Menari dan diiringi gending Jawa bukan hal yang luar biasa. Itu menjadi teramat biasa bila peristiwa tari itu ditampilkan di sebuah gedung pertunjukan, apalagi bila gedung pertunjukan itu berada di Metropolitan Jakarta, atau di kota-kota yang ada di Pulau Jawa. Tapi ceritanya akan berbeda bila tarian itu muncul di daerah yang sebagian besar penduduknya suku Batak.
Peristiwa tari,
diiringi gending Jawa, muncul di Gedung
Adam Malik Kota Padangsidimpuan, Sumatra Utara, ketika Shinta Ayu Nadia
menarikan Tari Sandyakalayu. Di hadapan para penonton, undangan dalam acara
puncak Festival Sastra Sanusi Pane 2024 yang digelar Komunitas Bengkel Kreatif pada
Minggu, 27 Oktober 2024 lalu, Shinta menggerakkan tubuhnya untuk
mengkomunikasikan pesan dalam tariannya.
Para penonton,
yang meskipun jarang mendengar harmoni gending Jawa yang dipakai sebagai
pengiring tari, mencoba meresepsi pesan
yang disampaikan Shinta lewat gerak kineme dari lentik jemari dan hentakan
kaki. Mereka menemukan hal baru, sesuatu
yang tak pernah mereka bayangkan, bahwa gerak tari ternyata bisa jadi medium
berkomunikasi. Pesan makin teresepsi
ketika Shinta memperagakan tiap gerak dengan mimik wajah yang ekspresif.
Tari Sandyakalayu
digarap Shinta sejak lama. Penari yang sudah belajar sejak usia tiga tahun ini
dari ayahnya, Hendra Gunawan Lubis, yang mengelola Putra Langgeng Lestari di
Padangsidimpuan, menceritakan tentang seorang gadis yang selalu di-bully
dalam lingkungannya. Ia dikucilkan kawan-kawan sebayanya karena memilih menari sebagai
cara mengekspresikan diri. Pilihan yang berbeda dengan kawan-kawan sebayanya,
yang sebagian besar lebih menyukai bermain-main.
Tak terima dengan sikap dan perilaku kawan-kawannya, si gadis yang di-bully memilih tidak tertekan secara psikologis. Ia terima perilaku kawan-kawannya, meskipun ia tidak suka. Ketidaksukaannya ia ekspresikan ke dalam gerak tari, yang banyak mengakomodir gerak dalam pencak silat. Almarhumah Prof. Edy Sedyawati, dalam sebuah karyanya, pernah menegaskan bahwa tari tradisional di Indonesia berinduk pada gerak pencak silat.
Tari Sandyakalayu
yang ditampilkan Shinta hampir 70 persen bertumpu pada gerak pencak silat,
mulai dari ritmis jari yang melenting lentik, tangan dan lengan yang acap
tertekuk, dan hentakan kaki yang kadang menedang. Tentu saja ini dipengaruhi oleh
dasar pengetahuan yang dimiliki Shinta, yang sejak awal belajar menari sebagai
anggota grup kuda lumping. Gerak dalam
kuda lumping kentara dalam gerak Tari Sandyakalayu, dan ini menunjukkan seni tari
tradisi tari yang identic dengan masyarakat Jawa itu meresap dalam dirinya.
Shinta Ayu
Nadia lahir dengan ayah bermarga Lubis, dan besar dalam lingkungan masyarakat
Jawa yang ada di Kota Padangsidimpuan. Masyarakat yang keberadaannya memiliki sejarah
Panjang di Kota Padangsidimpuan ini, sebuah masyarakat yang sesungguhnya
menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Kota Padangsidimpuan. Leluhur
mereka, konon, datang dari daerah Sumatra Barat, merupakan para pendukung Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa
Prawirodirjo, panglima perang pada era Perang Diponegoro.
Ketika Pangeran Diponegoro ditangkap, Sentot Ali Basyah yang
juga putra dari Ronggo Prawirodirjo, ipar Sultan Hamengku Buono IV, ikut
tertawan dan dibawa Belanda ke Minangkabau untuk memerangi Tuanku Imam Bonjol. Melihat
Sentot Ali Basyah dibawa ke Minangkabau, para pengikutnya dari Pulau Jawa,
diam-diam mengikutinya ke Minangkabau. Ketika Sentot Ali Basyah dipaksa Belanda
memerangi para pejuang padri, ia memilih melarikan diri dan bergabung dengan
Tuanku Imam Bonjol.
Belanda tak terima atas pengkhianatan Sentot Ali Basyah dan memburunya,
membuat Sentot Ali Basyah beserta para
pengikutnya terpencar ke berbagai daerah, termasuk ke wilayah Tapanuli bagian
Selatan. Sebagian dari mereka ada yang sampai ke Batangtoru, lalu berkembang, dan sebagian lainnya di Padangsidimpuan.
“Kami tetap menjaga seni dan budaya Jawa di Kota
Padangsidimpuan dan mengupayakan agar memperkaya khazanah budaya di kota ini,”
kata Hendra Gunawan Lubis, yang juga pengurus Pujakusuma Kota Padangsidimpuan.
Mengenai karya tari yang ditampilkan Shinta, Hendra Gunawan Lubis mengaku dirinya tidak ikut campur. Ia melihat Shinta punya bakat, dan ia acap berkreasi dan berinovasi menciptakan karya-karya tari yang berbasis pada seni tradisi masyarakat Jawa. “Saya dukung kreasi-kreasinya,” katanya.
Hady Kurniawan Harahap, ketua Panitia Festival Sastra Sanusi
Pane 2024, mengatakan pihaknya sengaja mengundang Shinta Ayu Nadia untuk
menanpilkan karya tari garapannya untuk menunjukkan kepada masyarakat luas
bahwa Kota Padangsidimpuan ini memiliki keanekaragam budaya yang masing-masing
harus berkembang.
“Kekayaan kultural Kota Padangsidimpuan harus diapresiasi
dengan memberi mereka kesempatan untuk mengekspresikan diri lewat karya-karya
seni tradisi,” kata Hady.
COMMENTS