.

Robbie Ross dan Puisi Muhammad Asqalani Eneste Lainnya

item-thumbnail


Muhammad Asqalani eNeSTe lahir di Paringgonan, 25 Mei 1988. Seorang Youtuber di channel Dunia Asqa. Pemenang II Duta Baca Riau 2018. Terpilih mengikuti Residensi Seniman Riau Katagori Puisi 2023. 

Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Islam Riau (UIR).  Mengajar Bahasa Inggris di Smart Fast Education dan TK Islam Annur Bastari. Dia mentor menulis di Kelas Puisi Online (KPO) - WR Academy dan Asqa Imagination School (AIS). 

Ia memenangi Malam Anugerah Ngewiyak Vol.1 2022 dengan predikat PUISI TERBAIK.  1 Januari 2019 buku puisinya berjudul doksologi memenangi Sayembara Buku Fiksi, Komunitas Menulis Pontang - Tirtayasa (Komentar).

Menulis sejak 2006. Biografinya ditulis Novita Rahayu, mahasiswi Ilmu Kepustakaan, Universitas Lancang Kuning (Unilak). Puisi-puisinya dijadikan skripsi "Lisensia Puitika Puisi-Puisi Muhammad Asqalani, Sebuah Kajian Stilistika” oleh Raka Faeri (NPM: 086210631). Pernah menjadi redaktur sastra Majalah Frasa. Meraih gelar Penulis Pembaca Puisi Muda Terpuji Riau 2011. 

Berikut puisi-puisinya:

 

Robbie Ross


kenapa orang-orang meletakkan pisau di kelangkang,

seolah akan menikam perempuan di selangka kelam?

padahal mereka pemilik jiwa narsisus paling licin basah.

kau, laki-laki yang menjuntaikan lidah ke leher penyair,

yang mengubah laknat jadi nikmat, jadi buih-buih putih sia-sia.

kau mematikan merah gairah kebanyakan, menjadi pekat liar paling personal,

di mana tubuh penyair jadi lumpur, kau tindas atas kepentingan birahi angin.

saat kematianmu jadi bayang-bayang burung ajaib,

puisi hinggap di sebuah penjara,

yang mendekam tubuh seorang ikal Irlandia.

begitulah dunia menjilat sejarah kejimu;

sedarah setali nikmat sekumpul laknat.

Kubang Raya, 27 Februari 2023

 

African Proverb


laki-laki yang berjalan sendirian seperti kijang di tengah malam.

melintasi orang-orang yang menguap di lopo kopi,

anak-anak yang menjerit diganggu setan, serta nenek-nenek tua

yang rajin memerdukan batuk.

sampailah lelaki itu di depan batu keyakinan, yang dipuja orang-orang

dari kota-kota yang purba, ia berdehem, lantas berjalan kembali,

mengabaikan batu, yang diagungkan semua orang.

jika pagi mengangkang, ia akan melangkaui batu-batu sungai,

bersama kawanan pemburu burung, terperangkap buluh-buluh

berbalut getah.

inilah mereka, kawanan pejalan jauh yang percaya pendapat orang-orang tua

di Afrika; jika berjalan jauh, hendaklah beberapa tubuh, agar segala yang bikin rubuh,

dapat pula saling menopang, saling sokong dan sokang.

tiba mereka di gunung yang penuh lubang-lubang pekuburan,

mereka mandi dan berdoa untuk keselamatan orang-orang angkuh di bumi.

kening mereka mendekat, merekat, lalu menyatu dengan tanah.

Kubang Raya, 16 Januari 2022

 

Manyokkir


suara surau parau. barah itu kiamat lagi;

sisa-sisa siksa--berulang-ulang.

Kubang Raya, 27 Februari 2023

 

Titisan Dorian


ia duduk di atas kursi kayu, matanya sayu, wajahnya kuyu,

hatinya lebih ayu dari wanita mana pun, dalam dongeng bangsa apa pun.

kami tak mengenalnya. ia mengaku Dorian. dari ketinggian harapan laki-laki,

juga kerendahan derajat perempuan. ia mengaku, ksatria yang kalah hadapi pria,

dalam cermin paling cekung, dalam lubuk mimpi orang-orang berkabung.

aku mencintai lelaki pemiara ular rahasia serupa Hydra. berkepribadian tiga,

timbul tenggelam dalam pemikiran telaga, yang keruh dalam ruh-ruh suci

dalam sebutir percik agama.

lalu, tiga puluh sembilan senja di penghujung ciuman,

ada yang datang dan terus memandang.

aku Dorian, yang dilibas kenangan tentang orang mati

dan ketakutan atas ketiadaan pengampunan.

ini Hydra dalam tubuhku. terimalah. terimalah.

orang-orang menderma kebingungan, terus mengular,

terus memanjang, memandang ke dalam kuburan 1798.

Kubang Raya, 16 Januari 2022

 

Mirza

 

Mirza,

bunga imitasi berjanji padaku akan lebih mekar dari imaji,

akan lebih kuar dari wangi, akan lebih kekal dari ajal.

cinta mengajarinya begitu, doa menjemari begitu, hati menggemari begitu,

semesta kata-kata dari jiwa paling nelangsa mengaku moksa dan anti sengsara.

 

Mirza,

meski aku percaya tak ada yang bercahaya selain matamu yang sendu,

tiada yang lebih membuatku masygul selain tebal alismu sembul,

pun tak ada yang meringiskanku selain gingsul kirimu yang bungsu.

pada jarak paling pisah, menara dalam keyakinanku setinggi basah,

kesedihan bagai lelehan marwah di balik panas wasangka yang goyah.

 

mestinya tak ada apa-apa,

selain kita yang goyah mengaku gagah,

mengutip bintang-bintang redup dari bentang hidup,

aku terkesima, pada aksioma yang luruh di tubuhmu bila subuh,

saat matiku yang sementara kembali memujamu serupa stupa,

petapa yang papa tanpa tanda cinta di batu kelaminnya.

 

Khuruj 2015 – Pekanbaru 2022

Lanjut baca »

Menanti Hari Bahagia dan Puisi-Puisi Kang Thohir Lainnya

item-thumbnail


Muhammad Thohir memakai nama pena Kang Thohir lahir di Brebes, Jawa Tengah. Suka menulis sejak SD sampai masuk ke pondok pesantren. Selain menulis aku juga suka membaca buku agar bisa bermanfaat untuk menambah wawasan (pengetahuan).

Berikut puisi-puisi Kang Thohir: 


Berkembang


Biarkanlah waktu menentukan takdir

Seperti pohon tua yang kian rapuh

Dan akan tumbang tertimpa angin

Aku ingin hidup seperti gimana hidup

Sederhana atau serba ada

Tetapi tetap menyapa hari bahagia

Melambai harapan tak pernah layu

Namun berguna untuk lainnya

Mekar mewangi dan berkembang


Brebes, 21 Februari 2023


Meraih Pintar dan Benar


Buku-buku berserakan di atas kasur

Tempat aku tidur

Kini aku tidur di bawah kasur

Untuk menyerap kehangatan belajar

Menyantap pahitnya kehidupan

Di balik kesederhanaan

Adalah hikmah yang dihadirkan

Dalam mencari ilmu meski di bilik kamar

Tetap semangat untuk menjadi orang pintar

Meraih kesuksesan supaya benar


Brebes, 21 Februari 2023


Ternoda Dosa


Intuisi semakin hambar

Ternodai dosa yang berakar

Penuh amarah juga gelisah

Pada jiwa yang berontak

Kepala pusing dan botak

Membuat aku tak berkutak

Kemanakah aku berpijak

Dunia semakin sempit

Membuat aku terhimpit

Oleh masalah dunia

Yang tak kunjung habisnya

Penuh ambisi dan tamak

Manusia serakah dan lupa

Duh, Gusti Kang Kuasa

Berikan aku petunjuk-Mu


Brebes, 21 Februari 2023


Rendah Hati

Jadi pelajar yang rendah hati

Jangan merasa ingin dipuji

Dan jangan suka meremehkan dan merendahkan orang lain

Sehingga merasa dirinya langit

Tetapi berbuat baiklah kepada orang lain dan menghormatinya

Itulah pelajar yang sejati dan rendah hati


Brebes, 21 Februari 2023


Menanti Hari Bahagia


Resah gelisah di dada 

Menanti hari bahagia

Di atas permadani cinta

Menatap dunia 


Aku pun merasakan ketenangan jiwa

Bila hari itu nyata

Laksana bunga kembali mekar

Karena lama layu dan pudar


Brebes, 21 Februari 2023


Lanjut baca »

Sang dan Puisi-Puisi Bang Harlem Lainnya

item-thumbnail

Bang Harlen lahir dengan nama Hady Kurniawan Harahap. Menulis cerpen, puisi, dan catatan perjalanan. Sebagian karyanya disiarkan di Kompas, Republika, Sinar Tabagsel. Pernah diundang dalam Festival Sastra Asia Tenggara II di Padang Panjang. Kini menjadi jurnalis di Sinar Tabgsel.

Puisi-puisinya sebagai berikut:

Markusip


Meski berselimut setengah abad
Bilah-bilah kayu itu tetap melintang erat
Memberi makan rayap-rayap
              Yang senantiasa mendekat
        Dua insan saling berdendang rindu
Memaut cinta lewat celah sempit itu
Oi amang! Aku tersulut api cemburu
             Pada hikayat kakek dan nenekku
Lantas,
Bagaimanakah markusip itu kini?
Ah! Ia hanya selembar dokumen
Dalam bingkai emas modern
            Yang sarat akan ilusi

Padang Sidimpuan, 2022

 

Sang


adalah mata
melihat yang tersembunyi
mengenali wajah-wajah hipokrasi

adalah sumur abadi
ditimba takkan habis
dikeruk takkan terkikis 

adalah rindu yang dituju
rumah untuk mengadu
muara bagi yang melaju

Padang Sidimpuan, 2022 

Kematian


Jika kematian adalah rok mini, maka aku
adalah tatapan liar para lelaki.

Jika kematian adalah impotensi, maka aku
ikhlas membujang sampai mati.

Jika kematian adalah matahari, maka aku
adalah pakaian yang baru selesia dicuci

Jika kematian adalah novel fiksi, maka aku
adalah pengarang yang pandai berimajinasi.

Jika kematian adalah seekor iblis, maka aku
adalah mangsa yang paling manis.

Jika kematian adalah Sapardi, maka aku
adalah hujan di Bulan Juni

Jika kematian adalah ampas kopi, maka aku
adalah cangkir yang begadang menanti pagi.
 
Jika kematian adalah moncong senjata pemburu, maka aku
adalah harimau yang akan menerkammu.

Jika kematian adalah pemantik, maka relakanlah
Kurawat asap ini agar ia urung berkedip.

Padang Sidimpuan, 2022


Aku Ingin


Aku ingin keinginanku adalah lilin
yang meleleh dalam mulut gulita

aku ingin keinginanku menjelma angin
yang mengusir peluh para pekerja

aku ingin keinginanku diikuti amin
yang kau selipkan di antara doa-doa


Padang Sidimpuan, 2023



Lanjut baca »

Catatan Purba dan Puisi-Puisi Pulo Lasman Simanjuntak Lainnya

item-thumbnail

Pulo Lasman Simanjuntak dilahirkan di Surabaya, 20 Juni 1961. Menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Publisistik (STP), saat ini bernama IISIP Jakarta. Belajar sastra secara otodidak. Sejak SMP menulis sajak, disiarkan Kompas. Setelah itu karya puisinya dimuat di berbagai media massa Indonesia dan Malaysia. Sudah menerbitkan tujuh buku antologi puisi dan dan 20 buku antologi puisi bersama para penyair di seluruh Indonesia. Namanya masuk dalam Leksikon Sastra Indonesia karya Pamusuk Eneste dan buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia). 

Berikut puisi-puisinya: 


Menu Makanan Hari Ini 


menu makanan hari ini -

tak lagi memesan makanan

berlemak aku benci

kolestrol aku sunyi

karbohidrat aku bersahabat

protein aku bersatu

vitamin aku kunyah


menu makanan hari ini -

tak lagi memesan makanan

gula tinggi aku seperti beelzebul

garam asin aku seperti legion

kadar lemak aku seperti dewa molokh


maka,

menu makanan hari ini-

akan berjalan kaki seribu langkah

sampai tiba di perut matahari

membuang limbah racun

paling mematikan

memasak dengan

menu vegan


Jakarta, Rabu, 4 Januari 2023



Kolesterol


di sebuah rumah ibadah tua

sekujur tubuhku dibalut lemak

jahat seperti raja ahab

keji seperti puteri atalya


kadang terbakar api liar

yang menyembur dari ribuan rambut

sampai tembus ke katup jantung


kini aku rajin menyiram tanaman hijau

berpuasa tanpa makan daging lembu

gerak badan menari di bawah matahari

melepas sauh pikiran mencemaskan


pada akhirnya harus berakhir

di dalam rumah gizi

tak lagi sunyi

sendiri lagi


Jakarta, Kamis, 19 Januari 2023


Internet


lagu puji-pujian

belum kudendangkan

sosok ini muncul

di layar telepon seluler

wajahnya

sungguh menakutkan


aliran-aliran darahnya

kemudian pecah

pada jaringan sunyi di udara

sampai tembus ke benua-benua

terluar

siap menagih

tumpukan mata uang

berbunga kematian


sambil terus berkomunikasi

lewat chat orang-orang kelaparan

seperti tak ada solusi

untuk membayar setiap

kegelisahan menahun

dalam diri ini

tiap dinihari


Jakarta, Senin, 16 Januari 2023


Catatan Purba


tengoklah,

suatu peristiwa langka

akan terjadi di sini

manakala ada kubawa diam-diam

keriuhan rindumu tempohari

mengaca di peta para tetangga baru

setia mendendangkan koor bersama

gaudeamusnya silih berganti


ada kalanya burung-burung terbang

tanpa sayap

membuat sepertiga lingkaran batu

di tengah amukan hutan terbakar


hingga kita masih sempat

dibuatnya terkejut

oleh cuaca melepuh

segala keraguan

turut menggenapkan usia kita

waktu tiba untuk saling bercumbu


selebihnya hanya wajah kita lagi

yang makin enggan bersembahyang gaib

seakan teka-teki yang lalu-lalang dihati

jadi sebuah sepi

tak berarti


kita pun lalu saling bertanya

luka membusuk siapa

yang menyebar baunya

ke dalam bait-bait sajak ini


Jakarta, Kamis 26 Januari 202


Masa Perjalanan 


telah jamnya tiba

pejalan kaki tak pernah merayu

kudanya mati di rawa

betapapun gunung-gunung buta

jadi sepond cinta

kehilangan makna


matahari berpacu dalam pot

memburu anak-anak kampung

hijrah dari tanah-tanah keramat

menggigit bukit

hingga sepi sejenak


selanjutnya dari sini

hanya terlihat selintas

di jantungnya yang sebelah kiri

sebuah perahu pucat

berlayar di tengah lautan

tak tertulis lagi

dalam peta perjalanan


Jakarta, Rabu, 25 Januari 2023


Lanjut baca »

Aku Mencari Seorang Ibu dan Puisi Imam Sembada Lainnya

item-thumbnail

Iman Sembada lahir di Nglejok, sebuah dusun kecil yang terletak di wilayah Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen dan melukis. Buku antologi puisi tunggalnya Airmata Suku Bangsa (2004), Perempuan Bulan Ranjang (2016) dan Orang Jawa di Suriname (2019). Biografinya juga termaktub dalam buku Apa & Siapa Penyair Indonesia (2017). Aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kini ia bermukim di Depok, Jawa Barat.

Berikut ini puisi-puisinya:


Hujan Pagi Ini


Apa yang kau tahu tentang hujan pagi ini?
Selebihnya adalah dingin dan kenangan --
Tapi kau dan aku masih bisa sama-sama rindu
Di antara bangku-bangku bisu di ruang tunggu 

Aku keluar dari pintu apartemen, melihat
Lalat-lalat beterbangan. Lalat-lalat yang
Ingin membuat musim yang lain. Kota-kota
Telah berlalu. Ke mana burung-burung pergi
Dari taman-taman kota? Wajah-wajah pucat
Di depan pabrik-pabrik tua sudah lama tutup

Hujan masih turun. Hujan yang menumbuhkan
Kenangan di ujung-ujung ingatanku. Air mulai
Menggenangi jalan-jalan. Sebuah motor bebek
Berlalu. Melaju dengan kecepatan 80 km/jam

Hawa dingin menyelinap ke balik jaketku. Lalu
Aku membayangkan bibirmu berevolusi jadi
Sebuah senyuman. Kau sedang berziarah
Ke tanah moyangmu. Lalat-lalat beterbangan
Dari bau busuk. Payungku goyah tak mampu
Menahan bau busuk yang lain. Orang-orang
Saling diam. Bau comberan bergerak ke udara 

Cinere, November 2022

Aku Mengarang Lagi


Aku mulai mengarang lagi. Kau tidak
Percaya. Sebuah jembatan melintang
Di atas sungai. Aku melihat masa kecilmu
Berlumut di batu-batu, di dasar sungai itu

Aku membuat kalimat-kalimat baru dari
Rasa haru berkepanjangan. Huruf-huruf
Bermunculan di layar laptopku. Aku melihat
Bayangan mengelupas dari dinding-dinding
Yang sedang direnovasi. Sebuah nama masih
Tersimpan dalam ingatanku, 25 tahun yang lalu
Sebuah kenangan. Cahaya mencahayai cahaya:
Airmata kini bukan lagi dari kesedihan

Aku mengarang lagi. Tapi kau masih tidak
Percaya. Mengarang waktu yang bukan lagi
Malam. Mengarang waktu yang juga bukan
Lagi usia. Tubuhku gemetar menahan sisa-sisa
Flu dan demam. Angin memboyong sebuah malam
Ke rumahmu. Seorang gelandangan menyimpan sunyi
Dalam ranselnya. Aku mengarang tanpa rekening bank

Ada sebuah masjid dalam dzikirku. Dan ada
Sebuah gereja dalam nyanyianmu. Di luar kamarmu
Musim kemarau akan segera berakhir. Esok lusa
Aku pinjamkan biografiku kepada orang-orang 
Untuk memasuki istana seorang presiden 

Jalanan, November 2022

Aku Mencari Seorang Ibu


Aku mencari seorang ibu yang pergi
Dari sebuah puisi. Aku kehilangan semua
Jejak-jejaknya. Barangkali ia sudah jauh
Berjalan. Berjalan setengah lingkaran bumi

Bumi adalah tempat Adam dan Hawa
Pertama kali mengalami derita. Telah
Kumasuki bangunan-bangunan batu

Batu-batu yang telah menyusun dirinya
Sendiri di malam hari. Aku tidak mencari
Hantu, aku sedang mencari seorang ibu
Yang bermata hijau, seperti warna hutan 

Siapa yang membuat hutan-hutan terbakar
Setiap musim kemarau? Siapa yang menghapus
Jalan pulang seorang ibu ke sebuah puisi?

Ada kenangan-kenangan yang mengapung
Di udara. Kenangan-kenangan yang terbuat
Dari sulur-sulur waktu. Setiap yang pergi
Segera menjadi masa lalu paling ungu

Seorang ibu keluar dari sebuah puisi
Berkali-kali membelah diri menjadi
Kobaran api dan kisah-kisah lain

Jalanan, 29 Agustus 2022

Waktu Telah Menjadi Pisau


Waktu telah menjadi pisau
Aku meraihnya untuk mengiris
Wortel dan tomat -- aku ingin
Membuat jus. Sebuah pagi tercipta
Dari suara blender dan langkah kaki
Anak-anak ke sekolah. Tapi mata pisau
Lebih tajam daripada mata pelajaran 

Langit mengelupas. Awan-awan
Bergeser membuat jalan cahaya
Matahari. Baling-baling blender
Melumat wortel dan tomat, seperti
Mesin-mesin penghancur bahasa

Waktu telah menjadi pisau
Tajamnya bisa memutus urat nadi
Sebuah pisau. Sebilah risau 
Kuletakkan di rak piring. Suara air
Menetes-netes dari kran wastafel
Yang bocor. Aku memotret keramaian
Jalan raya dari jendela apartemen 
Setengah terbuka. Mimpi-mimpiku
Berjatuhan dari tempat tidur. Aku
Minum jus. Aku melupakan waktu
Juga melupakan pisau yang risau

Cinere, Agustus 2022

Sebuah Kafe Memerangkap Tubuhku


Sebuah sore. Sebuah kafe memerangkap tubuhku
Aku tak tahu: mana yang lebih maut antara mata
Pisau dan lirikan matamu. Udara lembab berjalan
Di punggungku. Kenapa kalimat peringatan selalu 
Ditulis dengan huruf kapital? Angin ribut dalam pikiranku 

Nota belanja telah menjelma daftar menu di atas
Meja. Ada yang datang, ada yang pergi. Aku butuh
Makanan untuk nanti malam. Kau ingin teman untuk
Bercerita tentang lipstik yang patah. Tapi apakah aku
Seorang teman? Lalu aroma parfummu menyelinap
Di kerah bajuku. Semut-semut merubung sisa makanan
Di lantai. Ada bayangan berkelebat di kaca nako
Seperti garis-garis abstraksi sore menuju malam 

Sebuah kafe. Sebuah sore yang banyak jendela
Dan sebuah pintu yang membuka dan menutup
Untuk keinginan-keinginan yang melintas. Aku pernah
Dicengkeram musim-musim yang meriang. Aku ingin
Pergi, tapi tanganmu segera meraih lenganku. Kau
Katakan bahwa debu-debu telah menjadi ancaman
Yang ditebarkan angin. Di luar orang-orang segera 
Berlalu. Detik berlalu. Aku tak mampu menahan waktu

Depok, Agustus 2022















































































Lanjut baca »

Empat Puluh Januari dan Puisi Alex R Nainggolan Lainnya

item-thumbnail

Puisi-Puisi:  Alex R Nainggolan  


Alex R. Nainggolan. lahir di Jakarta, 16 Januari 1982.  Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Admisnistratif  Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku dipublikasi di media cetak dan online. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (cerpen/ Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (puisi/Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (cerpen/ Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (puisi/Penerbit Basabasi, 2016).

Berikut puisi-puisinya:

Januari yang Gugur

januari gugur dalam hujan dan tanggal kelahiran yang alpa dilingkari. waktu menua dalam tubuh. menghitung lepas napas yang mengeras. langit mendung seperti menenung diri. sebuah lagu masa lalu mengayun. mengabarkan angka tahun bagi diri sendiri. 40 yang mengudap. berlipat sesal kekal pada hujan yang diam-diam berbaring di jantung. dekapan istri dan anak berpayung di rongga ingatan.

De Poris Cafe, 16-01-22


Empat Puluh

I.

rongga usia memanggang januari. ada percakapan yang bertahan atau sekadar lesap di gamang hujan. berapa banyak sketsa atau kata yang tak bisa dibaca. rongga usia dan aku yang melangkah. kini aku bahagia, meski lecut duka acap bertahan jadi bara. adakah engkau menunggu bahkan saat batas waktu menjadi batu? lalu kuhitung lagi segala harap dan cinta yang pernah terlihat nyata.

II.

aku duduk di bangku kayu. membenamkan hari yang mendung. ingin menulis puisi tapi masih terlalu pagi. juga untuk mengumbar sejumlah ingin yang telah suri. kembali kutelusuri lagi semua kenangan di gawai juga di lingkaran lagu yang masih mengalun. sampai jauh...

III.

ia mungkin hanya seorang lelaki kecil dan selalu ingin  pulang ke rumah. sebelum senja menjumpai dirinya. di bangku kafe, ia melipat usia.

De Poris Cafe, 16-01-2022


Di Sudut Kafe

di sudut kafe, alunan lagu yang merantau ke masa lampau. remah senyum dan bisikan di sisi telinga. percakapan nakal. bangku kayu yang lembab  bekas hujan. dan tubuhku limbung, menempuh setiap langkah murung. meskipun terkunci pada setiap ciuman yang pernah singgah, di lembab bibir.

di sudut kafe, sepi mengurung dengan lalu-lalang orang. merampasku di becek tanah, genangan air yang tak kunjung terserap, bahkan saat telepon berdering. mengabarkan rindu yang kering.

De Poris Cafe, 16-01-2022


Empat Puluh Januari

apa yang kaubayangkan dari kelahiran? ketika tubuhmu menyimpan empat puluh januari. setiap tangis ibu telah mengendap di setiap pori. napas yang menyimpan pagi dengan bayangan matahari sunyi. tapi akan ada janji yang lain, seperti kicau burung di ranting atau lembut angin menyisir ujung daun. bagaimana bisa kautawar saat rahim ibu terbuka, mengirimkan gelombang yang lebih ganjil dari puisi?

kini kau akan bercengkrama dengan anak lelakimu. berkisah tentang sepak bola dan berita-berita lawas. ah, betapa engkau ingin kembali mengarsir dirimu dengan puluhan warna, sebelum januari kembali tiba. 

De Poris Cafe, 16-01-2022


Selepas Pagi

selepas pagi, ia menjelma jadi puisi yang paling perih. yang tak bisa dikabarkan dengan kata bahkan untuk sekadar luka. namun dari bayangan punggungmu, selalu ada wajah ibu menunggu. meski terasa tirus kurusnya membungkus. dan di kota ini, kita selamanya menjelma jas hujan yang asik menampung segala keluh oleh kenangan lepuh. padahal ia hanya ingin menikmati sendiri, segala sedih lama yang tak pernah selesai untuk dikunyah. dan di rumah, kilat runcing lelah bersemayam, di balik segala perkataan. hingga segalanya berdiam diri. mengeras di batu kata. 

26-01-2022


Mata Malam

malam adalah sebagian masa kecil yang sulit diraba. tapi ia kerap terjaga, menampung sebagian kata yang berdengung di telinga. lalu kesedihan menelusup dari celah angin, tak sempat dipilinnya semua rindu yg terlanjur rapat pada celah mata perempuan. dan ia merangkai lagi segala kalimat ihwal percakapan yang tak kunjung selesai.

Januari 2022


Residu Hujan

setalah ini langit memang masih mendung. dan engkau terkurung di rumah. melipat pagi seluruhnya ke dalam kidung. tapi masih ada tetes air dari lembab kanopi. tergelincir ke balik usia. ah, mestinya engkau mengunjungi kota lama, menikmati kuliner dan menyimpan bayangan akhir pekan dengan percakapan biasa. 

tapi dingin mengerut di sepanjang tubuh. hanya ada lampu billboard menyala, menyimpan segala prakiraan cuaca di sosmed. apakah engkau mesti selfie, meng-upload tubuh hujan yang sedang tersenyum membaca dirinya terjun menghujam tanah?

2022

Februari Terbungkus Hujan dan Pandemi

jalan bulan kedua yang terbungkus hujan. engkau tertahan di persimpangan. jalanan dipenuhi genangan. kita bertemu tanpa ada jadwal, tapi cuaca selalu meninggalkan bekas-bekas yang tak terjamah. selalu ada palang yang menghadang. meski aku tetap mengemas setiap prasangka pada dirimu.

pada langit gelap. setiap luluh hujan yang lantak. 

februari yang terbungkus pandemi. orang-orang menghitung rajah positif dari wabah. menempuh segala remah yang menyisa. tak sempat berbenah bahkan ketika sampai di halaman rumah.

2022

Di Bawah Mistar Gawang

bola adalah lingkaran doa. agar tidak masuk di gerbangmu. garba yang kehilangan kota. sebelum ia tergelincir dibawa lincah kaki. dan kata yang berlari menempus serbuan mata. supaya tak ada gol yang tercipta. 

dari kata dan doa.

2022


Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda