang datang berjibun?

Keluarga serta tetangga Jamil banyak yang tak mengenal para pelayat itu. Anehnya lagi, saat jenazah Jamil dimasukkan ke liang lahat, orang-orang yang tak dikenal itu semakin banyak jumlahnya. Keluarga dan tetangga Jamil pun semakin terheran-heran. Siapakah mereka? Dan mengapa pakaian mereka serba putih?


Di pintu jahanam, makhluk yang bersorak gembira itu melihat seorang cucu Adam digiring ke mulut jahanam. Hatinya gembira. Ia menebak itu pasti si Fulan yang su’ul khatimah. Tetapi saat ia mendekati, dugaannya keliru. Ia terkejut, kemudian bertanya kepada malaikat penjaga jahanam.


“Maaf malaikat, sebelum ini adakah cucu Adam yang lain diseret ke jahanam?” tanya makhluk itu resah.

“Tidak, kenapa?” jawab malaikat.

“Aku ingin memastikan cucu Adam yang kuperdaya sudah masuk ke jahanam,” mahkluk itu menjelaskan.

“Apa urusanmu? Tugasmu kan hanya menggoda. Soal mereka masuk atau tidak bukan urusanmu!” jawab malaikat itu mulai kesal.

“Tapi kali ini urusanku! Karirku tergantung cucu Adam itu,” jawab mahkluk itu.

“Pertanyaanmu sudah aku jawab. Kalau tidak lagi ada yang penting, sebaiknya kau pergi! Atau jangan-jangan kau mau masuk ke dalam jahanam?” kata malaikat kesal.

Makhluk itu ciut. Tentu saja ia tidak ingin masuk ke dalam jahanam lebih dulu—meskipun ia tahu akan masuk ke dalam jahanam kelak. Tapi tentu saja bukan sekarang! Tidak ingin malaikat penjaga itu menyorongnya ke dalam jahanam, makhluk itu pergi meninggalkan pintu jahanam.

Putus asa, mahkluk itu berniat menemui seniornya untuk berkonsultasi.

Sepanjang jalan, muncul pertanyaan dalam pikirannya: mengapa cucu Adam yang ia goda tidak masuk jahanam? Bukankah dia mati dalam kondisi berbuat dosa? Dan yang membuat ia semakin heran, tak sekalipun sepanjang ingatannya cucu Adam itu pernah berbuat baik. Bahkan sekadar memberi uang receh kepada pengemis pun tidak. Kecuali memberi tip kepada wanita-wanita yang sudah ditidurinya, makhluk itu memang sering melihatnya.

“Seniorku, apakah cucu Adam yang sepanjang hidupnya berbuat dosa tidak lantas masuk jahanam?” tanya makhluk itu spontan ketika sampai di kediaman seniornya.

“Seharusnya langsung masuk. Sebentar, dari mana kau tahu cucu Adam yang kau goda tidak masuk jahanam. Mungkin saja sudah masuk sebelum kau datang?” senior makhluk itu balik bertanya.

“Aku sudah bertanya kepada malaikat penjaga jahanam,” kata makhluk itu gusar.

“Oke, kalau begitu kau ikut aku!”

“Ke mana, seniorku?”

“Sudah, ikut saja!”

Dua makhluk itu pun pergi ke sebuah tempat.

“Salam ya salam malaikat pencabut nyawa. Bolehkah aku bertanya tentang suatu hal?” tanya senior mahkluk itu.

“Apa itu wahai makhluk penggoda?” jawab malaikat pencabut nyawa.

“Bukankah setiap cucu Adam yang su’ul khatimah dan sepanjang hidup berlumur dosa akan langsung masuk jahanam?”

“Ya, benar.”

“Tapi mengapa si Fulan bin Fulan tidak masuk?” tanya senior makhluk itu penasaran.

“Belum ada perintah untuk itu.”

“Loh, mengapa harus pakai perintah kalau jahanam dan firdaus sebuah konsekuensi perbuatan cucu Adam selama di dunia?”

“Kau memang makhluk yang sombong. Merasa paling tahu. Paling pintar...”

“Maksudnya?”

“Kau dan bangsamu memang makhluk yang sombong. Firdaus atau jahanam itu bukan urusan makhluk. Itu urusan Tuhan! Untuk apa kau pertanyakan sesuatu yang bukan urusanmu?”

“Tapi Tuhan sudah mengatakan kalau aku dan bangsaku mampu menggoda anak cucu Adam, jahanamlah ganjaran mereka. Dan mereka kelak akan menemani kami,” jawab senior makhluk itu mulai emosi.

“Sudah aku katakan, itu bukan urusan makhluk. Firdaus dan jahanam itu hak prerogatif Tuhan. Jangan lancang campuri urusan Tuhan!”

“Tidak adil! Aku akan menuntut Tuhan,” kata senior makhluk itu.

“Tidak adil? Tahu apa kau tentang keadilan?” jawab malaikat pencabut nyawa.

Makhluk penggoda itu terdiam.

“Pergilah! Kerjakan saja tugas kalian!” perintah malaikat pencabut nyawa.

“Baik, kami akan pergi. Tapi kami akan protes kepada Tuhan. Dan sebelum protes kami didengar, kami akan mogok menggoda cucu Adam,” ancam senior makhluk penggoda itu, lalu pergi.

Pelayat berpakaian serba putih tampak semakin ramai. Jumlahnya terus bertambah. Area pemakaman Jamil terlihat bagai hamparan awan putih karena keberadaan mereka.

Pelan-pelan dari dalam tanah yang telah sempurna memeluk jasad Jamil, menyeruak wangi bunga. Wangi yang menusuk-nusuk hidung; yang memanggil-manggil siapa saja untuk datang ke pemakaman Jamil.

Akasia 11CT.




Ilham Wahyudi
lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIBU dan seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Buku kumpulan cerpennya “Kalimance Ingin Jadi Penyair” akan segera terbit. 

Lanjut baca »

Menanti Hari Bahagia dan Puisi-Puisi Kang Thohir Lainnya

item-thumbnail


Muhammad Thohir memakai nama pena Kang Thohir lahir di Brebes, Jawa Tengah. Suka menulis sejak SD sampai masuk ke pondok pesantren. Selain menulis aku juga suka membaca buku agar bisa bermanfaat untuk menambah wawasan (pengetahuan).

Berikut puisi-puisi Kang Thohir: 


Berkembang


Biarkanlah waktu menentukan takdir

Seperti pohon tua yang kian rapuh

Dan akan tumbang tertimpa angin

Aku ingin hidup seperti gimana hidup

Sederhana atau serba ada

Tetapi tetap menyapa hari bahagia

Melambai harapan tak pernah layu

Namun berguna untuk lainnya

Mekar mewangi dan berkembang


Brebes, 21 Februari 2023


Meraih Pintar dan Benar


Buku-buku berserakan di atas kasur

Tempat aku tidur

Kini aku tidur di bawah kasur

Untuk menyerap kehangatan belajar

Menyantap pahitnya kehidupan

Di balik kesederhanaan

Adalah hikmah yang dihadirkan

Dalam mencari ilmu meski di bilik kamar

Tetap semangat untuk menjadi orang pintar

Meraih kesuksesan supaya benar


Brebes, 21 Februari 2023


Ternoda Dosa


Intuisi semakin hambar

Ternodai dosa yang berakar

Penuh amarah juga gelisah

Pada jiwa yang berontak

Kepala pusing dan botak

Membuat aku tak berkutak

Kemanakah aku berpijak

Dunia semakin sempit

Membuat aku terhimpit

Oleh masalah dunia

Yang tak kunjung habisnya

Penuh ambisi dan tamak

Manusia serakah dan lupa

Duh, Gusti Kang Kuasa

Berikan aku petunjuk-Mu


Brebes, 21 Februari 2023


Rendah Hati

Jadi pelajar yang rendah hati

Jangan merasa ingin dipuji

Dan jangan suka meremehkan dan merendahkan orang lain

Sehingga merasa dirinya langit

Tetapi berbuat baiklah kepada orang lain dan menghormatinya

Itulah pelajar yang sejati dan rendah hati


Brebes, 21 Februari 2023


Menanti Hari Bahagia


Resah gelisah di dada 

Menanti hari bahagia

Di atas permadani cinta

Menatap dunia 


Aku pun merasakan ketenangan jiwa

Bila hari itu nyata

Laksana bunga kembali mekar

Karena lama layu dan pudar


Brebes, 21 Februari 2023


Lanjut baca »

Sang dan Puisi-Puisi Bang Harlem Lainnya

item-thumbnail

Bang Harlen lahir dengan nama Hady Kurniawan Harahap. Menulis cerpen, puisi, dan catatan perjalanan. Sebagian karyanya disiarkan di Kompas, Republika, Sinar Tabagsel. Pernah diundang dalam Festival Sastra Asia Tenggara II di Padang Panjang. Kini menjadi jurnalis di Sinar Tabgsel.

Puisi-puisinya sebagai berikut:

Markusip


Meski berselimut setengah abad
Bilah-bilah kayu itu tetap melintang erat
Memberi makan rayap-rayap
              Yang senantiasa mendekat
        Dua insan saling berdendang rindu
Memaut cinta lewat celah sempit itu
Oi amang! Aku tersulut api cemburu
             Pada hikayat kakek dan nenekku
Lantas,
Bagaimanakah markusip itu kini?
Ah! Ia hanya selembar dokumen
Dalam bingkai emas modern
            Yang sarat akan ilusi

Padang Sidimpuan, 2022

 

Sang


adalah mata
melihat yang tersembunyi
mengenali wajah-wajah hipokrasi

adalah sumur abadi
ditimba takkan habis
dikeruk takkan terkikis 

adalah rindu yang dituju
rumah untuk mengadu
muara bagi yang melaju

Padang Sidimpuan, 2022 

Kematian


Jika kematian adalah rok mini, maka aku
adalah tatapan liar para lelaki.

Jika kematian adalah impotensi, maka aku
ikhlas membujang sampai mati.

Jika kematian adalah matahari, maka aku
adalah pakaian yang baru selesia dicuci

Jika kematian adalah novel fiksi, maka aku
adalah pengarang yang pandai berimajinasi.

Jika kematian adalah seekor iblis, maka aku
adalah mangsa yang paling manis.

Jika kematian adalah Sapardi, maka aku
adalah hujan di Bulan Juni

Jika kematian adalah ampas kopi, maka aku
adalah cangkir yang begadang menanti pagi.
 
Jika kematian adalah moncong senjata pemburu, maka aku
adalah harimau yang akan menerkammu.

Jika kematian adalah pemantik, maka relakanlah
Kurawat asap ini agar ia urung berkedip.

Padang Sidimpuan, 2022


Aku Ingin


Aku ingin keinginanku adalah lilin
yang meleleh dalam mulut gulita

aku ingin keinginanku menjelma angin
yang mengusir peluh para pekerja

aku ingin keinginanku diikuti amin
yang kau selipkan di antara doa-doa


Padang Sidimpuan, 2023



Lanjut baca »

Jejak Sejarah Kritik Sastra Kita

item-thumbnail

Penulis Budi Hatees | seorang esais

Sastra berbahasa Angkola, novel Toelbok Haleon karya Soetan Pangoerabaan, ayah dari Sanusi Pane dan Armijn Pane, yang ditulis 1909, jauh sebelum sastra Indonesia mengenal Angkatan Balai Pustaka atau sebelum Merari Siregar menulis novel Azab dan Sengsara.  

Kritik sastra kita masih seperti pada zaman generasi Pujangga Baru.  Kita membaca tulisan-tulisan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan J. E. Tatengkeng yang diterbitkan di majalah Pujangga Baru. Bentuknya berupa  resensi buku atau tinjauan buku, berisi apresiasi pribadi penulisnya terhadap karya sastra (buku) yang sifatnya impresionistik. Semacam fragmen pendek yang tak mendalam penggarapannya.

Selain tidak kita temukan sebuah metodelogi dengan pisau bedah yang tajam hingga tulisan-tulisan mereka mampu mengungkapkan apa yang disampaikan dan tidak disampaikan sastrawan, tulisan-tulisan itu terkesan dibuat untuk mendukung tujuan-tujuan politik tertentu.  Tujuan-tujuan politik dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan situasi zaman pada era itu, dekade 1920-an atau 1930-an, saat bangsa kita belum bernama Republi Indonesia. 

Tujuan-tujuan politik yang tampak adalah politik identitas. Pada era Pujangga Baru, era ketika mulai banyak kaum intelektual terdidik yang lahir dari lembaga  pendidikan formal yang diselenggarakan kolonialis, manusia dihantui oleh pendapat global yang melihat dan mengaakui eksistensi manusia lain karena pendidikan formal yang diterimanya. 

Saat itu, mereka yang berpikir seperti Eropa (dengan sendirinya penjajah) dianggap sebagai manusia paripurna karena hidup tercerahkan. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang menganggap makan sirih sebagai perilaku barbar, dan menyajikan wiski kepada tamu sebagai gaya hidup baru. Mereka sibuk dengan urusan penampilan pribadi, memakai pantalon dan jas warna putih, dan tak terlalu perduli kenapa orang di luar rumah masih banyak yang tak memakai baju. 

Orang-orang terdidik dalam lembaga pendidikan buatan kolonial, memposisikan dirinya sekaligus diposisikan masyarakatnya pada level kelas sosial yang tinggi. Mereka semacam aristokrat di Eropa, yang berbicara tentang berapa keuntungan yang diperoleh dari perkebunan tembakau di Sumatra Timur tetapi tidak pernah bertanya berapa kali kuli kontrak mendapat cambukan dipunggungnya hanya untuk menghasilkan sekotak tembakau.

Mereka, kaum intelektual yang keintelektualannya selalu dimulai dan ditandai dengan menjadi penulis karya sastra,  memiliki tujuan politik yang belum tegas tentang bentuk sebuah bangsa merdeka dari kolonialisme, meskipun mereka sudah role model nasionalisme sebagaimana diwariskan dr. Budi Utomo pada 1908.  Namun, nasionalisme Budi Utomo itu,  bukan gagasan yang menjadi tanggung jawab bersama para intelektual. 

Pasca 1908, pada saat pencerahan Eropa menjadi ekspektasi pribadi para intelektual,  Sutan Takdir Alisjahbana kemudian menulis tentang pentingnya pengembangan kebudayaan berorientasi ke Barat karena peradaban manusia sudah berkembang pesat di Barat akibat penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan. Segala sesuatu kemudian menjadi kehilangan subtansinya manakala Sanusi Pane menegaskan pentingnya kebudayaan berorientasi ke Timur, yang akhirnya melahirkan polemik berkepanjangan tentang Barat versus Timur.  

Polemik Barat versus Timur menjauh dari semangat nasionalisme Budi Utomo, membuat para intelektual yang seharusnya melahirkan gagasan-gagasan lanjutan untuk mengkonstruksikan apa itu nasionalisme dan bagaimana membangkitkannya, justru terfragmentasi ke dalam kubu-kubu yang mendukung jalan pikiran Sutan Takdir Alisjahbana dan yang mendukung orientasi Sanusi Pane. Fragmentasi ini tak hanya terjadi dalam pemikiran kebudayaan, tapi juga mempengaruhi arah apresiasi karya sastra.  

Sutan Takdir Alisjahbana mengkritik sajak-sajak dan naskah drama Sanusi Pane lewat perspektif seseorang yang menginginkan perkembangan kebudayaan berorientasi ke Barat. Dia menyebut Sanusi Pane hanya merayakan tradisi Timur sehingga menjauh dari dinamika peradaban modern. Tak mau kalah, Sanusi Pane mengkritik karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagai tak berakar di lingkungan masyarakatnya, terutama karena tokoh-tokoh dalam novelnya, Layar Terkembang, merupakan karya yang mengadobsi sastra Belanda. 

Polemik kebudayaan itu terjadi pada dekade 1930-an, dua tahun setelah emberio Indonesia disepakati para pemuda lewat Kongres Pemuda Indonesia ke-2 yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.  Peristiwa Sumpah Pemuda sesungguhnya anak tangga berikutnya setelah dr. Budi Utomo memperkenalkan nasionalisme pada 1908. Namun, polemik kebudayaan menyebabkan tindaklanjut dari tiga poin penting dalam Sumapah Pemuda itu jadi terabaikan. Frasa “Tanah Air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”  kemudian terabaikan, seakan-akan peristiwa Sumpah Pemuda itu tidak pernah terjadi. 

Dari empat nama sastrawan Pujangga Baru yang menulis kritik sastra (kita sebut saja tulisan mereka sebagai jejak awal kritik sastra), mereka terpolarisasi ke dalam dua kubu berseberangan dengan orientasi budaya yang bertolak belakang. Sutan Takdir Alisjahbana pembawa semangat moderenisasi yang memuja Eropa (Barat), dan Sanusi Pane pemuja Timur.  Mereka sibuk saling mengejek karya. Takdir meremehkan novel Belenggu karya Armijn Pane dan drama-drama Sanusi Pane sebagai tidak bersemangat membangun zaman. Sementara Armijn Pane dan Sanusi Pane mengejek Layar Terkembang, novel yang ditulis Takdir, sebagai tidak sesuai jiwa orang Timur. 

Sejarah kritik sastra kita diletakkan pertama kali sebagai alat untuk mengejek dan saling menjatuhkan. Pertarungan kubu Takdir versus kubu Sanusi merembet kepada persolan lain, kait-berkait dengan masalah lain. Padahal, kedua kubu itu sama-sama tidak bisa dibela karena mereka mengabaikan orang banyak yang hidup dalam tekanan kolonialisme Belanda.  Kedua kubu terlalu sibuk dengan orientasi Barat versus Timur, tapi lupa bahwa mereka hanyalah rakyat dari sebuah bangsa yang dijajah oleh kolonialisme.

Meningkat ke pasca Pujangga Baru,  kritik sastra kita masih belum bergeser dari perkara non-sastra. Pertarungan antara sastrawan senior yang menjadi pendukung kekuasaan Jepang versus sastrawan junior yang tidak diperhitungkan,  merembet ke perkara-perkara non-sastra.  Kritik sastra masa itu masih melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh tua dunia sastra, yang mengkritik sajak-sajak Chairil Anwar sebagai mirip rujak (enak dimakan tapi tak perlu). Kritik yang dibalas Chairil Anwar dengan menyebut Pujangga Baru sebagai masa lalu, meskipun Chairil Anwar sendiri bersepakat dengan gagasan Takdir yang berorientasi ke Barat.

Setelah Jepang kalah, kritik sastra kita memasuki priode baru dengan lahirnya tulisan-tulisan HB Jassin. Tapi, masih seperti tulisan era Pujangga Baru, sifatnya hanya berupa apresiasi yang impresionistik.  Bedanya, Jassin mulai memperkenalkan kritik sastra yang punya hasrat untuk mengungkapkan apa yang ditulis dan tidak ditulis oleh sastrawan.  Jassin berorientasi untuk memperkenalkan sastra dan sastrawan kepada masyarakat, tapi kurang mengelaborasi untuk apa sastra dibaca oleh masyarakat.

Dampak upaya Jassin, karya sastra makin banyak ditulis dan regenerasi sastrawan terjadi.  Nama-nama sastrawan baru bermunculan seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer,  Idrus, Asrul Sani, Rivai Avin, Bakri Siregar, Achidiat K Mihardja, M. Balfas, dan lain sebagainya.  Nama-nama ini kemudian mengambil alih peran sastrawan Pujangga Baru yang sudah menjadi masa lalu. Sajak-sajak Chairil Anwar, novel-novel Pramoedya Ananta Toer, dan cerpen-cerpen Idrus menyebabkan karya-karya sastrawan Pujangga Baru tidak lagi dibaca.  Namun, kritik sastra terhadap karya-karya sastra yang fenomenal itu, masih saja belum bergeser dari sejarah kritik sastra yang dibawa generasi Pujangga Baru.  

Sajak Chairil Anwar tidak dibicarakan sebagai persoalan teks sastra, tetapi sebagai persoalan pribadi Chairil Anwar selaku “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”.  Novel-novel Pramoedya Ananta Toer tidak dibicarakan sebagai persoalan teks sastra, tetapi sebagai pribadi Pramoedya yang mengalami kepahitan hidup karena sering keluar masuk penjara.  

Dunia sastra kita berkembang pesat (kalau memang berkembang) dengan produksi karya sastra berlimpah. Regenerasi sastrawan tidak pernah berhenti. Tapi, kritik sastra kita menunjukkan gejala mengalami stagnasi karena grafik pertumbuhannya jomplang jika dibandingkan grafik pertumbuhan karya sastra. Jumlah kritik sastra kita tidak signifikan. Bila kita baca kritik sastra yang sedikit itu, isinya tidak bergeser dari apa yang pernah dipersoalkan di masa lalu,  yang menyebabkan rendahnya wibawa kritik sastra di masyarakat.  

Wiratmo Sukito pernah menulis esai, “Kegagalan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini", di  Harian Kami edisi 30 Oktober 1968, dan mengatakan penyebab rendahnya wibawa kritik sastra karena “kekuatan politik masih tetap digunakan untuk menentukan kritik sastra”.  

Pernyataan tersebut muncul setelah Wiratmo Sukito menghadapi realitas kritik sastra dan realitas rumah tangga kesusastraan kita pada dekade 1950 dan 1960-an ketika para sastrawan terpolarisasi ke dalam dua kubu yang berseberangan: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) versus Surat Kepercayaan Gelanggang (Gelanggang). Pada masa itu, setiap kubu memperjuangkan kekuatan politik dari partai politik yang menjadi afiliasinya, dan tidak menyadari bahwa mereka sama-sama telah melakukan kesalahan fatal dengan tidak memposisikan karya sastra sebagai persoalan teks sastra. 

Mereka mengabaikan pentingnya teks sastra dalam setiap pembicaraan tentang karya sastra, lalu memposisikan para sastrawan dalam isme-isme sebagai pusat segala pembicaraan tentang kesusastraan. Pramoedya dan kawan-kawan kemudian identik dengan Lekra, lalu Asrul Sani dan kawan-kawan identik dengan Gelanggang.  Pramoedya membicarakan seni harus membawa semangat realisme sosial dan bertendensi politis, sementara Asrul Sani mengusung seni humanis universal dan bertendi politik.

Lebih dua dekade kedua kubu ini bertarung sangat keras. Setiap kubu saling menjatuhkan, saling serang fisik dan mental. Pemikiran sastra direduksi menjadi strategi politik yang berimbas ke berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dampaknya, karya-karya sastra dibakar dan dilarang dibaca.  Banyak karya kubu Pramoedya yang hilang, begitu juga karya kubu Gelanggang. 

Kritik sastra pada masa ini tidak lebih dari propaganda politik untuk memperjuangkan semangat kubu sekaligus untuk menjatuhkan kubu lawan.  Namun, pada dasarnya, persoalan yang dipersoalkan kedua kubu ini nyaris tak berbeda, dan sesungguhnya kedua kubu ini tanpa sadar juga saling memuji.  

Sejarah kritik sastra kita tidak berlebihan bila disebut sejarah pertarungan sastrawan versus sastrawan. Pertarungan yang tidak berlangsung di wilayah sastra, tetapi melebar ke wilayah non-sastra, dan sering berakhir jadi persoalan politik. Kondisi seperti ini terus berlangsung sampai sekarang, di mana para sastrawan terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan kelompoknya. 

Bedanya, para sastrawan tidak lagi berafiliasi politik dengan orientasi untuk memperjuangkan isme tertentu, tetapi sastrawan hari ini lebih luas lagi wilayah garapannya. Mereka berkubu-kubu untuk memulus tujuan-tujuan ekonomi dengan melakukan strategi-strategi  perjuangan yang dikesankan seakan-akan bicara soal teks sastra.

Ada sastrawan yang memilih menjadi juru bicara dari moderenisme, ada yang anti-moderenisme. Semua yang dibicarakan pada akhirnya tergantung pada kepentingan siapa yang akan diperjuangkan.  Jika kepentingan itu terkait orientasi bisnis dari kapitalis, maka sastrawan tidak sungkan-sungkan akan menulis karya sastra yang memuluskan langkah kapitalis tersebut.  Kritik sastra pun diarahkan untuk memuluskan langkah tersebut.

Bagaimana dengan posisi public sastra? Bagi mereka, public pembaca hanya bagian dari pasar karya sastra yang bisa ditangani sebagaimana para konsumen dengan gampang dimanjakan oleh iklan. Karya-karya sastra pada akhirnya hanyalah produk barang yang diproduksi untuk konsumen. 


Lanjut baca »

Catatan Purba dan Puisi-Puisi Pulo Lasman Simanjuntak Lainnya

item-thumbnail

Pulo Lasman Simanjuntak dilahirkan di Surabaya, 20 Juni 1961. Menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Publisistik (STP), saat ini bernama IISIP Jakarta. Belajar sastra secara otodidak. Sejak SMP menulis sajak, disiarkan Kompas. Setelah itu karya puisinya dimuat di berbagai media massa Indonesia dan Malaysia. Sudah menerbitkan tujuh buku antologi puisi dan dan 20 buku antologi puisi bersama para penyair di seluruh Indonesia. Namanya masuk dalam Leksikon Sastra Indonesia karya Pamusuk Eneste dan buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia). 

Berikut puisi-puisinya: 


Menu Makanan Hari Ini 


menu makanan hari ini -

tak lagi memesan makanan

berlemak aku benci

kolestrol aku sunyi

karbohidrat aku bersahabat

protein aku bersatu

vitamin aku kunyah


menu makanan hari ini -

tak lagi memesan makanan

gula tinggi aku seperti beelzebul

garam asin aku seperti legion

kadar lemak aku seperti dewa molokh


maka,

menu makanan hari ini-

akan berjalan kaki seribu langkah

sampai tiba di perut matahari

membuang limbah racun

paling mematikan

memasak dengan

menu vegan


Jakarta, Rabu, 4 Januari 2023



Kolesterol


di sebuah rumah ibadah tua

sekujur tubuhku dibalut lemak

jahat seperti raja ahab

keji seperti puteri atalya


kadang terbakar api liar

yang menyembur dari ribuan rambut

sampai tembus ke katup jantung


kini aku rajin menyiram tanaman hijau

berpuasa tanpa makan daging lembu

gerak badan menari di bawah matahari

melepas sauh pikiran mencemaskan


pada akhirnya harus berakhir

di dalam rumah gizi

tak lagi sunyi

sendiri lagi


Jakarta, Kamis, 19 Januari 2023


Internet


lagu puji-pujian

belum kudendangkan

sosok ini muncul

di layar telepon seluler

wajahnya

sungguh menakutkan


aliran-aliran darahnya

kemudian pecah

pada jaringan sunyi di udara

sampai tembus ke benua-benua

terluar

siap menagih

tumpukan mata uang

berbunga kematian


sambil terus berkomunikasi

lewat chat orang-orang kelaparan

seperti tak ada solusi

untuk membayar setiap

kegelisahan menahun

dalam diri ini

tiap dinihari


Jakarta, Senin, 16 Januari 2023


Catatan Purba


tengoklah,

suatu peristiwa langka

akan terjadi di sini

manakala ada kubawa diam-diam

keriuhan rindumu tempohari

mengaca di peta para tetangga baru

setia mendendangkan koor bersama

gaudeamusnya silih berganti


ada kalanya burung-burung terbang

tanpa sayap

membuat sepertiga lingkaran batu

di tengah amukan hutan terbakar


hingga kita masih sempat

dibuatnya terkejut

oleh cuaca melepuh

segala keraguan

turut menggenapkan usia kita

waktu tiba untuk saling bercumbu


selebihnya hanya wajah kita lagi

yang makin enggan bersembahyang gaib

seakan teka-teki yang lalu-lalang dihati

jadi sebuah sepi

tak berarti


kita pun lalu saling bertanya

luka membusuk siapa

yang menyebar baunya

ke dalam bait-bait sajak ini


Jakarta, Kamis 26 Januari 202


Masa Perjalanan 


telah jamnya tiba

pejalan kaki tak pernah merayu

kudanya mati di rawa

betapapun gunung-gunung buta

jadi sepond cinta

kehilangan makna


matahari berpacu dalam pot

memburu anak-anak kampung

hijrah dari tanah-tanah keramat

menggigit bukit

hingga sepi sejenak


selanjutnya dari sini

hanya terlihat selintas

di jantungnya yang sebelah kiri

sebuah perahu pucat

berlayar di tengah lautan

tak tertulis lagi

dalam peta perjalanan


Jakarta, Rabu, 25 Januari 2023


Lanjut baca »

Seseorang yang Gemar Memukuli Kepalaku dengan Payung

item-thumbnail

Cerpen: Fernando Sorrentino

Ada seseorang yang gemar memukuli kepalaku dengan payung. Hari ini genap sudah lima tahun dia memukuli kepalaku. Awalnya aku sangat marah, tapi sekarang aku sudah terbiasa dengan itu.

Aku tidak tahu namanya. Yang aku tahu, dia berpenampilan biasa-biasa saja, mengenakan setelan abu-abu, dan wajah yang seperti kebanyakan orang lainnya. Aku bertemu dengannya lima tahun lalu pada sebuah pagi hari yang panas. Aku sedang di palermo park, duduk di bangku di bawah pohon rindang, sambil membaca koran. Tiba-tiba aku merasakan ada yang menyentuh kepalaku. Itu adalah orang yang sama dengan orang yang sekarang, sambil aku menulis cerita ini, sedang memukul-mukuliku, dengan teratur dan aktif, dengan sebuah payung.

Saat itu aku langsung membalikkan badanku dengan penuh kemarahan, tapi dia tetap saja memukuliku. Aku bertanya kepadanya apakah dia gila. Sepertinya, dia bahkan tidak mendengarkanku. Lalu aku mengancam akan memanggil polisi. Dia tidak gentar, sikapnya tetap tenang, dan terus saja memukul-pukuli kepalaku dengan payung. 

Setelah kuperhatikan beberapa saat, dan aku yakin dia tidak akan mengubah kebiasaanya yang buruk, aku segera berdiri dan memukul hidungnya. Pria itu jatuh tersungkur. Dia mengeluarkan jeritan yang tertahan. Tapi dia segera berdiri, tampak bersusah payah, dan lagi-lagi tanpa mengeluarkan sepatahkata pun dia kembali memukuli kepalaku dengan payung. 

Hidungnya berdarah dan pada saat itu aku merasa menyesal. Aku merasakan penyesalan yang amat sangat karena telah memukulnya dengan sangat keras. Lagipula, dia sebenarnya tidak memukuli kepalaku dengan keras. Dia hanya mengetuk-ngetukkan payungnya di kepalaku, tidak menyebabkan rasa sakit sama sekali. 

Tapi, tentu saja, ketukan-ketukan itu amat sangat menggangguku. Seperti yang kita tahu, ketika seekor lalat hinggap di keningmu, kamu tidak akan merasa sakit atau apapun, kamu hanya akan merasa jengkel karenanya. Jadi, bisa dikatakan bahwa payung itu adalah seekor lalat yang sangat besar yang selalu hinggap di kepalaku dari waktu ke waktu, dan dengan jeda yang beraturan.

Yakin bahwa aku sedang berurusan dengan orang gila, aku coba untuk melarikan diri. Tapi orang itu mengikutiku, tanpa bicara dan lanjut memukuliku. Jadi, aku mulai lari (harus kujelaskan bahwa tidak banyak orang yang dapat berlari secepat diriku). Dia juga mulai berlari sambil mengayun-ayunkan payungnya, mencoba untuk memukulku. 

Orang itu sudah terlihat ngos-ngosan, sehingga aku berpikir kalau aku tetap memaksanya untuk berlari dengan kecepatan seperti ini, penyiksaku itu akan langsung mati di tempat. Makanya aku memelankan lariku. Aku melihat ke arahnya. Tidak ada tanda-tanda apapun di wajahnya, baik itu rasa syukur ataupun penyesalan. Dia tetap saja memukuli kepalaku dengan payung. Aku berpikir untuk pergi ke kantor polisi dan mengatakan: “Pak, orang ini memukuli kepalaku dengan payung.” 

Jika kau melaporkannya ke polisi, itu akan menjadi kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya. Petugas kepolisian malah akan melihatku dengan tatapan curiga, menanyai dokumen-dokumenku dan mulai menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang memalukan. Dan, di,a bahkan akan memasukkanku ke penjara.

Kupikir saat ini lebih baik aku pulang ke rumah. Aku naik bus 67. Dia, sementara itu, masih memukuli kepalaku dengan payungnya dari arah belakangku. Aku duduk di kursi pertama. Dia berdiri tepat di sampingku, dan berpegangan di pegangan tangan di bus dengan tangan kirinya. Tangan kanannya tak henti-hentinya memukuliku dengan payung itu. 

Awalnya, para penumpang diam-diam saling melempar senyum. Si sopir mulai memperhatikan kami dari kaca pengemudi. Sedikit demi sedikit perjalanan bus berubah menjadi luapan tertawaan, semuanya tertawa terbahak-bahak, sebuah tertawaan tanpa akhir. Aku rasakan wajahku memerah karena malu. Sementara itu penyiksaku, yang kebal terhadap tertawaan, lanjut memukuliku.

Aku turun -- kami turun – di Pacifico Bridge. Kami berjalan di sepanjang Santa Fe Avenue. Setiap orang dengan bodohnya menatap kami. Aku secara refleks mengatakan pada mereka, “Apa yang kau lihat, bodoh? Belum pernah melihat orang yang memukul kepala orang lain dengan payung ya?” 

Tapi, aku juga sadar kalau mereka mungkin belum pernah melihat pertunjukan seperti ini sebelumnya. Kemudian, sekitar lima atau enam anak-anak mulai mengejar kami sambil berteriak seperti para maniak.

Tapi aku punya sebuah rencana. Saat aku tiba di rumah, aku akan mencoba untuk membanting pintu di depannya. 

Namun itu tidak terjadi. Dia pasti sudah membaca pikiranku, karena dia dengan kuat meraih gagang pintu dan memaksa masuk denganku.

Mulai saat itu, dia lanjut memukuli kepalaku dengan payungnya. Sepengetahuanku, dia tidak pernah tidur ataupun makan. Satu-satunya pekerjaannnya adalah memukuliku. Dia selalu denganku di setiap saat, bahkan saat aktivitasku yang paling intim. 

Aku ingat bahwa awalnya pukulan-pukulan itu membuatku terjaga sepanjang malam. Sekarang kupikir tidak mungkin bagiku untuk tidur tanpa pukulan-pukulan itu.

Tetap saja, hubungan kami tidak selalu baik. Aku sudah menanyakannya, hampir setiap saat, dan dengan semua nada bicara yang memungkinkan, agar dia dapat menjelaskan kelakuannya ini. 

Tanpa hasil apa-apa, dia dengan diam lanjut memukuli kepalaku dengan payungnya. Sering kali aku memukulnya, menendangnya, dan bahkan – Tuhan maafkan aku – menghempasnya dengan payung. Dia dengan sabar akan menerima semuanya seakan-akan itu adalah bagian dari pekerjaannya. Dan ini adalah aspek kepribadiannya yang paling aneh, keyakinanya yang kokoh terhadap pekerjaannya ditambah dengan tidak adanya rasa dendam sama sekali. 

Di samping kebutuhan psikologisnya yang kurang, aku tahu bahwa saat aku memukulnya, dia merasakan sakit. Aku tahu bahwa dia lemah. Aku tahu dia bisa mati. Aku juga tahu bahwa aku bisa saja menyingkirkannya dengan sebuah peluru. Yang tidak kuketahui adalah apakah peluru itu lebih baik digunakan untuk membunuhnya atau membunuhku. 

Aku juga tidak tahu kalau ketika kami berdua mati, dia mungkin tidak akan lagi memukuli kepalaku dengan payungnya. Pada akhirnya, semua alasan ini sia-sia. Aku sadar bahwa aku tidak akan pernah berani untuk membunuhnya ataupun diriku sendiri.

Di sisi lain, aku menjadi sadar bahwa aku tidak bisa hidup tanpa pukulan-pukulan itu. Sekarang, sering kali sebuah perasaan hinggap di benakku. Dan itu semakin sering terjadi padaku. Sebuah kegelisahan baru pelan-pelan memakan jiwaku; kegelisahan yang berakar dari pikiran bahwa orang ini, mungkin ketika aku amat sangat membutuhkannya, akan pergi dan aku tidak akan bisa merasakan ketukan-ketukan payung itu lagi yang telah membantuku tidur dengan nyenyak.



Fernando Sorrentino
lahir di Boenos Aires, Argentina,  pada 8 November 1942.  Karya-karyanya cenderung absurd, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Portugis, Italia, Jerman, Prancis, Finlandia, Hongaria, Polandia, Bulgaria, Cina, Vietnam, Tamil, Kannada, Persia, dan Kabyle.  Pada 2006 dia menerbitkan kumpulan cerpen, Per colpa del dottor Moreau ed altri racconti fantastici, dan tahun 2013 terbit bukunya: Per difendersi dagli scorpioni ed altri racconti insoliti. Cerpen ini diterjemahkan Ichlas Syukurie.
Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda