.

Menyusu Pada Penjual Susu

item-thumbnail

 Oleh : Bang Harlen 

Cukup lama aku menimbang-nimbang apakah kisah yang kualami beberapa tahun lalu ini perlu kutuliskan agar sekiranya dapat  membuka ruang kontemplasi bagi orang lain, atau kubiarkan begitu saja mengendap dan hanya kunikmati seorang diri. 

Pertimbanganku saat itu adalah adanya sebuah anggapan yang mencengkeram otakku bahwa kisah ini tidak akan banyak mempengaruhi apalagi sampai merubah logika berpikir orang yang akan membacanya. Pasalnya, kisah ini tidak berhulu dari orang yang dapat dikatakan sukses secara ekonomi. Sebagaimana ungkapan Jack Ma yang sepintas pernah kubaca : Kalau kau belum sukses, omonganmu tidak akan pernah didengarkan. Sebaliknya, begitu kau sukses, kentutmu pun akan terasa wangi. Setidaknya begitulah logika mayoritas mayarakat kita.

Pengalaman tersebut rupanya terus menyeruduk otakku. Ia seperti menuntut haknya untuk segera terbebas dari pikiranku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menuliskannya setelah memilih judul yang kurasa lumayan asyik. Judul yang tentunya tidak mengindikasikan peristiwa fisik yang sesungguhnya. Karena saat itu, secara sadar aku tidak sedang menempelkan bibirku ke puting penjual susu itu kemudian mengisapnya dengan buas. Akan tetapi, aku menganggap bahwa omongan penjual susu itu tak ubahnya air susu yang kaya kandungan gizi dan nutrisi bagi jiwaku yang rupanya masih kering kerontang ini.

Tepatnya tiga tahun lalu, aku pernah “terkurung” di Probolinggo. Di kota yang berjuluk kota santri itulah aku bertemu dengan seorang kakek tua penjual susu yang kuperhatikan kerap menyempatkan dirinya untuk sholat zuhur di masjid setempat. Setelah beberapa hari menghimpun niat, aku lantas membulatkan tekad untuk membeli dagangannya. Dengan berbekal selembar uang lima puluh ribu, aku kemudian mencegat kakek tua itu yang tampak telah mengayuh gerobaknya begitu keluar dari masjid.

“Susunya enam ya, Pak!”

“Mau yang rasa apa Dik?” sahut kakek itu ramah sambil membuka tutup gentong yang berisi puluhan bungkus es.

Untuk beberapa detik aku mencoba mengedarkan pandanganku menjelajahi tumpukan es yang dikemas berwarna-warni tersebut. Usai mendapat sedikit pencerahan,  pilihanku akhirnya jatuh kepada varian rasa coklat, stroberi, dan vanilla. Lantas segera kusodorkan selembar uang lima puluh ribu setelah sebelumnya kakek itu menyebut harga keenam susu itu cuma seharga Rp.18.000. Sambil menebar senyum, kukatakan kepada kakek itu untuk menyimpan saja uang kembaliannya. Dan betapa terkejutnya aku ketika tawaranku justru ditolaknya mentah-mentah. Dengan tergesa-gesa, kakek itu kemudian mengulurkan beberapa lembar uang kembalian ke hadapanku.

“Ambil saja, Pak. Ini rezeki Bapak. Aku ikhlas kok.” Aku tetap bersikeras menolak uang kembalian yang ia sodorkan.

“Enggak, Dik. Saya enggak bisa menerima uang ini. Saya ini pedagang susu. Rezeki saya itu dari berapa jumlah susu yang terjual. Di luar itu berarti bukan rezeki saya. “

Jleb. Mendengar omongannya yang tak biasa itu telingaku bagai tertampar. Seperti ada sebuah tinju yang tiba-tiba  menonjok dadaku hingga memar. Jiwaku rasanya rontok seketika. Kepalaku bagai dihantam sebutir kelapa. Dalam beberapa detik, seakan-akan ada aliran listrik yang menyentak ujung rambut hingga ujung kakiku. Tak berselang lama, kulihat kakek penjual susu itu sudah berlalu dan kembali mengayuh gerobaknya. Terus terang,  ada sedikit perasaan menyesal mengapa tadinya aku tidak menghabiskan saja uang lima puluh ribu tersebut untuk memborong susu kakek itu. Kenapa tadinya aku cuma beli enam saja. Namun, aku kembali berpikir, siapa pula yang akan menghabiskan susu sebanyak itu nanti? Peristiwa dengan kakek penjual susu tersebut tiba-tiba saja membuatku mengutuk diriku sendiri. Bahkan, aku sampai sedikit menggerutu atas sikap kakek tersebut yang bagiku terlalu naïf untuk zaman yang semakin mendewakan keuntungan materi ini. Harusnya ia menerima saja uang kembalian tadi, toh itu juga bukan sebuah dosa karena aku memberinya dengan ikhlas. Sepanjang jalan pulang aku terus saja menggerutu. Kendati demikian, harus kuakui bahwa kakek penjual susu itu telah mencerahkanku mengenai konsep rezeki yang tidak banyak orang sadari.

Yang jelas, kakek tersebut bukanlah seorang pemalas. Ia adalah seorang pekerja keras karena terus berusaha memetik rezeki yang terhampar luas di kebun-kebun kehidupan ini. Namun, di sisi lain, ia tidak silau dengan yang laba yang datang secara tiba-tiba. Ia bukan orang yang bermental miskin yang terbiasa menjual rasa prihatin. Baginya, harga diri adalah harga mati. Sebagai seorang penjual susu, ia begitu teguh merawat batasan dan tak ingin menjadi orang- orang yang melampaui batas. Kemudian tanpa kuduga peristiwa ini malah membuatku jadi malu sendiri. Tanpa kusadari, secara tidak langsung aku telah meremehkan eksistensi kakek itu sebagai penjual susu dengan bersikap seolah mengasihani kemelaratan hidupnya. Secara halus aku juga telah mempertontonkan sikap sombong, sebab telah menggeser hubungan kami yang semestinya hanya berbentuk transaksi jual beli biasa antara si penjual dan si pembeli, menjadi peristiwa sumbangan antara si kaya dan miskin. Dengan semena-mena aku juga telah menempatkan posisiku sebagai "tangan di atas" dan kakek tersebut sebagai "tangan di bawah".

Fenomena sosial ini barangkali sering kita lakoni dalam kehidupan sehari-hari. Kendati maksud hati kita memang ikhlas untuk menolong orang lain yang kita anggap membutuhkan bantuan, sayangnya kita kerap menafikan reaksi psikologis si penerima bantuan yang mungkin saja dalam hatinya bisa merasa terhina dengan cara kita memperlakukannya. Betapa sempitnya otak kita yang selalu menyimpulkan bahwa “orang kecil” pasti tak punya harga diri dan menganggap hanya mereka yang memiliki pangkat, jabatan, dan mapan secara ekonomi saja yang selalu berjuang memelihara harga dirinya.

Ilmu hidup yang baru saja kuisap dari kakek penjual susu tersebut pastinya tidak akan pernah kudapatkan di seminar-seminar motivasi  yang sering digelar di gedung dan hotel berbintang. Alasannya tentu sudah jelas, siapa pula yang sudi mengundang seorang kakek berpakaian kumal dan lusuh untuk berpidato di atas podium kemudian berteriak-teriak memberikan motivasi tentang hidup, sementara penampilan dirinya saja jauh dari kesan “termotivasi”. Siapa pula yang akan rela menyisihkan waktu berharganya  menyimak celotehan kakek tua soal bagaimana membangun bisnis agar cepat melejit, sementara ia sendiri hanya penjual susu keliling yang tidak jeli menangkap peluang ekonomi yang terpampang jelas di depan mata.

Kendati demikian, jauh di palung hatiku terdalam, aku selalu berharap kelak takdir akan merajut pertemuan  kakek penjual susu tersebut dengan para pemangku kebijakan di Republik ini, agar sekiranya Bapak/Ibu yang terhormat tersebut dapat sedikit tercerahkan dengan hakikat sesungguhnya dari “rezeki". Meski terus terang lumayan pesimis bila harapan itu akan terjalin menjadi sebuah fakta.

Pertemuan dengan kakek penjual susu itu juga telah menyeretku untuk kembali bercermin. Kembali menemukan wajah yang semakin hangus dibakar hati yang serakah. Kembali memanggil pulang pikiran dan jiwa yang sudah terlalu jauh dari rumah. Kembali mengoreksi langkah yang gampang tergelincir ke tanah

Boleh saja kita menempelkan kata naïf dan tidak progresif terhadap perkembangan zaman di jidat kakek penjual susu itu. Namun, senaif-naifnya dirinya, kita harus tetap angkat topi atas kegigihannya untuk terus memelihara kehadiran Tuhan di dalam hatinya, sebuah sikap hidup yang semakin tergerus oleh kemajuan peradaban manusia yang hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi belaka.

Ah, kenapa aku baru menyadari hal ini justru di usia segini? Kenapa tidak ada yang "menyusuiku" dengan ilmu bergizi  ini sewaktu berada di bangku pendidikan dulu?



Lanjut baca »

Film Indonesia, Industri Kreatif yang Tertinggal Jauh

item-thumbnail

 Oleh : Hady K Harahap


Tentu masih segar dalam benak kita ketika film Parasite yang pertama tayang di tahun 2019 lalu berhasil menyeret perhatian orang-orang. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya dalam sejarah film dari Asia berhasil meraih 4 kategori penghargaan dalam Oscar 2020. Setelah setahun sebelumnya dianugerahi penghargaan bergengsi lainnya dalam dunia film Palme d’Or Cannes 2019. Padahal, dalam catatan sejarah, boleh dikatakan Indonesialah yang bergerak lebih dulu dan mampu berbicara  dalam festival-festival film internasional. Buktinya, film Si Pintjang karya Kotot Sukardi dan Pulang karya Basuki Effendi mendapat penghargaan dalam Festival Karlovy Vary di Cekoslovakia pada tahun 1952. Setahun kemudian, Djadug Djajakusuma lewat film Harimau Tjampa (1953) sukses menyabet penghargaan ilustrasi musik terbaik pada Festival Film Asia Tenggara pada tahun 1955. Setahun berselang, giliran Tamu Agung karya Usmar Ismail yang membawa pulang penghargaan sebagai film komedi terbaik pada Festival Film Asia di Hongkong.

Tanete Pong Masak dalam bukunya Sinema Pada Masa Soekarno (2016) menyebut pada masa Demokrasi Liberal 1950-1957 adalah tonggak suburnya produksi film dalam negeri. Ia menuturkan telah mengidentifikasi 74 perusahaan yang memproduksi 317 film dalam kurun waktu tersebut. “Peristiwa luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah sinema Nusantara yang bermimpi mengubah ibukota menjadi Djakartawood,” Ungkap Tanene. Djakartawood berarti Jakarta akan dijadikan pusat perfilman serupa Hollywood.

Harus diakui bahwa munculnya film-film berbobot tersebut tak lepas dari pengalaman dan pembelajaran yang diperoleh para sineasnya. Semisal Usmar Ismail, Djadug Djajakusuma tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk belajar film dan mengasah kemampuan sinematografi mereka di Universitas California, disusul Asrul sani dan Sitor Situmorang untuk kritik film.

Beberapa dekade pun berlalu dan Indonesia kembali mencuri perhatian ketika nama-nama seperti Iko Uwais, Yayan Ruhiyan, dan Joe Taslim menunjukkan aksinya lewat film laga The Raid dan The Raid 2. Bahkan dalam sebuah wawancara, aktor sekelas Samuel L. Jackson membeberkan  bahwa film favoritnya sepanjang masa adalah The Raid 2. Meski film The Raid dan The Raid 2 sukses dan nama-nama aktornya seperti Joe Taslim yang kemudian berhasil mengambil salah satu karakter utama sebagai Sub Zero dalam film Mortal Kombat, bukan berarti industri film Indonesia sudah benar-benar bagus. Pasalnya, sutradara dari film The Raid dan The Raid 2 adalah Gareth Evans yang notabene berasal dari Wales dan bukan orang Indonesia.

Dari segi ekonomi, industri perfilman Indonesia juga mulai bangkit kembali dan berhasil mencapai nilai total Rp.7,1 Triliun pada 2019 sebelum pandemi. Industri film Hollywood juga disebut segera akan menargetkan pasar Indonesia. Namun, pencapaian ini masih dianggap kurang maksimal oleh kemenparekraf karena angka pertumbuhannya selama 10 tahun masih di bawah rata-rata pendapatan industri kreatif. Pada 2010 kontribusi perfilman berada angka 0,43% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Bahkan, pada 2015 merosot di angka 0,16% terhadap PDP. Pencapaian tersebut tentu masih sangat jauh dari keseluruhan potensi industri kreatif pada ekonomi nasional yang berada di angka 7,1% terhadap PDB. Menurut peringkat global, pada 2019 Indonesia berada di urutan 16 dan kalah jauh dari Korea Selatan yang bertengger di posisi ke-3 hingga memikat pasar internasional.

Lantas, untuk dilirik pasar internasional dan mengambil tempat dalam industri perfilman global seperti yang telah sukses diraih oleh Korea Selatan, tentunya  Indonesia harus terlebih dahulu menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Dengan kata lain, Indonesia mesti mampu menahan gempuran film-film asing, baik secara kuantitas, kualitas, maupun orisinalitas. Sebagai produk budaya, sineas Indonesia juga tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai lokalitas serta problematika sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam setiap film yang mereka garap. Seperti yang pernah dikatakan oleh Soekarno bahwa produk budaya seperti musik, dance, dan film adalah alat revolusi. Dalam bukunya Movie as Social Critism, Ian Jarve juga mengungkapkan bahwa film bisa menuntun masyarakat pada sebuah perubahan sosial. Dan apa yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut, tentunya sudah berhasil diterapkan dengan sangat baik oleh Korea Selatan dengan menggaungkan “Korean Wave” ke seluruh penjuru sehingga “Demam Korea” kini telah menjangkiti orang-orang di seluruh dunia. Sementara Indonesia, jangankan untuk menjangkiti, kita saja masih belum bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri. Kita masih nyaman menjadi konsumen dan belum berani bergerak menjadi produsen dalam skala global industri perfilman.

Aku sependapat dengan apa yang pernah diungkapkan oleh komika Ernest Prakasa di halaman twitternya. “Musuh kita apa? Musuh utama kita adalah film Indonesia yang asal bikin. Investasi rendah dengan berharap untung yang besar. Merusak kepercayaan penonton. Untungnya sekarang penonton sudah lebih kritis memilah. Banyaknya reviewer independen juga berperan penting,” tutur sutradara film Susah Sinyal dan Teka-teki Tika tersebut. Harus diakui bahwa film Indonesia yang diproduksi secara asal-asalan dan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi belaka masih kerap disuguhkan kepada para penonton Indonesia . Film-film tersebut cenderung hanya mengikuti tren dan sensasi, bahkan tidak jarang cuma sekadar mengadaptasi dari buku-buku atau film-film asing.

Minimnya penggalian ide dan tema film secara lebih mendalam adalah faktor utama rendahnya kualitas film Indonesia, tentunya di samping aspek sinematografi dan kemampuan aktor dan aktrisnya yang ternyata juga masih banyak yang belum memuaskan. Dan entah mengapa layar sinema Indonesia masih gatal dan terus ketagihan untuk menampilkan orang-orang yang tenar karena sensasi, bukan karena kemampuan acting yang mereka miliki.

Keberhasilan yang telah berhasil direngkuh oleh Korea Selatan tentu tidak merupakan buah kerja keras para sineasnya saja, tetapi ada faktor dukungan pemerintah di dalamnya. Tumbuhnya industri perfilman Korea dimulai pada tahun 1990-an ketika era kebebasan sipil mulai dibuka. Pemerintah Korea Selatan akhirnya mulai mengalihkan fokus pemerintahannya kepada industri budaya dan hiburan ketika mendapat laporan dari Dewan Penasehat Sains dan Teknologi yang bilang pendapatan film Jurassic Park setara dengan pemasukan ekspor 1,5 juta mobil Hyundai. Pada dekade 90-an itulah Korea Selatan mulai gencar memasarkan film, drama, dan musiknya ke pasar internasional. Drama Korea macam What is Love All About akhirnya mulai tayang di televisi China pada 1997. Dua tahun berselang, film layar lebar Siri rilis di bioskop dan ditonton 5,8 juta orang di Korea Selatan dan memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang oleh Titanic. Pada 2002, Winter Sonata laku keras di Asia dan Timur Tengah. Bahkan di negara kita, drama seri ini ditayangkan ulang hingga berkali-kali. Padahal, beberapa dekade sebelumnya, mereka masih mengandalkan pendapatan negara dari sektor industri berat seperti kimia, otomotif, dan elektronika.

Keseriusan Korea Selatan mengembangkan industri perfilman, baik dari para sineasnya maupun dari pihak pemerintahnya lewat kebijakan-kebijakan yang mendukung tentu patut diacungi jempol. Harus diakui bahwa nyaris tidak ada satu pun film atau drama seri yang produksi oleh mereka secara sembarangan dan asal jadi. Semuanya dikerjakan secara detail dan teliti. Sehingga di masa sekarang Korea Selatan telah mampu mengambil posisi sebagai salah satu pemain utama dalam industri perfilman global.

Sayangnya, potensi keuntungan besar dari industri kreatif semacam film masih belum mendapat fokus yang lebih luas dari pemerintah Indonesia. Indonesia masih sangat menggantungkan diri kepada pasokan sumber daya alam sebagai pendapatan negara yang memang ketersediaannya jauh melebihi Korea Selatan. Namun, mau sampai kapan Indonesia terus mengandalkan sumber daya alam yang stoknya semakin lama tentu akan semakin berkurang. Kita berharap pemerintah juga semestinya mulai gencar mengembangkan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki untuk ikut mendobrak perekonomian negara. Dan salah satunya adalah lewat industri kreatif bernama film.

Ayolah, masa kita diam saja “dipecundangi” terus sama Korea yang notabene sama-sama negara bekas jajahan Jepang?

 



Lanjut baca »

Matang Karena Derita

item-thumbnail

 Oleh : Hady K Harahap




Film dokumenter berjudul “Human” yang digarap oleh Bettencourt Schueller Foundation ini mestilah jadi tontonan wajib bagi orang-orang yang masih merasa dirinya adalah “manusia”. Diproduksi pada tahun 2015, film yang telah mengantongi berbagai penghargaan ini mengusung tema mengenai orang-orang yang dikucilkan serta menjadi korban penindasan, baik secara ekonomi, sosial, bahkan politik.

Dari seluruh narasumber yang diwawancarai di film tersebut, ada satu komentar yang berhasil menarik atensiku. Opini tersebut berasal dari seorang bocah afrika yang kuperkirakan usianya belum genap 10 tahun. Dengan penuh ketegasan serta sorot mata yang dalam, bocah laki-laki  mengungkapkan bahwa dirinya sudah tahu untuk apa dirinya berada di bumi, yakni melaksanakan apa yang telah Tuhan rencanakan pada dirinya. Ia juga menambahkan bahwa di bumi ini semua orang memiliki tugasnya masing-masing.

Hatiku langsung terhenyak sekaligus bergetar bagai ditonjok begitu mendengar ucapan bocah Afrika tersebut. Berkaca  dari kondisi sosial dan ekonomi anak tersebut yang berasal dari wilayah Afrika yang bersinggungan erat dengan kemiskinan serta keterbatasan akses pendidikan, ditambah pula usianya yang masih sangat belia, ucapannya tersebut tentu saja adalah sebuah kemewahan hingga sukses menerbitkan rasa kagum di dada.

Kegetiran hidup memang kerap menjelma bagai bara api yang mematangkan mentalitas berpikir, bahkan melebihi usia yang semestinya. Begitu pula sebaliknya, kenyamanan hidup kerap membunuh daya kritis, semangat bertumbuh, serta menghambat perkembangan mentalitas. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa sesungguhnya kenyamanan adalah musuh utama dari pertumbuhan. Aspek-aspek seperti kemampuan berpikir, ketahanan mental, serta ketangguhan seseorang dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup di masa mendatang tentu sangat dipengaruhi oleh bagaimana pola asuh yang diberikan oleh lingkungannya, terutama orang tua. Dengan kata lain, pasti akan tampak perbedaan kekokohan mental orang yang sedari kecil kerap dimanjakan dengan orang yang sedari kecil sudah terbiasa dengan kemandirian. Dari segi fisik, misalnya, pasti akan sangat berbeda  kekuatan otot dan pernapasan antara orang yang mencapai puncak gunung dengan menggendong ranselnya sendiri dengan yang mencapai puncak berkat jasa porter, diantar oleh kereta gantung atau bahkan helikopter.

Kembali ke bocah Afrika tersebut.  Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah kejujuran yang lahir dari  penderitaan yang mengendap selama bertahun-tahun. Apa yang keluar dari mulutnya tentu tidak didikte oleh siapapun, mengingat betapa tenang dan mantapnya ia ketika mengucapkannya. Tak ada sedikit pun corak keraguan yang tergurat di rona wajahnya. Kita bisa menyimpulkan bahwa peliknya kondisi sosial dan ekonomi yang membelitnya telah mengubah dirinya bagai guru yang mendidik kemampuannya dalam memaknai dan merenungi kehidupan. Sesuatu yang belum tentu dimiliki oleh orang dewasa seperti kita, apalagi yang terbiasa di bawah ketiak papa dan mama.

Lihatlah betapa kontrasnya fenomena bocah Afrika tersebut bila dibandingkan dengan realitas  masyarakat Indonesia. Di sini, seperti yang sudah kita ketahui bahwa pola pendidikan moral kepada anak itu sudah mengalami banyak pergeseran. Anak-anak sekarang cenderung terlalu dimanjakan oleh orang tuanya. Bahkan sebisa mungkin menghalangi anaknya untuk diberikan hukuman, meskipun sudah sangat jelas kalau anak tersebut telah berbuat kesalahan, baik di dalam rumah, maupun dalam lingkup lembaga pendidikan seperti sekolah. Banyak orang tua justru tidak suka bila anaknya diberi hukuman oleh guru. Bahkan tidak segan-segan memarahi dan memaki si guru tersebut tepat di depan anaknya. Pembelaan orang tua yang salah kaprah ini tentu akan menjadi boomerang di kemudian hari. Si anak akan berkembang menjadi sosok yang arogan dan cenderung lepas tangan terhadap setiap tindak tanduknya. Pasalnya, ia menganggap akan selalu ada orang yang akan pasang badan membela setiap kesalahannya, sebesar apapun kesalahan itu.

  Kalau di zamanku sekolah dulu, orang tua malah dengan senangnya menitipkan anaknya kepada guru disekolah untuk “dihukum”. Dan bila aku mengadukannya kepada orang tuaku, maka aku harus bersiap menerima “bonus” tambahan dari mereka. Pola pengasuhan yang mereka berikan secara tidak langsung telah menjadi alarm kewaspadaan buatku. Aku jadi sadar bahwa tidak akan ada satu pun pihak yang akan melindungi setiap kesalahan yang kuperbuat. Bahkan, sebagai anak seorang TNI yang kerap mendapat “privilege” di mata hukum, aku selalu diingatkan oleh Bapakku supaya tetap menjaga sikap dan jangan sampai membuatnya malu, baik secara pribadi maupun nama institusi pemerintah yang menaunginya.

Tentu masih segar dalam ingatan kita kasus beberapa bulan lalu ketika anak seorang Dirjen Pajak terbukti mengeroyok seorang remaja hingga sekarat. Aksi bejat yang sebetulnya dipicu oleh persoalan sepele – yakni perempuan —  itu akhirnya menyeretnya ke hadapan hukum. Dan betapa kagetnya aku ketika menyaksikan pernyataan Dirjen Pajak  itu yang menyebut bahwa apa yang telah diperbuat oleh anaknya tersebut merupakan sebuah hal yang wajar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh anak-anak muda. Terus terang saja aku merasa geli melihatnya. Anak muda “normal” macam apa yang dengan penuh suka cita mengeroyok remaja belasan tahun hingga sekarat, Pak? Anak muda “normal” macam apa yang masih bisa cengengesan di pengadilan setelah menghabisi remaja belasan tahun hingga hampir mati, Pak?” Dan hingga artikel ini selesai ditulis, kasus yang sempat menggegerkan seantor Indonesia  masih tampak berlarut-larut.

Barangkali anak Dirjen Pajak itu perlu sesekali diterjunkan ke Afrika dan berguru kepada anak-anak di sana yang jauh lebih “matang” ketimbang dirinya yang notabene berstatus seorang mahasiswa. Setidaknya itu lebih baik daripada ia terus berlenggak lenggok dengan harta orang tuanya yang agak diragukan “kemurniannya” itu. []


                                                                     ***


Hady K Harahap atau biasa dipanggil Bang Harlen adalah alumnus dari Universitas Sumatera Utara. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Tulisan-tulisannnya pernah dimuat di Kompas dan Republika. Pria yang gemar mendaki gunung ini sekarang menetap di Padang Sidimpuan







Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda