Muhammad Asqalani eNeSTe lahir di Paringgonan, 25 Mei 1988. Seorang Youtuber di channel Dunia Asqa. Pemenang II Duta Baca Riau 2018. Terpilih mengikuti Residensi Seniman Riau Katagori Puisi 2023.
Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Islam Riau (UIR). Mengajar Bahasa Inggris di Smart Fast Education dan TK Islam Annur Bastari. Dia mentor menulis di Kelas Puisi Online (KPO) - WR Academy dan Asqa Imagination School (AIS).
Ia memenangi Malam Anugerah Ngewiyak Vol.1 2022 dengan predikat PUISI TERBAIK. 1 Januari 2019 buku puisinya berjudul doksologi memenangi Sayembara Buku Fiksi, Komunitas Menulis Pontang - Tirtayasa (Komentar).
Menulis sejak 2006. Biografinya ditulis Novita Rahayu, mahasiswi Ilmu Kepustakaan, Universitas Lancang Kuning (Unilak). Puisi-puisinya dijadikan skripsi "Lisensia Puitika Puisi-Puisi Muhammad Asqalani, Sebuah Kajian Stilistika” oleh Raka Faeri (NPM: 086210631). Pernah menjadi redaktur sastra Majalah Frasa. Meraih gelar Penulis Pembaca Puisi Muda Terpuji Riau 2011.
Berikut puisi-puisinya:
Robbie Ross
kenapa orang-orang meletakkan pisau di kelangkang,
seolah akan menikam perempuan di selangka kelam?
padahal mereka pemilik jiwa narsisus paling licin basah.
kau, laki-laki yang menjuntaikan lidah ke leher penyair,
yang mengubah laknat jadi nikmat, jadi buih-buih putih sia-sia.
kau mematikan merah gairah kebanyakan, menjadi pekat liar paling
personal,
di mana tubuh penyair jadi lumpur, kau tindas atas kepentingan birahi
angin.
saat kematianmu jadi bayang-bayang burung ajaib,
puisi hinggap di sebuah penjara,
yang mendekam tubuh seorang ikal Irlandia.
begitulah dunia menjilat sejarah kejimu;
sedarah setali nikmat sekumpul laknat.
Kubang Raya, 27 Februari 2023
African Proverb
laki-laki yang berjalan sendirian seperti kijang di tengah malam.
melintasi orang-orang yang menguap di lopo kopi,
anak-anak yang menjerit diganggu setan, serta nenek-nenek tua
yang rajin memerdukan batuk.
sampailah lelaki itu di depan batu keyakinan, yang dipuja orang-orang
dari kota-kota yang purba, ia berdehem, lantas berjalan kembali,
mengabaikan batu, yang diagungkan semua orang.
jika pagi mengangkang, ia akan melangkaui batu-batu sungai,
bersama kawanan pemburu burung, terperangkap buluh-buluh
berbalut getah.
inilah mereka, kawanan pejalan jauh yang percaya pendapat orang-orang
tua
di Afrika; jika berjalan jauh, hendaklah beberapa tubuh, agar segala
yang bikin rubuh,
dapat pula saling menopang, saling sokong dan sokang.
tiba mereka di gunung yang penuh lubang-lubang pekuburan,
mereka mandi dan berdoa untuk keselamatan orang-orang angkuh di bumi.
kening mereka mendekat, merekat, lalu menyatu dengan tanah.
Kubang Raya, 16 Januari 2022
Manyokkir
suara surau parau. barah itu kiamat lagi;
sisa-sisa siksa--berulang-ulang.
Kubang Raya, 27 Februari 2023
Titisan Dorian
ia duduk di atas kursi kayu, matanya sayu, wajahnya kuyu,
hatinya lebih ayu dari wanita mana pun, dalam dongeng bangsa apa pun.
kami tak mengenalnya. ia mengaku Dorian. dari ketinggian harapan
laki-laki,
juga kerendahan derajat perempuan. ia mengaku, ksatria yang kalah
hadapi pria,
dalam cermin paling cekung, dalam lubuk mimpi orang-orang berkabung.
aku mencintai lelaki pemiara ular rahasia serupa Hydra. berkepribadian
tiga,
timbul tenggelam dalam pemikiran telaga, yang keruh dalam ruh-ruh suci
dalam sebutir percik agama.
lalu, tiga puluh sembilan senja di penghujung ciuman,
ada yang datang dan terus memandang.
aku Dorian, yang dilibas kenangan tentang orang mati
dan ketakutan atas ketiadaan pengampunan.
ini Hydra dalam tubuhku. terimalah. terimalah.
orang-orang menderma kebingungan, terus mengular,
terus memanjang, memandang ke dalam kuburan 1798.
Kubang Raya, 16 Januari 2022
Mirza
Mirza,
bunga imitasi berjanji padaku akan lebih mekar dari imaji,
akan lebih kuar dari wangi, akan lebih kekal dari ajal.
cinta mengajarinya begitu, doa menjemari begitu, hati menggemari
begitu,
semesta kata-kata dari jiwa paling nelangsa mengaku moksa dan anti
sengsara.
Mirza,
meski aku percaya tak ada yang bercahaya selain matamu yang sendu,
tiada yang lebih membuatku masygul selain tebal alismu sembul,
pun tak ada yang meringiskanku selain gingsul kirimu yang bungsu.
pada jarak paling pisah, menara dalam keyakinanku setinggi basah,
kesedihan bagai lelehan marwah di balik panas wasangka yang goyah.
mestinya tak ada apa-apa,
selain kita yang goyah mengaku gagah,
mengutip bintang-bintang redup dari bentang hidup,
aku terkesima, pada aksioma yang luruh di tubuhmu bila subuh,
saat matiku yang sementara kembali memujamu serupa stupa,
petapa yang papa tanpa tanda cinta di batu kelaminnya.
Khuruj 2015 – Pekanbaru 2022