.

Menulis, Bukan Bakat

item-thumbnail

Budi Hatees | Sastrawan


 
1

SAAT memberi pelatihan tentang menulis kepada para pengajar, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang panjang. Setelah saya simak, saya berkesimpulan pertanyaan itu bermakna seperti ini:

Saya ingin menjadi penulis, tapi saya tidak punya bakat. Apakah saya bisa menjadi penulis?

Saya jawab dulu tentang bakat. Dalam kamus Bahasa Indonesia, bakat itu bisa diartikan “keterampilan bawaan sejak lahir”. Kalau menulis dikaitkan dengan bakat, kita bisa mengatakan sangat mustahil ada orang yang punya keterampilan menulis begitu dilahirkan.

Jadi, kita kesamping dulu soal bakat menulis itu.

Menulis itu hasil sebuah proses pembelajaran. Itu pun tak cukup, karena ia berkaitan dengan soal keterampilan. Untuk terampil, seseorang tidak cuma butuh belajar tetapi juga latihan.

Latihan, itulah intinya. Setiap kali Anda menulis, anggaplah sedang berlatih. Tentu, berlatihlah yang tekun. Tekun berarti Anda memahami setiap tahapan dari proses latihan.

Seperti pemain bola, Anda tidak cuma berusaha memahami bagaimana cara menendang atau menanduk bola. Anda juga akan memahami, kalau bola ditendang tepat di tengah dengan ujung sepatu, maka bola itu akan meluncur lurus dan deras. Anda pun akan memahami, kalau bola ditendang di bagian bawah, maka bola akan melambung ke atas. Anda pun akan paham, jika bola ditendang pada bagian sisi kiri dengan sepatu bagian sisi kanan, maka bola akan melambung dalam gerak melengkung (tendangan pisang).

Artinya, jika Anda tekun, Anda akan paham segala sesuatu secara rinci. Saat itulah, tanpa Anda sadari, sesungguhnya Anda sedang berproses menjadi seorang penulis.

2

Salah satu manfaat jika Anda tekun latihan. Saya bercerita tentang seorang sales. Jika Anda seorang sales, tentu Anda akan berusaha mengenali produk yang ingin Anda jual. Sebelum mengenali betul produk itu, tentu Anda tidak akan berani menawarkannya.

Cukupkah hanya itu? Tidak.

Anda masih perlu mengenali konsumen seperti apa yang membutuhkan produk tersebut. (Anda jangan mengabaikan bahwa jutaan manusia memiliki keinginan-keinginan yang beragam, karena hakikat manusia adalah menemukan kebahagiaannya). Apakah produk Anda dapat membahagiakan manusia? Manusia yang mana yang dapat berbahagia karena produk Anda?

Apakah semua sales akan seperti itu? Tidak. Memasarkan suatu produk adalah perkara yang tidak semua orang mampu melakukannya. Tapi, jika paham “cara”, “metoda”, atau “kiat” memasarkan produk, sangat pasti seorang sales akan sukses.

Oscar Schlinder, seorang entrepreneur yang tak sukses di Berlin, tetapi punya pengalaman matang dalam berbisnis. Di zaman Nazi, Schlinder berangkat ke Aukland, sebuah daerah Yahudi yang dijajah Nazi, dan di sana ada kamp pengungsi Yahudi. Di daerah perang itu, Schlinder menjadi sukses sebagai pebisnis meskipun modalnya tidak ada. “Saya tidak tahu bisnis, tetapi saya mampu presentasi,” kata Schlinder, tokoh utama dalam film Schlinder Lits karya sutradara penerima Oscar.

Apa pelajaran yang bisa diambil? Presentasi. Dengan presentasi, Schlinder mampu meyakinkan orang lain bahwa ia seorang pebisnis professional sehingga orang mau merogoh kocek untuk menanam saham.

Presentasi merupakan kegiatan menjelaskan, menguraikan, membeberkan, dan memengaruhi orang lain. Presentasi lebih pada persoalan oraliti. Karena Anda penulis, presentasi dalam bentuk tulisan. Anda punya gagasan tentang suatu hal, Anda presentasikan gagasan itu dalam bentuk tulisan. Jika gagasan Anda bagus dan cara Anda mempresentasikannya sangat menarik, maka tulisan Anda tidak akan ditolak siapa pun.

3

Intinya, bagaimana Anda bisa meyakinkan orang lain (pembaca) tentang hal yang Anda sampaikan dalam bentuk tulisan? Jika Anda bisa menjawab pertanyaan itu, berarti Anda seorang penulis yang baik.

Tulisan yang bagus adalah tulisan yang bisa dicerna, dipahami, dan dinikmati oleh pembaca. Penulis yang bagus adalah penulis yang mampu mempresentasikan ide, gagasan, dan tema ke dalam bentuk tulisan, sehingga pembaca tidak merasa kesulitan untuk memahami, menikmati, dan mendapatkan pengetahuan baru dari bacaan tersebut.

Lantas, “cara”, “kiat”, “teknik”, atau “metoda” apa yang bisa diaflikasikan dalam menghasilkan sebuah karya tulis yang bagus?

Cuma satu cara, Anda harus memahami bahwa Anda menulis dalam rangka berkomunikasi.

Ada satu perkara yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca., dan Anda harus yakin apa yang ingin Anda sampaikan akan mudah dicerna, dipahami, dinikmati, dan menjadi pengetahuan baru bagi pembaca.

Dengan begitu Anda punya dasar yang kokoh. Setelah itu, Anda bisa membuka literature tentang teknik menulis. Di Indonesia, ada banyak buku tentang “teknik menulis” yang bisa Anda baca. Dengan buku-buku itu Anda bisa mengasah, memperdalam, memperhalus, memperlembut, dan sebagainya, pengetahuan atau keterampilan yang Anda miliki.

4

MENULIS adalah keterampilan. Seseorang yang sudah terbiasa mengorganisir pemikiran, ide, dan gagasan, akan sanggup menyampaikannya dalam bentuk lisan. Tapi, belum tentu sanggup menuangkannya dalam bentuk tulisan? Seorang penceramah, biasanya, bukan orang yang pintar menulis. Seorang penulis, biasanya, bukan orang yang pintar berbicara.

Meskipun begitu, ada penulis yang pintar berbicara dan ada pembicara yang cerdas menulis.

Sebaiknya orang seperti itu ada di anatara Anda. Pintar bicara, pintar juga menulis. Atau, sebaliknya, pintar menulis, pintar juga berbicara.

Elizabeth McMahan dan Susab Day dalam buku mereka The Write’s Rhetoric and Handbook membagi teknik menulis ke dalam 13 cara. Terlalu banyak teknik itu. Maka, kita kutif beberapa yang penting saja. (1)Menulis adalah cara berkomunikasi. (2)Gunakan bahasa yang baik dan benar ; (3)Diksi; (4)Komposisi; (5)Detail; dan (6)Revisi.

Namun, yang sangat penting dicamkan, tulisan untuk dibaca. Di sini ditekankan, segala bentuk tulisan adalah untuk dibaca.

Untuk itu, Anda perlu memperhatikan tulisan seperti apa yang akan dibaca orang dan siapa yang akan membacanya.

Mengutif F.L. Lucas dalam makalahnya, “On the Fascination of Style”, disebutkan tulisan yang efektif setidaknya terdiri dari: “Good humor, good sense, vitality, and imagination”.

Ketika orang membaca tulisan Anda, orang akan merasa terhibur, terimajinasi, dan vitalitas hidup makin tumbuh. Ada desire yang menyentuh hati.

Namun, sebelum menulis, Anda harus berpikir dan bertanya (1)Kenapa Anda menulis? (2)Untuk siapa Anda menulis? (3)Bagaimana Anda akan menulis?

5

Soal menulis dalam hal ini tidak cuma berkaitan dengan media massa. Menulis di sini adalah menulis dalam pengertian sangat luas.

Anda tidak bisa hidup tanpa keterampilan menulis. Bayangkanlah saat Anda harus membuat makalah sebagai tugas kuliah, bayangkan juga saat Anda harus menyusun hasil pemikiran dan gagasan ke dalam disertasi atau tesis. Anda tak akan pernah bisa melakukannya tanpa menulis. Anda tidak akan bisa menjadi apa pun yang Anda harapkan.

Pengalaman saya “membantu” menulis skripsi, disertasi, dan tesis beberapa kawan, sungguh suatu pengalaman yang sangat berguna. Saya prihatin terhadap mereka---yang oleh rekan-rekannya dipuji karena mampu mengenyam jenjang pendidikan sampai pascasarjana—ternyata kurang begitu memahami cara menulis.

Bisa Anda bayangkan akan seperti apa karya ilmiah mereka?

Lanjut baca »

Menulis Itu Persoalan Berbahasa

item-thumbnail


"Kau bawa surat itu, perbaiki," kata Ali Mochtar Hutasuhut --dia lebih dikenal sebagai A.M. Hoeta Soehoet-- dan saya membawa surat yang sedianya ditandatangani itu sambil membaca ulang.

Menurut pengetahuan aku yang cetek, yang aku dapat dari pelajaran menulis surat di SMA, tidak ada yang salah pada surat yang baru aku ketik. Tapi, A.M. Hoeta Soehoet menilai ada banyak kesalahan padahal dia baru melihat bentuknya saja.

Mau tak mau, aku membaca ulang, meneliti kata per kata. Akhirnya aku tahu, nyaris semua yang aku tulis itu salah. Aku baru tahu setelah dua kali mengetik ulang dan A.M. Hoeta Soehoet kemudian membacanya, lalu memberi tanda merah pada tiap hal yang dia sebut kesalahan fatal dalam berbahasa.

Suatu hari, lantaran aku terlalu sering melakukan kesalahan, A.M. Hoeta Soehoet kemudian mengatakan, kesalahan yang aku lakukan disebabkan aku menulis dalam bahasa percakapan yang aku pergunakan sehari-hari. Mula-mula aku tak bisa memahami ucapan itu, tapi kemudian aku baru menyadari bahwa A.M. Hoeta Soehoet ingin mengatakan: "Bahasa Indonesia yang aku pakai, bukan bahasa yang resmi, tapi bahasa dengan dialek orang Batak."

"Bahasa Indonesia," kata A.M. Hoeta Soehoet, "telah disahkan sebagai bahasa persatuan karena bahasa Indonesia mampu mengatasi perbedaan kultural yang ada negeri ini."

Sejak itu, kemampuan berbahasa Indonesia aku perbaiki. Di kampus, aku beruntung mengenal banyak ahli bahasa Indonesia. A.M. Hoeta Soehoet salah satunya.

Aku belajar dengan cara yang ganjil. A,M. Hoeta Soehoet seorang yang teliti dalam berbahasa Indonesia, dia menolak semua kesalahan berbahasa Indonesia dengan selalu membawa spidol warna merah. Spidol itu bergerak di atas teks yang dia baca, mencoret dan melingkari tiap kata yang keliru, dan dia tidak perduli jika akhirnya semua teks yang dia baca itu penuh lingkaran.

Suatu hari dia bilang: "Tanda baca itu diciptakan untuk dipergunakan. Kau hanya tahu mempergunakan tanda 'titik' dan 'koma' ", katanya.

Intinya, di hadapannya, aku tak bisa berbahasa Indonesia. Pengetahuanku tentang kata pun payah. Konon pengetahuan tentang kalimat.

"Aku dengar kau menulis cerpen dan puisi waktu SMA? Bagaimana bisa kau menulis karya sastra sementara bahasa Indonesia saja kau tidak bisa," katanya, pada hari yang lain.

Aku mestinya terpukul, merasa kalau dia telah membuat pengetahuanku tidak berarti apapun. Tapi aku justru senang karena A.M. Hoeta Sohoet ini sangat lama bekerja sebagai editor di surat kabar terkenal, Abadi dan Indonesia Raya. Dia juga belajar menulis dari orang bernama Parada Harahap, seseorang yang pernah mendapat gelar sebagai The King Press of Java pada masa Bel;anda dan Jepang. Dia pun bekerja dengan para ahli, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, dan banyak nama lagi.
Melihat riwayatnya, aku putuskan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya dengan cara mengikuti strateginya.

Aku kuliah sekaligus bekerja sebagai staff administrasi, yang bertugas menulis banyak surat penting, dan setiap surat harus ditandatangani A.M. Hoeta Soehoet sebagai Rektor. Setiap kali ada surat yang harus ditandatanganinya, aku mamfaatkan momentum itu untuk belajar bahasa Indonesia. Jatuh bangun, babak-belur.

Dan, suatu hari, apa yang aku peroleh, aku terapkan dalam menulis opini yang kukirimkan di Jayakarta, Suara Pembaruan, Mutiara, dan sejumlah media cetak di Jakarta. A.M. Hoeta Soehoet pengamat media yang tekun dan berlangganan semua media cetak yang ada di negeri ini. Dia bukan pembaca judul dan lead berita--kebiasaan para pembaca awam. Dia membaca semua isi media, dan dia melakukan itu karena dia menciptakan mata kuliah Isi Media Cetak. Dia paham berita yang baik dan benar, dia menguasai bahasa Indonesia, dia pun sangat mengerti tentang iklan (isi media cetak). Dia, ternyata pula, tidak asing dengan karya sastra.

Suatu hari saya meminta izin kepada A.M. Hoeta Sohoet agar boleh membaca buku-buku yang ada dalam lemari di ruang kerjanya. "Aku akan membacanya pada malam hari," kataku.

"Untuk apa?" tanyanya.

Aku beri alasan yang membuat dia mengangguk. Dan akhirnya, di rak-rak bukunya, aku menemukan banyak buku sastra dari sastrawan yang dekat dengan dia. Dari buku-buku itu aku belajar lagi menulis karya sastra sekaligus karya jurnalistik. Sejak itu, aku semakin sering menulis dan mengirimkan karya ke media.

"Cerpenmu buruk," katanya suatu hari setelah dia membaca cerpen aku yang muncul di Tabloid Mutiara. "Tidak ada yang bisa pembaca peroleh dari cerpen itu."

Di hari lain, dia justru menyalahkan redaktur yang memuat opini yang aku tulis. "Redaktur ini tidak paham menulis opini," katanya. "Opini yang tak menawarkan apapun bisa disiarkannya."

Dia tak pernah menganggap karyaku bagus, dan itu membuat aku terus belajar. Aku terus menulis, terus-menerus menyiarkan tulisan-tulisanku di media. Produktivitasku begitu tinggi. Semua jenis tulisan aku tulis. Koran-koran menyiarkannya. Aku sengaja melakukannya karena mengharapkan penilaiannya, dan dia jsutru menertawakanku: "Untuk apa produktif kalau tidak membawa inovasi," katanya.

Aku selalu dikritik A.M. Hoeta Soehoet . Belakangan aku sadari, dia banyak mengajariku menulis. Satu hal yang aku ingat dari dia: "Menulis itu berbahasa Indonesia yang baik."

Suatu hari, aku masuk Aliansi Jurnalis Independen di Kota Bandar Lampung. Itulah pertama kali aku masuk organisasi profesi jurnalis dalam hidupku. Dan, ternyata, aku bertemu dengan orang-orang yang menempatkan persoalan bahasa Indonesia sebagai kata kunci dalam menulis berita.
Lanjut baca »

Wartawan Cum Sastrawan

item-thumbnail

Oleh: Budi P Hutasuhut

Ketika saya tertarik membaca karya sastra saat sekolah dasar, saya jadi paham kalau wartawan dan sastrawan itu adalah dua profesi yang bisa dipadukan. Saya tinggal di Sumatra Utara, dan di daerah saya ada banyak koran yang terbit jauh sebelum negara ini merdeka.

Para pemilik koran itu, ternyata pula, dikenal luas sebagai sastrawan. Mereka menulis berita juga menulis karya sastra. Mereka bisa membelah dua dirinya: sebagai penulis karya sastra sekaligus penulis berita.

Para wartawan cum sastrawan itu punya banyak buku, baik yang ditulis dalam Bahasa Batak maupun Bahasa Melayu. Tapi, dari sejumlah buku mereka, saya tahu kalau wartawan cum sastrawan di daerah saya lebih memilih menulis dalam Bahasa Batak.

Itu tanda perlawanan kepada kolonialisme Belanda, yang memaksakan Bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar, dan mendorong Merari Siregar menulis Azab dan Sengsara sebagai novel moderen pertama di negeri ini yang ditulis dalam Bahasa Melayu.

Para sastrawan cum wartawan di daerah saya tidak suka pada Merari Siregar, karena ia dianggap pro-kolonialisme. Merari Siregar berasal dari Desa Bagas Godang, Kecamatan Sipirok, dan menulis perihal adat-istiadat masyarakat Batak Angkola yang tinggal di Kecamatan Sipirok. Para wartawan cum sastrawan yang juga berasal dari Sipirok, menolak membaca novel Azab dan Sengsara karena dinilai melebih-lebihkan soal keburukan adat perkawinan.
Merari Siregar kemudian tidak diakui sebagai warga Sipirok.

Sastrawan ini jarang pulang dan sampai akhir hayatnya. Hingga kini, sejarah tentang hidup Merari Siregar, terputus dari lingkungan masyarakat Batak Angkola di Sipirok. Orang hanya tahu kalau Merari Siregar berasal dari Sipirok, karena novel Azab dan Sengsara bersetting di Kecamatan Sipirok. Dan, juga, setelah novel Azab dan Sengsara, karier Merari Siregar sebagai penulis novel berhenti. Pasca novel itu, Merari Siregar lebih banyak menerjemahkan karya asing.

Sementara wartawan cum sastrawan yang tinggal di Kecamatan Sipirok, semakin eksis dengan pilihan profesinya. Salah seorang Sutan Pangurabaan Pane. Ia menulis novel Sitti Djaurah dalam Bahasa Batak, yang bercerita tentang kisah hidup dan percintaan orang Batak di zaman kolonialisme.

Sutan Pangurabaan Pane lebih dikenal masyarakat sebagai wartawan. Dia pendiri sejumlah koran di wilayah Keresidenan Tapanuli, dan korannya dipakai untuk alat perjuangan melawan kolonialisme. Kelak, Sutan Pangurabaan Pane, mempunya tiga orang anak yang juga menjadi intelektual di negeri ini: Sanusi Pane (sastrawan), Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane (lebih dikenal sebagai pendiri HMI).

Sejarah sastrawan cum wartawan di Sumatra Utara sangat panjang. Generasi baru sastrawan cum wartawan terus muncul. Hampir semua sastrawan dari Sumatra Utara juga dikenal sebagai wartawan. Nama-nama seperti Parada Harahap dan Sutan Casayangan dari generasi sebelum kemerdekaan, sampai pada generasi pasca kemerdekaan seperti Mochtar Lubis, Bokor Hutasuhut, Nasjah Jamin, Basyaral Hamidi Harahap, dan lain-lain.

Hampir semua sastrawan dari Sumatra Utara juga dikenal sebagai wartawan. Beberapa di antara mereka sempat menjadi fenomenal. Sebut saja Bambang Eka Wijaya, sastrawan cum wartawan. Tahun 1975, sebuah sajak Bambang Eka Wijaya berjudul “Bulan Anggur” dan disiarkan di koran Sinar Indonesia Baru, membuatnya dipenjara dan Sinar Indonesia Baru diberedel.

Lanjut baca »

Intelektual Tulisan Pop

item-thumbnail

Oleh: Budi P Hutasuhut

Persoalan yang dihadapi kaum penulis saat ini bukan lagi soal “kenapa buku harus laku” atau “kenapa buku tidak laku”, tetapi soal bagaimana agar kehidupan intelektual masyarakat kita tidak medioker karena terlalu banyak mengkonsumsi nilai-nilai popular yang dikemas para penulis pop tanpa pemahaman yang memadai terhadap kebudayaan yang membentuk dirinya dan masyarakatnya.

Tulisan-tulisan pop itu seakan-akan datang dari negeri antah berantah, tak menjejak di bumi Nusantara dan dihasratkan akan menjadi budaya massa, sehingga masyarakat menderita keterputusan budaya dengan leluhurnya. Padahal, budaya yang diwarisi dari leluhur, merupakan ikatan yang membuat bangunan nation kita menjadi kokoh sebagai sebuah negara.

Kekokohan bangunan nation itu akhirnya terbelah, terkotak-kotak, karena masing-masing budaya yang membentuk bangunan nation, telah dihancurkan oleh ahli warisnya atas nama budaya massa. Budaya massa yang membuat masyarakat menjauh dari kehidupan intelektualitas, mendekatkan masyarakat untuk membenarkan apa yang pernah disebut Noam Chomsky bahwa negara kita tidak lebih dari pasar atas barang dan jasa produksi negara lain. Dan, memang, sebagai pasar, masyarakat kita telah tumbuh hanya pandai melihat sampul dan hidup dalam mimpi yang dibingkai oleh produk barang dan jasa yang dikonsumsinya. 

Dulu, di awal dekade 1990-an, ketika Hilma Hariwijaya menciptakan Lupus, anak muda kota metropolitan yang kurang paham nilai-nilai tradisi karena memang tak tahu apa itu tradisi, cepat menjadi contoh bagi anak-anak muda di kota metropolitan. Gaya rambut Lupus, kebiasaan makan permen karet, dan celana panjang yang menyempit pada bagian ujung menjadi kebiasaan yang ditiru oleh anak-anak muda. Bukan itu saja, perilaku tak mengenal nilai-nilai tradisi pun menjadi keseharian anak-anak muda, yang ditandai dengan kecenderung untuk bersikap meremehkan segala sesuatu yang disebut tradisional.

Satu dekade sebelumnya, Ali Topan Anak Jalanan menjadi figur yang dicontoh oleh anak-anak muda. Anak-anak gang motor muncul di mana-mana lengkap dengan atribut dan gaya hidup yang nyaris menolak segala bentuk pengekangan. Setelah Ali Topan, generasi muda kita dicekoki oleh sosok anak muda kaya raya dalam karya Catatan Si Boy. Salah satu bagian dari catatan Si Boy yang menjadi anutan generasi muda adalah sosok si Emon, laki-laki lentik yang aduhai. Komunitas si Emon muncul di mana-mana, menyatrakan eksistensi dirinya.

Lalu, setelah generasi anak muda Lupus lewat, muncul kisah-kisah pop yang berlatar belakang agama. Kisah-kisah yang dirancang untuk membangun imajinasi tentang manusia beragama ini, dikemas dalam cerita-cerita berbasis nilai-nilai agama yang sangat kental dengan bahasa yang diserab dari Arab. 

Pembaca buku-buku ini mengimitasi diri sebagai orang beragama alumni Kairo — karena banyak menyajikan nilai-nilai agama seakan-akan semua orang Indonesia itu orang Arab–bukan orang beragama yang asli Indonesia. Kisah-kisah populer ini, dikemas dalam manajemen marketing yang khas, menawarkan buku-buku industri sembari menjanjikan keterampilan-keterampilan menulis bagi para pembacanya.

Banyak muncul pelatihan-pelatihan menulis yang ditaja oleh para penulis populer trersebut, dan pengekornya pun bermunculan. Mereka merasa dirinya sangat luar biasa karena berhasil menerbitkan satu dua buku yang dianggapnya luar biasa. Dia tidak pernah memikirkan, apakah tulisan-tulisan yang dihasilkannya mampu membangun sebuah iklim inteletualitas yang mumpuni atau tidak.

Mereka pikir, soal seperti itu bukan urusan seorang penulis pop, padahal novel paling populer seperti Harry Potter saja mampu membangun intelektualitas–setidaknya, penulisan harry Potter tak akan pernah terjadi tanpa sebuah kerja inteletual yang mumpuni dari penulisnya.

Saya teringat pada seorang ilmuwan sekaligus sastrawan asal Inggris, CP Snow. Dalam ceramahnya yang disampaikan di Universitas Cambridge. Dia menggambarkan kehidupan intelektual masyarakat Barat terbelah dua antara bidang ilmu alam dan humaniora, dan dia menyebutnya sebagai fenomena “Dua Budaya”.

Snow mengalami sendiri dua jenis kehidupan intelektual ini. Sebagai ilmuwan alam sekaligus sastrawan, ia harus bolak-balik di antara keduanya. Ia bekerja dengan koleganya dari ilmu alam di waktu siang dan bertemu teman-temannya sesama sastrawan di waktu malam. Di antara dua kelompok pertemanan itu, tak ada yang saling mengenal. Bahkan, di antara mereka “terkadang (terutama di antara yang muda-muda) ada permusuhan dan kebencian”.

Orang-orang dari lingkar ilmu alam menganggap orang-orang humaniora tak ilmiah, politis, dan sering kali punya pandangan suram dan pesimistik terhadap kemajuan sains, sedangkan orang-orang humaniora menganggap para ilmuwan terlalu optimistik dan tidak mengerti kondisi manusia.

Di Jepang, ilmu humaniora nyaris tidak punya tempat. Di Indonesia, bukan perkara ilmu yang dipersoalkan, bukan pula perkara intelektualitas. Para penulis justru sibuk dengan dirinya sendiri, merasa apa yang dicapainya sebagai luar biasa. Tidak sadar, mereka hanyalah pasar yang dipersepsikan oleh para produsen sebagai sesuatu yang hanya harus menerima karena intelektualitas sudah tidak ada.


Lanjut baca »

Jurnlisme Profetik

item-thumbnail

Oleh:  Budi P Hutasuhut 

Parni Hadi saat peluncuran bukunya, Jurnalisme Profetik

Ketika Republika muncul awal dekade 1990-an, ummat Islam merasa punya media. Perusahaan yang menerbitkannya, menerbitkan saham ummat. Siapa saja, ummat Islam, boleh berkontribusi membeli saham.           

Zaman itu, negara Orde Baru sangat kuat. Sulit mendapat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Tapi media ini melalui Ketua ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), BJ Habibie, bisa dengan mudah mendapatkannya.            

Ketika itu saya mahasiswa Ilmu Jurnalistik di sebuah kampus di Jakarta Selatan. Dalam kelompok diskusi yang digerakkan oleh para mahasiswa pecinta jurnalisme, sering digelar diskusi soal dunia media massa di negeri ini. Kami menilai, tanpa kedekatan Habibie dengan Presiden Soeharto, sulit bagi Republika untuk beroperasional.           

Banyak pengusaha yang telah mengajukan SIUPP ke Direktur Jenderal Pers dan Grafika, tapi belum mendapat persetujuan. Termasuk SIUPP yang kami ajukan untuk mendirikan media berbentuk tabloid, yang akan disebarluaskan ke berbagai komunitas pecinta jurnalisme di seluruh Indonesia.           

Kelak, setelah rezim Soeharto lengser, izin-izin itu keluar. Mudah, cepat, dan tak bertele-tele. Dan kami, para mahasiswa pecinta jurnalisme, menjadi bagian dari institusi-institusi pers yang baru itu.        

Kehadiran Republika sebetulnya mengusung jurnalisme  alternatif. Bukan jurnalisme baru, karena jurnalisme seperti itu sudah diusung Tabloid Jumat. Ada juga Tabloid Dakwah. Bahkan, majalah Amanah, yang salah seorang redakturnya adalah Ahmad Tohari, novelis yang terkenal dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruh, sering menulis kolom yang memperjuangkan nilai-nilai Islam.           

Kebetulan, salah seorang dosen di kampus, bekerja di tabloid Jumat. Ia dosen mata kuliah Agama Islam, seorang ustad yang kalem. Ucapan-ucapannya punya pretensi untuk selalu beramanat. Saya acap ngobrol dengan dirinya. Bukan soal jurnalisme. Tapi, soal-soal hidup, soal kuliah, utamanya soal religiusitas dalam bingkai nilai-nilai agama Islam.           

Kelak, percakapan dengan dirinya mendorong saya untuk sering berkunjung ke “masjid-masjid unik” di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Saya juga acap menghabiskan waktu di sebuah masjid di kawasan Sawah Besar. Di masjid-masjid itu, selalu ada orang yang dengan senang hati membagi ilmu agama Islam. Keberadaan mereka seperti para ahli kitab di zaman lampau, yang menyampaikan kandungan kitab suci tanpa pamrih.           

Saya membayangkan mereka, orang-orang yang membagi ilmu agama Islam tanpa pamrih itu ketika membaca seluruh isi Republika. Bukan cuma berita atau karya-karya jurnalismenya, tapi juga materi seluruh iklan yang muncul pada tiap halaman. Semua berpretensi mengusung amanat. Nilai-nilai agama Islam adalah ideologi yang sangat lekat.           

Mungkin lantaran Republika diterbitkan ICMI. Lembaga ini digerakkan para cendekiawan Islam. Nama mereka sudah santer sebagai nara sumber media massa. Gagasan mereka tentang ummat Islam brilian. Sering, mereka memicu polemik yang tajam. Apalagi bila sampai pada urusan pertarungan ideologi Islam versus Barat, yang menyeret-nyeret kebijakan-kebijakan negara beraliran pembangunanisme.       

Habibie sedang naik daun citranya di lingkungan Pemerintah Orde Baru. Ia dekat dengan Presiden Soeharto. Pemikirannya tentang pembangunanisme sangat brilian. Ia memperkenalkan apa yang kemudian disebut Habibienomic. Pemikiran ekonomi itu muncul ketika Bengawan Ekonomi, ayah Prabowo Subiakto, mengundurkan diri dari kabinet.           

Habibie dengan konsep teknologisasi, mewujud lewat persembahan CN-235 kepada rakyat. Ia menyatukan para cendekiawan muslim dalam wadah bermerek ICMI. Kata “cendikiawan” melekat dengan kata “muslim”, membuat ICMI identik sebagai lembaga yang akan memperjuangkan kepentingan ummat Islam.          

Meskipun, belakangan, ternyata ICMI mendorong para cendikiawan muslim untuk berpolitik. Condong sebagai sayap Golongan Karya. Para cendikiawannya diikat atas nama kader Golongan Karya.             

ICMI terseret dalam arus politik. Posisinya semakin kuat. Habibie punya peran besar dalam kabinet. Dengan sendirinya punya kekuasaan dalam pemerintahan. Ia, tiba-tiba, mengusulkan pembelian kapal perang ronsokan sisa Jerman Timur. ABRI merasa kewenangan mereka dilampaui. Menteri Keuangan, Marie Muhammad, merasa ditelikung.          

Tahun 1994 ketika itu dan majalah Tempo membuat liputan khusus tentang kapal perang rongsokan itu.  Republika tak memuat berita itu. Kita bisa menebak, karena Republika milik ICMI. Sedangkan ICMI berada dalam genggaman Habibie.           

Untung bagi Republika,  ketika majalah Tempo diberangus, koran ummat Islam ini justru tidak. SIUPP tabloid Detik dan majalah Editor juga disita. Tiga institusi media tutup seketika. Republika tetap berdiri.

Cuma, koran yang diharapkan memperjuangkan kepentingan ummat Islam ini, berubah jadi alat politik ICMI. Padahal, pembelian kapal rongsokan itu, jelas mengabaikan kepentingan ummat Islam. Mestinya, sebagai koran yang mengusung semangat pencerahan ummat Islam, Republika juga membeberkan hal-hal yang subtansial seperti itu.           

Kami,mahasiswa pecinta jurnalisme, mendiskusikan soal pembredelan itu. Beberapa rekan menyatakan prihatin, lainnya sangat berduka. Kami memutuskan bergabung untuk menggelar aksi dengan massa dari kampus lain, menolak pembredelan itu. Sejak itu, kepercayaan terhadap misi pencerahan ummat islam pada Republika, perlahan-lahan tergerus dari diri kami.           

Ingatan soal Republika ini berkelebat. Adalah Parni Hadi, orang yang ikut membidani kelahiran Republika. Pada Maret 2014 lalu ia meluncurkan bukunya, Jurnalisme Profetik.  Konon, buku itu hasil pemikiran dan permenungannya selama menjadi jurnalis, sejak awal 1973.           

Waktu 41 tahun sangat panjang untuk menghasilkan sebuah buku, Jurnalisme Profetik. Menjadi jurnalis selama 41 tahun, tentu membuat seseorang kaya akan pengalaman.Saya membayangkan betapa dasyatnya buku itu. Barangkali, buku ini akan sejajar dengan karya-karya monumental Garbriel Garcia Marque, jurnalis cum sastrawan.

Tapi, bukan itu yang menjadi perhatian saya, melainkan jurnalisme profetik itu.  

Setelah sekian lama, baru saya tahu nama jurnalisme yang satu ini. Jurnalisme yang melekat pada laku jurnalisme Republika. Jurnalisme dengan nilai-nilai kebenaran. “Jurnalisme kenabian,” tulis Parni Hadi.

Kata profetik dari bahasa Inggris, “prophetic”. Artinya adalah kenabian. Jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama. Kita tahu, tugas para nabi dan rasul menurut Al Quran, menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan, mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar.           

Jurnalisme profetik memposisikan jurnalis sebagai nabi. Mengacu pada pemahaman Parni Hadi, jurnalisme profetik (prophetic journalism) merupakan suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya menulis atau melaporkan berita dan peristiwa secara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab atau sekedar memenuhi kaidah dan teknis jurnalistik semata. Juga memberikan petunjuk ke arah transformasi atau perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ini berarti, suatu  jurnalisme yang secara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai dari cita-cita ideologi, etik dan sosial Islam.           

Saya ingat Republika pada 1994 lalu. Ketika itu Parni Hadi bekerja di sana. Ia adalah bidan yang membangun Republika. Sebagai bidan, tentu, isi kepalanya membentuk Republika. Juga, menjadi ruh yang menghidupi Republika. Ruh jurnalisme Republika, yang digembar-gemborkan sebagai koran ummat Islam, adalah jurnalisme profetik.

Jurnalisnya dituntut untuk senantiasa memegang teguh amar makruf, nahi munkar.  Tapi, dalam kasus kapal perang rongsokan yang direkomendasi Habibie agar dibeli pemerintah, Republika tidak memainkan perannya kecuali berdiri sebagai pendukung pemerintah (ICMI).           

Sebab itu, jurnalisme profetik adalah jurnalisme munafik. Mohammad A. Siddiqi, penulis buku Ethics and Responsibility in Journalism: An Islamic Perspective, tentu tak setuju dengan simpul ini. Baginya, jurnalisme profetik perlu, dan harus ada komunitas dari para jurnalis seperti ini untuk membangun kode etik sendiri.

Dari pengamatannya, belum ada kode jurnalistik yang secara tegas didasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Itu sebabnya, lebih dari satu miliar Muslim di seluruh dunia, tidak mempunyai kontrol terhadap informasi yang disajikan oleh pers di seluruh dunia terutama negara-negara adikuasa informasi.           

Ia menyebut, negara-negara yang berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Pakistan, Turki, Mesir dan Iran serta negara-negara lainnya, masih mendasarkan jurnalisme pada bias sekuler. Ucapannya sejalan dengan keprihatinan para cendikiawan muslim atas dinamika abad informasi. Sebut saja Ziauddin Sardar dalam bukunya, Information and the Muslim World: A Strategy for the Twenty-firt Century (1988).

Sardar khawatir masa depan muslim di abad informasi, menyimpulkan bahwa banyak informasi bias secular mempunyai relevansi kecil terhadap Negara-negara muslim. Sebab itu, perlu dipikirkan mengembangkan sebuah infrastruktur demi menghasilkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan Negara-negara muslim.           

Gagasan soal infrastruktur ini mendorong Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) berkumpul di Jeddah, Saudi Arabia. Tahun 1979, OKI kemudian membentuk International Islamic News Agency (IINA. Pada 1980 digelar International Conference of Muslim Journalists di Jakarta. Pelaksananya Rabithah al-Alam al-Islami (Liga Islam Dunia) yang menghasilkan Deklarasi Jakarta.

Pertemuan itu dilaksanakan pada 1-3 September 1980 dihadiri sekitar 300 wartawan dan pengarang Islam dari 52 negara yang juga dihadiri peninjau dari Liga Islam Dunia, Asosiasi Bank Islam Internasional dan Unesco. Di situ dirumuskan kesepakatan untuk bekerjasama merumuskan jurnalisme Islam dan etik yang berkaitan dengannya.           

Inilah awal jurnalisme profetik muncul. Ia dipahami sebagai jurnalisme Islami. Jurnalisme profetik bukan domain Parni Hadi. Bahwa Parni Hadi pernah mencobausahakannya di Republika, memang tidak keliru. Bahwa Republika ternyata gagal, memang tidak keliru. Persoalan muncul: kenapa jurnalisme Islami selalu tidak berhasil di negeri ini.           

Majalah Sabili pernah mengemparkan, terutama karena liputannya terkait kerusuhan di Ambon. Sekarang, hidupnya memprihatinkan. Salah seorang bekas pengelolanya, mengaku Sabili telah dikooptasi kepentingan kapitalis. Keuntungan bisnis jadi orientasi utama, dan misi awal terabaikan. 

Inilah kasus yang umum mendera media-media berbasis Islam. Padahal, media-media ini memiliki jurnalis dengan semangat profetik yang luar biasa. Bagaimana mungkin masih bisa kalah dengan kapitalis. 

Di negeri kita banyak media yang mengemban amanat Pan Islamisme, yang dirintis Jamaluddin Al-Afghani dan Mohammad Abduh lewat majalah Al-Urwatul Wutsqa  (terbit di Paris akhir abad ke-19. Ada majalah Al Munir (1911) di Sumatra pimpinan Dr H. Abdullah Ahmad, Utusan Hindia (1912) terbit di Surabaya dipimpin HOS Tjokroaminoto, Panji Islam (1934) pimpinan H. Zainal Abidin Ahmad, Pedoman Masyarakat pimpinan Hamka dan HM.Yunan Nasution.           

Majalah-majalah Pan Islamisme itu punya pengaruh luas. Belum lagi Panji Islam, yang lebih banyak bicara Islam politik. Polemik Soekarno dan M. Natsir di majalah ini menjelaskan semuanya: berputar antara ideologi Islam dan nasionalis bagi Indonesia. Buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) mengungkapkan perdebatan ideologis itu. M. Natsir mendukung Islam sebagai ideologi negara, sementara Soekarno lebih memilih nasionalisme Indonesia.           

Setelah era Panji Islam, pers Islam kita bicara politik aliran. Ada Panji Masyarakat, Kiblat, Duta Masyarakat (NU), Mercu Suar (Muhammadiyah), dan Abadi (Masyumi). Ini pun menjadi penyebab utama kenapa media Islami tidak muncul. Afiliasi politiknya bertolak belakang dengan kepentingan ummat.

Sabili konon berafiliasi politik dengan Partai Keadilan (PK). Setelah PK berganti jadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), majalah ini pun menurun. Begitu juga dengan Republika, ketika di bawah ICMI dan afiliasi politik Golongan Karya, perkembangan media ini luar biasa. Tapi, ketika Orde Baru runtuh, pasarnya pun anjlok.

Jadi, bukan perkara jurnalisme profetik yang sesungguhnya. Tapi, perkara bagaimana menselaraskan antara perkataan dengan perbuatan. Jurnalisme boleh beraliran apa saja, asal tidak bias kepentingan. Jurnalis harus tegak sendiri dengan kebenarannya.

Saya ingat masjid-masjid unik di Jakarta, yang sering saya datangi saat mahasiswa. Mereka, yang suka membagi ilmu agama secara gratis, jumlahnya makin banyak. Tapi, sebagian dari mereka, tak segan-segan berebut saat mengambil wudhuk.

Jadi, Islam itu bukan soal berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk beribadah dan membaca kitab suci, atau berapa banyak orang yang sudah mendengar ceramah agamamu. Islam tentang seberapa dalam subtansi ajaran agama mengakar di hati, mewujud dalam perilaku sehari-hari.

Salam ukhuwah.

Lanjut baca »

Mengapa Tulisan Aku Ditolak Media

item-thumbnail

 Penulis: Budi P Hutasuhut |  Jurnalis Sinar Tabagsel



Mengapa tulisan yang aku kirim ke Sinar Tabagsel tidak satu pun yang dimuat atau dipublikasikan? 

Pertanyaan seperti itu, atau yang mirip seperti itu, yang intinya mempertanyakan kenapa tulisannya tidak disiarkan di Sinar Tabgsel, berkali-kali disampaikan para penulis. 

Tidak ada yang salah dengan pertanyaan seperti itu, atau tidak ada peraturan yang dilanggar jika para penulis mempertanyakan nasib hasil karyanya.  Itu hal yang wajar. Bahkan, sudah seharusnya seorang penulis mempertanyakan nasib karya tulisnya. 

Sebab itu, tulisan berikut ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Saya tidak berharap jawaban ini akan memuaskan semua orang yang bertanya, karena setiap orang berbeda antar satu dengan lainnya, dan dengan sendirinya berbeda pula tingkat kepuasannya atas sesuatu hal.

Saya mulai dengan menjelaskan tulisan yang bisa disiarkan di Sinar Tabagsel.  Sudah menjadi kesepakatan redaksi, tulisan dari para penulis di luar internal Sinar Tabagsel yang dapat disiarkan adalah puisi, cerpen, esai, opini, dan resensi buku. 

Tulisan-tulisan itu akan disiarkan di Sinar Tabgsel jika redaktur, pertama-tama, tidak menemukan kesalahan teknis dalam penulisan. Sebagai contoh, banyak tulisan yang dikirim ke redaksi tetapi tidak menerakan atau mencantumkan nama penulisnya, tidak pula memiliki alamat yang jelas dan nomor kontak yang bisa dihubungi. 

Kenapa perihal data-data penulis ini penting? Karena  menulis adalah laku berpikir, yang menghasilkan gagasan-gagasan penting dan orisinal, yang besar kemungkinan dapat membantu perikehidupan manusia. Sebagai gagasan, tulisan itu memiliki hak cipta dan hak intelektual yang melekat kepada penulisnya. 

Untuk menghargai para penulis, Sinar Tabagsel memutuskan tidak akan menyiarkan tulisan yang tidak mencantumkan nama penulisnya. Resikonya berkaitan tentang hukum, karena dikhawatirkan tulisan tersebut tidak orisinal, sehingga ada hak orang lain yang disalahgunakan. 

Dengan kata lain, pencantuman nama penulis berkaitan dengan pengakuan sah dari seorang penulis atas gagasan yang ada dalam tulisannya. Jika gagasan itu kemudian bertentang dengan hukum yang berlaku, sudah barang tentu penulis bersangkutan bertanggung jawab untuk menjelaskan gagasan yang disampaikannya.

Kesalahan teknis lainnya terjadi sebagai akibat dari ketidaktelitian dalam bekerja. Kesalahan-kesalahan dalam pemakaian bahasa Indonesia acap terjadi. Kesalahan yang fatal dalam berbahasa Indonesia sering disebabkan para penulis memasukkan bahasa lisan (sehari-hari) ke dalam bahasa tulisan, yang menunjukkan bahwa penulis bersangkutan kurang menguasai bahasa Indonesia yang baik dengan ejaan yang baik. 

Ketidaktelitian dalam berbahasa Indonesia sering juga disebabkan si penulis terlalu cepat merasa puas atas hasil kerjanya. Dia tidak bertindak sebagai editor atas hasil tulisannya. Seorang penulis seharusnya merangkap sebagai editor, yakni orang yang melakukan kerja pengeditan terhadap tulisan. Kerja seorang editor tidak hanya mengurusi perkara bahasa, tetapi juga perkara logika berbahasa. Contohnya, jika dalam tata bahasa Indonesia ada logika berbahasa yang disebut diterangkan menerangkan, maka seorang editor mesti melakukan pengeditan (bila perlu menghapus) logika berbahasa yang terbalik, atau diterangkan menerangkan. 

Kesalahan lain yang sering kami temui dalam tulisan yang dikirim, terkait dengan tema yang dibicarakan. Sebagian besar penulis, menulis tema yang tidak dikuasainya dengan sangat baik. Pengetahuannya tentang tema yang ditulisnya tidak dipupuk atau ditingkatkan dengan ragam bacaan yang menjadi referensi, sehingga pembabaran atau analisis yang disampaikan terhadap persoalan yang dipersoalkan menjadi sangat dangkal, hanya membicarakan tingkat permukaan. 

Tulisan yang hanya bermain-main di permukaan dari persoalan tidak akan membawa manfaat terhadap pembaca, sehingga seorang penulis disyaratkan mesti menggali lagi lebih dalam ke inti dan subtansi dari persoalan-persoalan yang dibicarakan. 

Intinya, pekerjaan menulis merupakan pekerjaan yang membutuhkan ketekunan, ketelitian, kedalaman, dan semua itu dilakukan dengan riang gembira. Pada akhirnya, semua tulisan bertujuan untuk menghibur para pembaca. Menghibur secara cerdas. Sebab, seseorang yang bisa menangkap makna dari sebuah tulisan akan merasa senang dan terhibur setelah membaca tulisan tersebut.

 

Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda