.

Bokor Hutasuhut, Sastrawan yang Berpolitik

item-thumbnail

Bokor Hutasuhut, sastrawan yang muncul sejak dekade 1950-an, punya peran tak sedikit dalam perkembangan kesusastraan di negeri ini. Novel Penakluk Ujung Dunia,  karyanya, merekam realitas lokal masyarakat Balige (Batak), membuat masyarakat luas semakin memahami realitas antropologi masyarakat ini.

Beberapa tahun pasca peristiwa 30 S PKI yang menjadi akhir dari polemic kebudayaan antara kubu sastrawan yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan sastrawan penandatangan Manifes (Manifestasi Kebudayaan), nama Bokor Hutasuhut sebagai salah seorang penggagas dan penandatangan  Manifestasi Kebudayaan bagai menghilang dari jagat kesusastraan di negeri ini.[1] Karya-karyanya, yang sering muncul di hampir semua media publikasi berupa majalah seperti Mimbar Indonesia, Sastra, dan lain sebagainya, semakin jarang dibaca. Bokor Hutasuhut bagai telah menarik diri dari hiruk-pikuk dunia kesusastraan Indonesia yang keras, penuh fitnah, dan ketegangan politik.  

Bokor Hutasuhut menulis kembali cerita bersambunganya, Pantai Barat,  yang pernah terbit di majalah Sastra. Dia juga menyusun ulang dua belas cerita pendekkan untuk menjadi buku dan diberi judul, Menyilang ke Utara. Manuskrip kumpulan cerita pendek Menyilang ke Utara dikirimkan ke sejumlah penerbit buku, hampir bersamaan dengan manuskrip novel Pantai Barat, dikirim ke berbagai penerbit buku. Bahkan, rekan-rekan Bokor Hutasuhut seperti HB Jassin, Ras Siregar, A.M. Hoeta Soehoet, dan banyak lagi sudah berusaha ikut mempromosikan manuskrip-manuskrip itu. Namun, tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkannya karena kondisi perekonomian nasional waktu itu sedang kurang bagus.

Menghadapi realitas kehidupan pasca peristiwa 1965 yang mengorbankan banyak hal, terutama perkawanan antarpengarang,  Bokor Hutasuhut  mulai berpikir untuk mencari sumber penghasilan lain. Namun, pertama-tama dia harus menikah untuk membangun keluarga. Bokor Hutasuhut kemudian merambah dunia usaha di bidang lain dan akhirnya tahun 1968 dia pulang kampung ke Sipirok untuk menikah dengan D. Sari Hafni Siregar asal Desa Parsorminan, Kecamatan Sipirok.  Dari pernikahan ini, Bokor Hutasuhut dikarunia empat orang anak: Irma Bulan Hutasuhut, Syamsul Wahidin Hutasuhut, Tama Alamsyah Hutasuhut, dan  Muhammad Layan Hutasuhut. 

 2


Bokor Hutasuhut adalah tokoh besar dalam kesusastraan Indonesia. Ia tidak hanya terlibat dan menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia sekaitan
  prahara budaya, tetapi juga menghasilkan karya-karya sastra yang membuka wawasan masyarakat pembaca di Indonesia tentang fungsi sebuah karya sastra sebagai perekan kondisi social budaya masyarakat.  Novelnya, Penakluk Ujung Dunia, diterbitkan tahun 1964 menjadi mahakarya Bokor Hutasuhut meskipun dia telah menulis dua novel lain, Tanah Kesayangan (1965) dan Pantai Barat (1988) serta cerita pendek yang terkumpul dalam buku Datang Malam (1963) dan ratusan cerita pendek lainnya yang berserakan di sejumlah majalah sejak dekade 1950-an. Sebagai sebuah mahakarya,  Penakluk Ujung Dunia jadi metafora bagi Bokor Hutasuhut untuk mendaku dirinya sebagai penakluk ujung dunia. [2]

Novel Penakluk Ujung Dunia berkisah tentang orang yang berhasil menaklukkan ujung dunia, dan Bokor Hutasuhut adalah seorang pengarang yang sangat biografis dalam menghasilkan karyanya.[3] Di dalam sebagian besar karyanya, pembaca seakan-akan melihat dua penggal hal yang sangat mendasar; sepenggal riwayat hidup Bokor Hutasuhut lengkap dengan alam di mana ia lahir dan besar, penggalan sisanya adalah imajinasi yang berfungsi sebagai bumbu agar riwayat hidup itu tidak kering saat dinikmati pembaca. Dalam novel ini, dua hal itu sangat kental. Bokor Hutasuhut merekam pengalaman pribadinya keluar-masuk ke perkampungan masyarakat Batak bersama ayahnya yang menjadi seorang mubaliq, dan pengalaman pribadi itu berupa mendapatkan cerita-cerita rakyat dari orang-orang yang ditemui terkait realitas antropologi masyarakat Batak yang ada di sekitar Danau Toba.

Dalam banyak cerita rakyat yang berkembang disebutkan, pernah pada suatu masa leluhur masyarakat Batak hidup untuk menyalakan peperangan terus-menerus, mencari komunitas-komunitas masyarakat adat yang lemah untuk diperangi agar tanah dan harta-benda mereka bisa dikuasai.  Peperangan menjadi pilihan utama untuk mempertahankan hidup yang sangat tergantung terhadap pemberian sumber daya alam.  Begitu juga sebaliknya, setiap komunitas masyarakat marga harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan berperang untuk menghadapi serbuan dari komunitas lain agar tidak kehilangan kehormatan dan hidup dalam penderitaan sebagai jappurut akibat kalah dalam peperangan.[4]

Bokor Hutasuhut yang lahir dan besar di Balige menyadari betul, masa lalu leluhur bangso Batak yang keras dan selalu berperang itu, erat kaitannya dengan  bonabulu (tanah kelahiran) atau tanah asal. Setiap komunitas masyarakat adat ditandai dengan adanya wilayah sendiri yang diatur oleh seorang pemimpin sebagai pemegang kekuasaan atas sistem yang diwarisi secara turun-temurun. Ketika tanah atau daerah suatu komunitas tidak bisa dipertahankan oleh pemiliknya karena kalah perang, maka komunitas itu akan punah. Kalau tidak punah atau saat perang mereka ditangkap (ditaban), seumur hidup mereka akan menyandang predikat sebagai keturunan jappurut, status sebagai budak kalah perang yang diperjualbelikan dan tidak memiliki hak-hak adat sesuai dengan hokum adat yang berlaku dalam komunitas masyarakat adat yang menahannya. Sampai sekarang, pada beberapa komunitas masyarakat adat bermarga Batak, masih ada trauma masa lalu akibat leluhurnya diperlakukan sebagai jappurut. 

Bokor Hutasuhut merekam sejarah bangso Batak yang selalu identik dengan tanah (lahan hidup). Tanah bagi orang Batak adalah tahta, kekuasaan, kehidupan, keutuhan, dan kasih sayang terhadap sesama. Sebuah komunitas masyarakat marga belum bisa disebut masyarakat bila tak punya bona (tempat tinggal) yang dalam bahasa umpasa (metaforik) disebut portibi atau banua, yaitu sepetak tanah di mana masyarakat membangun perkampungan, memiliki lahan pertanian, dan menata sistem sosialnya. Tapi Bokor Hutasuhut justru menciptakan Ronggur, tokoh utama dalam Penakluk Ujung Dunia, seorang anak muda yang berpikiran maju, yang menolak ikut berperang, dan mencarikan solusi dengan cara mencari tanah lain sebagai daerah baru. [5]

Pengalaman masa kecil Bokor Hutasuhut melahirkan gagasan tentang “kenapa harus berperang kalau yang diinginkan hanya tanah” dan “bukankah tanah bisa dicari dengan menemukan lahan baru”.  Gagasan dasarnya, merekam sejarah bangso Batak yang masyarakatnya selalu berpikir mencari inovasi dalam mengatasi persoalan kehidupan akibat daerahnya tak subur, sehingga yang dibutuhkan bangso Batak adalah mengubah pola pikir agar bisa mendapatkan solusi atas persoalan-persoalan krusial yang sedang dihadapi.

Novel Penakluk Ujung Dunia menampilkan tokoh yang berpikiran maju yang bertolak-belakang dengan masyarakatnya yang tradisional, dan kelahiran tokoh seperti ini erat kaitannya dengan sosok Bokor Hutasuhut yang mengikuti ayahnya berdakwa agama ke perkampungan-perkampungan untuk membuka pola pikir masyarakat. 

Dalam novel Tanah Kesayangan dan novel Pantai Barat, tokoh-tokoh Bokor Hutasuhut identik sebagai manusia  yang berpikiran maju, selalu punya alternative atas persoalan yang dihadapi, dan keluar dari mainstream yang kuat dipengaruhi tradisi.  Setiap novel Bokor Hutasuhut menegaskan, selain pentingnya tanah bagi bangso Batak, juga yang sangat penting adalah mengubah pola pikir agar tidak menderita (karena beban tradisi menjadi japuurut dalam Penankluk Ujung Dunia, atau dijajah Belanda dan Jepang dalam Tanah Kesayangan dan Pantai Barat) atau hidup miskin dan terbelakang. 

3


Selama “menghilang” dari dunia kreatif berkesusastraan, Bokor Hutasuhut menjadi pengusaha sembari mengumpulkan cerpen-cerpennya yang pernah disiarkan di media cetak. Manuskrip-manuskrip kumpulan cerita pendek Bokor Hutasuhut seperti
Menyilang ke Utara, Daerah Toba Danauku Sayang, Pecahan Yang Menggumpal,  dan Di Atas Sepeda. Sementara novelnya Pantai Barat, mulai menemukan penerbit.

Tahun 1980-an manuskrip Pantai Barat  ditawarkan para sastrawan Medan ke penerbit di Malaysia. Salah satu penerbit yang tertarik adalah  Penerbit Marwillis Publisher, Selangor, Malaysia Penerbit ini bermaksud menerbitkan manuskrip Pantai Barat dan beberapa novel Bokor Hutasuhut lainnya seperti Penakluk Ujung Dunia dan Tanah Kesayangan.  Namun, untuk Pantai Barat, penerbit memberi syarat ada revisi dari pengarang. Revisi tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan antara novel yang berlatar Tanah Batak yang mayoritas Kristen dengan pembaca Malaysia yang beragama Islam. Kesepakatan didapat, dengan mengganti isu gereja dengan bunyi loncengnya menjadi masjid dengan suara azannya. Jadilah novel ini diterbitkan pada tahun 1988 dengan judul tetap Pantai Barat.

Setelah novel Pantai Barat terbit, Bokor Hutasuhut kembali menulis untuk koran-koran di Medan. Pada dekade 1980-an Bokor Hutasuhut mulai sering keluar rumah dan bertemu kawan-kawan sastrawan. Waktu itu, dari Sumatra Utara muncul banyak nama sastrawan yang mengisi majalah sastra Horison seperti Sori Siregar, Pamusuk Eneste, Hamsad Rangkuti, B.Y. Tand, Zainuddin Tamir Koto, Damiri Mahmud, A. Rahim Qahar, Rusli A. Malem, AA Bungga, Herman KS, dan banyak nama lagi termasuk Saut Mangapul Situmorang—mahasiswa Universitas Sumatra Utara yang kelak memakai nama Saut Situmorang. 

Munculnya   sastrawan-sastrawan asal Sumatra Utara di majalah Horison membuat Sumatra Utara menjadi salah satu kiblat perkembangan karya sastra di Tanah Air tidak lepas dari sosok Bokor Hutasuhut. Keberangkatannya dari Medan ke Jakarta dan kemudian menjadi bagian terpenting dari sejarah kesusastraan nasional, tidak hanya membuat masyarakat Batak menjadi salah satu kebudayaan daerah yang mengundang perhatian public, tetapi juga menginspirasi generasi-gerasi muda di Sumatra Utara untuk menjadi sastrawan. Bokor Hutasuhut adalah sastrawan yang melanjutkan generasi lama yang sebelumnya sudah lebih dahulu menjadi fenomena dalam dunia kesusastraan nasional sejak era Merari Siregar (Sipirok), Armijn Pane dan Sanusi Pane (Sipirok), Amir Hamzah (Tanjung Pura), Chairil Anwar (Medan), Sitor Situmorang (Samosir), Bakri Siregar (Medan), Matu Mona (Medan), Bahrum Rangkuti (Medan), Bokor Hutasuhut (Balige), dan banyak nama lainnya. Keikutsertaan Bokor Hutasuhut kembali ke dunia sastra setelah menghilang hampir selama 1970-an, menambah gairah kesusastraan di Sumatra Utara.   

Pada Jumat, 4 Agustus 2017, Bokor Hutasuhut meninggal dunia.


Tulisan ini disampaikan Budi P Hutasuhut dalam acara "Tribute to Bokor Hutasuhut", salah satu agenda Balige Writers Festival 2023 di TB Silalahi Center, Balige, pada 27 Oktober 2023.



[1] Alexander Supartono merekam kembali polemic Lekra versus Manifesta Kebudayaan dalam skripsinya berjudul Lekra Vs Manipol untuk keperluan mendapatkan gelar sarjana di STF Dirkaryasa tahun 2000.  DS Muljanto dan Taufiq Ismail juga merekam apa yang mereka sebut prahara seputar polemic Lekra versus Manifestasi Kebudayaan di dalam buku  Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.,.

[2] Bokor Hutasuhut dalam percakapan dengan penulis sering mendaku dirinya sebagai: “penakluk ujung dunia”.

[3]  Kritikus sastra HB Jassin dalam tulisannya, “Bokor Hutasuhut Pengarang Romantik”, terbit di Mimbar Indonesia Nomor:3-4 Maret-April 1966 Tahun XX, menyebut realitas Bokor Hutasuhut adalah realitas romantic dan mengukur dunianya haruslah dengan realitas romantik.

[4] Sitor Situmorang membahas perang bius sebagai bagian dari sejarah antropologi masyarakat Batak di sekitar Danau Toba. , Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX (Cet-2),  2009, Jakarta : Komunitas Bambu.

[5] Budi P Hutasuhut, Historiografi Padang Sidimpuan, 2022. Penerbit Pustaha, Padang Sidimpuan

 

Lanjut baca »

Menulis, Bukan Bakat

item-thumbnail

Budi Hatees | Sastrawan


 
1

SAAT memberi pelatihan tentang menulis kepada para pengajar, seorang peserta mengajukan pertanyaan yang panjang. Setelah saya simak, saya berkesimpulan pertanyaan itu bermakna seperti ini:

Saya ingin menjadi penulis, tapi saya tidak punya bakat. Apakah saya bisa menjadi penulis?

Saya jawab dulu tentang bakat. Dalam kamus Bahasa Indonesia, bakat itu bisa diartikan “keterampilan bawaan sejak lahir”. Kalau menulis dikaitkan dengan bakat, kita bisa mengatakan sangat mustahil ada orang yang punya keterampilan menulis begitu dilahirkan.

Jadi, kita kesamping dulu soal bakat menulis itu.

Menulis itu hasil sebuah proses pembelajaran. Itu pun tak cukup, karena ia berkaitan dengan soal keterampilan. Untuk terampil, seseorang tidak cuma butuh belajar tetapi juga latihan.

Latihan, itulah intinya. Setiap kali Anda menulis, anggaplah sedang berlatih. Tentu, berlatihlah yang tekun. Tekun berarti Anda memahami setiap tahapan dari proses latihan.

Seperti pemain bola, Anda tidak cuma berusaha memahami bagaimana cara menendang atau menanduk bola. Anda juga akan memahami, kalau bola ditendang tepat di tengah dengan ujung sepatu, maka bola itu akan meluncur lurus dan deras. Anda pun akan memahami, kalau bola ditendang di bagian bawah, maka bola akan melambung ke atas. Anda pun akan paham, jika bola ditendang pada bagian sisi kiri dengan sepatu bagian sisi kanan, maka bola akan melambung dalam gerak melengkung (tendangan pisang).

Artinya, jika Anda tekun, Anda akan paham segala sesuatu secara rinci. Saat itulah, tanpa Anda sadari, sesungguhnya Anda sedang berproses menjadi seorang penulis.

2

Salah satu manfaat jika Anda tekun latihan. Saya bercerita tentang seorang sales. Jika Anda seorang sales, tentu Anda akan berusaha mengenali produk yang ingin Anda jual. Sebelum mengenali betul produk itu, tentu Anda tidak akan berani menawarkannya.

Cukupkah hanya itu? Tidak.

Anda masih perlu mengenali konsumen seperti apa yang membutuhkan produk tersebut. (Anda jangan mengabaikan bahwa jutaan manusia memiliki keinginan-keinginan yang beragam, karena hakikat manusia adalah menemukan kebahagiaannya). Apakah produk Anda dapat membahagiakan manusia? Manusia yang mana yang dapat berbahagia karena produk Anda?

Apakah semua sales akan seperti itu? Tidak. Memasarkan suatu produk adalah perkara yang tidak semua orang mampu melakukannya. Tapi, jika paham “cara”, “metoda”, atau “kiat” memasarkan produk, sangat pasti seorang sales akan sukses.

Oscar Schlinder, seorang entrepreneur yang tak sukses di Berlin, tetapi punya pengalaman matang dalam berbisnis. Di zaman Nazi, Schlinder berangkat ke Aukland, sebuah daerah Yahudi yang dijajah Nazi, dan di sana ada kamp pengungsi Yahudi. Di daerah perang itu, Schlinder menjadi sukses sebagai pebisnis meskipun modalnya tidak ada. “Saya tidak tahu bisnis, tetapi saya mampu presentasi,” kata Schlinder, tokoh utama dalam film Schlinder Lits karya sutradara penerima Oscar.

Apa pelajaran yang bisa diambil? Presentasi. Dengan presentasi, Schlinder mampu meyakinkan orang lain bahwa ia seorang pebisnis professional sehingga orang mau merogoh kocek untuk menanam saham.

Presentasi merupakan kegiatan menjelaskan, menguraikan, membeberkan, dan memengaruhi orang lain. Presentasi lebih pada persoalan oraliti. Karena Anda penulis, presentasi dalam bentuk tulisan. Anda punya gagasan tentang suatu hal, Anda presentasikan gagasan itu dalam bentuk tulisan. Jika gagasan Anda bagus dan cara Anda mempresentasikannya sangat menarik, maka tulisan Anda tidak akan ditolak siapa pun.

3

Intinya, bagaimana Anda bisa meyakinkan orang lain (pembaca) tentang hal yang Anda sampaikan dalam bentuk tulisan? Jika Anda bisa menjawab pertanyaan itu, berarti Anda seorang penulis yang baik.

Tulisan yang bagus adalah tulisan yang bisa dicerna, dipahami, dan dinikmati oleh pembaca. Penulis yang bagus adalah penulis yang mampu mempresentasikan ide, gagasan, dan tema ke dalam bentuk tulisan, sehingga pembaca tidak merasa kesulitan untuk memahami, menikmati, dan mendapatkan pengetahuan baru dari bacaan tersebut.

Lantas, “cara”, “kiat”, “teknik”, atau “metoda” apa yang bisa diaflikasikan dalam menghasilkan sebuah karya tulis yang bagus?

Cuma satu cara, Anda harus memahami bahwa Anda menulis dalam rangka berkomunikasi.

Ada satu perkara yang ingin Anda sampaikan kepada pembaca., dan Anda harus yakin apa yang ingin Anda sampaikan akan mudah dicerna, dipahami, dinikmati, dan menjadi pengetahuan baru bagi pembaca.

Dengan begitu Anda punya dasar yang kokoh. Setelah itu, Anda bisa membuka literature tentang teknik menulis. Di Indonesia, ada banyak buku tentang “teknik menulis” yang bisa Anda baca. Dengan buku-buku itu Anda bisa mengasah, memperdalam, memperhalus, memperlembut, dan sebagainya, pengetahuan atau keterampilan yang Anda miliki.

4

MENULIS adalah keterampilan. Seseorang yang sudah terbiasa mengorganisir pemikiran, ide, dan gagasan, akan sanggup menyampaikannya dalam bentuk lisan. Tapi, belum tentu sanggup menuangkannya dalam bentuk tulisan? Seorang penceramah, biasanya, bukan orang yang pintar menulis. Seorang penulis, biasanya, bukan orang yang pintar berbicara.

Meskipun begitu, ada penulis yang pintar berbicara dan ada pembicara yang cerdas menulis.

Sebaiknya orang seperti itu ada di anatara Anda. Pintar bicara, pintar juga menulis. Atau, sebaliknya, pintar menulis, pintar juga berbicara.

Elizabeth McMahan dan Susab Day dalam buku mereka The Write’s Rhetoric and Handbook membagi teknik menulis ke dalam 13 cara. Terlalu banyak teknik itu. Maka, kita kutif beberapa yang penting saja. (1)Menulis adalah cara berkomunikasi. (2)Gunakan bahasa yang baik dan benar ; (3)Diksi; (4)Komposisi; (5)Detail; dan (6)Revisi.

Namun, yang sangat penting dicamkan, tulisan untuk dibaca. Di sini ditekankan, segala bentuk tulisan adalah untuk dibaca.

Untuk itu, Anda perlu memperhatikan tulisan seperti apa yang akan dibaca orang dan siapa yang akan membacanya.

Mengutif F.L. Lucas dalam makalahnya, “On the Fascination of Style”, disebutkan tulisan yang efektif setidaknya terdiri dari: “Good humor, good sense, vitality, and imagination”.

Ketika orang membaca tulisan Anda, orang akan merasa terhibur, terimajinasi, dan vitalitas hidup makin tumbuh. Ada desire yang menyentuh hati.

Namun, sebelum menulis, Anda harus berpikir dan bertanya (1)Kenapa Anda menulis? (2)Untuk siapa Anda menulis? (3)Bagaimana Anda akan menulis?

5

Soal menulis dalam hal ini tidak cuma berkaitan dengan media massa. Menulis di sini adalah menulis dalam pengertian sangat luas.

Anda tidak bisa hidup tanpa keterampilan menulis. Bayangkanlah saat Anda harus membuat makalah sebagai tugas kuliah, bayangkan juga saat Anda harus menyusun hasil pemikiran dan gagasan ke dalam disertasi atau tesis. Anda tak akan pernah bisa melakukannya tanpa menulis. Anda tidak akan bisa menjadi apa pun yang Anda harapkan.

Pengalaman saya “membantu” menulis skripsi, disertasi, dan tesis beberapa kawan, sungguh suatu pengalaman yang sangat berguna. Saya prihatin terhadap mereka---yang oleh rekan-rekannya dipuji karena mampu mengenyam jenjang pendidikan sampai pascasarjana—ternyata kurang begitu memahami cara menulis.

Bisa Anda bayangkan akan seperti apa karya ilmiah mereka?

Lanjut baca »

Menulis Itu Persoalan Berbahasa

item-thumbnail


"Kau bawa surat itu, perbaiki," kata Ali Mochtar Hutasuhut --dia lebih dikenal sebagai A.M. Hoeta Soehoet-- dan saya membawa surat yang sedianya ditandatangani itu sambil membaca ulang.

Menurut pengetahuan aku yang cetek, yang aku dapat dari pelajaran menulis surat di SMA, tidak ada yang salah pada surat yang baru aku ketik. Tapi, A.M. Hoeta Soehoet menilai ada banyak kesalahan padahal dia baru melihat bentuknya saja.

Mau tak mau, aku membaca ulang, meneliti kata per kata. Akhirnya aku tahu, nyaris semua yang aku tulis itu salah. Aku baru tahu setelah dua kali mengetik ulang dan A.M. Hoeta Soehoet kemudian membacanya, lalu memberi tanda merah pada tiap hal yang dia sebut kesalahan fatal dalam berbahasa.

Suatu hari, lantaran aku terlalu sering melakukan kesalahan, A.M. Hoeta Soehoet kemudian mengatakan, kesalahan yang aku lakukan disebabkan aku menulis dalam bahasa percakapan yang aku pergunakan sehari-hari. Mula-mula aku tak bisa memahami ucapan itu, tapi kemudian aku baru menyadari bahwa A.M. Hoeta Soehoet ingin mengatakan: "Bahasa Indonesia yang aku pakai, bukan bahasa yang resmi, tapi bahasa dengan dialek orang Batak."

"Bahasa Indonesia," kata A.M. Hoeta Soehoet, "telah disahkan sebagai bahasa persatuan karena bahasa Indonesia mampu mengatasi perbedaan kultural yang ada negeri ini."

Sejak itu, kemampuan berbahasa Indonesia aku perbaiki. Di kampus, aku beruntung mengenal banyak ahli bahasa Indonesia. A.M. Hoeta Soehoet salah satunya.

Aku belajar dengan cara yang ganjil. A,M. Hoeta Soehoet seorang yang teliti dalam berbahasa Indonesia, dia menolak semua kesalahan berbahasa Indonesia dengan selalu membawa spidol warna merah. Spidol itu bergerak di atas teks yang dia baca, mencoret dan melingkari tiap kata yang keliru, dan dia tidak perduli jika akhirnya semua teks yang dia baca itu penuh lingkaran.

Suatu hari dia bilang: "Tanda baca itu diciptakan untuk dipergunakan. Kau hanya tahu mempergunakan tanda 'titik' dan 'koma' ", katanya.

Intinya, di hadapannya, aku tak bisa berbahasa Indonesia. Pengetahuanku tentang kata pun payah. Konon pengetahuan tentang kalimat.

"Aku dengar kau menulis cerpen dan puisi waktu SMA? Bagaimana bisa kau menulis karya sastra sementara bahasa Indonesia saja kau tidak bisa," katanya, pada hari yang lain.

Aku mestinya terpukul, merasa kalau dia telah membuat pengetahuanku tidak berarti apapun. Tapi aku justru senang karena A.M. Hoeta Sohoet ini sangat lama bekerja sebagai editor di surat kabar terkenal, Abadi dan Indonesia Raya. Dia juga belajar menulis dari orang bernama Parada Harahap, seseorang yang pernah mendapat gelar sebagai The King Press of Java pada masa Bel;anda dan Jepang. Dia pun bekerja dengan para ahli, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, dan banyak nama lagi.
Melihat riwayatnya, aku putuskan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya dengan cara mengikuti strateginya.

Aku kuliah sekaligus bekerja sebagai staff administrasi, yang bertugas menulis banyak surat penting, dan setiap surat harus ditandatangani A.M. Hoeta Soehoet sebagai Rektor. Setiap kali ada surat yang harus ditandatanganinya, aku mamfaatkan momentum itu untuk belajar bahasa Indonesia. Jatuh bangun, babak-belur.

Dan, suatu hari, apa yang aku peroleh, aku terapkan dalam menulis opini yang kukirimkan di Jayakarta, Suara Pembaruan, Mutiara, dan sejumlah media cetak di Jakarta. A.M. Hoeta Soehoet pengamat media yang tekun dan berlangganan semua media cetak yang ada di negeri ini. Dia bukan pembaca judul dan lead berita--kebiasaan para pembaca awam. Dia membaca semua isi media, dan dia melakukan itu karena dia menciptakan mata kuliah Isi Media Cetak. Dia paham berita yang baik dan benar, dia menguasai bahasa Indonesia, dia pun sangat mengerti tentang iklan (isi media cetak). Dia, ternyata pula, tidak asing dengan karya sastra.

Suatu hari saya meminta izin kepada A.M. Hoeta Sohoet agar boleh membaca buku-buku yang ada dalam lemari di ruang kerjanya. "Aku akan membacanya pada malam hari," kataku.

"Untuk apa?" tanyanya.

Aku beri alasan yang membuat dia mengangguk. Dan akhirnya, di rak-rak bukunya, aku menemukan banyak buku sastra dari sastrawan yang dekat dengan dia. Dari buku-buku itu aku belajar lagi menulis karya sastra sekaligus karya jurnalistik. Sejak itu, aku semakin sering menulis dan mengirimkan karya ke media.

"Cerpenmu buruk," katanya suatu hari setelah dia membaca cerpen aku yang muncul di Tabloid Mutiara. "Tidak ada yang bisa pembaca peroleh dari cerpen itu."

Di hari lain, dia justru menyalahkan redaktur yang memuat opini yang aku tulis. "Redaktur ini tidak paham menulis opini," katanya. "Opini yang tak menawarkan apapun bisa disiarkannya."

Dia tak pernah menganggap karyaku bagus, dan itu membuat aku terus belajar. Aku terus menulis, terus-menerus menyiarkan tulisan-tulisanku di media. Produktivitasku begitu tinggi. Semua jenis tulisan aku tulis. Koran-koran menyiarkannya. Aku sengaja melakukannya karena mengharapkan penilaiannya, dan dia jsutru menertawakanku: "Untuk apa produktif kalau tidak membawa inovasi," katanya.

Aku selalu dikritik A.M. Hoeta Soehoet . Belakangan aku sadari, dia banyak mengajariku menulis. Satu hal yang aku ingat dari dia: "Menulis itu berbahasa Indonesia yang baik."

Suatu hari, aku masuk Aliansi Jurnalis Independen di Kota Bandar Lampung. Itulah pertama kali aku masuk organisasi profesi jurnalis dalam hidupku. Dan, ternyata, aku bertemu dengan orang-orang yang menempatkan persoalan bahasa Indonesia sebagai kata kunci dalam menulis berita.
Lanjut baca »

Anjingnya Anjing

item-thumbnail

 Cerpen oleh Budi Hatees

Rambo punya pengalaman sangat  buruk dengan manusia, tapi ia terlalu cepat melupakannya. Secepat itu pula ia kembali mempercayai manusia. “Orang ini baik. Tidak seperti Togar,” katanya sambil memuji-puji tuannya itu.

Aku pikir ia sudah lupa betapa mengerikannya manusia. Aku ceritakan kepadanya tentang dirinyanya yang nyaris mampus ketika Togar, laki-laki pemabuk yang begitu disanjungnya, tiba-tiba memasukkannya ke dalam karung.  Togar kemudian membawanya ke lapo Ja Solpot, dan orang tua yang pincang itu berkata:”Kalau masih ada anjing lain, kau kasih saja aku. Aku kasih harga bagus.”

“Aku hanya mau tuak.”

Ja Solpot menyuruh Togar masuk ke lapo tuak miliknya, sementara dia membawa karung itu ke belakang lapo.  Namun, saat Ja Solpot mencoba membuka tali pengikat mulut karung, Rambo meloncat sekuat tenaga dan berhasil lolos.  Dia berlari sekencang-kencangnya. Ia dengan Ja Solpot memaki-maki.    

“Orang ini berbeda,” Rambo  memuji tuannya, “dia penyelamatku dengan baik.”

“Kelak kau akan menyesali sikapmu ini.” Aku mencoba  menasehatinya. ”Ketika kau lepas dari kematian di tangan Ja Solpot, kau memaki-maki Togar. Katamu, kau tak akan mempercayai manusia lagi. Nyatanya…”

“Orang ini berbeda. Namanya Ucok. Ia manusia yang  baik.”

Ketika aku bilang semua manusia sama, ia malah menuduh kalau aku iri dengan keberuntungannya. Aku bilang tidak pernah bermimpi untuk dekat dengan manusia, karena aku berkeyakinan semua manusia itu sama.

Ia mencibir  sikap sinisku, dan menuduh kalau aku terlalu skeptis. Aku tak perduli dan  tetap mempertahankan sikapku. “Kita lihat saja nanti siapa yang paling benar antara aku dengan kau,” kataku.

Ia tersenyum sinis sambil pergi. Masih sempat ia bilang kalau Ucok  pasti sedang menunggunya di tempat biasa, mengharapkan ia muncul agar mereka bisa bermain-main. 

Aku menatap kepergiannya dengan sorot mata kasihan. Sejak itu kami tidak pernah lagi bertemu sampai pada suatu hari aku bertemu dengan Nero di tumpukan sampah di pasar. Dari Nero kemudian aku tahu, nasib malang telah mendera Rambo, dikhianati oleh manusia yang tak bisa menghormati pertemanan mereka.

“Bagaimana ceritanya?” tanyaku.

Dan Nero bercerita tentang pertemuannya dengan Rambo, terjadi tanpa sengaja di sebuah hutan kebun kopi pada suatu sore seusai diguyur hujan lebat. Baik Nero maupun Rambo sama-sama berteduh di bawah sebatang pohon kopi yang rimbun, dan mereka berbagi cerita.

Sebetulnya Rambo yang bercerita tentang tuannya dengan kalimat-kalimat pujian yang luar biasa, meskipun Nero setengah mempercayai ada manusia seperti itu.

“Namanya Ucok.” Rambo memulai kisahnya. “ Itu nama yang buruk. Semua anak laki-laki dipanggil dengan nama “ucok”,  meskipun mereka punya nama lain.  Tapi ia tidak,  sejak lahir, ia tidak punya nama lain selain dipanggil Ucok.”

Itulah pertama sekali Rambo bisa dekat dengan Ucok. Selama ini Rambo selalu berada  jauh dari Ucok, bersembunyi di dalam semak-belukar sekitar  8 meter dari dangau tempat Ucok duduk. Selama bersembunyi, Rambo berharap memiliki kesempatan untuk bisa dekat dengan Ucok, karena ia menduga kalau Ucok berbeda dengan kebanyakan manusia yang pernah dijumpainya.

Rambo menunggu kesempatan itu datang sambil tetap meningkatkan kewaspadaan, khawatir kalau sikap Ucok yang terlihat lembut dan sangat bersahabat itu hanya bersandiwara.  Begitulah pengalaman Rambo berhubungan dengan manusia,  kebanyakan dari mereka selalu mengusir dengan sangat kasar; melempari dengan batu atau benda apa saja yang sedang dipegang. Kalau pun ada yang bersikap lembut, biasanya, sikap itu untuk menyembunyikan watak buruknya yang sesungguhnya ingin menangkap dan menjualnya.

Sikap licik seperti itu tidak ditemukan Rambo pada diri Ucok. Ia anak yang baik, bahkan, sepintas lalu terlihat terlalu baik. Ucok selalu datang ke dangau yang terletak di tengah-tengah petak sawah itu setiap hari, selalu pada pagi hari ketika matahari baru terbit. Ia membawa hadangan-- sejenis tas jinjing dari rajutan bayon yang berfungsi untuk menyimpan barang dan jatah makan siangnya—dan cangkul yang tiangnya sangat panjang. 

Setelah  mengantungkan hadangan pada sebatang paku di tiang dangau,  Ucok pergi ke petak sawah untuk mencangkul. Ia bekerja sangat rajin, dan tubuhnya basah oleh keringan serta percikan lumpur. Rambo tak pernah melihat anak seusia Ucok bekerja sendiri di sawah. Sebagian besar anak-anak seusia dirinya justru bermain-main di tanah lapang, di tempat di mana mereka sering melempari Rambo dengan batu sambil meneriakinya sebagai anjing gila. Rambo juga tidak pernah melihat ada orang dewasa yang menemani Ucok bekerja, dan karena itu Rambo jatuh kasihan kepadanya.

Apabila matahari tepat di atas kepala,  Ucok akan naik dari petak sawah, lalu melangkah ke dangau. Itulah saat Ucok harus makan siang, saat yang Rambo nanti-nantikan. Air liur Rambo segera meledak membanjiri mulutku. Rasa lapar semakin merobek dinding perutnya. Rambo ingin mendekatinya, memelas agar mau membagi jatah makan siangnya. Tetapi Rambo tidak berani mendekatinya, maka ia tahankan siksaan rasa lapar itu sembari berharap agar Ucok tidak menghabiskan seluruh jatah makanannya.

Ketika sedang menikmati jatah makan siangnya, sama sekali Ucok tidak melihat ke arah semak-belukar di mana Rambo bersembunyi.  Rambo sempat mengira kalau Ucok tidak tahu keberadaannya di dalam semak-belukar itu. Tapi, setiap kali Ucok selesai makan, anak itu selalu membuang pembungkus makanannya ke arah Rambo, dan selalu saja ada sisa sedikit nasi dengan kepala ikan asin di dalamnyaRambo tidak memikirkan apakah Ucok tahu keberadaannya di dalam semak belukar atau sama sekali tidak tahu, karena rasa lapar membuatnya buru-buru menikmati sisah makanan itu sambil sekali-sekali melirik ke arah Ucok.

Begitulah terus-menerus, Rambo bersembunyi di dalam semak-belukar dan menikmati sisa makanan yang dibuang Ucok. Tapi, beberapa hari kemudian, selesai menikmati makan siangnya, Ucok berbicara: “Kenapa kau mengendap-endap,” katanya.

Rambo kaget bukan main dan berusaha kabur.

“Sejak lama aku tahu kau bersembunyi di dalam semak-belukar itu.”

Rambo mengira Ucok akan melemparinya, tetapi Ucok tidak meraih sekeping batu atau kayu pun ketika berjongkok. Ucok malah duduk di tanah, menatap Rambo, lalu membujuk agar mendekat. “Jangan takut padaku!” Ucok terdengar tulus dengan ucapannya. Meskipun masih khawatir, Rambo mendekat sambil menundukkan kepala. Ucok meminta agar lebih dekat. Rambo menurut. “Ayolah!” katanya. “Makanan ini memang sengaja aku sisahkan untukmu.”

Sejak itu, hubungan Rambo dengan Ucok  semakin dekat.  Mereka berkarib  akrab.  Setiap kali Ucok datang ke sawah, Rambo merasa senang.  Bukan saja karena kedatangan Ucok berarti rasa lapar Rambo akan teratasi, tetapi karena Rambo selalu mendambakan mempunyai sahabat karib sepanjang hidupnya. Sebab itulah, Rambo selalu berusaha menyenangkan hati Ucok. Rambo menuruti apapun keinginannya.

Suatu hari, Ucok menyampaikan niatnya untuk mengajak Rambo pulang ke rumahnya dengan alasan ia tidak punya kawan di rumahnya. Tetapi Ucok mewanti-wanti agar tidak seorang pun yang mengetahui keberadaan Rambo di dalam rumah. “Bahaya,” katanya, dan tidak disebutkannya bahaya apa yang mengancam.

Berselang dua hari kemudian, Rambo baru tahu kenapa tidak boleh ada yang mengetahui keberadaannya. Penyebabnya, tak lain  adalah  Jahumarkar, ayah tiri Ucok. Laki-laki itu  seorang pemabuk yang sinting. Ia selalu berada di bawah pengaruh alkohol dari tuak. Ia sangat kasar, baik tingkah laku maupun ucapannya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu makian.

Kata Ucok, kebiasaan buruk Jahumarkar  yang selalu mabuk bukan masalah besar. Tetapi pekerjaan sehari-harinya yang  jadi persoalan, karena Jahumarkar bekerja sebagai pemburu anjing.  Setiap hari Jahumarkar keluar rumah, pergi keluar masuk ke kampung-kampung orang lain untuk mencari anjing, atau sering mencuri anjing milik orang, lalu menjualnya di kedai-kedai tuak. Uang hasil menjual anjing itulah yang dibelikannya ke tuak agar ia bisa tetap mabuk.

Orang-orang tidak menyukai kebiasaan Jahumarkar itu. Tidak jarang ada yang datang ke rumah meminta agar anjingnya dikembalikan, tetapi Jahumarkar lebih memilih berkelahi daripada memenuhi keinginan orang itu. Jahumarkar selalu mengancam akan menebas orang-orang  yang datang meminta ganti rugi, dan ancaman itu dibuktikan dengan cara membawa-bawa parang yang berkilat saat mengusir  orang-orang dari halaman rumah.

Lantaran sikap Jahumarkar seperti itu, orang-orang tidak  mau berhubungan dengannya. Orang-orang lebih memilih berhubungan dengan Mince, ibunya, dan memaksa  agar perempuan itu mengganti rugi uang seharga anjing tersebut. Pada awalnya Mince menolak sambil menegangkan urat leher,  menceracau seperti petasan sebagai bentuk perlawanan. 

Tapi orang-orang mengancam akan mengadukan perkara pencurian anjing  itu ke polisi.  Mau tak mau Mince yang selalu ketakutan mendengar kata “polisi”, akhirnya membayar ganti rugi. Tapi, setelah itu, Mince akan marah kepada Jahumarkar.  Saat marah, suara Mince melengking-lengking.  Lantaran mabuk,  Jahumarkar tidak terima dipersalahkan sehingga terjadi perang mulut di antara mereka. Peristiwa itu akan berlangsung sangat lama, biasanya semua kata-kata jorok  akan keluar,  dan selalu berakhir dengan tangan Jahumarkar  yang melayang ke wajah Mince. Kalau sudah begitu, Mince akan meraung, lalu mencari si Ucok untuk  melampiaskan kekesalan hatinya.

Nasib Ucok sangat buruk. Mince akan memukulinya. Tapi, sejak Rambo berkawan karib dengan Ucok, Rambo mengajak Ucok keluar dari rumah itu apabila sedang terjadi perkelahian antara Mince dengan Jahumarkar.  Mereka pergi ke belakang rumah, ke kebun kopi yang terbentang di sana. Di dalam hutan kebun kopi itu, mereka berdiam hingga pagi hari. Dari sana, mereka bisa mendengar perkelahian antra Mince dengan Jahumarkar. Mereka sering mendengar Mince meraung-raung sambil memanggil-panggil nama si Ucok.

“Lama kelamaan aku bisa membunuh laki-laki itu,” kata Ucok. “Tapi aku tak akan bisa melakukannya tanpa bantuanmu.”

Rambo hanya mengibas-kibaskan ekornya. Rambo ingin membantu tetapi ia tidak bisa membayangkan apa jadinya jika Jahumarkar menangkapnya, lalu menjualnya ke kedai-kedai tuak. Rambo tahu apa  yang menimpa seekor anjing bila masuk ke dalam kedai-kedai tuak itu: jadi santapan

*

SETIAP  hari, Ucok selalu cerita tentang keinginannya membunuh Jahumarkar. Tapi, sementara  keinginannya itu tidak kunjung terealisasi, Rambo justru melihat bahwa Jahumarkar yang punya peluang lebih besar untuk membunuh Ucok. Setiap hari Jahumarkar memperlakukan Ucok seperti budak. Anak kecil itu dipaksanya mencangkul ke sawah, dan  ia menyuruh dengan cara sangat kasar, sering sembari menendang pantat Ucok. 

Jahumarkar melakukan perbuatan itu di hadapan Mince, tetapi perempuan itu berpura-pura tidak tahu.  Mince seakan-akan tidak perduli apakah Ucok akan mampus atau tidak,  seolah-olah Ucok itu bukan darah dagingnya. Rambo yang justru tak tahan melihat kelakuan itu sering ingin menggigit Jahumarkar, tetapi Reno takut laki-laki itu malah akan menangkapnya.

Mince sebetulnya bukan perempuan baik-baik, sama tidak baiknya dengan Jahumarkar.  Ketika Ucok pergi ke sawah dan Jahumarkar keluar rumah untuk memburu anjing, Mince akan memasukkan laki-laki ke dalam rumah. Selang beberapa  menit Mince akan keluar rumah bersama laki-laki itu, lalu pulang ke rumah sebelum hari gelap. Ia akan memasak untuk Jahumarkar, karena Jahumarkar akan sangat marah kalau pulang ke rumah dan tidak menemukan ada yang bisa dimakan. Selepas itu, ia pergi ke rumah tetangga.

Rambo sering mengikuti Mince ke rumah tetangga, yang letaknya terpisah tiga rumah. Rambo diam di kolong rumah itu. Dari sana Rambo tahu kalau penghuni rumah itu bernama Asnia, seorang rentenir gendut yang juga merangkap sebagai germo. Asnia  sering ke keluar masuk ke kampung-kampung untuk menawarkan uang pinjaman atau menagih utang orang-orang. Di sela-sela pekerjaan itu, Asnia menemui laki-laki hidung belang untuk menawarkan perempuan yang bisa menyenangkan hati mereka seperti Mince, dan beberapa perempuan lain di kampung itu.  Itu sebabnya, setiap malam, Mince menemui Asnia dan menanyakan apakah ada pelanggan lain untuknya. 

Sering, sambil menunggu Asnia  keluar dari kamarnya,  Mince dan beberapa perempuan lain yang datang ke rumah itu bercerita satu sama lain tentang kenapa mereka mau menjadi perempuan penghibur.  Saat itulah Rambo dengar pengakuan Mince bahwa ia sudah menjalani pekerjaan sebagai pelacur sejak lama, dan ia mulai berhenti sementara ketika hamil. Untuk menutupi kehamilannya, Mince tidak menolak dinikahkan dengan Marapande tanpa mahar sepeser uang pun. Pernikahan itu bertujuan menutupi aib, dan selama pernikahan itu pula ia  selalu memaki Marapande setiap kali ingin mendekatinya. Hal itu membuat Marapande sangat berduka, lalu memutuskan bekerja di hutan sebagai pencari kayu bakar agar ia jarang pulang. Lantaran terlalu berduka, Marapande banyak melamun hingga suatu hari ia mengalami kecelakaan yang menyebabkan kematianya.

“Jadi, anakmu itu bukan hasil pernikahan dengan Marapande?” tanya seorang perempuan.

“Aku tak tahu siapa ayahnya,” kata Mince.

“Kenapa kau menikah lagi?”

“Aku ingin suamiku membunuh anak itu. Bukankah ayah tiri bisa membunuh anak tirinya.”

“Makanya kau pilih pemabuk itu.”

“Ya. Aku berharap suatu saat ia akan membunuh anak itu saat ia mabuk.”

“Tapi ia tidak pernah membunuhnya. Ia malah memukulimu.”

“Nyaris membunuhnya sering. Makanya, aku yang akan menyelesaikan pekerjaannya. Aku yang akan membunuh anak itu. Jika anak itu mati, ia yang akan disalahkan.”

“Kenapa kau setega itu kepada anak sendiri?”

“Aku tak menginginkan anak itu. Kehadirannya justru membuat aku tidak bisa meraih impianku.”

“Aku juga begitu.”

“Kau punya anak?”

“Tidak. Aku mengugurkannya.”

“Apa kata suamimu?”

“Laki-laki bodoh itu.” tertawa. “Ia malah jatuh kasihan padaku.”

*

“AKU merasakan kalau  ibuku semakin tak sayang kepadaku,” kata Ucok pada suatu malam, ketika mereka berada di bawah sebatang pohon kopi di kebun kopi di belakang rumah.  Di kejauhan, dari arah rumah,  terdengar raung Mince. Jahumarkar memukulinya. Mince menolak memberikan uang ketika Jahumarkar meminta untuk membeli tuak. 

Laki-laki pemabuk itu, meskipun sangat kasar, tidak pernah sebelumnya meminta uang dari Mince karena ia selalu mendapat anjing untuk dijual ke kedai tuak. Tapi, belakangan, ia tidak pernah lagi menemukan anjing dan karena itu ia tidak punya uang. Ia sudah mencoba berutang di beberapa kedai tuak, tetapi para pemilik kedai menolak memberi utangan karena jumlah utangnya sudah banyak. 

“Kau bayar dulu utang kau,” kata pemilik kedai tuak, “kau minta sama istri kau si Mince.”

Jahumarkar mengangguk, karena saat itu pikirannya sangat sehat akibat sudah beberapa hari tak minum tuak. Dalam keadaan tidak mabuk, Jahumarkar sesungguhnya seorang penakut. Ia tidak berani bicara kasar, apalagi sampai mengancam mau menebas orang dengan parang. Ia lebih tampak seperti macan tak bertaring dan tak bercakar, lesu bagai tak dialiri darah.

Suara pemilik kedai tuak yang mengancamnya, membuat hatinya kecut. Cepat-cepat ia keluar kedai tuak, lalu menemui Mince di rumah.

Mince baru saja pulang dari rumah Asnia. Wajahnya berseri karena Asnia memberitahu ada pelanggan yang meminta ditemani besok siang. Kata Asnia, tamu itu seorang pejabat pemerintah, dan orang itu yang memilih Mince.  Mince penasaran pada pejabat pemerintah itu dan tak sabar menunggu hari terang. Ia membayangkan akan memperoleh untung besar, karena  pengalaman sebelumnya bersama pejabat pemerintah sangat memuaskan.

Tetapi seri  di wajah Mince meredup ketika Jahumarkar muncul. Ia tak bicara sepatah kata pun, langsung menuju kamar, mendekati lemari pakaian. Ia pernah melihat Mince menyimpan perhiasan di bawah lipatan pakaian, dan ia bermaksud mengambil perhiasan itu.  Mince mencurigai gelagat Jahumarkar akan melakukan hal buruk, lalu mengikutinya ke kamar. Ketika Jahumarkar membongkar isi lemari, Mince curiga tindakan itu untuk mngincar perhiasannya.

“Apa yang mau kau lakukan pada barang-barangku!” teriak Mince.

“Barang-barangmu?” Jahurmarkar mendesis. “Aku mau meminjamnya.”

“Tidak bisa.”

“Kenapa tidak bisa?”

“Kau tak berhak.”

“Aku pemilik rumah ini. Akujuga pemilik semua barang yang ada di rumah ini.”

“Itu barang-barangku!” teriak Mince ketika Jahumarkar merengut setumpuk perhiasan dari bawah lipatan pakaian. “Keringatku yang membeli semua itu.”

“Aku kepala rumah tangga di sini.”

“Kepala rumah tangga katamu? Rumah tangga apa?”

“Berani kau sekarang!?” Jahumarkar mendekatkan wajahnya ke wajah Mince.

“Apa!” Mince tegang.

Plak! Plak! Plak!

Mereka mendengar Mince meraung-raung. Ucok bangkit dan bermaksud mau masuk ke rumah, tapi Rambo menggeram untuk mengingatkan padanya bahwa mereka sedang bersembunyi.

“Aku akan membunuh laki-laki itu,” kata Ucok.

Rambo mengonggong pelan.

“Aku bisa melakukannya.”

Rambo tetap menggonggong  pelan. Dengan gonggongan itu, Rambo ingin mengatakan kalau Ucok tak akan mampu membunuh Jahumarkar, tapi Ucok tak paham maksudnyaUcok tetap bangkit, berlari ke arah rumah. Ketika tiba di halaman, Jahumarkar baru mau keluar dari pintu. Begitu melihat Ucok dengan sikap ingin melawan, Jahumarkar menampar telinganya. Ucok terpelanting dan berguling-guling menahan rasa  sakit pada telinganya. Jahumarkar meninggalkannya. Saat Ucok bangkit dan bermaksud mau mengejar Jahumarkar, Mince muncul lalu menjambak rambut Ucok.

“Anak kurang ajar. Semua ini gara-gara kau,” teriak Mince sambil menyeret Ucok ke dalam rumah.

Malam itu Rambo menutup telinganya.  Rambo tak tahan mendengar suara Mince mengamuk, memukuli Ucok. Rambo tahu anak itu sangat menderita. Rambo hanya bisa berdoa agar Tuhan menyelamatkan Ucok dari pelampiasan rasa sakit hati Mince yang tak beralasan.

Pagi-pagi betul  Ucok keluar dari rumah.  Cara berjalannya sempoyongan. Rambo menghampirinya. Kondisi Ucok sangat memprihatinkan. Matanya biru dan membengkak, bibirnya pecah dengan darah yang mulai mengering.  Ucok melangkah keluar dari halaman, Rambo mengikuti langkahnya yang tertatih. Mereka pergi ke sawah, duduk di depan dangau. 

“Aku ingin membunuh Jahumarkar,” geram Ucok. Ada dendam, ada amarah yang minta diledakkan.  Ucok bicara seperti menceracau. Ia menjelaskan cara yang dapat dilakukannya untuk membunuh Jahumarkar. Ia juga yakin, jika Jahumarkar mati, nasibnya akan lebih baik.

Pada saat Ucok bercerita tentang rencana membunuh Jahumarkar, tiba-tiba Jahumarkar  muncul.  Entah untuk apa ia datang ke sawah. Tapi, demi melihat Rambo, Jahumarkar berteriak: “Anjiiiiing!”

Rambo kaget bukan main.  Bagai dilesatkan dari busur panah, Rambo melesat menerabas semak-belukar, menghindari Jahumarkar. Lamat-lamat ia dengar suara tangis Ucok meminta Juhumarkar agar tidak mengejar. Rambo pun tak melihat Jahumarkar mengejarnya. Ia berhenti berlari.

*

“KENAPA kau diam? Apa yang terjadi setelah itu?” tanyaku ketika Nero berhenti bercerita.

Nero menggelengkan kepala, mengibaskan ekornya. Ia menatapku dengan sorot mata yang kosong. Katanya, ia melihat Ucok memukul Rambo dengan sebatang kayu sambil menangis. Kata Ucok, ia terpaksa memukul Rambo untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada Jahumarkar. Pasalnya, jika Ucok tidak melakukan itu, Jahumarkar mengancam akan membunuh Mince.

“Aku tak bisa berbuat apa-apa,” kata Nero, “hanya melihat, selain itu aku takut jadi sasaran juga.” *

***

Budi Hatees kelahiran Sipirok, 3 Juni 1972. Menulis cerpen, sajak, esai, di berbagai media. Kini tinggal di Kota Padangsidempuan.

Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda