.

Literasi Jadi Kunci Membuka Gerbang Indonesia Emas 2045

item-thumbnail

 

Oleh : Bang Harlen | Seorang prosais

Indonesia Emas 2045 merupakan tajuk yang kerap digembar-gemborkan oleh Pemerintah Pusat dalam setiap kesempatan. Pasalnya,di samping perayaan satu abad negara ini merdeka, pada 2045 nanti Indonesia juga akan mengalami bonus demografi yang cukup signifikan. 


Namun, potensi demografi yang besar tersebut akan sia-sia bagai buih di lautan bila tidak diimbangi dengan kualitas manusia yang memadai dan mampu berdaya saing. Aspek utama yang tentu menjadi sorotan adalah lemahnya upaya penguatan terhadap infrastruktur literasi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia masihlah terperosok di angka yang sangat mengkhawatirkan.

Riset bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukanoleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 telah menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara soal minatmembaca, persis di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi infrastruktur penunjang minat baca, Indonesia berada di atas negera-negara tersebut.

Di sisi lain, Hafiz Muhsin selaku Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kemendikbudistek menekankan bahwa literasi saat ini tidak hanya dipandang sebagai kegemaran membaca dan menulis, namun perlu dipahami sebagai kemampuan berbahasa yang mencakup kegiatan menyimak, membaca, menulis, dan berbicara yang dipadukan dengan kemampuan berpikir, seperti mengakses, mengeksplorasi, mengidentifikasi, memproses, memperhitungkan, mempertanyakan, memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi.

“Literasi membekal seseorang untuk memiliki kemampuan mengekspresikan, menciptakan, dan mengomunikasikan seluruh ilmu pengetahuan yang didapat dan dicernanya. Inilah yang disebut literasi

masa kini dalam abad 21, yaitu harus memiliki kemampuan memahami dan memanfaatkan hasil bacaan untuk kecakapan hidup.” Ujar Hafiz dalam Rapat Pembudayaan Literasi yang berlangsung di Garut, Kamis (22/9). Hafiz juga menekankan bahwa literasi penting untuk mewujudkan sumber daya manusia yang unggul di abad ke-21, yaitu pelajar sepanjang hayat yang memiliki kompetensi global dan berprilaku sesuai dengan nilai-nilai pancasila. “Literasi mendukung perwujudan profil Pelajar Pancasila yang beriman yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, kebhinekaan global, gotong rotong, kretaif, bernalar kritis, dan mandiri.” Ujar Hafiz.

Memaksimalkan Bonus Demografi

Terkait tajuk Indonesia Emas 2045, pada tahun tersebut Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu sebanyak 70% jumlah penduduk Indonesia akan berada dalam usia produktif (15-64 tahun), di managenerasi tersebut harus disiapkan menjadi generasi yang berdaya guna, kreatif, inovatif, dan melek ilmu pengetahuan serta informasi agar siap membawa Indonesia menjadi negara maju dan mampu bersaing secara global di masa yang akan datang.

Pada 2045 mendatang, penduduk usia produktif tersebut mayoritas akan ditempati oleh para milenial dan generasi Z. Anak-anak muda inilah yang nantinya akan menjadi tulang punggung Indonesia. Di pundak merekalah optimisme tinggi   bangsa ini dititipkan. Kualitas berpikir dan mentalitas generasi muda saat ini tentunya akan menjadi parameter dan cermin bagaimana kemajuan bangsa di masa yang akan datang . Merekalah ujung tombak dan subjek sebenarnya dalam membuka gerbang  Indonesia Emas 2045.

Akan tetapi, dalam menyongsong Indonesia Emas 2045, berdasarkan data-data yang disebutkan masih belum menunjukkan gejala yang menggembirakan. Indonesia masih menghadapi sebuah pekerjaan rumah yang besar pada tingkat literasi --yang menjadi kunci pengembang diri-- masyarakatnya harus dituntaskan sesegera mungkin. Masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya cenderung belum mengakrabkan diri dengan buku serta sumber-sumber bacaan yang mangandung pengetahuan serta informasi yang aktual sekaligus faktual. Ketimbang menghabiskan waktu dengan membaca atau menonton konten-konten yang bersifat edukatif serta informatif, generasi muda bangsa ini justru lebih menyukai konten-konten yang hanya bersifat hiburan semata, bahkan berpotensi merusak mentalitas, moral, bahkan daya kognitif mereka.

Salah satu bukti yang menunjukkan lemahnya daya literasi bangsa ini adalah betapa gampangnya masyarakat diadu domba dan termakan oleh hoaks yang berserakan dan tak jarang berujung pada perdebatan dan pertengkarang yang tak perlu. Dalam menyimak informasi yang beredar di internet, kita cenderung gampang menyimpulkan peristiwa tanpa melakukan penelurusan lebih dalam dan menyeluruh. Baru melihat judul, sudah merasa tahu seluruh isi. Padahal tak sedikit konten-konten tersebut sangat melenceng jauh antara judul dan isi yang dijabarkan di bawahnya. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya pengecekan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kefaktualan produk informasi yang disajikan serta kredibilitas produsen atau media yang menyajikannya. Inilah penyebab utama yang kerap memantik keributan dan melemahkan persatuan di antara kita.

Kecanggihan teknologi internet yang semestinya mampu menjadi sarana untuk mengakses informasi apa saja dengan mudah dan cepat ternyata kerap disalahgunakan untuk kepentingan yang nirfaedah. Fenomena ini semakin ironis bila mengingat di masa kolonial Belanda setelah kebijakan politik etis yang diterapkan mulai di tahun 1901, hanya 8% saja penduduk Indonesia yang mampu membaca dan menulis, lantaran kesempatan untuk mengenyam pendidikan sangatlah terbatas, hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan, pengusaha, serta keluarga para pejabat yang bekerja di kantor pemerintahan kolonial Belanda.

Di samping itu, realita di tengah generasi muda kita tampak mengindikasikan bahwa mereka alergi dengan buku. Seseorang yang gemar membaca buku kerap diasosiasikan sebagai sosok yang tidak menarik, dicap kutu buku, sok pintar, culun, dan sebagainya. Entah sejak kapan anggapan-anggapan ini tertancap kuat di benak para generasi muda. Padahal, bangsa ini didirikan oleh para tokoh-tokoh bangsa yang sudah pasti maniak dengan buku dan memiliki tradisi literasi yang mumpuni. Bahkan, Mohammad Hatta sampai rela dipenjara asalkan dirinya tetap dikelilingi oleh buku-buku. Bung Karno, presiden pertama kita  mencetuskan tentang konsep negara Indonesia setelah mempelajari buku Naar De Republiek karya Bapak Republik Indonesia Tan Malaka.

Untuk itu, peran serta segenap lapisan masyarakat serta dukungan dari para pemangku kebijakan sangat diharapkan agar bonus demografi yang menjanjikan ini dapat dimaksimalkan agar tidak menjadi ampas tak berguna di kemudian hari. Selain itu, diharapkan seluruh pemangku kebijakan, terutama di sektor pendidikan supaya bekerja lebih giat dan serius. Tak lupa juga untuk memprioritaskan masalah ini supaya anggaran sebesar Rp 549,5 Triliun (20%) dari APBN yang telah digelontorkan oleh Presiden Jokowi demi menyambut Indonesia Emas 2045 dapat dimanfaatkan demi menambal lubang-lubang yang masih menganga lebar, terutama di sektor literasi. Jika lubang-lubang ini tidak segera dibenahi, amat dikhawatirkan kalau langkah kita dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 akan terjungkal, menyisakan angan-angan belaka, serta hanya sebatas retorika politik semata.

Lebih lanjut, Visi Indonesia 2045 disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas untuk memberikan gambaran mengenai wujud Indonesia pada tahun 2045 serta memberikan peta jalan yang mampu dan perlu dicapai pada tahun 2045. Secara keseluruhan Visi Indonesia 2045 yaitu mewujudkan tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia yang lebih baik dan merata dengan kualitas manusia yang lebih tinggi, ekonomi Indonesia yang meningkat menjadi negara maju dan salah satu dari 5 kekuatan ekonomi terbesar dunia, pemerataan yang berkeadilan di semua bidang pembangunan, dalam bingkai NKRI yang berdaulat dan demokratis.

Pencapaian visi Indonesia tersebut dibangun dengan 4 pilar pembangunan, yaitu Pembangunan manusia serta penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan, Pemerataan Pembangunan, serta Pemantapan Ketahanan Nasional dan Tata Kelola Pemerintahan.


 


Lanjut baca »

Menyusu Pada Penjual Susu

item-thumbnail

 Oleh : Bang Harlen 

Cukup lama aku menimbang-nimbang apakah kisah yang kualami beberapa tahun lalu ini perlu kutuliskan agar sekiranya dapat  membuka ruang kontemplasi bagi orang lain, atau kubiarkan begitu saja mengendap dan hanya kunikmati seorang diri. 

Pertimbanganku saat itu adalah adanya sebuah anggapan yang mencengkeram otakku bahwa kisah ini tidak akan banyak mempengaruhi apalagi sampai merubah logika berpikir orang yang akan membacanya. Pasalnya, kisah ini tidak berhulu dari orang yang dapat dikatakan sukses secara ekonomi. Sebagaimana ungkapan Jack Ma yang sepintas pernah kubaca : Kalau kau belum sukses, omonganmu tidak akan pernah didengarkan. Sebaliknya, begitu kau sukses, kentutmu pun akan terasa wangi. Setidaknya begitulah logika mayoritas mayarakat kita.

Pengalaman tersebut rupanya terus menyeruduk otakku. Ia seperti menuntut haknya untuk segera terbebas dari pikiranku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk menuliskannya setelah memilih judul yang kurasa lumayan asyik. Judul yang tentunya tidak mengindikasikan peristiwa fisik yang sesungguhnya. Karena saat itu, secara sadar aku tidak sedang menempelkan bibirku ke puting penjual susu itu kemudian mengisapnya dengan buas. Akan tetapi, aku menganggap bahwa omongan penjual susu itu tak ubahnya air susu yang kaya kandungan gizi dan nutrisi bagi jiwaku yang rupanya masih kering kerontang ini.

Tepatnya tiga tahun lalu, aku pernah “terkurung” di Probolinggo. Di kota yang berjuluk kota santri itulah aku bertemu dengan seorang kakek tua penjual susu yang kuperhatikan kerap menyempatkan dirinya untuk sholat zuhur di masjid setempat. Setelah beberapa hari menghimpun niat, aku lantas membulatkan tekad untuk membeli dagangannya. Dengan berbekal selembar uang lima puluh ribu, aku kemudian mencegat kakek tua itu yang tampak telah mengayuh gerobaknya begitu keluar dari masjid.

“Susunya enam ya, Pak!”

“Mau yang rasa apa Dik?” sahut kakek itu ramah sambil membuka tutup gentong yang berisi puluhan bungkus es.

Untuk beberapa detik aku mencoba mengedarkan pandanganku menjelajahi tumpukan es yang dikemas berwarna-warni tersebut. Usai mendapat sedikit pencerahan,  pilihanku akhirnya jatuh kepada varian rasa coklat, stroberi, dan vanilla. Lantas segera kusodorkan selembar uang lima puluh ribu setelah sebelumnya kakek itu menyebut harga keenam susu itu cuma seharga Rp.18.000. Sambil menebar senyum, kukatakan kepada kakek itu untuk menyimpan saja uang kembaliannya. Dan betapa terkejutnya aku ketika tawaranku justru ditolaknya mentah-mentah. Dengan tergesa-gesa, kakek itu kemudian mengulurkan beberapa lembar uang kembalian ke hadapanku.

“Ambil saja, Pak. Ini rezeki Bapak. Aku ikhlas kok.” Aku tetap bersikeras menolak uang kembalian yang ia sodorkan.

“Enggak, Dik. Saya enggak bisa menerima uang ini. Saya ini pedagang susu. Rezeki saya itu dari berapa jumlah susu yang terjual. Di luar itu berarti bukan rezeki saya. “

Jleb. Mendengar omongannya yang tak biasa itu telingaku bagai tertampar. Seperti ada sebuah tinju yang tiba-tiba  menonjok dadaku hingga memar. Jiwaku rasanya rontok seketika. Kepalaku bagai dihantam sebutir kelapa. Dalam beberapa detik, seakan-akan ada aliran listrik yang menyentak ujung rambut hingga ujung kakiku. Tak berselang lama, kulihat kakek penjual susu itu sudah berlalu dan kembali mengayuh gerobaknya. Terus terang,  ada sedikit perasaan menyesal mengapa tadinya aku tidak menghabiskan saja uang lima puluh ribu tersebut untuk memborong susu kakek itu. Kenapa tadinya aku cuma beli enam saja. Namun, aku kembali berpikir, siapa pula yang akan menghabiskan susu sebanyak itu nanti? Peristiwa dengan kakek penjual susu tersebut tiba-tiba saja membuatku mengutuk diriku sendiri. Bahkan, aku sampai sedikit menggerutu atas sikap kakek tersebut yang bagiku terlalu naïf untuk zaman yang semakin mendewakan keuntungan materi ini. Harusnya ia menerima saja uang kembalian tadi, toh itu juga bukan sebuah dosa karena aku memberinya dengan ikhlas. Sepanjang jalan pulang aku terus saja menggerutu. Kendati demikian, harus kuakui bahwa kakek penjual susu itu telah mencerahkanku mengenai konsep rezeki yang tidak banyak orang sadari.

Yang jelas, kakek tersebut bukanlah seorang pemalas. Ia adalah seorang pekerja keras karena terus berusaha memetik rezeki yang terhampar luas di kebun-kebun kehidupan ini. Namun, di sisi lain, ia tidak silau dengan yang laba yang datang secara tiba-tiba. Ia bukan orang yang bermental miskin yang terbiasa menjual rasa prihatin. Baginya, harga diri adalah harga mati. Sebagai seorang penjual susu, ia begitu teguh merawat batasan dan tak ingin menjadi orang- orang yang melampaui batas. Kemudian tanpa kuduga peristiwa ini malah membuatku jadi malu sendiri. Tanpa kusadari, secara tidak langsung aku telah meremehkan eksistensi kakek itu sebagai penjual susu dengan bersikap seolah mengasihani kemelaratan hidupnya. Secara halus aku juga telah mempertontonkan sikap sombong, sebab telah menggeser hubungan kami yang semestinya hanya berbentuk transaksi jual beli biasa antara si penjual dan si pembeli, menjadi peristiwa sumbangan antara si kaya dan miskin. Dengan semena-mena aku juga telah menempatkan posisiku sebagai "tangan di atas" dan kakek tersebut sebagai "tangan di bawah".

Fenomena sosial ini barangkali sering kita lakoni dalam kehidupan sehari-hari. Kendati maksud hati kita memang ikhlas untuk menolong orang lain yang kita anggap membutuhkan bantuan, sayangnya kita kerap menafikan reaksi psikologis si penerima bantuan yang mungkin saja dalam hatinya bisa merasa terhina dengan cara kita memperlakukannya. Betapa sempitnya otak kita yang selalu menyimpulkan bahwa “orang kecil” pasti tak punya harga diri dan menganggap hanya mereka yang memiliki pangkat, jabatan, dan mapan secara ekonomi saja yang selalu berjuang memelihara harga dirinya.

Ilmu hidup yang baru saja kuisap dari kakek penjual susu tersebut pastinya tidak akan pernah kudapatkan di seminar-seminar motivasi  yang sering digelar di gedung dan hotel berbintang. Alasannya tentu sudah jelas, siapa pula yang sudi mengundang seorang kakek berpakaian kumal dan lusuh untuk berpidato di atas podium kemudian berteriak-teriak memberikan motivasi tentang hidup, sementara penampilan dirinya saja jauh dari kesan “termotivasi”. Siapa pula yang akan rela menyisihkan waktu berharganya  menyimak celotehan kakek tua soal bagaimana membangun bisnis agar cepat melejit, sementara ia sendiri hanya penjual susu keliling yang tidak jeli menangkap peluang ekonomi yang terpampang jelas di depan mata.

Kendati demikian, jauh di palung hatiku terdalam, aku selalu berharap kelak takdir akan merajut pertemuan  kakek penjual susu tersebut dengan para pemangku kebijakan di Republik ini, agar sekiranya Bapak/Ibu yang terhormat tersebut dapat sedikit tercerahkan dengan hakikat sesungguhnya dari “rezeki". Meski terus terang lumayan pesimis bila harapan itu akan terjalin menjadi sebuah fakta.

Pertemuan dengan kakek penjual susu itu juga telah menyeretku untuk kembali bercermin. Kembali menemukan wajah yang semakin hangus dibakar hati yang serakah. Kembali memanggil pulang pikiran dan jiwa yang sudah terlalu jauh dari rumah. Kembali mengoreksi langkah yang gampang tergelincir ke tanah

Boleh saja kita menempelkan kata naïf dan tidak progresif terhadap perkembangan zaman di jidat kakek penjual susu itu. Namun, senaif-naifnya dirinya, kita harus tetap angkat topi atas kegigihannya untuk terus memelihara kehadiran Tuhan di dalam hatinya, sebuah sikap hidup yang semakin tergerus oleh kemajuan peradaban manusia yang hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi belaka.

Ah, kenapa aku baru menyadari hal ini justru di usia segini? Kenapa tidak ada yang "menyusuiku" dengan ilmu bergizi  ini sewaktu berada di bangku pendidikan dulu?



Lanjut baca »

Ketua KPK, Penjaga Citra Polri

item-thumbnail


 Oleh Budi Hatees | Peneliti, penulis buku Ulat di Kebun Polri 

Kisah ketika polisi menangkap Abraham Samad, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  pada 2015 lalu,  mendadak berkelebat. Penangkapan Abraham Samad itu berlangsung cepat dan tepat,  menunjukkan bahwa respon polisi sesuai program Quick Wins dalam menjalankan kegiatan pemolisian. Respon yang luar biasa itu menimbulkan kontroversi,  membuat publik menduga-duga bahwa Abraham Samad merupakan korban politisasi dan kriminalisasi Polri.

Tapi, akhir-akhir ini respon polisi tampaknya menjauh dari semangat program Quick Wins terkait penangkapan  Ketua KPK,  Firli Bahuri,  sebagai tersangka dugaan pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.  Padahal, sudah banyak bukti dan saksi yang membenarkan Ketua KPK bertemu dengan mantan Menteri Pertanian, dan pertemuan itu menimbulkan banyak spekulasi bahwa seorang penegak hukum sedang membenarkan bertemu dengan tersangka. 

Polda Metro Jaya yang dipimpin Irjen Karyoto sudah bekerja melakukan kegiatan pemolisian guna mengusut dugaan tindak pidana yang melibatkan Ketua KPK  tersebut. Tapi, banyak kalangan meragukan Irjend Pol  Karyoto,  yang sebelumnya merupakan Deputi Penindakan KPK, akan menangkap Ketua KPK Firli Bahuri sebagaimana Polri pernah menangkap Ketua KPK Abraham Samad hanya berdasarkan pengaduan seorang tersangka kasus pemalsuan dokumen pada tahun  2007.

Sangat wajar bila public kemudian menduga-duga kalau polisi tidak akan pernah menangkap Firli Bahuri mengingat Ketua KPK itu seorang purnawirawan perwira tinggi (pati) Polri dan pernah menjadi Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Mabes Polri. Dengan kata lain, polisi selaku penegak hokum hanya akan mengulangi apa yang sudah menjadi pendapat umum, bahwa hokum di negeri kita sulit tegak bila berkaitan dengan internal lembaga penegakan hukum itu sendiri.

Pertarungan KPK Vs Polri

Firli Bahuri berbeda dengan Abraham Samad. Meskipun sama-sama Ketua KPK dan sama-sama terlibat dugaan kasus kriminal,  namun Abraham Samad bukan bagian dari Keluarga Besar Polri. Selain itu,  Abraham Samad selaku Ketua KPK  memiliki andil besar dalam upaya KPK mengungkapkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan calon Kapolri saat itu, Komjend Pol Budi Gunawan. Itulah alasan paling kuat kenapa Abraham Samad begitu mudah ditersangkakan oleh Polri. 

Sementara Firli Bahuri masih aktif sebagai anggota Polri saat terpilih jadi Ketua KPK. Sosok Firli Bahuri sebagai polisi aktif yang lebih memilih menjadi Ketua KPK daripada Kapolda Sumatra Selatan, membuat public menyakini bahwa hal ini bagian dari strategi Polri untuk mengembalikan citranya sebagai lembaga yang berpengalaman memberantas korupsi. Pasalnya, citra anti-korupsi tidak lagi melekat pada Polri sejak Presiden Abdurrahman Wahid mendirikan KPK  berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002. 

KPK sebagai lembaga Negara yang menjalankan fungsi oversight (pengawasan),  tancap gas melakukan pengusutan dugaan tindak kriminal korupsi yang melibatkan para elite Negara.  Sepak  terjang KPK yang saat itu dipimpin purnawirawan Polri, Taufiequrachman Ruki, membawa harapan baru di negeri ini  dalam mengatasi korupsi  pasca reformasi.  Semua orang berharap,  reformasi menjadi momentum penting untuk menguatkan kampanye antikorupsi. KPK diposisikan sebagai pelaku utama, posisi yang selama ini bagian dari tugas dan tanggung jawab kejaksaan dan kepolisian. 

KPK  memang mampu mengungkapkan sejumlah kasus korupsi,  membuat Polri dan kejaksaan mulai kehilangan muka. Dua lembaga ini semakin terpinggirkan, terdeskriditkan sebagai lembaga penegakan hokum yang tak mampu mengatasi korupsi.  Kepercayaan public menjadi  berkurang terhadap dua lembaga penegakan hukum tersebut setelah KPK berhasil mengungkap kasus korupsi yang melibatkan para elite di internal kejaksaan dan kepolisian.  

Hasil kerja KPK ini meruntuhkan citra kedua lembaga penegakan hokum itu, membuat Polri sebagai  lembaga Negara pertama yang melakukan reformasi internal,  semakin dijauhi public. Reformasi Polri  dengan sekian banyak strategi yang dirumuskan  dipandang  percuma, apalagi setelah sejumlah nama perwira menengah dan perwira tinggi Polri diduga terlibat dalam kasus rekening gendut Polri.

Menjadi lembaga Negara yang tersisih dari kerja-kerja pemberantasan korupsi dan sejumlah anggota Polri terindikasi terlibat kasus dugaan korupsi, berimplikasi terhadap munculnya kasus-kasus politik hokum yang membuat KPK berhadap-hadapan dengan Polri. Peristiwa cicak versus buaya yang mengemuka beberapa tahun lalu  berbuntut panjang.  Korban berjatuhan, baik di pihak KPK maupun Polri. Kepala Bareskrim Mabes Polri, Komjend Pol Susno Duaji,  yang ingin mengungkap dugaan korupsi rekening gendut Polri, tiba-tiba jadi tersangka dalam kasus korupsi yang kemudian membuatnya ditahan oleh Divisi Propam Mabes Polri. Begitu juga halnya dengan komisioner KPK, baik Abraham  Samad maupun  Bambang Wijojanto, yang jadi terangka kasus kriminal. 

Pertarungan KPK versus Polri mulai mereda setelah Presiden Joko Widodo memberhentikan Abraham Samad sebagai Ketua KPK, dan membatalkan Komjen Pol Budi Gunawan menjadi Kapolri. Guna mengembalikan fungsi KPK sembari menenangkan Polri, Presiden Jokowi kemudian melantik Taufiequrachman Ruki, mantan Ketua KPK yang merupakan purnawirawan Polri, sebagai Plt. Ketua KPK yang baru. Komjend Pol Budi Gunawan sendiri batal jadi Kapolri, digantikan Jenderal Pol Badrodin Haiti.

Keputusan Presiden Jokowi ini ampuh meredakan ketegangan yang timbul akibat pertarungan KPK versus Polri. Namun, penyebab ketegangan itu tak kunjung diselesaikan, sehingga persoalan krusial terkait kehilangan wewenang penegakan hokum dalam kasus korupsi ini selalu menjadi bayang-bayang.  Presiden Jokowi kemudian melantik Agus Rahardjo menjadi Ketua KPK. 

Agus Rahardjo adalah Ketua KPK tanpa latar belakang pendidikan formal hokum.  Agus Raharjo  dipilih dari kalangan yang tidak ada kaitannya dengan profesi advokat,  kejaksaan, ataupun kepolisian. Pasalnya, Ketua KPK yang berlatar belakang tiga profesi ini terbukti menimbulkan konflik berkepanjangan – mulai dari Antasari Azhar (mantan jaksa) sampai Abdurrahman Samad (advokat)—yang menyebabkan tujuan pendirian KPK sebagai lembaga antirasuwah tidak sesuai dengan harapan.

Namun,  pertarungan KPK versus Polri tidak kunjung mereda, terutama setelah KPK banyak mengungkap dugaan korupsi di internal Mabes Polri.  Penyidik KPK yang merupakan anggota Polri diperbantukan di KPK,  ternyata menjadi penyidik yang paling gencar mengungkit kasus korupsi di internal Polri. Novel Baswedan, salah seorang anggota Polri yang jadi penyidik senior di KPK,  mampu mengungkap sekian banyak kasus korupsi yang melibatkan para elite. Novel Baswedan menjadi momok bagi Polri ketika mengungkap korupsi Simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri.

Makin banyak kasus korupsi di internal Mabes Polri yang diungkap KPK, dan para perwira terbaik Polri  terlibat di dalamnya.  Tak main-main,  Gubernur Akademi Polisi Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan Wakil Kepala Korlantas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Didik Purnomo jadi tersangka. Kasus ini makin menciderai citra Polri di mata public, yang berbuntut pada menegangnya hubungan KPK dengan Polri.

Jika sebelumnya Polri berhasil menjadikan Ketua KPK, Abraham Samad, dan komisioner KPK, Bambang Wijdajanto, jadi terpidana dalam kasus kriminal,  giliran penyidik senior Novel Baswedan yang dirundung banyak persoalan dugaan kriminal. Meskipun  Novel Baswedan bebas dari segala tuduhan, tapi Polri kemudian berhasil mengeluarkan Novel Baswedan dari internal penyidik KPK dengan tidak meluluskannya dalam tes wawasan kebangsaan sehingga tidak memenuhi syarat untuk menjadi penyidik di KPK.

Selama ditangani Agus Rahardjo, pertarungan KPK dengan Polri   mulai mereda setelah para penyidik senior KPK dinyatakan tidak lulus tes wawasan kebangsaan dan dinyatakan tidak bisa diperbantukan di KPK. Posisi anggota Polri yang diperbantukan di KPK kemudian diganti dengan orang baru, sehingga semakin banyak anggota Polri aktif yang diperbantukan di KPK. Kondisi ini terus berlangsung sampai Agus Rahardjo berhenti dan posisinya digantikan oleh Firli Bahuri.

Keluarga Besar Polri

Terpilihnya Firli Bahuri menjadi Ketua KPK  membawa perubahan besar dalam sistem kerja di internal lembaga antikorupsi itu. Perubahan mendasar pada posisi Firli Bahuri sendiri selaku anggota Keluarga Besar Polri yang masih aktif, di mana ia dikelilingi oleh anggota Korps Bhayangkara yang masih aktif dan diperbantukan di KPK.

Sebagai seorang perwira tinggi Polri yang menjadi Ketua KPK, Firli Bahuri dikelilingi oleh anggota Korps Bhayangkara yang berstatus penyidik KPK. Tidak heran jika bila kerja-kerja anti-korupsi oleh KPK mengadopsi kerja pemolisian (policing) Polri yang identik dengan pendekatan preemptif, preventif, dan represif.  Tiga pendekatan ini terkait dengan masing-masing status masalah yang sedang diselidiki, juga diiringi fungsi-fungsi kepolisian yang juga khusus.

Seorang pimpinan kepolisian dikatakan profesional dalam bekerja bila  mampu mengaktivitasikan fungsi-fungsi  tertentu terkait masalah dengan status tertentu secara proporsional.  Jika sebuah persoalan hokum yang sudah terindetifikasi berdasarkan fungsi  reserse,  di mana sudah ada  pelanggaran hokum dan sudah ditemukan tersangka tetapi tak melakukan penangkapan dan malah memilih bertemu tersangka, sudah tentu ada yang salah pada diri si pemimpin kepolisian tersebut. Kondisi seperti inilah yang terjadi di dalam system kerja KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri.

Pengaduan sejumlah pihak terkait system kerja yang diterapkan Firli Bahuri sudah disampaikan public kepada Dewan Pengawas KPK. Alih-alih menjalankan tugas pengawasan yang tegas berdasarkan Pasal 37B ayat (1) huruf a dan f Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019,  Dewas KPK terkesan berlipat tangan. Akibatnya, buronan mantan calon anggota legislatif asal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Harun Masiku, tidak kunjung ditangkap.

Sekarang, bukti pertemuan Firli Bahuri dengan tersangka mantan Mentan sudah diketahui public, dan ini melanggar peraturan yang berlaku. Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 19/2019 mengakomodir persoalan pertemuan Firli Bahuri dengan tersangka itu sebagai  perbuatan tercela yang bisa jadi alasan mundur dari jabatan sebagai Ketua KPK. Bahkan, TAP MPR No VI/2001 juga menegaskan bahwa para pejabatan politik harus mundur apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Tapi, ini akan mustahil mengingat peran Polri sangat sentral dalam membuktikan keterlibatan Firli Bahuri tersebut. *

Lanjut baca »

Film Indonesia, Industri Kreatif yang Tertinggal Jauh

item-thumbnail

 Oleh : Hady K Harahap


Tentu masih segar dalam benak kita ketika film Parasite yang pertama tayang di tahun 2019 lalu berhasil menyeret perhatian orang-orang. Bagaimana tidak? Untuk pertama kalinya dalam sejarah film dari Asia berhasil meraih 4 kategori penghargaan dalam Oscar 2020. Setelah setahun sebelumnya dianugerahi penghargaan bergengsi lainnya dalam dunia film Palme d’Or Cannes 2019. Padahal, dalam catatan sejarah, boleh dikatakan Indonesialah yang bergerak lebih dulu dan mampu berbicara  dalam festival-festival film internasional. Buktinya, film Si Pintjang karya Kotot Sukardi dan Pulang karya Basuki Effendi mendapat penghargaan dalam Festival Karlovy Vary di Cekoslovakia pada tahun 1952. Setahun kemudian, Djadug Djajakusuma lewat film Harimau Tjampa (1953) sukses menyabet penghargaan ilustrasi musik terbaik pada Festival Film Asia Tenggara pada tahun 1955. Setahun berselang, giliran Tamu Agung karya Usmar Ismail yang membawa pulang penghargaan sebagai film komedi terbaik pada Festival Film Asia di Hongkong.

Tanete Pong Masak dalam bukunya Sinema Pada Masa Soekarno (2016) menyebut pada masa Demokrasi Liberal 1950-1957 adalah tonggak suburnya produksi film dalam negeri. Ia menuturkan telah mengidentifikasi 74 perusahaan yang memproduksi 317 film dalam kurun waktu tersebut. “Peristiwa luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah sinema Nusantara yang bermimpi mengubah ibukota menjadi Djakartawood,” Ungkap Tanene. Djakartawood berarti Jakarta akan dijadikan pusat perfilman serupa Hollywood.

Harus diakui bahwa munculnya film-film berbobot tersebut tak lepas dari pengalaman dan pembelajaran yang diperoleh para sineasnya. Semisal Usmar Ismail, Djadug Djajakusuma tidak menyia-nyiakan kesempatannya untuk belajar film dan mengasah kemampuan sinematografi mereka di Universitas California, disusul Asrul sani dan Sitor Situmorang untuk kritik film.

Beberapa dekade pun berlalu dan Indonesia kembali mencuri perhatian ketika nama-nama seperti Iko Uwais, Yayan Ruhiyan, dan Joe Taslim menunjukkan aksinya lewat film laga The Raid dan The Raid 2. Bahkan dalam sebuah wawancara, aktor sekelas Samuel L. Jackson membeberkan  bahwa film favoritnya sepanjang masa adalah The Raid 2. Meski film The Raid dan The Raid 2 sukses dan nama-nama aktornya seperti Joe Taslim yang kemudian berhasil mengambil salah satu karakter utama sebagai Sub Zero dalam film Mortal Kombat, bukan berarti industri film Indonesia sudah benar-benar bagus. Pasalnya, sutradara dari film The Raid dan The Raid 2 adalah Gareth Evans yang notabene berasal dari Wales dan bukan orang Indonesia.

Dari segi ekonomi, industri perfilman Indonesia juga mulai bangkit kembali dan berhasil mencapai nilai total Rp.7,1 Triliun pada 2019 sebelum pandemi. Industri film Hollywood juga disebut segera akan menargetkan pasar Indonesia. Namun, pencapaian ini masih dianggap kurang maksimal oleh kemenparekraf karena angka pertumbuhannya selama 10 tahun masih di bawah rata-rata pendapatan industri kreatif. Pada 2010 kontribusi perfilman berada angka 0,43% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Bahkan, pada 2015 merosot di angka 0,16% terhadap PDP. Pencapaian tersebut tentu masih sangat jauh dari keseluruhan potensi industri kreatif pada ekonomi nasional yang berada di angka 7,1% terhadap PDB. Menurut peringkat global, pada 2019 Indonesia berada di urutan 16 dan kalah jauh dari Korea Selatan yang bertengger di posisi ke-3 hingga memikat pasar internasional.

Lantas, untuk dilirik pasar internasional dan mengambil tempat dalam industri perfilman global seperti yang telah sukses diraih oleh Korea Selatan, tentunya  Indonesia harus terlebih dahulu menjadi tuan rumah di negaranya sendiri. Dengan kata lain, Indonesia mesti mampu menahan gempuran film-film asing, baik secara kuantitas, kualitas, maupun orisinalitas. Sebagai produk budaya, sineas Indonesia juga tidak boleh mengesampingkan nilai-nilai lokalitas serta problematika sosial yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam setiap film yang mereka garap. Seperti yang pernah dikatakan oleh Soekarno bahwa produk budaya seperti musik, dance, dan film adalah alat revolusi. Dalam bukunya Movie as Social Critism, Ian Jarve juga mengungkapkan bahwa film bisa menuntun masyarakat pada sebuah perubahan sosial. Dan apa yang dikemukakan oleh kedua tokoh tersebut, tentunya sudah berhasil diterapkan dengan sangat baik oleh Korea Selatan dengan menggaungkan “Korean Wave” ke seluruh penjuru sehingga “Demam Korea” kini telah menjangkiti orang-orang di seluruh dunia. Sementara Indonesia, jangankan untuk menjangkiti, kita saja masih belum bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri. Kita masih nyaman menjadi konsumen dan belum berani bergerak menjadi produsen dalam skala global industri perfilman.

Aku sependapat dengan apa yang pernah diungkapkan oleh komika Ernest Prakasa di halaman twitternya. “Musuh kita apa? Musuh utama kita adalah film Indonesia yang asal bikin. Investasi rendah dengan berharap untung yang besar. Merusak kepercayaan penonton. Untungnya sekarang penonton sudah lebih kritis memilah. Banyaknya reviewer independen juga berperan penting,” tutur sutradara film Susah Sinyal dan Teka-teki Tika tersebut. Harus diakui bahwa film Indonesia yang diproduksi secara asal-asalan dan hanya berorientasi pada kepentingan ekonomi belaka masih kerap disuguhkan kepada para penonton Indonesia . Film-film tersebut cenderung hanya mengikuti tren dan sensasi, bahkan tidak jarang cuma sekadar mengadaptasi dari buku-buku atau film-film asing.

Minimnya penggalian ide dan tema film secara lebih mendalam adalah faktor utama rendahnya kualitas film Indonesia, tentunya di samping aspek sinematografi dan kemampuan aktor dan aktrisnya yang ternyata juga masih banyak yang belum memuaskan. Dan entah mengapa layar sinema Indonesia masih gatal dan terus ketagihan untuk menampilkan orang-orang yang tenar karena sensasi, bukan karena kemampuan acting yang mereka miliki.

Keberhasilan yang telah berhasil direngkuh oleh Korea Selatan tentu tidak merupakan buah kerja keras para sineasnya saja, tetapi ada faktor dukungan pemerintah di dalamnya. Tumbuhnya industri perfilman Korea dimulai pada tahun 1990-an ketika era kebebasan sipil mulai dibuka. Pemerintah Korea Selatan akhirnya mulai mengalihkan fokus pemerintahannya kepada industri budaya dan hiburan ketika mendapat laporan dari Dewan Penasehat Sains dan Teknologi yang bilang pendapatan film Jurassic Park setara dengan pemasukan ekspor 1,5 juta mobil Hyundai. Pada dekade 90-an itulah Korea Selatan mulai gencar memasarkan film, drama, dan musiknya ke pasar internasional. Drama Korea macam What is Love All About akhirnya mulai tayang di televisi China pada 1997. Dua tahun berselang, film layar lebar Siri rilis di bioskop dan ditonton 5,8 juta orang di Korea Selatan dan memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang oleh Titanic. Pada 2002, Winter Sonata laku keras di Asia dan Timur Tengah. Bahkan di negara kita, drama seri ini ditayangkan ulang hingga berkali-kali. Padahal, beberapa dekade sebelumnya, mereka masih mengandalkan pendapatan negara dari sektor industri berat seperti kimia, otomotif, dan elektronika.

Keseriusan Korea Selatan mengembangkan industri perfilman, baik dari para sineasnya maupun dari pihak pemerintahnya lewat kebijakan-kebijakan yang mendukung tentu patut diacungi jempol. Harus diakui bahwa nyaris tidak ada satu pun film atau drama seri yang produksi oleh mereka secara sembarangan dan asal jadi. Semuanya dikerjakan secara detail dan teliti. Sehingga di masa sekarang Korea Selatan telah mampu mengambil posisi sebagai salah satu pemain utama dalam industri perfilman global.

Sayangnya, potensi keuntungan besar dari industri kreatif semacam film masih belum mendapat fokus yang lebih luas dari pemerintah Indonesia. Indonesia masih sangat menggantungkan diri kepada pasokan sumber daya alam sebagai pendapatan negara yang memang ketersediaannya jauh melebihi Korea Selatan. Namun, mau sampai kapan Indonesia terus mengandalkan sumber daya alam yang stoknya semakin lama tentu akan semakin berkurang. Kita berharap pemerintah juga semestinya mulai gencar mengembangkan kemampuan sumber daya manusia yang dimiliki untuk ikut mendobrak perekonomian negara. Dan salah satunya adalah lewat industri kreatif bernama film.

Ayolah, masa kita diam saja “dipecundangi” terus sama Korea yang notabene sama-sama negara bekas jajahan Jepang?

 



Lanjut baca »

Matang Karena Derita

item-thumbnail

 Oleh : Hady K Harahap




Film dokumenter berjudul “Human” yang digarap oleh Bettencourt Schueller Foundation ini mestilah jadi tontonan wajib bagi orang-orang yang masih merasa dirinya adalah “manusia”. Diproduksi pada tahun 2015, film yang telah mengantongi berbagai penghargaan ini mengusung tema mengenai orang-orang yang dikucilkan serta menjadi korban penindasan, baik secara ekonomi, sosial, bahkan politik.

Dari seluruh narasumber yang diwawancarai di film tersebut, ada satu komentar yang berhasil menarik atensiku. Opini tersebut berasal dari seorang bocah afrika yang kuperkirakan usianya belum genap 10 tahun. Dengan penuh ketegasan serta sorot mata yang dalam, bocah laki-laki  mengungkapkan bahwa dirinya sudah tahu untuk apa dirinya berada di bumi, yakni melaksanakan apa yang telah Tuhan rencanakan pada dirinya. Ia juga menambahkan bahwa di bumi ini semua orang memiliki tugasnya masing-masing.

Hatiku langsung terhenyak sekaligus bergetar bagai ditonjok begitu mendengar ucapan bocah Afrika tersebut. Berkaca  dari kondisi sosial dan ekonomi anak tersebut yang berasal dari wilayah Afrika yang bersinggungan erat dengan kemiskinan serta keterbatasan akses pendidikan, ditambah pula usianya yang masih sangat belia, ucapannya tersebut tentu saja adalah sebuah kemewahan hingga sukses menerbitkan rasa kagum di dada.

Kegetiran hidup memang kerap menjelma bagai bara api yang mematangkan mentalitas berpikir, bahkan melebihi usia yang semestinya. Begitu pula sebaliknya, kenyamanan hidup kerap membunuh daya kritis, semangat bertumbuh, serta menghambat perkembangan mentalitas. Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa sesungguhnya kenyamanan adalah musuh utama dari pertumbuhan. Aspek-aspek seperti kemampuan berpikir, ketahanan mental, serta ketangguhan seseorang dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup di masa mendatang tentu sangat dipengaruhi oleh bagaimana pola asuh yang diberikan oleh lingkungannya, terutama orang tua. Dengan kata lain, pasti akan tampak perbedaan kekokohan mental orang yang sedari kecil kerap dimanjakan dengan orang yang sedari kecil sudah terbiasa dengan kemandirian. Dari segi fisik, misalnya, pasti akan sangat berbeda  kekuatan otot dan pernapasan antara orang yang mencapai puncak gunung dengan menggendong ranselnya sendiri dengan yang mencapai puncak berkat jasa porter, diantar oleh kereta gantung atau bahkan helikopter.

Kembali ke bocah Afrika tersebut.  Kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah sebuah kejujuran yang lahir dari  penderitaan yang mengendap selama bertahun-tahun. Apa yang keluar dari mulutnya tentu tidak didikte oleh siapapun, mengingat betapa tenang dan mantapnya ia ketika mengucapkannya. Tak ada sedikit pun corak keraguan yang tergurat di rona wajahnya. Kita bisa menyimpulkan bahwa peliknya kondisi sosial dan ekonomi yang membelitnya telah mengubah dirinya bagai guru yang mendidik kemampuannya dalam memaknai dan merenungi kehidupan. Sesuatu yang belum tentu dimiliki oleh orang dewasa seperti kita, apalagi yang terbiasa di bawah ketiak papa dan mama.

Lihatlah betapa kontrasnya fenomena bocah Afrika tersebut bila dibandingkan dengan realitas  masyarakat Indonesia. Di sini, seperti yang sudah kita ketahui bahwa pola pendidikan moral kepada anak itu sudah mengalami banyak pergeseran. Anak-anak sekarang cenderung terlalu dimanjakan oleh orang tuanya. Bahkan sebisa mungkin menghalangi anaknya untuk diberikan hukuman, meskipun sudah sangat jelas kalau anak tersebut telah berbuat kesalahan, baik di dalam rumah, maupun dalam lingkup lembaga pendidikan seperti sekolah. Banyak orang tua justru tidak suka bila anaknya diberi hukuman oleh guru. Bahkan tidak segan-segan memarahi dan memaki si guru tersebut tepat di depan anaknya. Pembelaan orang tua yang salah kaprah ini tentu akan menjadi boomerang di kemudian hari. Si anak akan berkembang menjadi sosok yang arogan dan cenderung lepas tangan terhadap setiap tindak tanduknya. Pasalnya, ia menganggap akan selalu ada orang yang akan pasang badan membela setiap kesalahannya, sebesar apapun kesalahan itu.

  Kalau di zamanku sekolah dulu, orang tua malah dengan senangnya menitipkan anaknya kepada guru disekolah untuk “dihukum”. Dan bila aku mengadukannya kepada orang tuaku, maka aku harus bersiap menerima “bonus” tambahan dari mereka. Pola pengasuhan yang mereka berikan secara tidak langsung telah menjadi alarm kewaspadaan buatku. Aku jadi sadar bahwa tidak akan ada satu pun pihak yang akan melindungi setiap kesalahan yang kuperbuat. Bahkan, sebagai anak seorang TNI yang kerap mendapat “privilege” di mata hukum, aku selalu diingatkan oleh Bapakku supaya tetap menjaga sikap dan jangan sampai membuatnya malu, baik secara pribadi maupun nama institusi pemerintah yang menaunginya.

Tentu masih segar dalam ingatan kita kasus beberapa bulan lalu ketika anak seorang Dirjen Pajak terbukti mengeroyok seorang remaja hingga sekarat. Aksi bejat yang sebetulnya dipicu oleh persoalan sepele – yakni perempuan —  itu akhirnya menyeretnya ke hadapan hukum. Dan betapa kagetnya aku ketika menyaksikan pernyataan Dirjen Pajak  itu yang menyebut bahwa apa yang telah diperbuat oleh anaknya tersebut merupakan sebuah hal yang wajar sebagaimana yang biasa dilakukan oleh anak-anak muda. Terus terang saja aku merasa geli melihatnya. Anak muda “normal” macam apa yang dengan penuh suka cita mengeroyok remaja belasan tahun hingga sekarat, Pak? Anak muda “normal” macam apa yang masih bisa cengengesan di pengadilan setelah menghabisi remaja belasan tahun hingga hampir mati, Pak?” Dan hingga artikel ini selesai ditulis, kasus yang sempat menggegerkan seantor Indonesia  masih tampak berlarut-larut.

Barangkali anak Dirjen Pajak itu perlu sesekali diterjunkan ke Afrika dan berguru kepada anak-anak di sana yang jauh lebih “matang” ketimbang dirinya yang notabene berstatus seorang mahasiswa. Setidaknya itu lebih baik daripada ia terus berlenggak lenggok dengan harta orang tuanya yang agak diragukan “kemurniannya” itu. []


                                                                     ***


Hady K Harahap atau biasa dipanggil Bang Harlen adalah alumnus dari Universitas Sumatera Utara. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Tulisan-tulisannnya pernah dimuat di Kompas dan Republika. Pria yang gemar mendaki gunung ini sekarang menetap di Padang Sidimpuan







Lanjut baca »

Jurus Byakugan Cuma Milik Klan Hyuga

item-thumbnail

 Oleh : Hady K Harahap

Sumber: Narutopedia

Apa itu Byakugan? Dan penduduk negara mana pula Klan Hyuga ini?

Klan Hyuga  merupakan nama salah satu klan dalam serial anime Naruto, serial yang diadaptasi dari komik berjudul serupa itu turut mewarnai masa remajaku dan mungkin juga sebagian dari generasi milenial dan gen z yang lain, terutama para lelakinya. Sementara Byakugan adalah jurus andalan sekaligus menjadi ciri khas dari klan Hyuga. 

Dengan jurus ini, klan Hyuga dapat melihat secara detail dan teperinci objek apapun yang berada pada jarak puluhan kilometer. Byakugan adalah jurus yang memungkinkan penggunanya memiliki radar untuk mengamati dan meneliti keadaan pada radius puluhan kilometer. Dan dari semua anggota klan Hyuga, Nejilah sosok yang paling dominan dalam mahakarya komikus Masashi Kishimoto tersebut.

Hyuga Neji bukanlah pahlawan nasional, bukan pula artis, apalagi politisi yang menjelang tahun 2024 ini namanya kian melambung karena terus disanjung-sanjung, dielu-elukan, bahkan dijilat-jilat. Kemudian di lain pihak malah dicaci maki, dikutuk, bahkan dikorek-korek kotorannya. Dan bila perlu, kotoran tersebut juga mesti “dipajang” di segala penjuru mata angin agar orang lain juga turut menikmati aromanya. Syukur-syukur bisa jadi penambah nafsu makan.

Ada satu adegan ketika Neji terlibat baku-hantam dengan musuhnya seorang siluman laba-laba yang cukup membekas dan mekar di dalam benakku sampai sekarang. Sebuah adegan yang menunjukkan betapa Byakugan yang seolah-olah begitu digjaya, rupanya tak sesempurna yang dibayangkan. Hingga kemudian adegan tersebut boleh kukatakan memberi hikmah tersendiri bagiku hingga kujadikan sebagai sebagai objek kontemplasi.

Singkat cerita, Siluman laba-laba tersebut mulai kewalahan karena setiap anak panah yang ia lesatkan pada akhirnya selalu dapat ditepis oleh Neji. Tentu saja ini berkat jurus byakugan yang dimikinya, sehingga membuatnya mampu menangkis semua serangan dari segala arah. Akan tetapi, berkat kejelian yang dipadu dengan semangat pantang mundurnya, siluman laba-laba itu akhirnya menemukan kelemahan dari Hyuga Neji. Yakni sebuah titik buta yang terletak persis di bagian tengkuk dari Neji. 

Titik buta yang rupanya tidak dapat dijangkau oleh kemampuan byakugan. Sebuah anak panah kemudian meluncur deras ke arah tengkuk Neji. Anak panah yang tentunya tidak dapat terdeteksi kemunculannya sehingga akhirnya Neji ambruk ke atas tanah dan keadaan pun berbalik. Pada saat itu siluman laba-labalah yang menguasai jalannya pertarungan.

Jadi, di mana letak objek kontemplasinya?

Dengan jurus byakugan yang dikuasainya, sosok Neji tampak mustahil untuk dikalahkan karena seluruh serangan yang dialamatkan padanya selalu berhasil dipatahkan. Setidaknya inilah asumsi yang kupedang selama menyaksikan pertarungan mereka berdua. Namun, rupanya Masashi Kishimoto selaku pengarang telah tampak menampik bahwa kesempurnaan itu hanyalah omong kosong. Melalui pertarungan tersebut, ia menunjukkan bahwa sehebat-hebatnya kemampuan byakugan dalam membaca dan meneliti keadaan sekitar, tetap saja ia menyembunyikan sebutir kelemahan.

Lantas bila kita menarik fenomena tersebut ke dalam realitas sosial masyarakat kita yang berada di tengah serbuan arus informasi yang demikian deras. Maka dapat kukatakan bahwa mayoritas dari kita, entah disadari atau tidak, sedang berupaya mengaktifkan kemampuan byakugannya dan masuk dalam kartu keluarga klan hyuga.

Apakah ini salah? Tentu saja tidak. Sebagai rakyat kita harus tetap mampu membaca situasi dan peka terhadap gejala-gejala sosial yang terjadi. Kita tidak boleh menjadi masyarakat yang apatis dan beku yang berpaling dari persoalan-persoalan yang tumbuh subur di samping kiri dan kanan kita. Kita mesti tetap merawat daya kritis dan kemampuan dalam menggugat realitas-realitas yang bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah kita sepakati sebagai bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Setidaknya begitulah idealnya.

Namun, gejala-gejala yang menyeruak pada realitas masyarakat kita justru melenceng dari apa yang seharusnya. Lebih tepatnya malah bergerak menembus batas yang sewajarnya. Jadi salah masuk kamar hingga kemudian yang ditiduri malah istri orang. Dan akhirnya keduanya saling bertikai karena masing-masing bersikeras bahwa yang ditidurinya adalah istrinya sendiri.

Lihatlah betapa kita sepertinya kesulitan dalam menemukan titik batas dalam melangkah. Ketika persoalan agama sedang menjadi topik perbincangan panas, semua orang menjadi ulama dadakan. Berbekal potongan-potongan dalil yang hanya dipungut di media sosial, tanpa diminta kita cenderung gatal untuk selalu  berkomentar. Malah secara membabi-buta menyerang ulama-ulama yang sesungguhnya jauh lebih kokoh pondasi keilmuan serta pengalamannya. Dan bila dibandingkan dengan kita tentu ibarat surga neraka.

Coba kita perhatikan, berkat sosial media, semua orang bisa menjadi pakar kesehatan melebihi pakar kesehatan itu sendiri. Berkat sosial media, semua orang bisa menjadi pengamat politik, bahkan lebih menguasai politik ketimbang politisi itu sendiri. Berkat sosial media, orang-orang jadi mengetahui peristiwa-peristiwa yang berkecamuk di luar daerah, misalnya di Jakarta, Papua, Aceh, Bali, dan daerah-daerah lain, bahkan lebih memahaminya ketimbang penduduk yang tinggal bertahun-bertahun di daerah tersebut. Dan seterusnya dan seterusnya…

Lihatlah betapa kedua bola mata kita sekarang tidak lagi hanya mampu memandang lurus depan. Pada saat yang bersamaan mereka juga mampu berbelok dan memandang luas ke arah kiri dan kanan. Mampu bergeser ke atas untuk mengawasi kalau saja ada burung yang berak tepat di atas kepala. Mampu berbalik ke belakang untuk mengamati kalau saja ada kawan yang mencoba menikung pasangan kita. Selain itu, kedua bola mata kita sekarang telah mampu menerawang apa saja peristiwa yang terjadi di dalam tanah. Mampu menghitung dengan pasti jumlah cacing yang menggeliat di sana. Mampu mendeteksi berapa banyak bebatuan dan logam mulia yang tertimbun di sana. Bahkan mampu melihat dengan jelas adegan interogasi yang digelar oleh Munkar dan Nakir kepada semua mayat yang tergeletak di sana. Lihatlah betapa masyarakat kita telah mengetahui semua hal yang ada di dunia.

Terus terang aku sendiri bingung apakah harus bergembira atau sedih melihatnya. Aku takut nasib kita seperti Hyuga Neji yang babak belur sejak titik butanya diketahui oleh Siluman laba-laba.


Lanjut baca »

Gubernur Sumut dan Inflasi yang Tinggi dan Terus Meninggi

item-thumbnail

Penulis: Budi HateesPeneliti Institute Pustaha


Angka inflasi Sumatra Utara pada Februari 2023 sebesar 5,88% YoY, atau lebih tinggi dari angka inflasi nasional yang hanya 5,47% YoY. 

Sejak Biro Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia mengumumkan angka inflasi Februari 2023,  Gubernur Sumatra Utara, Eddy Rahmayadi,  mengaku pusing dihadapkan pada angka inflasi Feberuari 2023 yang mencapai 5,88%, sementara target inflasi daerah untuk tahun ini ditaksir hanya sampai angka 3%.  Tingginya inflasi Feberuari 2023 ini  didorong tingginya harga sejumlah komoditas pangan, dan ongkos transportasi. 

"Saya tak bisa tidur nyenyak memikirkan inflasi ini," kata Gubernur Eddy  kepada para pengusaha Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumatra Utara,  saat pidato dalam acara pengukuhan Pengurus Kadin Sumut periode 2022-2027, beberapa waktu lalu.  Kemudian dia meminta agar para pengusaha Kadin di seluruh Sumatra Utara ikut mengatasi persoalan inflasi ini.

Tingginya harga komoditas pangan inilah yang membuat pusing Gubernur Eddy,  padahal  tingkat produksi komoditas pangan di Provinsi Sumut sangat tinggi dan ketersediaan barang mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Kondisi ini dikhawatirkan Gubernur Eddy akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Gubernur Eddy jadi khawatir, inflasi pada Maret 2023 tidak akan terkendali mengingat masyarakat sedang menghadapi bulan puasa Ramadan dan Idulfitri. Dua hari besar ummat Islam ini acap memicu kenaikan harga komoditas pangan karena tingkat permintaan pasar sangat tinggi.

"Kenaikan inflasi harus dicarikan solusinya agar masyarakat tidak kesulitan di bulan Ramadan dan Idulfitri," kata Gubernur Eddy seusai Pertemuan Level Tinggi TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) Pemda Provinsi  Sumatra Utara di Aula Tengku Rizal Nurdin, Jalan Sudirman Nomor 41, Medan, Kamis, 9 Maret 2023 lalu.

Berbicara dalam forum TPID Provinsi Sumatra Utara yang dihadiri para Bupati dan Wali Kota se-Sumut, kentara kalau Gubernur Eddy sangat mengkhawatirkan tingginya inflasi.  Sebab itu, Gubernur Eddy meminta semua pihak ikut berperan dalam rangka pengendalian inflasi di daerah. 

Artinya, Gubernur Eddy menegaskan kembali pentingnya menjalin sinergi pusat - daerah untuk menjaga ketersediaan suplai komoditas pangan agar harga stabil dan daya beli masyarakat tidak terganggu. Bukankah strategi seperti itu dalam mengendalian inflasi sudah dicobausahakan oleh pemerintah daerah di Provinsi Sumut. Bahkan, pemerintah daerah yang ada di kota-kota yang menjadi indikator mengukur tingkat inflasi, sudah menempuh jalan yang lebih populis dengan menggelar pasar murah.  

Pemda Kota Padang Sidimpuan, misalnya, menggelar operasi pasar murah kebutuhan pokok, namun inflasi di Kota Padang Sidimpuan tetap saja tinggi.  Pasalnya, karakteistik inflasi di Kota Padang Sidimpuan lebih banyak disebabkan oleh faktor penawaran yang bersifat kejutan (schock) dan bersifat sementara (temporer). 

Posisi Kota Padang Sidimpuan sebagai daerah perlintasan yang hanya sebentar disinggahi, rentan terhadap terjadinya kejutan-kejutan dari sisi penawaran. Otoritas Bank Indonesia sendiri memiliki keterbatasan untuk mengendalikan apabila terjadi kejutan yang sangat besar seperti akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa bulan lalu.

Begitu juga halnya dengan pemerintah daerah di Kota Medan, Kota Siantar, dan Kota Sibolga.  Upaya yang dilakukan untuk mengendalikan inflasi sudah banyak. Bahkan, koordinasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terus terjalin dan semua arahan dan kebijakan yang dibuat kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tapi, inflasi tetap tinggi di daerah hingga melampaui tingkat inflasi nasional. 

Inflasi tahunan Sumut bulan Februari 2023 sebesar 5,88% YoY, atau jauh lebih tinggi dibandikan inflasi nasional sebsar 5,47 % YoY.  BI menilai inflasi Sumut masih terkendali karena lebih rendah dibandingkat inflasi  Januari 2023.  Persoalannya, Pemda Sumut menetapkan target inflasi 2023 sama seperti target inflasi nasional, sebesar 3,0% YoY.  Target itu tidak akan tercapai jika kebijakan yang dijalankan kurang mempertimbangkan faktor dinamika perekonomian di daerah. 

Tingginya inflasi Sumut pada Feberuari 2023, yang terjadi justru pada saat pasokan barang sangat baik dan produksi sangat tinggi, seakan-akan mengingatkan bahwa ada yang keliru dari hukum ekonomi Adam Smit terkait supplay and demand.  

Namun, dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nation (1776), Smith juga mengemukakan pentingnya kekuatan tangan tak terlihat (invisible hand) dalam mengendalikan pasar, yakni campur tangan pemerintah untuk mengupayakan mekanisme pasar menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien. 

Sudah umum diketahui, pasar tidak selalu bekerja dengan baik. Pada praktiknya, pasar menghasilkan lebih banyak menghasilkan sampah, polusi udara, keculasan-keculasan, premanisme. Tetapi pasar terlalu sedikit menghasilkan hal-hal yang berkaitan dengan barang publik. Sebab itu, seperti saran dari Joseph E. Stiglitz, ahli ekonomi mikro yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS pada masa pemerintahan Bill Clinton (1995-1997),  pemerintah harus turut menjadi pemain di dalam pasar, terlebih lagi bagi negara berkembang yang perekenomiannya tergolong volatile.

Dalam kasus inflasi Sumatra Utara, pemerintah sebagai the invisible hand bukan tidak campur tangan, melainkan sudah sangat jauh terlibat. Sejak wabah Corona,  untuk mengantisipasi terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terdampat virus akibat kebijakan pembatasan sosial berskla besar,  pemerintah melakukan intervensi melalui pos pendapatan negara.  Tujuannya, tak lain untuk mengendalikan inflasi.

Misalnya, pemerintah memberlakukan berbagai insentif perpajakan untuk merespon perlambatan ekonomi yang terjadi, yang ditujukan kepada Badan Usaha, UMKM dan bahkan karyawan untuk sektor tertentu. Insentif perpajakan tersebut meliputi PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, dan lain-lain yang tertuang dalam PMK-23/PMK.03/2020 dan PMK-44/PMK.03/2020. 

Dengan adanya insentif tersebut, pemerintah memberi sinyal terjadinya  penurunan target penerimaan pajak sebagaimana telah diundangkan dalam Perpres 72 Tahun 2020, yang semula Rp1.866 T menjadi Rp1.404 T. Penurunan ini merupakan sinyal dari pemerintah untuk memberi ruang gerak bagi perkembangan bisnis. Dari sisi produsen, langkah pemerintah ini akan memberi ruang fiskal (net income/EBT) yang lebih luas bagi korporat untuk berekspansi.  Di lain pihak, bagi konsumen, pengurangan target pajak akan memberi sinyal peningkatan daya beli mereka pada tahun berjalan.

Intervensi lain dari pemerintah, melalui pos belanja negara dengan menganggarkan dana besar untuk bantuan bidang kesehatan dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Bahkan, pemerintah melakukan percepatan pembayaran gaji ke-13, memberikan bantuan kepada karyawan swasta, juga memperbanyak pos-pos bantuan sosial. 

Namun, intervensi hanya dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengekor seakan-akan semua strategi pengendalian inflasi cocok terhadap semua daerah. Padahal, daerah Sumatra Utara memiliki karakteristik perekonomian yang berbeda dengan daerah lain, terutama karena kualitas infrastruktur di Provinsi Sumatra Utara kurang mendukung bagi lancarnya proses distribusi sehingga acap mengganggu pasokan.  

Buruknya infrastruktur dari sejumlah kabupaten/kota menuju Kota Medan, atau sebaliknya natara kota-kota di Provinsi Sumatra Utara, menjadi salah satu penyebab meningkatnya biaya transportasi. Belum lagi faktor lain yang tak diperhitungkan seperti kasus-kasus premanisme yang acap menimpa para sopir truk distribusi bahan-bahan pangan. Selain itu, sudah sering kita dengar, para pengusaha (swasta) yang menjadi pelaku dalam pasar bahan pangan, acap terjerat kasus penimbunan bahan pangan byang justru mendapat perlindungan dari penegak hukum. 

Ekonomi mikro di Sumatra Utara penuh dengan kejutan-kejutan pada sektor permintaan maupun penawaran, sehingga inflasi agak sulit untuk dikendalikan. 

 


Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda