.

Menjaga Habitat Orangutan Tapanuli di Areal Tambang Emas

item-thumbnail
Orangutan Tapanuli, satwa langka yang hanya ada di Ekosistem Batangtoru. (Foto: SCOP)
Lanjut baca »

Emas di Mandailing Natal untuk Siapa?

item-thumbnail
Sihayo  Gold Limited, raksasa tambang di Australia memiliki 75% saham PT Sorikmas Mining yang sejak 1998 menerima kontrak karya dan berlaku sampai 2049, selama 26 tahun tak kunjung menemukan emas di lahan seluas 66.200 hektare di Kabupaten Madina, padahal tambang rakyat berhasil menemukan emas.  

Wakil Bupati Kabupaten Mandailing Natal, Atika Azmi Uttami, meminta Kapolda Sumatra Utara menertibkan pelaku penambangan emas tanpa izin  (PETI) di kabupaten tersebut.  Sejumlah nama oknum yang diduga sebagai "cukong" disebutkan dalam surat itu. 

Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Hady K. Harahap

Masyarakat dari beberapa desa di Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Mandailing Natal,  menyatakan protes atas kebijakan Pemda Kabupaten Madina untuk menertibkan PETI. Mereka mengaku aktivitas pertambangan itu  sangat membantu ekonomi keluarga,  dan khawatir penutupan tersebut akan berpengaruh terhadap meningkatkan angka kemiskinan. 

Protes itu disampaikan warga saat pertemuan di Aula Kantor Bupati Mandailing Natal (Madina), Kamis, 4 Maret 2024 lalu. Di dalam pertemuan yang dipimpin Wakil Bupati Atika Azmi Utammi,  warga menyatakan mendukung pertambangan dengan alasan sangat membantru perekonomian keluarga.  Mereka menyebut banyak warga yang menggantungkan hidup dari berusaha di sektor pertambangan tersebut.

Ratusan warga dari sejumlah desa di Kecamatan Kotanopan mendatangi Markas Polsek Kotanopan, Sabtu, 30 Maret 2024  malam. Massa yang terdiri dari ibu-ibu, bapak-bapak dan pemuda-pemudi, itu meminta agar Pertambangan Emas Tanpa Izin (Peti) jangan ditutup karena sumber mata pencaharian mereka. 

Menjadi penambang emas  bukan pekerjaan yang asing bagi sebagian besar warga sejumlah desa di daerah aliras  sungai (DAS) Batang Gadis di Kecamatan Kotanopan, Kabupaten Tapanuli Selatan.  Sungai beraliran sedang itu memberi masyarakat mata pencaharian sampingan, pekerjaan tradisional yang dilakukan turun-temurun,  dikerjakan seusai melakukan pekerjaan utama sebagai petani padi maupun holtikultura. 

Mereka menyebutnya manggore -- istilah tradisional masyarakat -- yakni mendulang emas dengan cara mengayak pasir yang diambil dari dasar Sungai Batang Gadis.  Alat dulang atau disebut gore  itu berbentuk seperti kuali, terbuat dari kayu, permukaannya halus,  dan memiliki cekungan yang tak terlalu dalam.  Alat itu yang digoyang-goyang warga sembari dicelupkan berkali-kali ke air sungai.

Manggore, pekerjaan mendulang emas di Kecamatan Kotanopan yang dilakukan turun-temurun dan mulai ditinggalkan masyarakat.

Tradisi ini sering dilakukan sambil mandi sepulang dari ladang.  Warga akan mengambil pasir di dasar Sungai Batang Gadis dengan tempurung kelapa atau ember,  membuat mereka harus menyelam karena kedalaman air bervariasi.  Pasir itu kemudian diayak dengan gore untuk menghilangkan tanah dan pasir yang berat jenis massanya lebih ringan dibandingkan emas. Kalau beruntung,  setelah tanah dan pasir atau material lain tersingkir, akan diperoleh emas berbentuk pasir (tepung). 

Ketika warga manggore di Sungai Batang Gadis,  pemandangan itu terlihat dari jalan Lintas Sumatra yang dibangun mengikuti alur sungai terbesar di Kabupaten Mandailing Natal itu.  Tidak cuma orang tua (laki-laki dan perempuan), tetapi anak-anak juga ikut terlibat.  Anak-anak sering membantu orang tua melakukan pekerjaan mendulang sepulang sekolah.

Terkadang, mereka mendapatkan butir-butir emas yang lebih besar,  kerikil sebesar biji beras. Namun, hasil yang diperoleh tak menentu, lebih sering mendapatkan hasil di bawah setengah gram dengan harga jual bervariasi, dari Rp50.000 sampai Rp100.000. 

Meskipun hasilnya kecil,  tapi cukup untuk kebutuhan sehari-hari para warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka mendulang secara tradisional agar sungai jernih tersebut tetap terjaga dan bisa menghidupi keluarganya secara turun-temurun.

Pekerjaan turun-temurun dari beberapa generasi ini bagian dari kearifan tradisional masyarakat untuk menjaga dan melestarikan Sungai Batang Gadis agar tetap bisa memberi tambahan penghasilan bagi mereka. Namun, pasca reformasi 1989, situasi kemudian berubah dan tradisi itu pun berubah. 

Para panggore (pendulang emas) tradisional itu mulai jarang melakukan aktivitas manggore di Sungai Batang Gadis. Kalau pun masih ada, hanya beberapa keluarga saja yang tampak di arus air sungai sedang manggore. 

Korporat Tambang

Aktivitas para peneliti di PT Sorikmas Mining yang tak kunjung menemukan emas selama 26 tahun  

Pekerjaan tradisional ini tidak ditinggalkan sepenuhnya, sebaliknya membuat masyarakat menjatuhkan pilihan untuk menjadikan  penambang emas sebagai pekerjaan utama.  Pilihan ini dilakukan setelah demam emas, di mana masyarakat menyadari kalau daerahnya kaya akan mineral barang tambang berupa emas dengan kadar yang sangat baik.

Di dalam Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999) yang disusun dan disahkan pada era Presiden Habibie,  dibatasi kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, hanya membolehkannya secara terbatas di dalam hutan produksi dan tambang tertutup (underground mining) di hutan lindung. Pada masa rezim Megawati Soekarnoputri terbit peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu 1/2004) sehingga perusahaan-perusahaan tertentu dibolehkan menambang secara terbuka (open pit) di dalam hutan lindung. 

Berbasis perppu ini Presiden Megawati kemudian menerbitkan Keppres 41/2004 yang membolehkan 13 korporasi menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 hektare (dari total luas izin 6.257.640.49 hektare). Dari 927.648 hektare untuk korporasi pertambangan di seluruh Indonesia,  PT Sorikmas Mining mendapat 201.600 hektare lahan di Kabupaten Mandailing Natal untuk menambang emas. 

Lahan seluas 201.600 hektare itu tertera dalam Kontrak Karya (KK)  PT SM tertanggal 19 Februari 1998.  Namun, luas wilayah Kontrak Karya itu direvisi pemerintah menjadi 66.200 hektare dalam Kontrak Karya generasi VII berdasarkan surat Keputusan Direktur Pertambangan Umum Nomor 755.K/20.01/DJP/2000 tanggal 19 Desember 2000 dengan jangka waktu hingga tanggal 6 Oktober 2049.

Dari 66.200 hektare wilayah KK PT SM,  sebanyak 63.616 hektare  terletak di Kabupaten Mandailing Natal, dan siusanya sebesar 2.584 hektare di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.  Namun, sejak beroperasi pada 19 Februari 1998, PT SM  belum menemukan emas yang konon digadang-gadang sebesar  1.4 juta ounces.  Pihak PT SM dalam berbagai pertemuan resmi dengan pemerintah mengaku,  cadangan emas 1,4 juta ounces itu terbukti kurang ekonomis.


Meskipun PT SM tidak berhasil menemukan cadangan emas di Kabupaten Madina, namun perusahaan yang merupakan patungan Australia-Indonesia ini tak kunjung angkat kaki setelah 26 tahun beroperasi.  Sebuah institusi bisnis yang mengejar profit, mustahil mampu bertahan selama 26 tahun tanpa mendapatkan keuntungan apapun dari bisnis yang dikelolanya.


Saham PT SM dikuasai Sihayo Gold Limited (SGL), sebuah perusahaan tambang milik Australia yang listing di Australian Securities Exchange (ASX) dengan kode: SIH.  SGL kemudian menunjuk Aberfoyle Pungkut Investments Pte Ltd., perusahaan investasi berbasis di Singapura,  untuk menguasai 75% saham PT SM dan 25%  saham lainnya dikuasai MIND ID--induk BUMN tambang-- yang diberikan kepada PT Aneka Tambang (ANTAM). 

Meskipun PT SM yang mengelola Proyek Sihayo Pungkut Sumatra -- begitu nama yang diberikan SGL terhadap proyek tambang emas mereka di Kabupaten Madina -- belum melakukan eksploirasi emas,  namun SGL mengkomunikasikan tambang emas di Sumatra ini kepada Australian Securities Exchange. Dalam website SGL (https://www.sihayogold.com), disebutkan, Proyek Sihayo Pungkut Sumatramerupakan proyek paling maju dengan Sumber Daya Mineral sebesar 24 Mt pada 2,0 g/t untuk 1,5 Moz kandungan emas dan Cadangan Bijih sebesar 12,5 Mt pada 2,1 g/t untuk 840 koz emas yang terkandung. 

Lahan Kontrak Karya dipromosikan sebagai prospektif mineralisasi emas dan logam dasar dengan beberapa prospek yang diidentifikasi menyasar emas yang mengandung karbonat, emas urat epitermal, skarn emas-tembaga, porfiri tembaga-emas, dan mineralisasi gaya skarn timbal-seng.

Sebab itu, perusahaan mempunyai program eksplorasi aktif termasuk pengeboran lanjutan di Proyek Sihayo Pungkut Sumatra,  pengeboran di Prospek Hutabargot Julu yang terletak 6 km sebelah selatan Proyek Emas Sihayo serta target lain di seluruh wilayah KK.

Potensi itu berkaitan dengan lokasi Proyek Sihayo Pungkut Sumatrayang bertepatan dengan Zona Sesar Trans Sumatera (TSFZ) yang produktif secara geologis dan Busur Magmatik Neogen yang terkait,  yang merupakan hasil dari tumbukan miring dua lempeng tektonik dan subduksi terkait. 

TSFZ disebut-sebut telah menguntungkan proyek emas penting,  Tabang Emas Martabe milik PT Agincourt Resources, di mana wilayah KK PT SM bersebelahan dengan wilayah KK PT Agincourt Resources.  

Menurut SGL,  Hutabargot Julu merupakan lahan multi elemen emas seluas 3,5 km x 3,0 km yang sebagian besar belum teruji anomali geokimia. Letaknya kira-kira 6 km tenggara dari lokasi Proyek Sihayo Pungkut Sumatra. Pemetaan prospek sebelumnya menunjukkan adanya area perubahan hidrotermal yang luas pada gunung berapi dan batuan vulkaniklastik. 

Pengeboran pra-muka pada urat-urat di Hutabargot Julu selama 2011-2013 menghasilkan intersep emas-perak yang signifikan.  Hutabargot Julu dianggap berpotensi prospektif

 untuk deposit emas-perak epitermal yang tersebar dalam skala besar dan secara lokal, urat emas-perak bermutu tinggi.

Dengan potensi mineral seperti itu, seharusnya Proyek Sihayo Pungkut Sumatra sudah berproduksi. Namun, SGL tampaknya menunda produksi PT SM untuk mengupayakan peningkatan nilai tambah Proyek Emas Sihayo. 


Dalam laporan keuangan SGL per 31 Desember 2023 disebutkan,  SGL akan menerapkan dua metode penambangan di Proyek Emas Sihayo. Metode tambang bawah tanah dan metode tambang permukaan akan dipilih setelah SGL melibatkan grup konsultan Mining One. 


Perubahan ini mengacu pada studi kelayakan terbaru yang dirilis pada tahun 2022, di mana proyeksi rata-rata perolehan metalurgi Proyek Sihayo Pungkut Sumatra meningkat dari 71,2% menjadi 83,6% dengan total produksi emas meningkat dari 551.000 oz menjadi 653.000 oz.

Arus kas sebelum pajak selama umur tambang telah meningkat dari 253 juta dolar AS menjadi 353 juta dolar AS, sedangkan nilai sekarang bersih setelah pajak meningkat dari 114 juta dolar AS menjadi 169 juta dolar AS, dan tingkat pengembalian internal dari 16,2% menjadi 20,4%. 

Perkiraan biaya modal awal Proyek Sihayo Pungkut Sumatra menurun dari 243 juta dolar AS menjadi 221 juta dolar AS, sementara biaya pemeliharaan keseluruhannya telah meningkat dari 972 dolar AS per oz menjadi 1.007 dolar AS per oz. 

SGL melaporkan perkiraan cadangan bijih pada Proyek Sihayo Pungkut Sumatra sebesar 11,7 juta ton dengan kadar 1,98 g/t emas untuk 747.000 oz emas yang terkandung . 

Bisnis Tambang Rakyat
Kabupaten Madina dengan sungai yang menjadi titik aktivitas Pertambang Emas Tanpa Izin (PETI)  sekaligus merupakan wilayah Kontrak Karya PT Sorikmas Mining. 

Data deposit yang dikeluarkan SGL tentang potensi mineral Proyek Sihayo Pungkut Sumatra,  dilaporkan kepada publik yang mau investasi pada saham SGL di Bursa Efek Australia. Informasi publik ini dilengkapi dengan hasil-hasil studi yang dilakukan SGL dan bisa diakses dengan mudah, sehingga deposit mineral emas dan perak di Kabupaten Madina menjadi informasi yang terbuka. 

Disadari atau tidak, informasi ini punya andil besar memunculkan penambangan liar di sekitar wilayah KK PT SM.  Pasalnya, deposit mineral emas di Kabupaten Madina yang tak kunjung ditambang PT SM  mendorong munculnya demam emas di masyarakat.  

Warga lokal yang biasa bekerja sebagai petani sawah dan ladang,  akhirnya berubah haluan menjadi penambang emas liar.  Awalnya, demam emas mendera masyarakat untuk membuka tambang emas di sekitar Kecamatan  Hutabargot. Para penambang ini awalnya menerapkan metode tambang bawah tanah, menggali lubang-lubang tambang hingga ke perut bumi untuk menelusuri urat emas. 

Para penambang yang beraktivoitas di kawasan hutan, mampu menciptakan sumber mata pencaharian baru bagi warga lainnya yakni usaha penggelondongan material galian. Unit usaha yang menawarkan jasa gelondong material hasil penggalian ini bermunculan di lingkungan masyarakat, membawa kabar baik tentang hasil penambangan berupa emas yang kadarnya sangat tinggi.

Sejak itu, demam emas melanda Kabupaten Madina. Para penambang muncul di berbagai kecamatan di Kabupaten Madina seperti Siabu, Naga Juang,  Muara Sipongi, Batang Natal. Kotanopan, Lingga Bayu, dan lain sebagainya.  Para penambang tidak hanya menerapkan metode tambang bawah tanah di kawasan hutan yang medannya sangat sulit dengan resiko tinggi tertimbun material galian.

Para penambang mulai menerapkan metode tambang terbuka yang resikonya lebih sedikit. Metode tambang terbuka ini mirip dengan manggore, pekerjaan mendulang emas secara turun-temurun. Bedanya, jika dalam manggore material yang didulang sangat sedikit, maka dalam tambang terbuka pendulangan dilakukan dengan bantuan alat-alat berat seperti eksavator. 

Sejumlah penambang emas mengaku melakukan penambangan karena PT SM tidak  kunjung beroperasi padahal deposit emas di Kabupaten Madina berlimpah.  Lambatnya operasional PT SM yang selalu beralasan hasil tambang kurang ekonomis,  justru dijawab masyarakat dengan memperoleh hasil dari tambang liar tersebut. 

"Banyak penambang yang mendadak jadi kaya raya. Kurang ekonomis bagaimana itu," kata Ahmad Suhali, seorang penambang di Hutabargot Julu. 

Sulaiman, penambang lainnya, mengatakan sebaiknya pemerintah menyerahkan  kegiatan penambangan emas kepada rakyat daripada kepada perusahaan asing yang tidak jelas kemampuannya. 

Keuntungan yang diperoleh warga saat menambang emas di beberapa titik di Kabupaten Madina, ternyata membuat demam emas mempengaruhi sejumlah pemodal yang bersedia berinvestasi.  Para pemodal yang berbasis pengusaha lokal, ramai-ramai mengalihkan investasikan ke sektor pertambangan. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit pengusaha dari berbagai daerah seperti Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidimpuan yang berinvestasi di sektor tambang. 

Para pengusaha ini ada yang menerapkan pola membeli lahan milik masyarakat untuk ditambang metode tambang terbuka menggunakan alat-alat berat. Ada juga pemilik lahan yang memberikan lahan miliknya, biasanya lahan pertanian yang berada di daerah aliran sungai, untuk ditambang oleh para pengusaha dengan sistem bagi hasil atau sistem sewa. Untuk sistem sewa, ada jangka waktu yang disepakati, dan lahan dikembalikan pemodal kepada warga pemilik lahan setelah areal bekas tambang dikembalikan lagi seperti semula.

Meskipun usaha tambang yang dilakukan tidak dapat izin dan pemerintah menyebutnya PETI (tambang emas tanpa izin),  namun usaha itu tidak  banyak dipersoalkan pemerintah setempat.  Masyarakat yang bekerja di sektor tambang semakin banyak dan meyakini usaha tersebut tidak keliru.  

PETI mulai menjadi persoalan ketika merebak kasus pencemaran sungai oleh zat yang diduga merkuri (air raksa) pada tahun 2019. Merebaknya dugaan 12 anak yang lahir cacat diduga akibat terkontaminasi limbah pembuangan tambang, sehingga Gubernur Sumatra Utara waktu itu, Edy Rahmayadi, membuat kebijakan menutup PETI di wilayah Kabupaten Madina. 

Sejak kebijakan Gubernur Edy Rahmayadi itu, keberadaan PETI menjadi sorotan.  Aksi menentang PETI muncul dari aparat penegakan hukum, mengait-kaitkan aksi PETI dengan pelanggaran peraturan-perundangan. Pelarangan semakin ketat ketika banyak penambang emas yang mendapat kecelakaan dan terkubur di lubang-lubang tambang. 

Kebijakan Setengah Hati

Kapolres Mandailing Natal, AKBP Arie Soepandi Paloh, dengan  melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi-lokasi PETI di Kecamatan Kotanopan, Sabtu, 10 Feberuari 2024. 
Ketika Gubernur Sumatra Utara, Edy Rahmayadi, melarang aksi PETI di Kabupaten Madina pada 2019, kebijakan itu ditindaklanjuti aparatur penegak hukum dengan melakukan operasi poenangkapan para pelaku. Aksi tersebut membuat PETI menghilang sementara, meskipun di beberapa titik di kawasan hutan masih terus berlangsung aksi penambangan bawah tanah. 

Lokasi-lokasi tambang bawah tanah yang berada di lereng-lerang pegunungan di sekitar Sorik Merapi dan kawasan Taman Nasional Batang Gadis,  sulit dijangkau sehingga aksi penutupan tidak sampai ke sana.  Lokasi tambang yang ditutup justru penambang metode lahan terbuka, yang biasanya berlokasi di DAS sungai-sungai yang ada di Kabupaten Madina atau tidak jauh dari lingkungan penduduk. 


Larangan PETI terkesan setengah hati, sehingga warga di beberapa kecamatan di Kabupaten Madina hanya berhenti saat aparat penegak hukum melakukan aksi penutupan. Namun, PETI yang oleh masyarakat disebut tambang rakyat, tetap beroperasi karena demam emas memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat.


Kebijakan penutupan PETI mestinya diimbangi pemerintah dengan memberikan alternatif pekerjaan kepada masyarakat. Namun, pemerintah tidak punya alternatif tersebut dan lebih memilih mensosialisasikan PETI sebagai tindakan kriminal yang bisa mendapat sanksi hukum. 

Digertak dengan sanksi hukum atas tindakan PETI, rakyat Kabupaten Madina yang menjadikan penambang emas sebagai mata pencahariannya justru tidak berhenti. Mereka tetap melakukan aktivitas tambang dan berlangsung secara  terbuka di hadapan publik. 

Kondisi ini terjadi di Kecamatan Kotanopan, misalnya. Di daerah ini, menurut catatan Camat Kotanopan dalam surat pengaduan yang dilaporkan kepada Bupati Madina,  terdapat 23 alat berat jenis beko (excavator) yang melakukan pengerukan tanah dalam aktivitas penambangan emas. Lokasi umumnya berada di lahan-lahan pinggiran Sungai Batang Gadis.

Di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Batang Gadis di Kecamatan Kotanopan, adalah lubang-lubang bekas tambang emas ilegal.  Lubang-lubang yang digenangi air itu tercipta akibat penggunaan alat-alat berat seperti eksavator oleh para penambang. Dalam situs blibli.com,  Eksavator ISUZU CC-6BG1TRP kapasitas 1.05 m3 dengan kekuatan 128.5 kW / 2100 rpm ditawarkan seharga Rp1,3 miliar.  Harga beko merek Komatsu lebih murah, sekitar Rp300 juta sampai Rp900 juta.  

Hal ini menandakan, alat-alat berat ini mustahil dimiliki oleh masyarakat yang sering disebut sebagai pelaku penambangan liar.  Alat-alat berat yang beroperasi di Kecamatan Kotanopan milik para investor, pengusaha pemilik modal yang menjadi masyarakat sebagai pekerja tambang.  

Warga selaku pekerja tambang tidak bisa ditakut-takuti dengan sanksi hukum atas aktivitas PETI. Warga akan berhenti melakukan aktivitas penambangan apabila para pemodal pemilik alat-alat berat itu yang dihentikan aktivitasnya. Namun, aparat penegak hukum tampaknya tidak bekerja maksimal untuk menegakkan hukum, sehingga para pemodal masih bisa beraktivitas mengaktifkan PETI. 

Sebanyak 23 unit alat-alat berat di sepanjang Sungai batang gadis di Kecamatan Kotanopan tidak akan ada si sana jika aparat penegak hukum melakukan penegakan hukum.  Kondisi inilah yang melatarbelakangi Pemda Madina kembali menggaungkan anti-PETI. Dimulai dari pengaduan Wakil Bupati Madina kepada Kapolda Sumatra Utara lewat surat bernomor : 660/0131/DLH/2024 tanggal 24 Januari 2024. 

Selain menyurati Kapolda, Wakil Bupati juga menggelar pertemuan dengan perwakilan warga dari Kecamatan Kotanopan.  Wakil Bupati menjanjikan, jika warga berhenti melakukan aktivitas PETI, ada peluang menjadi pertambangan legal di wilayah Kecamatan Kotanopan dengan pengajuan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) kepada pemerintah Indonesia di Jakarta. Namun, warga meragukan tawaran WPR tersebut karena kebijakan itu belum ada contohnya. 

Menindaklanjuti surat pengaduan Wakil Bupati Madina, Kapolres Mandailing Natal, AKBP Arie Soepandi Paloh, dengan  melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke lokasi-lokasi PETI di Kecamatan Kotanopan, Sabtu, 10 Feberuari 2024. Tapi, aksi Kapolres Madina hanya membawa dua alat berat yang diduga dipergunakan pelaku PETI.

Wilayah Pertambangan Rakyat

Tawaran Bupati Madina tentang melegalkan sektor pertambangan dengan mengusulkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), bisa dibilang sebagai solusi yang tidak solutif. Pasalnya, jika mengacu data pada sistem Minerba One Data Indonesia (MODI) sampai Juli 2022, ada 10.120.574 hektare konsesi tambang yang diobral pemerintah kepada korporat. 

Sebelumnya jumlah izin pertambangan mencapai 11 ribu izin, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menginisiasi koordinasi dan supervisi pencegahan korupsi sektor pertambangan mineral dan batu bara (Korsup Minerba) jumlah izin menyusut karena banyak yang dicabut, hingga kini menjadi 6,5 ribu izin.

Dari jumlah izin itu, 4.114 izin tambang yang aktif di Indonesia. Terdiri dari 4.015 Izin Usaha Pertambangan (IUP), 8 Izin Usaha Pertambangan Khsusu (IUPK), 31 Kontrak Karya (KK) dan 60 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B). 

Menurut Laporan "Indonesia Tanah Air Siapa - Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi", yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara, seperlima dari izin tambang itu dimiliki/dikuasai oleh 10 grup usaha. Dua perusahaan milik BUMN, PT Timah dan PT Antam, menempati urutan teratas. Masing-masing menguasai 487.516 hektare dan 454.885 hektare. 

Pada era reformasi, terjadi “pemberontakan” perizinan oleh pemerintah daerah dengan menerbitkan izin-izin tambang skala kecil-menengah melalui Kuasa Pertambangan (KP).  Namun, berdasarkan UU Minerba 4/2009 baik KK, PKP2B, maupun KP dilebur menjadi IUP,  meski hingga sekarang proses peleburan tersebut belum sepenuhnya selesai, sehingga masih ada berbagai KK yang masih aktif seperti KK PT Sorikmas Mining di Kabupaten Madina dan KK milik PT Agincourt Resources di Kabupaten Tapsel.


Dalam catatn MODI, tidak ada sama sekali izin usaha pertambangan rakyat yang diterbitkan hingga saat ini. Bahkan, pemerintah belum pernah menetapkan Wilayah Usaha Pertambangan Rakyat (WIPR) sebagai basis untuk menerbitkan izin pertambangan rakyat. 


Padahal, sudah ada PP No. 25 Tahun 2023 yang dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan pengelolaan Wilayah Pertambangan Indonesia, di mana Gubernur memiliki peran besar bekerja sama dengan Bupati/Wali Kota di dalam menetukan wilayah pertamabangan di daerahnya. 

Namun, jika Pemda Madina tetap akan membuat kebijakan tentang penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR),  dibutuhkan kjerja pengkajian dan penelitian tentang kandungan minerba sebagaimana amanat PP 25 Tahun 2023.  Cuma, sukar bagi Pemda Madina untuk melakukan kajian dan penelitian deposit sumber daya mineral di daerahnya, mengingat investor sebesar Sihayo Gold Limited yang mengelola PT Soorikmas Mining membutuhkan 26 tahun untuk bisa mengetahui deposit mineral di Kabupaten Madina.  Tanpa keterlibatan Mining One Pty Ltd, perusahaan konsultan tambang berbasis di Melbourne, Australia. 

Semoga Pemda Madina punya solusi yang tak merugikan rakyatnya.

Lanjut baca »

Panasbumi Madina, Memilih Bonus Produksi Atau Mengorbankan Nyawa Warga

item-thumbnail

Sebanyak 40% potensi panas bumi dunia ada di Indonesia atau 23,9 Giga Watt (GW), baru dimanfaatkan sebesar 8,9% atau 2.130,6 MW.  Pemanfaatan potensi energi terbarukan itu ternyata mengancam keselamatan masyarakat seperti tragedi yang menimpa warga di sekitar lokasi PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP).

Penulis: Budi P Hutasuhut | Editor: Hady K Harahap

Sebuah rumah di Desa Sibanggor  Tonga, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kabupaten Mandailing Natal,  terlihat sepi ketika Sinar Tabagsel tiba Senin, 26 Feberiuari 2024.  Pada Kamis  sore, 22 Feberuari 2024,  Lisdawati, salah seorang penghuni rumah itu, mendadak merasa mual, pusing, dan akhirnya muntah-muntah. Kondisi kesehatannya drastis menurun hingga harus dilarikan ke RSUD Panyabungan.

Rumah  Lisdawati berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi sumur (wellpad) milik PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP).  Kamis  pagi,  perusahaan pengelola Pusat Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP) Sorik Merapi  itu sedang beraktivitas di sumur V-01.  Penghuni rumah-rumah lain,  yang jaraknya sekitar 300 - 700 meter dari lokasi sumur,  juga mengalami mual, pusing, dan muntah-muntah.  

Satu per satu warga penghuni rumah-rumah di Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga kemudian bertumbangan.  Mereka dilarikan ke berbagai rumah sakit dan puskesmas terdekat.  Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Mandailing Natal  mencatat, sebanyak 123 korban dirawat di RSUD Panyabungan sebanyak 38 orang,  40 orang di RS Permata Madina Panyabungan, 40 orang dirawat di Puskesmas Sibanggor Jae,  tiga  orang di Puskesmas Kayulaut,  dan dua orang di Klinik Bidan Irma Desa Huta Tinggi.

Petugas medis yang merawat masyarakat menduga,  dari gejala yang ditunjukkan semua pasien -- pusing, mual, dan ada yang muntah --  ratusan korban itu diduga terpapar racun.  Kondisi dengan gejala serupa sudah pernah mendera masyarakat,  terutama setelah pipa gas milik PT SMGP mengalami kebocoran dan mengeluarkan gas beracun Hidrogen sulfida (H2S). Sebab itu, kuatr dugaan ratusan warga yang dilarikan ke berabagai rumah sakit disebabkan terpapar gas beracus H2S, senyawa kimia yang keluar dari proses produksi di PLTP Sorik Merapi yang dikelola PT SMGP.  

Kedekatan lokasi PT SMGP dengan perkampungan masyarakat

Corporate Communication PT SMGP,  Agung Iswara, membantah terjadi kebocoran pipa ataupun sumur milik mereka.  Bantahan ini muncul dengan alasan, PT SMGP telah melakukan langkah-langkah sebelum aktivasi sumur itu dilakukan seperti sosialisasi, pemasangan abatement,  pemasangan alat deteksi gas H2S di dalam area sumur  serta penyisiran perimeter aman sejauh 300 meter dan pre-job safety meeting.

"Tidak ada kebocoran sumur," katanya. 

Kata Agung Iswara, jarak lokasi sumur ke titik terdekat Desa Sibanggor Julu adalah 700 meter. Saat kegiatan berlangsung hasil pembacaan alat deteksi gas H2S terbaca sebesar 0 ppm, baik di lokasi sumur, di sekitar perimeter aman 300 meter dan area desa.

Hal yang wajar PT SMGP membantah pihaknya sebagai penyebab keracunan yang diderita ratusan warga Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga.  Namun, masyarakat yang menjadi korban menyakini, gas beracun H2S baru mereka kenali sejak PT SMGP mulai beroperasi di daerah mereka. Warga mengidentifikasi, aroma gas beracun itu seperti bau telur busuk,  begitu menyengat. Bau yang tidak sedap itu acap tercium saat mereka bekerja di sawah,  areal budidaya tanaman padi yang memisahkan Kompleks PLTP Sorik Merapi dengan perkampungan penduduk. 

Letak geografis Desa Sibanggor Julu dan Desa Sibanggor Tonga tepat berada di tengah-tengah lingkungan PT SMGP.  Diapit oleh sumur-sumur milik PT SMGP,  lingkungan keseharian masyarakat dilalui oleh pipa-pipa yang mengalirkan H2S dari sumur ke pusat PLTP Sorik Marapi. Pipa-pia yang mengandung gas beracun itu mengancam keselamatan masyarakat, riskan mengalami kebocoran seperti yang pernah terjadi pada tahun 2022 lalu. 

Setiap kali PT SMGP melakukan aktivitas di sumur, warga mengaku akan mencium bau telur busuk itu. Namun, karena ada sosialisasi sebelumnya, masyarakat sudah mengantisipasi dengan tidak pergi ke peswahan apabila PT SMGP dan kontraktornya melakukan aktivitas di sumur. Meskipun begitu, masyarakat keberatan karena aktivitas PT SMGP itu menyebabkan mereka tidak bisa berusaha di sawahnya. 

"Kami dirugikan setiap kali PT SMGP beraktivitas di sumur,"  kata salah seorang warga yang mengaku bernama Halomoan. "Kami harus berhenti ke sawah setiap kali perusahaan beraktivitas di semur."

PT SMGP mengelola Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi Sorik Marapi yang memiliki kapasitas total sebesar 240 Mega Watt. Inisalah  satu proyek pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) yang dikembangkan sebagai bagian dari  Program Strategis Nasional Presiden Joko Widodo.   Potensi energi panas bumi Indonesia mencapai 23,7 GW.  

Pemerintah menetapkan Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) & Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) untuk memanfaatkan potensi panas bumi tersebut dengan harapan menghasilkan pembangkit listrik sebesar 35.000 Mega Watt.  Program ini tergambar dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebesar 23% di tahun 2025 dan 31% di tahun 2050.

Hingga saat ini, terdapat 16 PLTP yang beroperasi di Indonesia—dengan total kapasitas terpasang PLTP Indonesia (2,1 GW) menempati peringkat ke dua setelah Amerika Serikat.  Pengembangan proyek PLTP di Indonesia dimulai pada tahun 1978 dengan proyek pertama yaitu PLTP Kamojang. 

Pada tahun 2018, Indonesia telah berhasil mengoperasikan salah satu PLTP terbesar di dunia, yaitu  PLTP Sarulla 330 MW yang dikelola oleh PT. Sarulla Operations Limited.  PLTP Sarulla memiliki kapasitas 330 MW,  merupakan proyek PLTP dengan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBL) tunggal  terbesar di dunia dengan skema Independent Power Producer (IPP).  

PT. Sarulla Operations Limited dimiliki KS Orka Renewables Pte. Ltd.,  perusahaan pengembang dan operator panas bumi yang berbasis di Singapura,  merupakan anak perusahaan dari Kaishan Group Co., Ltd. Kaishan merupakan produsen dan pemasok fasilitas pembangkit listrik yang berbasis di Cina. 

Sukses mengelola PLTP Sarulla,  KS Orka  memegang konsesi panas bumi di Sorik Merapi melalui PT Sorik Merapi Geothermal Power,  di Sokoria melalui PT Sokoria Geothermal Indonesia, dan di Samosir melalui PT Samosir  Geothermal Power.   Bahkan, KS Orka berencana untuk akuisisi konsesi panas bumi milik Hitay Energy melalui Inter Investment Pte. Ltd.  KS Orkha juga dikabarkan sedang mengincar panasbumi di Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.  WKP ini milik BUMD Pemprov Jawa Barat yakni PT Jasa Sarana dan sedang dilakukan eksplorasi sejak tahun 2016.

Di PLTP Sorik Marapi, KS Orka mengembangkan kapasitas 120 MW, dan kini sedang diupayakan mencapi 240 MW hingga tahun 2022.

Direktur Panasbumi, Ida Nuryatin Finahari mengunjungi PLTP Sorik Merapi beberapa waktu lalu

Dalam pengembangan panasbumi, tiga tahun merupakan waktu yang sangat singkat. Dalam waktu singkatKS Orkha berhasil mengembangkan 120 MW di Sorik Merapi dan 30 MW di Sokoria. Tahun 2020, dengan penambahan 120 MW dari Sorik Merapi,  perusahaan ini akan mengoperasikan sekitar 270 MW energi panasbumi. Jika terealisasi, maka KS Orka akan menyalip kapasitas listrik yang dimiliki pengembang panasbumi lainnya yang telah ada sejak lama, termasuk pengembang pelat merah, Geo Dipa Energi.

Eirikur Bragason, Chief Executive Officer KS Orka, mengatakan KS Orka ingin menjadi pengembang dan operator global terdepan untuk proyek-proyek geothermal, menaragetkan kapasitas tenaga listrik sebesar 500MW dalam lima tahun ke depan. Untuk mencapai terget tersebut, KS Orka telah menyiapkan dana sebesar US$ 2 miliar.  

Energi panas bumi disosialisasikan lebih ramah terhadap lingkungan dibandingkan dengan energi fosil yang juga banyak dijumpai di Indonesia. Namun, sifat panas bumi sebagai sumber daya alam yang berada jauh dalam bumi memerlukan berbagai pengetahuan untuk mengeksplorasinya seperti ilmu geologi, geokimia dan geofisika. 

Pengetahuan ini dibutuhkan untuk mendeteksi sumberdaya secara lebih akurat agar bisa dieksploitasi untuk kepentingan energi lsitrik dengan biaya yang lebih efisien. Eksplorasi sumberdaya panas bumi membutuhkan perhitungan yang tepat dalam rangka mengurangi resiko jika ingin dikembangkan secara ekonomis.

Hingga akhir 2021 teridentifikasi 356 lokasi panas bumi di seluruh Indonesia yang membentang mulai dari Pulau We di ujung Barat hingga Pulau Papua di ujung Timur. Lokasi tersebut merupakan hasil-hasil penyelidikan geologi, geokimia, geofisika dan pengeboran, yang telah dilakukan oleh Pemerintah maupun Badan Usaha. 

Rincian distribusi daerah panas bumi di Indonesia adalah sebagai berikut: Pulau Sumatra (101 lokasi), Pulau Jawa (75 lokasi), Pulau Bali (6 lokasi), Kepulauan Nusa Tenggara (34 lokasi), Pulau Kalimantan (14 lokasi), Pulau Sulawesi (90 lokasi), Kepulauan Maluku (33 lokasi) dan Papua (3 lokasi). 

Hasil rekapitulasi dan pemutakhiran neraca sumber daya dan cadangan panas bumi hingga bulan Desember tahun 2021 diperoleh total sumber daya sebesar 23.356,9  MWe dengan cadangan sekitar 14.131,9 Mwe. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, terlihat peran strategis panas bumi, di mana penambahan kapasitas pembangkit listrik  dari panas bumi masuk “tiga besar” dengan proyeksi penambahan sebanyak 3.355 MW.

Dalam RUEN 2025 dan berdasarkan target bauran EBET sebesar 23% di tahun 2025, pengembangan PLTP memiliki porsi sekitar 7% dari total target atau setara dengan 7,2 GW. Dengan target capaian kapasitas terpasang PLTP tahun 2023 sebesar 2,37 GW tersebut, diperlukan upaya pengembangan proyek PLTP sebesar 4,8 GW untuk mencapai target 7,2 GW di tahun 2025. 

Meskipun KS Orka terbilang sukses sebagai pengembang dan operator global proyek-proyek geothermal di Indonesia, namun tersandung untuk kasus PLTP Sorik Merapi.  PT SMGP yang mengelola PLTP Sorik Merapi berkali-kali merugikan dan mengancam nyawa warga. 

Selain itu, masyarakat juga mempertanyakan keberadaan PLTP Sorik Merapi yang memproduksi energi listrik, namun masyarakat tidak menikmati energi tersebut. Pasalnya,  menjadi daerah lumbung energi panas bumi, tidak menjamin masyarakat bisa menikmati aliran listrik. 

“Ibarat tikus mati di lumbung padi. Warga yang berada di kawasan perusahaan listrik tak bisa menikmati listrik,” kata  salah seorang warga yang mengaku bernama Yunus. 

Bonus Produksi Panasbumi

Kementerian ESDM merilis di websitenya, esdm.go.id ,  bahwa kehadiran PT SMGP di lingkungan masyarakat Kabupaten Madina menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Selama masa konstruksi PLTP hingga tahun 2017, kegiatan pengeboran dan konstruksi PLTP Sorik Marapi telah menyerap tenaga kerja lokal sebanyak 3.382 orang. Pada saat beroperasi dengan kapasitas penuh (240 MW), PLTP Sorik Marapi diestimasi akan menyerap tenaga kerja sekitar 200 orang untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan PLTP.

Selain itu, pada tahun 2017 PT SMGP telah merealisasikan dana Community Development sebesar Rp 2.002.137.500. Pelaksanaan kegiatan community development di Sorik Marapi telah diselaraskan dengan program Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal. Bahkan, pembangkitan listrik di PLTP Sorik Marapi, memberikan manfaat kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal berupa bonus produksi, yang diperkirakan sebesar Rp 880 juta pada tahun 2018. 

Berdasarkan data di Kemenkeu,  Pemda Kabupaten Madina telah menerima dana dari PT SMGP berupa Bonus Produksi dan Dana Bagil Hasil (DBH) dari SDA Panas Bumi . Pada tahun 2022, ada sebesar Rp 2,7 Milliyar Bonus Produksi PT SMGP di tahun 2021 yang diterima Pemda Kabupaten Madina. Selain Bonus Produksi, Pemkab Madina juga menerima DBH SDA Panasbumi dari pemerintah pusat sebesar Rp 8,1 miliar.  

Pemkab Madina menerima Bonus Produksi dan DBH SDA Panasbumi sejak awal PT SMGP berproduksi. PT SMGP mualai melakukan pembayaran Bonus Produksinya sejak tahun 2019 kepada Pemkab Madina. Untuk tahun 2019 Bonus Produksi sebesar Rp 479.301.848, selanjutnya di tahun 2020 Rp1.944.944.442, kemudian untuk 2021 sebesar Rp2.740.941.040.



Lanjut baca »

Delapan Tahun Masyarakat Adat Luat Marancar Menunggu "Ganti Rugi" Lahan Ramba Joring

item-thumbnail
Masyarakat adat Luat Marancar sedang melakukan aksi di depan gerbang proyek PLTA karena lahan ulayat mereka diambil-alih. Masyarakat adat kehilangan hak atas tanah adatnya akibat tidak ada pengakuan dari Pemda Tapsel.

Lanjut baca »

Bertahun-Tahun Konflik Agraria Mendera Rakyat Tapsel

item-thumbnail

 

Bertahun-tahun konflik agraria mendera rakyat di beberapa kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tak ada solusi membuat masyarakat kehilangan lahan hidupnya.

Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion

Dalam banyak kegiatan, Bupati Tapanuli Selatan Dolly Putra Parlindungan Pasaribu selalu mengkomunikasikan perihal prestasi dan pristise yang diperoleh Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode kepemimpinannya. Ragam penghargaan di tingkat regional dan nasional itu, dikemas dan dikomunikasikan Pemda Kabupaten Tapsel hingga mendulang pujian dari sebagian masyarakat.  

Prestasi dan prestise itu muncul sebagai videotron yang ditayangkan di Kantor Bupati Tapanuli Selatan. Video-video pendek dengan tema serupa juga muncul dalam ragam media sosial  akun Pemda Tapanuli Selatan dan akun Bupati Dolly seperti di akun tiktok @hajidollypasaribu. Semua publikasi itu untuk menunjukkan betapa Bupati Dolly berhasil menaikkan citranya sebagai Kepala Daerah hasil Pilkada Serentak 9 Desember 2020. 

Di balik prestasi dan prestise yang mentereng itu,  persoalan-persoalan yang menimpa masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan tidak kunjung diselesaikan, terutama terkait konflik agraria antara warga dengan investor. 

Dari catatan Sinar Tabagsel, konflik agraria itu terjadi dengan investor sektor pertambangan dan energi seperti konflik masyarakat adat Luat Marancar dengan PT Agincourt Resources tentang pembayaran pago-pago atas pengambilalihan kawasan ramba Joring menjadi Pit Ramba Joring sejak 2017 yang didiamkan. Atau konflik masyarakat di Kecamatan Sipirok, Marancar, dan Batangtoru dengan pengelola proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). 

Bentrok Konflik Agraria

Selain dengan investor tambang dan energi, konflik agraria terjadi antara masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan dengan investor sektor perkebunan seperti PT Maju Indo Raya (MIR) dan PT Samukti Karya Lestari ( SKL) di Kecamatan Batangtoru, konflik warga di Kecamatan Angkola Selatan dengan PT. Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Siais. 

Konflik dengan investor perkebunan ini telah berlangsung bertahun-tahun, tidak ada solusi yang dibuat Pemda Tapsel. Setiap saat, konflik ini dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.  Pasalnya, masyarakat acap menggelar aksi unjuk rasa, terutama ke lokasi milik investor yang rawan menyebabkan perpecahan, dan pihak perusahaan melakukan perlawanan.  

Catatan Sinar Tabgsel, peristiwa bentrok pernah terjadi antara masyarakat dengan petugas sekuriti di kompleks perkebunan PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Siais di Dusun Janji Matogu, Pardomuan, Angkola Selatan, Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, Minggu, 28 April 2019  malam hingga Senin,  29 April 2019 dini hari. 

Bentrokan dipicu kemarahan masyarakat yang kehilangan hak atas lahannya merasa tidak ada jalan lain karena Pemda Tapsel tidak memberi solusi.  Berkali-kali menggelar aksi, berkali-kali juga meminta agar Bupati Tapanuli Selatan mencarikan solusinya, namun tidak kunjung ada titik terang. 

Konflik terakhir terjadi pada Sabtu, 13 Januari 2024 lalu, ketika masyarakat di Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapsel, kembali menggelar aksi demo menuntut PT Samukti Karya Lestari (SKL) mengembalikan hak masyarakat. Perusahaan perkebunan sawit yang merupakan anak usaha Grup CSR (Cisadane Sawit Raya) ini menolak memenuhi perjanjian Perjanjian Kesepakatan antara PT. SKL dengan Koperasi Tondi Bersama (KTB). 

Informasi yang dikumpulkan Sinar Tabagsel menyebut, KTB adalah koperasi yang dibentuk masyarakat Desa Huta Raja yang diketuai Drs. M. Jusar Nasution. PT SKL dengan KTB  melakukan kesepakatan  Kerjasama Pembangunan Kebun Sawit Pola Kemitraan terhadap sawit di lahan yang ada Desa Huta Raja pada 13 November 2008. Kesepakatan itu ditandatangani oleh Drs. Gita Sapta Adi selaku Dirut PT. KSL (Pihak Pertama) dan Drs. M. Jusar Nasution selaku Ketua KTB (Pihak Kedua).

Obyek lokasi usaha perkebunan dalam kesepakatan tersebut merupakan pelepasan kawasan hutan di Kecamatan Muara Batang Toru seluas kurang lebih 10.407 hektare yang terdiri dari 11 sertifikat HGU. Point terpenting perjanjian, jika PT SKL mengelola lahan kebun seluas 5.000 hektare, maka hasil lahan sebanyak 1.000 hektare dialokasikan kepada KTB. Jika PT SKL mengelola lahan kebun seluas 9.000 hektare, maka PT SKL akan memberikan hasil usaha dari lahan seluas 2 hektare bagi setiap anggota KTB. 

Anggota KTB sebanyak 691 orang. Jika masing-masing anggota dialokasikan 2 hektare lahan sesuai kesepakatan antara PT SKL versus KTB, tambahan lahan yang harus dialokasi kepada PT SKL sebanyak 1.382 hektare. Kenyataannya, sejak periode 2013 sampai dengan 2018, pembayaran Hasil Usaha Pola Kemitraan yang diterima KTB dari PT SKL hanya sebesar Rp5.058.120.000,00, dan itupun tidak didukung dengan data yang jelas tentang luas, lokasi lahan, hasil produksi dan harga TBS. 

KTB menghitung sisa uang hasil perjanjian yang belum dibayarkan PT SKL sebesar lebih Rp162 miliar, total periode 2013 sampai dengan  2018 ditambah  kekurangan periode 2019 sampai dengan 2023 sebesar lebih Rp442 miliar. 

KTB melalui kuasa hukumnya, Daulat Sihombing, SH, MH, telah mengajukan gugatan perdata terhadap PT. SKL untuk membayar sebesar lebih Rp604 miliar di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan karena PT SKL dinilai wanprestasi (ingkar janji). Sidang perdana perkara perdata dengan register No. 37/Pdt.G/2023/PN Psp sudah digelar di PN Padang Sidimpuan pada Selasa, 24 Oktober 2023. 

Menghadapi aksi demo masyarakat Desa Huta Raja, Kapolres Tapanuli Selatan, AKBP Yasir Ahmadi, SIK, MH,  mengatakan dirinya siap berpihak kepada masyarakat jika PT SKL yang melakukan kesalahan. "Keadilan harus ditegakkan seadila-adilnya," kata AKBP Yasir Amin di hadapan masyarakat Desa Huta Raja.

Pernyataan Kapolres Tapsel mengundang reaksi masyarakat, merasa harapan mereka mulai terealisasi setelah bertahun-tahun tak ada yang mendukung. Namun, kasus gugatan perdata yang didaftarkan KTB masih berproses di Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan. Selama proses hukum bergulir, masyarakat yang memiliki lahan dan telah dikelola PT SKL berdasarkan perjanjian yang dibuat, hanya bisa gigit jari.

Tak ada solusi

Warga eks Lahan Transmigrasi Rianiate acap melakukan aksi demo ke PT Samukti Karya Lestari. Terakhir, Sabtu, 13 Januari 2024, warga mendatangi perusahaan dan menuntut haknya.

Kondisi serupa juga dialami masyarakat di  Desa Muara Upu, Muara Manompas, dan Muara Ampolu di Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan.  

Masyarakat di tiga desa itu kehilangan lahan karena diklaim oleh PT Maju Indo Raya (MIR) dan PT Samukti Karya Lestari ( SKL) sebagai milik mereka berdasarkan hak guna usaha (HGU) yang diberikan pemerintah pusat.  Dua perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit itu, mengambil alih secara sepihak ratusan hektare tanah milik masyarakat.

"Yang diklaim perusahaan sebagai HGU itu lahan kami," kata Bahrum, salah seorang warga di Desa Muara Umpu. "Kami sudah menjadi pemilik sah lahan-lahan itu sebelum perusahaan datang."

Pernyataan Bahrum dibenarkan beberapa warga yang ditemui Sinar Tabagsel di Kecamatan Batangtoiru. Mereka menceritakan asal-usul dari setiap jengkal tanah yang diklaim oleh PT MIR dan PT SKL tersebut.  

Menurut warga, lahan-lahan itu awalnya merupakan Lahan Transmigrasi Rianiate, yang terbagi ke dalam dua satuan pemukiman (SP) Rianiate 1 dan SP Rianiate 2. 

Penjelasan warga di Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, sesuai dengan fakta yang ditemukan Sinar Tabagsel. Sejumlah sumber yang diperoleh Sinar Tabagsel terkait sejarah Lahan Transmigrasi Rianiate menyebutkan, awalnya ada surat keputusan tentang hak pengelolaan lahan (HPL) dari Menteri Dalam Negeri Nomor: 11/HPL/DA/1986, tanggal 26 Februari 1986 atas lahan seluas 4.000 hekatre. 

SK Menteri Dalam Negeri Nomor: 11/HPL/DA/1986 merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 27.282/Sekrc tertanggal 6 September 1980 tentang keinginan Gubernur Sumatra Utara mentransmigrasikan warganya dari satu kabupaten ke lain kabupaten di Provinsi SUmatra Utara. 

Menanggapi surat Gubernur Sumatra Utara itu, Mendagri akhirnya mengeluarkan SK Nomor : 11/HPL/DA/86.  SK Mendagri itu dilampiri dengan peta yang menunjukkan posisi geografis lahan seluas 4.000 hektare tersebut. Posisi lahan itu persisnya berada di Desa Huta Raja, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang waktu itu belum ada pemekaran wilayah.  

Di dalam SK Menteri Dalam Negeri Nomor: 11/HPL/DA/1986 juga dijelaskan, lahan seluas 4.000 hektare dipergunakan sebagai lokasi untuk pemukiman transmigrasi dan  tempat usaha para transmigran. Lahan 4.000 hekatre itu kemudian diberikan Mendagri kepada Departemen Transmigrasi.  

Pada tahun 1995/1996, Departemen Transmigrasi akhirnya menetapkan program Transmigrasi Swakarsa Mandiri untuk 300 keluarga. Sebanyak 200 keluarga ditempatkan di SP Rianiate I dan mengelola sebanyak 400 hekatre lahan. Sisanya, 100 keluarga lainnya ditempatkan di SP Rianiate 2.

Para transmigrasi itu didatangkan untuk mengelola kawasan hutan. Sebanyak 300 keluarga transmigrasi dari berbagai daerah di Provinsi Sumut kemudian mengembangkan usaha pertanian. Ada keluarga transmigrasi yang sukses mengembangkan usaha pertanian dan perkebunan, tetapi tidak sedikit yang memilih menjual lahannya. 

Meskipun begitu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatra Utara, Ir. A. Aziz Zein Gumay, kemudian mengajukan permohonan agar tanah yang dikeloloa oleh keluarga Transmigrasi Swakarsa Mandiri itu disertifikasi menjadi hak milik. 

Untuk itu, Kepala Desa Rianiate 1 waktu itu, Ruslan Aritonang, ditugaskan mendata warganya yang ada di SP Rianiate 1 dan menyampaikan nama-nama peserta TSM Rianiate I.  Nama-nama keluarga peserta Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang disusun Ruslan Aritonang kemudian diajukan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara. Dari dinas, daftar nama itu diajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumutera Utara untuk diterbitkan sertifikat hak milik.

BPN Sumatra Utara kemudian menerbitkan sertifikat hak milik kepada nama-nama yang diajukan tersebut. Namun, di atas lahan milik transmigrasi yang sudah memperoleh sertifikat hak milik dari BPN, tiba-tiba pihak PT MIR mengklaim seluas 340 hektare lahan lahan di SP Rianiate 2 sebagai bagian dari HGU yang dimilikinya.  

Sebagian kawasan SP Rianiate 2 sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Muara Ampolu, Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebagian lagi kawasan SP Rianiate 2 menjadi wilayah desa lain di Kecamatan Batangtoru dan Kecamatan Muara Batangtoru.

Berdasarkan peraturan daerah terkait penataan administrasi pasca Kabupaten Tapanuli Selatan mekan menjadi empat kabupaten dan satu kota, banyak nama desa yang lama berubah akibat terjadi penggabungan desa. Perubahan nama secara administratif itu tidak dengan sendirinya menghapus hak masyarakat atas tanah di desanya, meskipun alas hak berupa sertifikat hak milik menjadi tidak sama dengan nama desa tempat tinggal pemiliknya. 

PT MIR mengantongi sertifikat HGU dengan No 1/Desa/Kelurahan Rianiate bertanggal 15 Juni 1999 dengan ukuran batas-batas, sesuai dengan surat ukur Nomor: 1935/1999 bertanggal 15 Juni 1999, seluas 5.523,30 hektare yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tapanuli Selatan. Selain PT MIR, ternyata PT SKL  juga mengklaim 74 hektare lahan masyarakat Kelurahan Muara Ampolu, Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan yang terletak di SP Rianiate 2.

Klain dua perusahaan perkebunan sawit itu tak akan bisa terjadi jika Pemda Tapsel sejak awal memainkan peran sebagai pemerintah daerah, karena kehadiran kedua perusahaan itu di Kabupaten Tapanuli Selatan tak akan pernah terwujud tanpa restu Pemda Kabupaten Tapsel. Selain itu, persoalan sesungguhnya dari konflik adalah alas hak yang dipakai kedua belah pihak yang berkonflik. Investor mengacu pada HGU, sedangkan masyarakat mengacu pada sertifikat hak milik selaku eks keluarga di lokasi Transmigrasi Rianiate. 

Pemda Tapanuli Selatan melalui Bupati Dolly Putra Parlindungan Pasaribu bisa saja menguji keabsahan setiap alas hak yang dipakai kedua belah pihak yang berkonflik. Tentu saja,  solusi dibuat dengan tujuan mencari kebenaran dan bukan untuk menutupi kesalahan-kesalahan di masa lalu terkait pemberian alas hak pada kedua pihak yang berkonflik. Sayangnya, keinginan menyelesaikan konflik rakyat versus investor itu yang tidak ada.

Lanjut baca »

Haris-Fatia Bebas dan Upaya-Upaya Para Pejabat Menikmati Sorga Papua

item-thumbnail

 

Perjuangan Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, dua aktivis hak asasi manusia (HAM), untuk bebas dari segala tuntutan dalam perkara pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan, akhirnya membuahkan hasil. Aktivis KontraS dan Lokataru itu, divonis bebas karena tak terbukti mencemari nama baik Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu. 

Jurnalis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion

Majelis hukum Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur memvonis bebas Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti dalam perkara dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP).  

"Menimbangkan karena tidak terbukti maka tidak terbukti secara sah maka pada para terdakwa diputus bebas," kata hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin, 8 Januari 2024. 

Majelis hakim menganggap tuntutan pertama kepada Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti tidak memenuhi unsur hukum. Dengan demikian Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti lepas dari tuntutan pertama. 

"Apa yang diperbincangkan bukanlah termasuk dugaan penghinaan. Tidak memenuhi unsur hukum. Tidak terbukti dalam dakwaan pertama dan bebas atas tuntutan dakwaan," jelasnya. 

Haris dan Fatia juga lepas dari dakwaan kedua dan subsider yakni penyebaran berita bohong. Keduanya dianggap oleh majelis hakim tidak memenuhi unsur pidana penyebaran berita bohong. 

"Bukan berita bohong. Sehingga dakwaan kedua tidak terbukti sehingga terdakwa lepas dari dakwaan kedua," jelasnya. "Dakwaan subsider tidak terpenuhi sehingga terdakwa lepas dari dakwaan subsider," tambahnya. 

Siapa saja yang sudah menonton podcast berjudul  “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!”  yang diunggah di kanal Youtube Haris Azhar pada 20 Agustus 2021,  meyakini kalau Fatia Maulidiyanti tidak sedang merusak nama baik Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menteri Koordinator Maritim dan Investasi atau sebagai purnawirawan Jenderal  TNI.  Fatia hanya menarasikan hasil kajian atau riset yang dilakukan Koalisi #BersihkanIndonesia dan diterbitkan dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” kepada Harris Azhar. 

Koalisi #BersihkanIndonesia merupakan kolaborasi sejumlah NGo (non-government organization) seperti KontraS, YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia. Setiap pengelola NGo yang jadi bagian Koalisi #BersihkanIndonesia, kemudian merilis hasil kajian itu kepada publik lewat ragam medium komunikasi yang ada. YLBHI dan WALHI merilisnya lewat situs resmi mereka. Media massa kemudian mengutif rilis itu untuk konsumsi publik. 
Situasi pasar di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Masyarakat tradisional yang hidup miskin di dekat tambang emas.


Fatia Maulidiyanti dari KontraS  bisa saja mengeluarkan rilis berita atas nama KontraS sebagaimana YLBHI, WALHI, dan NGo yang tergabung dalam Koalisi #BersihkanIndonesia melakukannya lewat situs resmi mereka. Tujuannya jelas, agar hasil kajian yang sangat penting itu diketahui publik, sehingga makin terurai krodet persoalan yang sedang berlangsung di Papua Barat. Tapi Fatia memilih menarasikan hasil riset itu lewat medium podcats yang dikelola Haris Azhar. 

Dengan format talk show, Fatia dan Haris membincangkan kebijakan Presiden Joko Widodo tentang operasi militer TNI di Papua. Pembicaraan ini mengungkit-ungkit perkara lama berkaitan eksistensi PT. Freeport Indonesia sejak 1967 sebagai pengeruk cadangan emas yang ada di Papua,  juga implikasinya terhadap ekonomi rakyat Papua yang tak bisa lagi jadi andalan mencari nafkah akibat kawasan hutan rakyat sudah dipagari.

Apa yang dibicara Fatia-Haris sebetulnya hal yang sudah umum diketahui masyarakat internasional tentang apa yang terjadi di Papua Barat. Sejarah Papua Barat identik dengan pergerakan militer dan kepentingan ekonomi. Papua Barat disebut "negeri surga" yang kaya akan sumber daya alam hasil tambang. Kekayaan ini diincar perusahaan-perusahaan pertambangan transnasional terbesar di dunia. Dari Amerika Serikat ada Union Oil, Amoco, Agip, Conoco, Phillips, Esso, Texaco, Mobil, Shell, Petromer Trend Exploration, Atlantic Richfield, Sun Oil, dan Freeport. Belum lagi Oppenheimer (Afrika Selatan), Total (Prancis), Ingold (Kanada), Minyak Marathon dan Kepala Burung, Rio Tinton Z (Inggris),  Dominion Mining, Cudgen RZ, CRA, dan WWM (Australia).  

Negara-negara asing menjadikan Papua Barat sebagai sumber ekonomi yang tak habis dieksploitasi. Setiap negara mewakili kepentingan institusi bisnis, namun menjadikan negara asalnya sebagai tameng. Semua bermula setelah akhir perang dunia kedua, ketika Amerika Serikat bersama Negara-negara sekutunya berhasil menandai sejumlah Negara yang potensial sumber daya alamnya. 

Potensi Papua Barat jarang dibuka untuk publik. Bahkan, warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saja hanya paham bahwa Papua Barat secara de jure bagian dari NKRI, tapi tidak tahu kalau seluruh isinya telah dibagi-bagi untuk kepentingan pengusaha dari berbagai negara. Akibat pembagian itu, eksistensi warga setempat  diabaikan. Mereka sering dipindahkan secara paksa dari tempat kelahirannya hanya karena tempat kelahirannya masuk ke dalam wilayah kuasa dari perusahaan-perusahaan asing. 

Kita lihat Petromer Trend dan Conoco, perusahaan minyak milik Amerika Serikat. Lahan konsesi pertambangannya  berada di pegunungan Ertsberg dan Grasberg meliputi wilayah Danau Paniai dan Wissel, Fak Fak, Lembah Baliem, ujung barat Kepala Burung dan wilayah perbatasan PNG. Wilayah itu sejak lama dijadikan sebagai daerah tanpa penguasa (dislokasi). Kawasan itu tidak boleh ditempati siapa pun sehingga penduduk asli harus dipindahkan dan mendapat penindasan terus-menerus. Kondisi ini melahirkan perlawanan dari masyarakat setempat, namun pengusaha asing mengklaim masyarakat itu sebagai pelaku kriminal yang menolak kehadiran investor asing.  

Kondisi serupa juga terjadi di Dataran Tinggi Barat, daerah operasi penambangan Freeport Indonesia. Tambang Freeport di Gunung Ertsberg merupakan tambang tembaga terbesar kedua di dunia, juga memiliki simpanan emas terbesar yang pernah ada, bernilai lebih dari $US 40 miliar. Perkiraan terbaru untuk lapisan Gunung Grasberg adalah satu miliar ton bijih dan diperkirakan berumur tiga puluh tahun. Freeport mempunyai konsesi seluas 3,6 juta hektare di Papua Barat setelah pemberian konsesi seluas 2,6 juta hektare. Kawasan sekitar tambang tertutup bagi pihak luar dan juga bagi pemilik tanah adat yang telah dirampas. 


Pada Maret 1995 diumumkan, perusahaan pertambangan terbesar di dunia, Rio Tinton (RIO-Z) dari Inggris, telah membeli 18 persen saham milik Freeport Indonesia senilai 1,8 miliar dolar AS. Dengan modal sebanyak itu, terjadi perluasan besar-besaran operasi Freeport. Pengembangan Freeport justru menyingkirkan warga setempat. Freeport memindahkan puluhan ribu penduduk dari desa-desa yang ada dalam wilayah konsesi penambangan. Pada bulan Februari 1995, misalnya, Freeport memindahkan 2000 orang yang tinggal di sekitar lembah Waa, Arwaa, dan Tsinga. Saat pemindahan ini, terjadi pertempuran yang menyebabkan kematian sekitar 40 warga sipil dan hilangnya hingga 200 orang lainnya. 

Selain menjadikan kawasan lahan konsesi sebagai dislokasi, pengusaha-pengusaha asing juga menetapkan lokasi mereka sebagai "zona gempa", sehingga suku-suku asli yang tinggal di sekitar seperti Hupla di dataran tinggi tengah, harus direlokasikan ke daerah lain. Masyarakat menolak, tetapi mereka dipaksa pindah ke lokasi yang lebih rendah, di mana mereka lebih rentan terhadap penyakit seperti malaria dan makanan tradisional pegunungan seperti pohon pandan tidak tumbuh. 

Warga berontak dan melakukan perlawanan. Freeport McMoran (induk PT Freeport Indonesia) merasa dirugikan karena perlawanan itu. Berdalih Freeport McMoran sebagai pembayar pajak terbesar untuk Indonesia, mereka kemudian menuntut agar pemerintah  Indonesia mengatasi masyarakat menghalangi investor. Menariknya, pemerintah Indonesia menurut dan memperlakukan warga sendiri sebagai pihak yang bersalah. Tidak hanya itu, pemerintah kemudian melancarkan operasi militer TNI, menyerang warga sendiri yang dilabeli sebagai OPM (Organisasi Papua Merdeka). 

Kondisi ini berlangsung puluhan tahun, sehingga situasi Papua selalu dicekam konflik. Dalam kondisi dicekam seperti itu, posisi musuh sudah ditetapkan yakni warga setempat yang melakukan perlawanan. Perlawanan ini menjadi rutinitas di negeri ini, membuat pemerintah rutin melakukan operasi militer. Ribuan kekuatan TNI dibantu Polri terus-menerus dikirim ke Papua. Selama itu pula, pemerintah mengemas informasi seakan-akan rakyat Papua ingin lepas dari NKRI, dan kondisi di Papua sudah sangat krodet. 

Informasi dari pemerintah ini mulai terurai ketika kajian Koalisi #BersihkanIndonesia mengungkapkan fakta berbeda, bahwa operasi militer yang dilakukan memiliki agenda ekonomi terselubung. Hasil kajian itu merupakan informasi penting yang perlu diketahui publik berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik

Pasalnya, Operasi Militer TNI merupakan kebijakan Pemerintah Presiden Joko Widodo untuk menempatkan militer di Papua Barat menggunakan uang rakyat (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga rakyat harus mengetahui secara jelas bagaimana dana itu dikelola. Transparansi pengelolaan uang rakyat itu penting diketahui public, itu bukan informasi rahasia, tetapi sesuatu yang bisa menjadi pengetahuan umum. 

Sangat wajar publik ingin tahu tujuan pengerahan ribuan anggota TNI dan Polri ke Papua Barat. Jika selama ini pemerintah selalu mengait-kaitkan operasi militer itu dengan eksistensi OPM, hasil kajian Koalisi #BersihkanIndonesia justru mengungkapkan fakta baru. Fakta yang sebetulnya sudah menjadi pengetahuan umum sejak lama, sebut saja ketika Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menurunkan tim untuk menyelidiki pelanggaran HAM di Papua. 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dalam kajian mereka yang berjudul "Operasi Militer Papua",  menjelaskan bahwa operasi militer TNI selama periode 1961 sampai 1998, telah dilancarkan empat puluh empat  kali di wilayah Papua. Model operasi militer tersebut terbagi menjadi dua tahap, yaitu sebelum pelaksanaan PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat yang digelar pada 1969) dengan tujuan untuk memenangkan PEPERA dan sesudah pelaksanaan PEPERA dengan tujuan untuk mempertahankan hasil PEPERA, menyukseskan Pemilu, dan menumpas gerakan OPM. 

Operasi militer TNI itu tidak kunjung membuahkan hasil. Wilayah Papua tetap menjadi wilayah konflik.  Pelanggaran HAM acap terjadi. Bahkan, pada masa awal kepemimpinan Presiden Jokowi, muncul aksi baru di luar OPM. Ada yang disebut KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) setelah peristiwa pembakar 3 sekolah dasar, penembakan seorang murid sekolah serta penembakan Kabinda Papua Mayjen TNI (anumerta) I Gusti Putu Danny Karya Nugraha. 

OPM membantah, apa yang disebut KKB oleh militer Indonesia  itu merupakan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), yakni sayap militer OPM. Dalam rilis OPM yang disiarkan Seputar Papua berjudul "TPNPB Rilis Identitas 5 Pasukannya yang Gugur di Tangan TNI-Polri". Bagi pemerintah Indonesia KKB adalah label baru terhadap kelompok kriminal bersenjata. Bila label KKB didefenisikan, tentu eksistensi mereka sama dengan terorisme kalau UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Dengan begitu, operasi militer TNI  juga berkaitan dengan operasi antiterorisme. Tapi, hasil kajian Koalisi #BersihkanIndonesia justru mengungkapkan fakta bahwa operasi militer TNI berkaitan dengan sejumlah lokasi tambang emas di Kabupaten Intan Jaya.  

Kajian Koalisi #BersihkanIndonesia mengungkap, bukan hanya negara-negara luar yang memiliki kepentingan ekonomi di Papua Barat. Indonesia juga memiliki kepentingan besar, namun kepentingan Indonesia dikemas sebagaimana negara-negara asing mengemas kepentingannya dengan mendorong para pengusahanya. Dengan alasan investasi, Amerika Serikat, Inggris, Australia, Perancis menguasai Papua Barat.  

Dengan cara serupa, Indonesia mendorong pengusahanya untuk mengambil keuntungan dari kekayaan sumber daya alam di Papua Barat. Namun, untuk terlibat dalam bisnis tambang hanya bisa dilakukan dengan membeli saham seperti yang dilakukan RIO-Z dengan membeli 18% saham Freeport Indonesia. Tentu saja cara ini membutuhkan modal tidak sedikit, sehingga harus ditempuh cara lain yang tak mengeluarkan biaya besar tetapi mendapatkan hasil maksimal. 

Pilihan jatuh pada mengubah regulasi yang sudah ada. Izin-izin yang dimiliki perusahaan-perusahaan asing, kemudian harus diperbaharui atas nama kebijakan baru dari pengusaha baru di Indonesia. Dengan regulasi baru itu, perlahan-lahan areal eksplorasi PT Freeport Indonesia di Kabupaten Intan Jaya dilepas untuk investor baru. Tiba-tiba muncul PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ), pemegang izin usaha pertambangan di Blok Wabo.   

Namun, lantaran untuk pengembangan tambang butuh modal besar, saham perusahaan dijual dan akhirnya diakuisisi West Wits Mining Ltd (WWM) yang bermarkas di Malbourne, Australia. Saham WWM dikuasai DRD Gold Ltd (23%), Mintails Ltd (21%), Geotorm Investments Limited (4,7%),  dan AMN Nomineeds Limited (4,4%). 

Australia awalnya bermitra dengan Papua Nugini dalam usaha tambang emas di Papua Nugini.yang dikelola Ok Tedi Mining (OTM). OTM dimiliki BHP Billiton, perusahaan pertambangan milik pengusaha Australia. Namun, posisi Australia di Papua Nugini tergeser oleh RIO-Z. Tapi RIO-Z kemudian tersangkut kasus pencemaran lingkungan, lalu OTM mengambil alih ladang emasnya. Kerjasama Papua Nugini-Australia yang sukses, membuat Australia ingin punya peran lebih besar di wilayah yang sumber emasnya berlimpah, lalu masuk ke Papua Barat yang dikuasai PR Freefort Indonesia. 

Tersingkir dari Papua Nugini, RIO-Z membeli saham PT Freefort Indonesia. Langkah Inggris ini kemudian diikuti Australia dengan mendorong WWM  untuk memanfaatkan sumber daya alam Papua Barat. WWM kemudian melihat proyek tambang emas Blok Wabo yang telah dikuasai PTMQ namun tak kunjung berproduks. Pada 30 Juli 2011, WWM kemudian mengakuisi PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) dari pemilik lama.  WWM menjadi pemilik saham mayoritas PTMQ (64%), sehingga PTMQ berubah menjadi subsidiari WWM. Pada 2016, tiba-tiba WWM memberi 30% saham kepada PT Tobacom Del Mandiri (TDM) sebagai bentuk “aliansi bisnis” yang dimulai Oktober 2016. 

Kenapa WWM yang merupakan pemain baru di wilayah Papua Barat tiba-tiba beraliansi dengan PT TDM, perusahaan milik pengusaha Indonesia? Kenapa aliansi bisnis ini membuat WWM harus memberikan 30%  saham di PTMQ kepada PT TDM, sehingga WWM hanya memiliki 34% saham? Kondisi ini menyebabkan WWM bukan lagi pemilik mayoritas saham di PTMQ yang sebelumnya menguasai 64%. Apakah saham 30% dari WWM untuk PT TDM itu cuma-cuma? 

Fatia Maulidiyanti lewat hasil riset Koalisi #BersihkanIndonesia membeberkan bahwa negosiasi saham antara WWM dengan PT TDM erat kaitannya dengan para elite penguasa di Indonesia yang ingin mendapat keuntungan dari lading emas yang ada di Papua Barat.
Lanjut baca »

Demi Proyek Alun Alun, Pemda Padang Sidimpuan Hancurkan Rumah Sakit Umum

item-thumbnail
Gubernur Sumut Edy Rahmayadi melakukan peletakan batu pertama proyek "Penataan Alun-Alun Kota Padangsidimpuan" yang dibiayai APBD Pemprov Sumut 2023 senilai lebih Rp2,6 miliar. Alun-Alum yang ditata itu belum ada, dibangun di atas lahan bekas Rumah Sakit Umum Bagian Mata di Kelurahan Wek V, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan, yang dirubuhkan.  (Foto: Humas Pemprov Sumut)

Jurnalis: Efry Nasaktion | Editor: Budi Hutasuhut

Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan, eks kompleks Rumah Sakit Mata, di Jalan Teuku Umar, seharusnya sudah dibuka untuk umum pada Sabtu, 30 Desember 2023. Minggu, 31 Desember 2023, proyek yang dikerjakan CV. Ilham Jaya Mandiri belum selesai meskipun sudah lewat 150 hari kerja kontrak nomor: 602/UPTD.PUPR/PSP/1356/2023.

Pemda Kota Padang Sidimpuan saat dipimpin Wali Kota Irsan Efendy mengusulkan gedung Rumah Sakit Umum Bagian Mata di Jalan Teuku Umar menjadi Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan kepada Pemda Provinsi Sumatra Utara. Fasilitas kesehatan masyarakat Kota Padang Sidimpuan yang merupakan aset bersejarah itu, segera diratakan dengan tanah dan di atas lahannya akan dibangun Alun Alun Kota Padang Sidimpuan. 

Gubernur sumatra Utara waktu itu, Edy Rahmayadi, menyambut usulan tersebut dan menugaskan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Provinsi Sumut untuk merealisasikannya. Dinas PUPR kemudian menetapkan lokasi eks Rumah Sakit Mata itu sebagai lokasi proyek "Penataan Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan" yang dibiayai APBD Pemda Provinsi Sumut dengan pagu Rp4,8 miliar. 

Memasuki awal tahun 2023, Dinas PUPR Provinsi Sumut menayangkan proyek dengan kode tender "22672027" di website LPSE Provinsi Sumatra Utara. Pada 27 April 2023, CV Ilham Jaya Mandiri yang beralamat di Kota Medan diumumkan  sebagai pemenang dengan penawaran lebih Rp4,6 miliar. 

Selama proses tender proyek berlangsung, Pemda Kota Padang Sidimpuan merubuhkan bangunan-bangunan Rumah Sakit Umum Bagian Mata. Selesai pembersihan lahan, Dinas PUPR Provinsi Sumut menyerahkan tanggung jawab proyek "Penataan Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan" kepada Unit Pelayanan Teknis Daerah  (UPTD PUPR Provinsi Sumut yang ada di Kota Padang Sidimpuan. Kepala UPTD PUPR, Daksur Poso Alisahbana Hasibuan, bersama Pemda Kota Padang Sidimpuan kemudian merencanakan peletakkan batu pertama proyek ini. 

Penamaan proyek "Penataan Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan" menegaskan, bahwa sebelumnya sudah ada Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan namun kondisinya belum memadai sehingga perlu ditata. Kenyataannya, belum ada Alun Alun Kota Padang Sidimpuan dan proyek "Penataan Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan" itu seharusnya proyek "Pembangunan atau Pembuatan Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan". 

Pada 30 Agustus 2023, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi datang ke Kota Padang Sidimpuan untuk melakukan peletakan batu pertama proyek "Penataan Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan".  Bersama Wali Kota Padang Sidimpuan, Irsan Efendi Nasution, Gubernur Edy mengatakan bangunan yang akan dibangun merupakan aset Pemda Provinsi Sumut yang akan diberikan kepada Pemda Kota Padang Sidimpuan. 

Sejak peletak batu pertama pada 30 Agustus 2023, seharusnya Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan sudah selesai dan diresmikan untuk ruang publik. Tapi, kondisi proyek APBD Sumut 2023 itu masih belum selesai, padahal sudah lebih 150 hari jam kerja. 

Di dalam narasi pekerjaan proyek yang dikeluarkan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang diperoleh Sinar Tabagsel, diuraikan bahwa CV Ilham Jaya Mandiri bertanggung jawab mengerjakan sebanyak sepuluh item pekerjaan. Akhir pekerjaan itu, di atas lahan kosong bekas kompleks Rumah Sakit Umum Bagian Mata Padang Sidimpuan itu akan berdiri taman lengkap dengan tempat duduk, pot-pot bunga, lampu taman, jalur (track) jogging, area parkir, ikon sopo godang, ikon pakaian pengantin (ampu dan bulang), serta ornamen khas Batak Angkola, dan lain sebagainya. Alun  Alun Kota Padang Sidimpuan akan menjelma menjadi ruang publik. 

Penghapusan Tempat Bersejarah

Kompleks Rumah Sakit Umum Bagian Mata berada tepat di pertemuan dua ruas jalan, Jalan Teuku Umar dan jalan batang Gadis,  di Kelurahan Wek V, Kecamatan Padangsidimpuan Selatan. Bangunan ini adalah tempat praktik dokter bagian mata, merupakan aset yang memiliki nilai sejarah. Bangunan itu merupakan salah satu peninggalan era Padang Sidimpuan masih jadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan. 

Sejak 2001,  atau setelah Kota Padang Sidimpuan menjadi daerah otonomi baru, Rumah Sakit Umum Bagian Mata itu jarang didatangi masyarakat. Bangunan dan lahannya seharusnya menjadi aset Kementerian Kesehatan, namun banguan dan lahan yang ada di Kota Padang Sidimpuan ini tidak terdata kepemilikannya. 

Berdasarkan informasi di lingkungan Pemda Kota Padang Sidimpuan, seluruh aset milik Pemda Kota Padang Sidimpuan telah  ditata ulang sejak Wali Kota Irsan Efendi Nasution dan Bupati tapanuli Selatan Dolly Putra Parlindungan Pasaribu menandatangani berita acara Serah Terima Barang Milik Daerah (BAST) di Kantor Gubernur Sumatera Utara pada Desember 2021 lalu. 

Saat penandatanganan itu, Pemda Tapsel memberikan sebanyak 28 bidang aset kepada Pemda Kota Padang Sidimpuan. Aset-aset itu merupakan bangunan bekas Kabupaten Tapanuli Selatan yang berada di wilayah Kota Padang Sidimpuan dan seharusnya sudah dibagi saat Kota Padang Sidimpuan berdiri sebagai daerah otonoimi baru pada tahun 2001. 

Dari 28 aset yang diterima Pemda Kota Padang Sidimpuan, tidak termasuk di dalamnya Kompleks Rumah Sakit Umum Bagian Mata Padang Sidimpuan di Jalan Teuku Umar. Alasan ini kemudian membuat Pemda Kota Padang Sidimpuan mengajukan Kompleks Rumah Sakit Umum Bagian Mata Padang Sidimpuan untuk dirubuhkan dan di atasnya dibangun Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan. 

Kebijakan menghancurkan bangunan bersejarah dan mengubah lahannya menjadi Alun-Alun Kota Padang Sidimpuan dipertanyakan masyarakat. "Apakah kebijakan yang diambil pemda Kota Padang Sidimpuan ini sudah sepengetahuan DPRD Kota Padang Sidimpuan?" tanya Maruli, salah seorang warga di Kelurahan Wek V, Kecamatan Padang Sidimpuan. 

Lanjut baca »

Kopi Arabika Sipirok Mulai Ditinggalkan Petani

item-thumbnail












Jurnalis: Budi Hutasuhut | Editor: Hady K Harahap

Ratusan hekatare ladang kopi Ateng (arabika) di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, ditelantarkan pemiliknya. Komoditas tanaman keras yang telah mengantongi Indikasi Geografis (IG) dari Kemenkum HAM  itu, tidak lagi ekonomis. Para petani mengaku, tenaga dan biaya yang terkuras untuk mengolah kebun tidak sebanding dengan hasil yang diperoleh.

Ladang-ladang kopi arabika di sepanjang jalan menuju Desa Sialaman, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, sudah  lama tidak ada lagi. Kebun kopi yang sempat membuat Desa Sialaman menjadi sentra produksi kopi Arabika, itu telah ditebangi pemiliknya. Lahan bekas kebun kopi, ada yang ditanami tanaman pokat, dan ada yang beralih fungsi menjadi kompleks perumahan. 

Tahun 2015 sampai 2018,  nyaris tak ada lahan kosong di kawasan tersebut. Semua lahan diubah menjadi kebun kopi. Ratusan hektare jumlahnya, membentang hingga ke perbatasan kawasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali. Tiap kali musim kopi berbunga, aroma harum bunga kopi akan merebak di kawasan itu.

Pemilik ladang-ladang kopi di Desa Sialaman bukan warga setempat, melainkan warga dari luar kota. Tidak sedikit juga para aparatur sipil negara (ASN) di Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, menjadi pemilik kebun karena tertarik keuntungan budidaya kopi arabika. 

Orang dari luar kota dan para ASN sengaja membeli kebun kopi dari masyarakat setempat, mengubah lahan yang dibeli menjadi kebun kopi, dan mempekerjakan masyarakat setempat sebagai penjaganya.


"Saat musim panen kopi, daerah ini akan sangat ramai. Pemilik kebun biasanya mempekerjakan 5--20 orang untuk memetik hasil panen," kata Yusuf Pohan, warga sekitar yang mengaku sering bekerja sebagai pemeting kopi. 

Yusuf Pohan  menceritakan, kopi arabika dari Desa Sialaman menjadi tolok ukur kualitas kopi terbaik di Kecamatan Sipirok. Selain kualitas hasil panennya bagus, produktivitas buah kopi per tanaman juga tinggi.  Tiap akhir pekan, rutin truk fuso masuk ke Desa Sialaman untuk memuat kopi yang dikumpulkan pedagang, kemudian kopi-kopi itu akan langsung dibawa ke pengusaha penampung di Medan. 

Tidak sedikit petani yang mendapat hasil dari budidaya kopi, karena harganya jualnya selalu baik. Bahkan, harga jual kopi arabika di Desa Sialaman jadi indikator harga di daerah-daerah lain. Para petani di daerah lain, sebelum memutuskan menjual kopi hasil panennya ke pedagang penampung,  akan bertanya lebih dahulu bagaimana perkembangan harga kopi di Desa Sialaman.

"Banyak petani dari berbagai daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan yang datang untuk belajar budidaya kopi ateng sekaligus membeli bibit kopi ateng. Orang-orang yang datang untuk belajar itu, rata-rata ingin mengembangkan kopi arabika di daerah masing-masing," kata Yusuf.

Popularitas kopi arabika dari Desa Sialaman mampu menciptakan berbagai jenis usaha baru. Booming kopi arabika mampu melahirkan usaha di hulu sampai hilir, mulai dari usaha jual bibit kopi sampai usaha pengolahan pasca panen kopi. Berbagai teknologi baru pun diciptakan, mulai dari peralatan non-mesin untuk mengupas kulit buah kopi, sampai teknologi pengupasan kulit ari kopi.  Barang-barang teknologi pengolan hasil panen kopi ini memberi keuntungan besar bagi para pedagang.  


Petani kopi arabika di Desa Sitaratoit, Kecamatan Angkola Barat, Kabupaten Tapanuli Selatan, termasuk para petani yang datang ke Desa Sialaman untuk belajar budidaya kopi arabika sekaligus membeli bibit kopi. Hasan Siregar, salah seorang petani di Desa Sitaratoit, mengaku membabat ladang kopi robusta miliknya hanya agar bisa ikut membudidayakan kopi arabika. 

"Panen pertama, hasilnya bagus. Kualitas biji kopinya besar dan bernas. Cuma, harga jual kopi ini tidak sebagus harga jual kopi arabika dari Sipirok. Ketika diolah menjadi kopi bubuk, cita rasanya pun tidak sebaik kopi dari Sipirok," kata Hasan Siregar.

Hasan Siregar bercerita, dia pernah ingin memproduksi greend bean dan roasting kopi arabika dari Desa Sitaratoit, tetapi tidak banyak peminatnya. Akibatnya, usaha kopi arabika yang akan dikembangkan menjadi lesu karena keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. 

"Kami kembali ke kopi robusta," kata Marjuki, petani di Desa Sitaratoit, yang sejak awal memang membudidayakan kopi robusta. "Daerah kami lebih cocok dengan kopi robusta dibandingkan kopi arabika."

Ditelantarkan

Selain ditebangi oleh pemiliknya, ratusan hekatare kebun kopi arabika di Desa Sialaman juga ditelantarkan pemiliknya. Kebun-kebun kopi yang sebelumnya dirawat dengan sistem semi-moderen, dua tahun terakhir dibiarkan pemiliknya. Pohon-pohon kopi arabika tumbuh di antara belukar semak. 

Kondisi serupa juga terjadi pada kebun kopi arabika milik masyarakat di Desa Gunungbaringin, Desa Padang Bujur, Desa Kilang Papan, Desa Parandolok Mardomu, Desa Pagaranjulu. Ladang kopi milik masyarakat berada di lereng Gunung Sibualbuali, berbatasan langsung dengan Cagar Alam Dolok Sibualbuali, itu sudah tidak dirawat oleh pemiliknya. 

Sebagian besar dari kebun-kebun kopi itu telah ditawarkan pemiliknya kepada siapa saja yang bersedia membelinya dengan harga realatif murah. Di aplikasi penjualan media sosial, banyak pemilik kebun kopi di Kecamatan Sipirok yang mengiklankan penjualan ladang kopinya. Dengan harga berkisar Rp5 juta sampai Rp15 juta per hektare, ladang-ladang kopi itu tampak sudah lama dibiarkan.

Beberapa petani di Desa Padang Bujur, yang memiliki ladang di kaki Gunung Sibualbuali, mengaku mereka terpaksa meninggalkan ladsang kopi arabika karena hasil produksinya tidak bisa menutupi biayan operasional. "Kopi arabika menuntut perlakuan yang lebih serius, tiap hari harus dikunjungi," kata Burhan, petani kopi yang mengelola kurang lebih satu hektare ladang kopi di kaki Gunung Sibualbuali.  

Di  atas ladang kopinya, Burhan mengaku telah menanam sekitar 800 batang bibit kopi arabika sejak tiga tahun lalu. Memasuki tahun ke empat, kebun kopi itu semakin jarang dikunjunginya. Selain jaraknya yang jauh, hasil dari budidaya kopi arabika tak mampu mencukupi. 

Sejumlah kebun kopi di kaki Gunung Sibualbuali tampak tak terurus. Bahkan, jalan onderlag dari kompleks SMA Plus Sipirok menuju lokasi ladang-ladang kopi di kaki Gunung Sibualbuali sudah menyempit akibat jarang dilalui orang. Jalan selebar enam meter yang biasanya bersih dan terurus karena acap doilewati para petani kopi untuk ke ladang, kini menjadi jalan setapak yang dirimbuni belukar semak.

Kebun kopi juga nyaris tidak ditemukan di Desa Pahae Aek Sagala, yang rata-rata petaninya memiliki lahan di sekitar Desa Rambasihasur. Kebun kopi yang sebelumnya banyak dijumpai sepanjang jalan dari Desa Pahae Aek Sagala menuju Desa Rambasihasur, kini telah berubah menjadi semak belukar. Beberapa areal kebun kopi telah diganti masyarakat menjadi lahan budidaya hortikultura. 

Produksi Rendah

Berdasarkan data Biro Pusat Statitik (BPS) kabupaten tapanuli Selatan, pada tahun 2021 luas budidaya kopi arabika di Kabupaten Tapanuli Selatan sebanyak 4.804 hektare yang terkonsentrasi di Kecamatan Sipirok, Kecamatan Arse, Kecamatan Saipar Dolok Hole, Kecamatan Biru, Kecamatan Marancar, dan kecamatan Angkola Timur. Dengan luas lahan seperti itu, produksi kopi arabika  pada tahun 2021 hanya 2.514 ton. 

Dari 2.514 ton produksi kopi arabika itu, sekitar 60% di antaranya dijual para petani kepada pedagang pengumpul yang menjadi agen pembeli dari perusahan pengekspor kopi. Oleh para pengusaha pengekspor kopi, kopoi yang dibeli dari petani di Kabupaten Tapanuli Selatan kemudian dicampiur dengan varietas lain untuk diekspor ke luar negeri.

Nama kopi arabika asal Sipirok kemudian hilang, diganti dengan nama kopi carietas Sigarar Utang yang lebih dikenal di pasar internasional. Kondisi menyebabkan, sertifikat IG kopi yang melekat pada kopi arabika asal Tapanuli Selatan belum bisa menjamin kopi bisa meningkatkan kesejahteraan petani. 

"Kami saja kesulitan mendapatkan kopi," kata Iwan Siregar, owner Binabulu Cafe. "Yang kami butuhkan, kopi arabika dengan kualitas sesuai standar."

Iwan Siregar menilai, tidak semua produksi kopi petani di Kecamatan Sipirok sesuai dengan standar mutu untuk bisa jadi bahan baku minuman kopi yang berkualitas. Akibatnya, Bonabulu Cafe harus menyiasati sumber bahan baku dengan cara mengawal produksi biji kopi sejak dari musim bunga sampai pascapanen. 

"Petani kopi kita belum mampu menghasilkan biji kopi dengan standar bagus," katanya.

Bukan Bonabulu Cafe saja yang berpikir dua kali untuk membeli kopi yang dihasilkan petani kopi di Kecamatan Sipirok. Sejumlah owner cafe yang ditemui Sinar Tabagsel, baik di Kecamatan Sipirok maupun di Kota Padang Sidimpuan,   mengaku harga beli kopi arabika Sipirok cenderung tinggi akibat minimnya produksi. Akibatnya, ketika minum kopi arabika Sipirok ditawarkan ke pelanggan, maka harganya akan lebih tinggi. 

"Hanya orang-orang khusus yang mencari kopi arabiuka Sipirok," kata salah seorang pelayan di Cafe Mandailing. "Kopi di cafe kami dari Madina."



Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda