.

Singkirkan Perusahaan Perusak Hutan dari Lingkungan Masyarakat di Tapanuli Selatan

item-thumbnail
Delima Silalahi

Delima Silalahi, aktivis lingkungan hidup menerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2023, mengunjungi lokasi budidaya ekaliptus PT Toba Pulp Lestari di Dusun Aek Latong dan Dusun Padang Bulan, keduanya di Desa Marsada, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, pada Jumat, 26 Mei 2023 lalu. 

Bersama rombongan aktivis lingkungan yang tergabung dalam Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM). KSPPM bersama ALiansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak sukses membantu mendapatkan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat milik enam kelompok masyarakat adat di Tano Batak--empat diantaranya mendapatkan Surat Keputusan (SK) Hutan Adat dan dua merupakan SK Pencadangan Hutan. 

Delima Silalahi sengaja datang karena mendengar lokasi budidaya ekaliptus PT Toba Pulp Lestari berada di kawasan Hutan Batangtoru, satu-satunya habitat Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) di dunia.  

"Setelah merusak kawasan hutan Danau Toba, kini perusahaan itu sedang berusaha menghancurkan habitat Orangutan Tapanuli," kata Delima Silalahi yang juga Direktur Eksekutif KSPPM. 

Didampingi Budi Hutasuhut dari Sinar Tabagsel, Delima Silalahi bersama rombongan menyaksikan langsung bagaimana areal kawasan Hutan Batangtoru Blok Timur habitat Orangutan Tapanuli itu diubah menjadi lahan bertangga-tangga, dan tanaman ekaliptus telah tumbuh setinggi semeter.  Perubahan permukaan tanah menghilangkan sumbver-sumber mata air dan mematikan sejumlah anak sungai yang merupakan hulu dari Aek Sagala, sungai yang menjadi sumber air bersih serta sumber pengairan sawah irigasi di Kecamatan Sipirok yang merupakan salah satu sentra padi d8i Kabupaten Tapanuli Selatan.

"Masyarakat harus memahami dampak buruk deforestrasi bagi kehidupan mereka," kata Delima Silalahi mengawali percakapan dengan Budi Hutasuhut dari Sinar Tabagsel.

Berikut hasil percakapan Sinar Tabagsel dengan Dalima Silalahi, alumni Pascasarjana Sosiologi dari Universitas Gajah Mada (UGM). Aktivis lingkungan yang pernah terlibat dalam aksi jalan kaki dari Provinsi SUmatra Utara ke Istana Presiden di Jakarta untuk menolak keberadaan PT Toba Pulp Lestari di lingkungan masyarakat Toba ini, membicarakan isu lingkungan hidup di Kabupaten Tapanuli Selatan, salah satu daerah yang kawasan hutannya termasuk terbaik di Provinsi Sumatra Utara.  

Sinar Tabagsel: Anda baru saja menerima penghargaan Goldman Environmental Prize 2023 karena dedikasi Anda melindungi hutan adat di Sumatera Utara dari aksi perampasan besar-besaran untuk kepentingan industri bubur kertas (pulp) dan serat rayon. Apakah keberhasilan masyarakat adat di Toba menolak aksi perusakan hutan oleh PT Toba Pulp Lestari bisa diulangi di Kabupaten Tapanuli Selatan.

Delima Silalahi: Belasan tahun saya mendampingi warga perdesaan di tepi Danau Toba, Sumatera Utara, agar mereka  mendapatkan hak atas tanahnya. Saya tidak sendirian, tetapi ada jaringan Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), juga berbagai lembawa swadaya masyarakat, masyarakat umum, dan para aktivis lingkungan  yang terlibat dalam gerakan ini. Isu "Tolak TPL di Toba" disambut oleh banyak lapisan masyarakat karena keberadaan perusahaan pulp dan serat rayon ini sangat merugikan masyarakat. Selain mereka mengambil alih lahan-lahan adat, merusak tatanan adat dan warisan budaya yang ada di masyarakat lokal, juga menyebabkan deforestrasi kawasan hutan hingga beresiko terjadi penurunan debit air Danau Toba yang merupakan salah satu keajaiban dunia. 

Bagaimana Anda memulai semua gerakan ini?

Pendampingan pengakuan atas tanah dimulai pada Juni 2009 saat masyarakat Desa Pandumaan dan Sipituhuta di Humbang Hasundutan menuntut haknya atas lahan kemenyan di hutan yang kemudian ternyata merupakan kawasan hak pengelolaan hutan perusahaan pulp di Toba. Padahal warga telah mengusahaan tanaman kemenyan itu bergenerasi.

Rangkaian demonstrasi warga dan amuk massa karena perusakan lahan kemenyan masyarakat oleh perusahaan membuat delapan warga ditangkap dan lima orang masuk daftar pencarian saat itu. Puncaknya pada Februari 2013 sebanyak 36 orang ditahan oleh polisi. Terakhir 16 orang ditahan dan sisanya dilepas. Meskipun tekanan terus mendera, warga bersikukuh hutan kemenyan harus dikembalikan ke mereka karena itu warisan nenek moyang. Akhirnya, semua usaha membawa hasil. Pada 2016, Presiden Joko Widodo menyerahkan SK Pencadangan Hutan untuk warga.

Delima Silalahi (ke-4 dari kiri) mengunjungi lokasi perambahan dan penebangan Hutan Batangtoru Blok Timur di Dusun Aek Latong, Desa Marsada, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan, Jumat, 25 Mei 2023. Hutan Batangtoru merupakan habitat satwa endemik, Orangutan Tapanuli.

Sekaitan perihal isu lingkungan di Kabupaten Tapanuli Selatan, apa yang Anda dengar selama ini tentang kabupaten ini?

Selama saya berada di Amerika Serikat dalam rangka penerimaan Goldman Environmental Prize, kawan-kawan aktivis lingkungan selalu bertanya tentang Orangutan Tapanuli dan Hutan Batangtoru. Dua hal ini selalu mendapat perhatian lebih besar dibandingkan isu lingkungan yang ada di daerah lain. Pengetahuan saya tentang dua hal itu tidak seberapa, tapi kemudian saya mendengar kabar tentang PT Toba Pulp Lestari yang melakukan perusakan dan pembabatan kawasan Hutan Batangtoru yang merupakan habitat Orangutan Tapanuli. 

Berita ini membuat saya tersentak? Kenapa sampai terjadi pembiaran di Kabupaten Tapanuli Selatan. Semestinya, pemerintah daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan mensyukuri bahwa daerah ini masih memiliki kawasan hutan yang menjadi perhatian dunia, yakni Hutan Batangtoru. Bayangan orang tentang Hutan Batangtoru adalah hutan asli yang lebat, membuat Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi satu-satunya daerah di Provinsi Sumatra Utara yang kawasan hutannya sangat terjaga. 

Ditambah lagi keberadaan Orangutan Tapanuli sebagai hewan endemik di Hutan Batangtoru, banyak aktivis lingkungan di luar negeri yang tergerak untuk datang guna menjaga kelestariannya. Tapi, fakta yang terjadi di Kabupaten Tapanuli Selatan, ternyata kawasan Hutan Batangtoru yang merupakan habitat Orangutan Tapanuli itu sudah mengalami deforestrasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan. Apalagi kami mendengar salah satu pelaku deforestrasi adalah PT Toba Pulp Lestari.

Apa sebetulnya yang Anda harapkan dengan mengunjungi lokasi deforestrasi Hutan Batangtoru yang merupakan habitat Orangutan Tapanuli oleh PT Toba Pulp Lestari ini?

Kami dengar ada banyak aktivis lingkungan yang tergabung dalam non-goverment organization lokal maupun internasional yang berkutat dalam isu Hutan Batangtoru dan Orangutan Tapanuli. Tapi, kami heran kenapa isu deforestrasi Hutan Batangtoru oleh PT Toba Pulp Lestari untuk areal budidaya ekaliptus terkesan adem dan dibiarkan. Padahal, deforestrasi ini sudah terjadi sejak 2020 dan seharusnya pemerintah daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan sudah mengetahui persoalan ini.

Bukankah pemerintah daerah di mana-mana tak mau tahu persoalan hutan karena urusan hutan bukan lagi menjadi persoalan pemerintah kabupaten/kota?

Pemahaman seperti ini sangat keliru. Pemilik hutan sebetulnya adalah pemerintah daerah di kabupaten/kota. Jika kawasan hutan mengalami deforestrasi, yang dirugikan adalah masyarakat di kabupaetn/kota bersangkutan. Sebagai pemilik hutan, pemerintah daerah di kabupaten/kota punya hak untuk menjaga kelestarian lingkungan hutannya, setidaknya agar masyarakatnya tidak dirugikan.

Masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan tidak punya irisan dengan hutan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika hutan ditebangi perusahaan,masyarakat merasa hal itu bukan persoalan mereka. 

Masyarakat harus memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kelestarian hutan Rusaknya kawasan hutan berdampaki langsung terhadap kehidupan masyarakat. Saat ini terjadi pemanasan global akibat deforestrasi di mana-mana. Dampak lain, terjadi banjir. Bahkan, deforestrasi bisa menyebabkan matinya aliran sungai yang menjadi sumber mata air bersih atau pengairan bagi sawah irigasi yang menjadi mata pencaharian masyarakat. Cepat atau lambat, deforestrasi akan meruskan tatanan sosial masyarakat di sekitarnya.

Apa yang seharusnya dilakukan masyarakat untuk mencegah deforestrasi kawasan hutan oleh PT Toba Pulp Lestari? Masyarakat cenderung takut berhadap-hadapan langsung dengan perusahaan?

Tidak semua masyarakat seperti itu. Kami juga awalnya menduga masyarakat tak punya keberanian, atau masyarakat tak mau tahu soal deforestrasi kawasan hutan oleh PT Toba Pulp Lestari. Kenyataannya, masyarakat mengeluhkan dampaknya tetapi mereka tidk punya saluran resmi untuk menyampaikan keluhannya. 

Saya kira, di lingkungan masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan ada banyak yang mengeluhkan deforestrasi yang dilakukan PT Toba Pulp Lestari, tetapi sesama masyarakat saling menakut-nakuti akibat tidak adanya pihak lain yang mau mengadvokasi masyarakat. Artinya, masyarakat harus terus diingatkan bahwa deforestrasi itu bukan hanya berdampak jangka pendek, tetapi juga berdampak jangka panjang. Pada akhirnya, masyarakat yang akan dirugikan dalam banyak hal. Mulai dari penguasaan lahan sampai pada dampak kekeringan.

Untuk meyakinkan masyarakat, bukan pekerjaan yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Pengetahuan mereka tentang lingkungan harus selalu ditingkatkan. Pemahaman mereka tentang hak-hak masyarakat harus diperbaharui. 

Dalam kasus deforestrasi Hutan Batangtoru Blok Timur oleh PT Toba Pulp Lestari ini, kami mencatat keluhan muncul dari masyarakat yang lahannya direbut PT Toba Pulp Lestari untuk budidaya ekaliptus setelah membenturkan kelompok tani dengan pemilik lahan?

Itu pola yang biasa dilakukan PT Toba Pulp Lestari. Mereka mengadu masyarakat dan membangu nkesan seolah-olah mereka tidak terlibat di dalamnya. Setelah sesama masyarakat saling beradu, PT Toba Pulp Lestari akan muncul sebagai pengelolalahan untuk budidaya ekaliptus. Kami dengar di Kabaupaten Tapanuli Selatan ini PT Toba Pulp Lestari memanfaatkan kelompok tani sebagai pihak yang berhadap-hadapan dengan petani pemilik lahan. Persoalan seperti ini harus diluruskan. Setiap orang harus memahami, penguasaan atas lahan itu diatur dengan peraturan perundang-undnagan yang berlaku. Yang jelas, masyarakat jangan mau diadu domba. 

Yang terpenting, masyarakat harus bersatu. Perusahaan perusak hutan harus disingkirkan dari lingkungan kita. 

Lanjut baca »

Rusydi Nasution, Ekonomi Padang Sidimpuan Ditopang Perdagangan

item-thumbnail

Rusydi Nasution kelahiran Pasar Siborang, Kota Padang Sidimpuan, pada 5 Mei 1973, menghabiskan sebagian besar waktunya sebagai perantau di luar kota kelahirannya. Pelaku usaha di sektor perbankan ini, yang telah mengenyam runyamnya bisnis perbankan nasional,  sejak Pemilu 2019 lalu terpilih menjadi Wakil Ketua DPRD Kota Padang Sidimpuan dari Fraksi Partai Gerinda. 

Sebagai wakil rakyat di Kota Padang Sidimpuan,  anak dari pasangan H. Hasan Nasution - Hj. Zuraidah Nasution ini mengakui,  keluarganya masih di Jakarta sehingga fokusnya menjadi terbelah antara mengurus keluarga di Jakarta dengan mengurus masyarakat konstituen di Padang Sidimpuan. "Tahun ini saya akan pindah dan bawa keluarga ke Kota Padang Sidimpuan supaya lebih fokus memikirkan masyarakat konstituen," kata Rusydi Nasution kepada Budi Hutasuhut dari Sinar Tabagsel.

Bertemu di rumah Rusydi Nasution pada Minggu pagi, 12 Maret 2023, Sinar Tabgsel mengajaknya kombur (berbincang-bincang) tentang perspektifnya sebagai wakil rakyat di DPRD Kota Padang Sidimpuan, tentang penduduk asli Padang Sidimpuan yang lama merantau, dan kapasitasnya selaku pebisnis dalam melihat masa depan Kota Padang Sidimpuan. 

Berikut hasil kombur dengan Rusydi Nasution dituliskan oleh Budi Hutasuhut.

Sinar Tabagsel: Anda kelahiran Padang Sidimpuan, tapi lama meninggalkan kota kelahiran Anda. Lalu Anda pulang dan menjadi Wakil Ketua DPRD Kota Padang Sidimpuan. Tentunya Anda punya ekspektasi tertentu tentang Kota Padang Sidimpuan ini.

Saudara-saudara saya ada di sini. Keluarga besar saya ada di sini. Kota Padang Sidimpuan ini banyak melahirkan orang-orang besar, tetapi sayang kota ini tidak berkembang sebagaimana ekspektasi semua orang. Ini sebuah kota kecil, dalam sehari bisa ditelusuri dari ujung ke ujungnya, dan semua masyarakatnya saling mengenali antara satu dengan lainnya. Mestinya kota ini bisa lebih berkembang dari kondisi saat ini.

Kami pikir, kondisi Kota Padang Sidimpuan seperti ini  sudah berlangsung sejak lama, sejak menjadi daerah otonomi sudah tampak tidak ada peluang untuk berkembang lebih pesat.  Bukankah para pejabat pengambil kebijakan selalu mempersoalkan minimnya sumber daya alam di kota ini sehingga sulit mengembangkannya?

Ini harus diakui, sumber daya alam memang minim.  Tapi, kita bisa menciptakan alternatif dengan melakukan banyak inovasi untuk mengatasi minimnya sumber daya alam. Memang bukan pekerjaan yang mudah dan bisa langsung dinikmati. Ini pekerjaan sulit, tapi segala sesuatu harus berdasarkan data. Apa yang menjadi persoalan sesungguhnya di Kota Padang Sidimpuan dan apa keunggulan sebenarnya. Semua data kan sudah ada, hanya tinggal menganalisis dan mencari solusi dan menciptakan inovasi.

Tidak semua orang mengetahui data yang dimaksud. 

Kita ambil contoh dalam survei-survei ekonomi yang dilakukan lembaga seperti Biro Pusat Statistik atau Bank Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi di Kota Padang Sidimpuan. Jika dilihat dari Pendapatan Regional Domestik Bruto (PDRB) Kota Padang Sidimpuan setiap tahun, apalagi dalam beberapa tahun terakhir, sektor usaha yang besar kontribusinya untuk pertumbuhan ekonomi adalah sektor perdagangan, jasa, pertanian, pendidikan, dan lain sebagainya. Hasil kajian itu penting sebagai pijakan awal untuk merumuskan strategi pembangunan daerah yang mampu mendorong agar sektor perdagangan dan jasa, misalnya, bisa lebih besar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.  

Sebagai contoh, kita tak melihat ada peluang kerja baru di Kota Padang Sidimpuan ini. Fenomena yang selalu tampak, tiap tahun ada orang yang pensiun sebagai tenaga kerja, kemudian ada upaya mencari penggantinya. Di luar tradisi tahunan itu, tidak ada kita dengar perekrutan tenaga kerja secara besar-besaran untuk mengatasi masalah tingginya jumlah lulusan sarjana.  Generasi muda lulusan perguruan tinggi kita, begitu lulus malah berpikir untuk meninggalkan Kota Padang Sidimpuan untuk mencari pekerjaan. Yang terjadi, sebuah tradisi yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Sarjana lulus dari perguruan tinggi di Kota Padang Sidimpuan ini berlimpah, dan kondisi ini seharusnya diimbangi dengan menciptakan peluang-peluang pekerjaan baru. 

Bukankah hal seperti ini menjadi domain pemerintah bersama legislatif untuk menyelesaikannya. Masyarakat sendiri sebetulnya sudah banyak berbuat. Sebagian besar unit usaha yang ada di Kota Padang Sidimpuan hari ini, baik yang sektor usaha mikro sampai usaha kecil dan menengah (UMKM), yang banyak menyerap tenaga kerja, bisa dibilang tumbuh dengan sendirinya tanpa fasilitas dari pemerintah daerah. 

Inilah yang sering menjadi persoalan, terutama terkait dengan regulasi dan kebijakan. Segala program kerja pemerintah daerah mengandalkan instrumen pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang nilainya sangat sedikit. APBD kita sangat minim. Selain itu, dalam kebijakan penganggaran, regulasi dari pemerintah pusat sudah jelas. Fiskal kita sangat rendah karena adanya pembatasan.  Misalnya, regulasi yang mengatur anggaran 20% dari APBD harus dialokasikan untuk pendidikan, 15% untuk kesehatan, dan lain sebagainya. Sisanya setelah kewajiban penganggaran itu  justru membuat pemerintah daerah tidak bisa berinovasi, sehingga instrumen APBD itu dikerjakan apa adanya. 

Legislatif kan punya wewenang untuk mengubahnya. Saat pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tiap tahun, bukankah DPRD Kota Padang Sidimpuan punya hak untuk mengintervensi pembiayaan program-program kerja pemerintah daerah. 

Secara undang-undang legislatif punya hak. Persoalannya bukan soal hak. Persoalan yang terjadi, DPRD Kota Padang Sidimpuan sendiri sering kesulitan sumber data. Saat membahas Rencana APBD setiap tahun, data yang diberikan oleh pemerintah daerah hanya berupa teks Rencana APBD yang begitu global. Dalam peraturan daerah (Perda) tentang APBD, misalnya, yang disampaikan hanya hitungan global tentang pendapatan dan belanja dalam setahun. 

Mestinya, legislatif saat membahasa Rencana APBD, membicarakan tentang detail setiap kegiatan yang dilakukan pemerintah daerah selama satu tahun anggaran yang mengandalkan instrumen pembiayaan APBD.  Semua dokumen tentang Rencana APBD itu seharusnya diserahkan pemerintah daerah kepada legislatif, mulai dari rencana kerja pemerintah daerah per organisasi pemerintah daerah (OPD) sampai rencana anggaran pembiayaannya (RAB). Dengan membahas alokasi anggaran pada tiap program kerja, legislatif akan bisa mengukur subtansi tiap program, sehingga kita bisa mengetahui kebermanfaatan (out come) setiap program tersebut. 

Selama ini, pemerintah daerah hanya memberikan data berupa Rencana APBD, dan legislatif disuruh membahasnya agar disetujui menjadi Perda APBD.  Cara seperti ini tidak akan berkualitas, karena yang diharapkan pemerintah daerah dari program yang dibiayai APBD itu bukan kebermanfaatan tetapi hasil akhirnya. Misalnya, program membangun infrastruktur jalan tidak lagi dilihat apakah manfaat jalan itu bagi masyarakat atau bagi pengembangan perekonomian daerah. Yang dilihat justru aspek bahwa Kota Padang Sidimpuan sudah membangun jalan dan itu berarti sudah melakukan pembangunan.

Seharusnya DPRD Kota Padang Sidimpuan menolak membahas Rencana APBD jika data yang diberikan pemerintah daerah sangat minim. Lalu, kenapa legislatif justru tetap mengesahkan APBD Kota Padang Sidimpuan setiap tahun meskipun tidak mendapatkan data yang berisi subtansi APBD itu? 

Inilah persoalannya. Kita berhadapan dengan dilema. APBD itu kan urat nadi pembangunan daerah. Jika DPRD menolak membahas dengan alasan tidak ada data atau informasi yang diberikan pemerintah daerah, APBD akan tertunda. Pada akhirnya, itu justru akan merugikan masyarakat. Daripada merugikan masyarakat, kita terima saja budaya yang sudah terbangun itu. 

Jangan-jangan wakil rakyat juga menyukai situasi seperti itu. Sudah menjadi pendapat umum, bukankah wakil rakyat juga menjadikan momentum pembahasan Rencana APBD itu untuk bersikap pragmatis. 

Kita tidak bisa menggeneralisasi seperti itu.  Semua orang pada akhirnya akan pragmatis jika situasi dan kondisi yang ada tidak berjalan sebagaimana peraturan perundang-undangan yang ada.  Sebab itu, seharusnya semua pihak berusaha untuk menjalan segala sesuatu sebagaiman peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masyarakat juga mengetahui peraturan perundang-undangan, mereka melihat apakah pemerintah dan legislatif menjalankan peraturan yang ada atau tidak. Jika tidak, bukan hal yang aneh bila masyarakat kehilangan kepercayaannya.

Hal seperti ini kan bisa diperbaiki.  Bagaimana komitmen DPRD Kota Padang Sidimpuan sendiri untuk memperbaiki kondisi seperti ini.

Sebagai bagian dari unsur pimpinan di DPRD Kota Padang Sidimpuan, kami juga resah dengan kondisi seperti ini. Apapun yang akan dilakukan, orang-orang sudah terbiasa berpikir pragmatis. Mereka hanya bertanya apa untung bagi dirinya, dan tidak berpikir jauh ke depan. Kita juga memaklumi kondisi ini. Misalnya kawan-kawan di DPRD Kota Padang Sidimpuan. Mereka sudah banyak mengeluarkan biaya untuk bisa menjadi wakil rakyat, sementara penghasilan seorang wakil rakyat kan tidak seberapa. Kita memakluminya. Tapi, setidaknya, tidak semua hal harus dilihat dari aspek pragmatis. Ada hal yang harus memikirkan jauh ke depan, terutama terkait bagaimana meningkatkan pembangunan di Kota Padang Sidimpuan.

Apakah ini berarti Kota Padang Sidimpuan ini menghadapi persoalan sumber daya manusia. Masyarakat juga melihat, dinamika pembangunan daerah yang terkesan stagnan di Kota Padang Sidimpuan ini dampak dari belum memadainya kualitas aparatur pemerintah daerah sekaligus wakil rakyat di DPRD Kota Padang Sidimpuan.

Semuanya tergantung masyarakat sendiri. Masyarakat kita harus mulai memilih wakil rakyat yang mampu memperjuangkan kepentingan mereka. Untuk eksekutif, juga tergantung masyarakat. Apakah pilihan masyarakat terhadap Kepala Daerah memang didasarkan pada program-priogram kerja atau hanya kepentingan pragmatis. 

Kita harus mengakui, masyarakat sangat pragmatis. Ini akan sangat menyulitkan dalam menggerakkan roda pembangunan daerah. Apapun yang dilakukan, masyarakat selalu akan bertanya apa keuntungannya dalam waktu singkat. Pembangunan tidak seperti itu, tidak untuk sesuatu yang instant, tetapi sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak dan untuk masa depan. 

Semua ini kan bisa dibenahi. Yang penting ada komitmen bersama.  

Tentu saja selalu ada cara untuk bisa membenahi, tapi ini tidak mudah. Meskipun begitu, usaha tetap harus dilakukan. Misalnya, kita benahi dulu apa yang bisa dibenahi. Saya melihat hal yang paling urgen dibenahi di Kota Padang Sidimpuan ini adalah penataan ruang. Kalau dari perspektif PDRB ternyata pertumbuhan ekonomi di Padang Sidimpuan merupakan kontribusi sektor perdagangan,   maka regulasi pemerintah harus difokuskan ke sana. 

Saya membayangkan di kota ini ada pembagian ruang yang jelas. Misalnya, ada lokasi khusus untuk pergudagangan seperti di kawasan jalan baru karena berada di luar wilayah pusat kota. Semua pergudangan dipusatkan di sana, tak boleh lagi ada di pusat kota. Dengan begitu, akan tumbuh sektor transportasi berupa angkutan barang dari pergudangan ke pusat pasar.  Sayangnya, itu tidak terjadi, penataan ruang tidak baik. Kita sering menemukan kendaraan besar dan over kapasitas masuk ke Pasar Sagumpal Bonang untuk menurunkan barang sehingga arus lalu lintas terganggu. 

Selain itu, kawasan bisnis juga perlu ditata sehingga tempat-tempat perdagangan bisa menarik minat calon pembeli dari berbagai kota di luar Padang Sidimpuan. Tidak kalah penting, Padang Sidimpuan ini harus punya kegiatan-kegiatan produktif dan inovatif  seperti festival-festival yang mampu menarik minat kedatangan pengunjung dari berbagai daerah di luar Padang Sidimpuan. 


Lanjut baca »

Baharuddin Aritonang, Generasi Muda Punya Banyak Kesempatan untuk Sukses

item-thumbnail

Baharuddin Aritonang lahir di Kota Padang Sidimpuan pada 7 November 1952, sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan di luar Kota Padang Sidimpuan, sejak SMA sudah tinggal di Bandung, Jawa Barat. Orang Batak yang selalu merantau ini, tidak pernah ingin jauh dari kota kelahirannya. Tiap tahun, mantan anggota DPR/MPR periode 1998-2004 ini selalu menyempatkan pulang kampung, baik sekadar melunaskan rasa rindu kepada kampung halaman dan bernostalgia dengan masa lalu maupun untuk mendorong berkembangnya generasi muda bangsa dengan berbagi pengalaman yang menginspirasi lewat ragam kegiatan yang diinisiasi sejumlah organisasi kepemudaan dan mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). 

Pada Senin pagi, 6 Maret 2023,  Baharuddin Aritonang kembali berada di Kota Padang Sidimpuan, berencana akan menghadiri sejumlah kegiatan yang digelar Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, dan juga akan menghadiri peluncuran buku terbarunya, Ikan Batak (Rajawali Press, 2023), di Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli di Kota Sibolga. Budi Hutasuhut dari Sinar Tabagsel mengajak Baharuddin Aritonang kombur (berbincang) tentang banyak hal terkait buku terbarunya, produktivitasnya untuk terus berkarya meskipun sudah pensiun dan kini sudah 71 tahun, serta bagaimana pandangannya tentang dinamika pembangunan daerah di Tapanuli bagian Selatan terutama berkaitan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada. 

Sinar Tabagsel:  Tulang selalu berusaha untuk pulang kampung setiap tahun dan selalu terlibat dalam sejumlah kegiatan produktif yang ada di daerah, apakah sekadar bernostalgia dengan kenangan di kampung halaman atau ada yang sedang Tulang pikirkan tentang kampung halaman?

Baharuddin Aritonang: Saya seorang pensiunan,  tapi tidak berarti pensiun dalam berkreativitas. Saya tidak cuma datang ke kampung halaman di Kota Padang Sidimpuan, tetapi juga di banyak kota lain di negeri kita ini. Kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah itu sering karena undangan banyak kalangan yang menginginkan agar saya menghadiri kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dalam kesempatan itu, mereka yang mengundang meminta saya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Semua itu saya jadikan sebaga momentum belajar kembali, setidaknya membantu saya mengingat kembali apa yang pernah saya pelajari di masa lalu. Saya berbagai pengalaman dan pengetahuan dalam rangka mengingatkan diri kembali agar saya tidak pernah melupakan banyak hal. 

Dari pengalaman berkunjung ke daerah-daerah, saya sering mendapat inspirasi  untuk berkarya, menghasilkan karya tulis, yang akhirnya akan menjadi buku.  Sama seperti buku terbaru saya, Ikan Batak, inspirasinya saya dapat dari berkunjung ke beberapa daerah yang kebetulan mengenal ikan Batak meskipun namanya berbeda, tetapi spesiesnya sama.  Dari percakapan dengan orang-orang yang mengetahui ikan Batak ini, saya menjadi lebih memahami bagaimana posisi spesies ikan ini secara sosiologi, budaya, ekonomi, dan bahkan dari perspektif sebagai spesies ikan yang akan punah karena penangkapan yang berlebihan dan faktor alam.

Pemberian nama Ikan Batak lebih menegaskan bahwa jenis ikan ini hanya ada di Tanah Batak, padahal sesungguhnya ini jenis ikan yang menyebar di banyak wilayah Asia Tenggara.

Betul, spesies ikan ini lebih dikenal secara umum sebagai Ikan Masheer, ikan air tawar keluarga Cyprinidae atau Keluarga Ikan Mas yang merupakan familia besar ikan air tawar yang terdiri atas golongan ikan ikan mas atau ikan karper, ikan mas hias, minnow, dan kerabatnya. Secara umum disebut keluarga ikan mas, anggotanya kadang disebut juga siprinid. Siprinide adalah salah satu familia ikan terbesar dan secara umum adalah keluarga hewan vertebrata dengan jumlah terbesar dengan lebih dari 2.400 spesies yang terbagi dalam 220 genera. 

Namun, Ikan Batak  berasal dari keluarga Tor spp., suku Cyprinidae, juga dipakai untuk jenis-jenis Neolissochilus. berasal dari Indo-Australia dan anak benua India. Di sejumlah daerah, Ikan Batak memiliki nama berbeda, seperti kancra (Sunda), tåmbrå (Jawa), sapan (Kalimantan), ihan mera (Padang Sidimpuan), atau  kelah (Malaysia).  Di Sumatra Selatan, Lampung, Jambi, jenis ikan ini dikenal sebagai ikan semah.

Di mana-mana, ikan yang masih sekerabat dengan ikan mas ini populer sebagai bahan pangan kelas tinggi, dan disebut juga sebagai Ikan Dewa. Di dalam tradisi kuliner masyarakat Batak, ikan Batak ini dikenal sebagai ikan raja karena hanya dikonsumsi para raja, juga disebut ikan adat karena sering dipakai sebagai pelengkap seremoni adat-istiadat. 

Lantaran tingginya konsumsi terhadap ikan jenis ini, populasinya menjadi menurun. IUCN (International Union for Concervation Nature) memasukkan ikan ini dalam daftar terancam punah. Suatu hari nanti, ikan Batak akan punah jika tidak ada antisipasi sejak jauh-jauh hari. Ada banyak solusi yang dapat dilakukan, tergantung pada para ahli masing-masing. Keahlian saya berbeda dengan para ilmuwan di bidang perikanan. Saya hanya ahli merekam realitas sosiologis ikan Batak ini ke dalam buku agar masyarakat mengetahui betapa penting posisi Ikan Batak secara sosiologi, ekonomi, dan budaya.

Dari riset dan penelitian yang Tulang lakukan tentang Ikan Batak, apa kendala terbesar yang dihadapi?

Bagi masyarakat di Sumatra Utara umumnya dan masyarakat Batak khususnya, ikan Batak ini sangat penting. Cuma, sampai hari ini saya belum pernah bertemu seorang profesor dalam dunia ilmu pengetahuan yang mengkhususkan diri sebagai peneliti ikan Batak. Sebagai ikan yang sangat penting, seharusnya ikan ini melahirkan profesor.  Sama seperti apa yang saya temukan saat menulis buku Durian si Raja Buah. Meskipun buah durian diminati banyak orang di negeri ini, tatapi sampai hari ini belum ada profesor di bidang buah durian. Di Malaysia, buah durian sudah melahirkan profesor. Saya pikir ini fenomena yang tidak boleh terjadi. Ikan Batak maupun Durian identik dengan bangsa kita dan seharusnya ada upaya lebih serius untuk mengembangkan ikan Batak maupun durian baik sebagai komoditas unggulan maupun sebagai bagian dari sosisologi budaya masyarakat.

Bukankah hal semacam itu terjadi hampir di semua lini dalam ilmu pengetahuan kita?  Kita hampir tidak punya ahli yang khusus menguasai satu hal dan spesifik.    

Kondisi seperti itu pantas disayangkan. Dunia pendidikan kita kurang berkembang untuk menghasilkan para ahli, padahal anggaran yang dialokasikan pemerintah sangat besar, 20% dari total anggaran  tiap tahun. Waktu saya jadi anggota DPR/MPR, anggaran pendidikan sangat minim, di bawah 6% dari total anggaran. Ketika legislatif mengusulkan agar anggaran ditambah satu persen saja, ternyata tidak mudah melakukannya. Penyebabnya, dengan anggaran yang hanya di bawah 6% saja daya serapnya sangat minim. Lalu, setelah reformasi, anggaran pendidikan dialokasikan sebanyak 20% dari total anggaran dan itu sangat tinggi. Namun, ternyata, daya serap anggaran 20% itu tidak maksimal sehingga ada banyak anggaran yang tidak terserap yang kalau diakumulasikan sangat tinggi. Anggaran inilah yang kemudian dialokasikan untuk beasiswa Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) yang mensyaratkan siapa saja boleh mendapatkannya asalkan berkualitas.  Ternyata, beasiswa LPDP ini pun tidak banyak terserap karena tidak banyak  generasi muda yang mampu menyesuaikan diri dengan persyaratannya. 

Ini memprihatinkan. Dulu, tak banyak program beasiswa dan generasi muda berlomba-lomba untuk bisa mendapatkannya. Sekarang, ada banyak program beasiswa, baik yang dikeluarkan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Belum lagi  beasiswa yang sifatnya khusus dari lembaga-lembaga bentukan institusi bisnis seperti Tanito Foundation dan lain-lain. Bahkan, di luar negeri, ada konsep beasiswa dalam bentuk loan yang dikeluarkan sejumlah institusi pendidikan seperti Harvard yang bekerja sama dengan pemerintah Amerika Serikat. Dengan beasiswa loan  itu, generasi muda berkualitas dari mana saja bisa mendapatkannya dalam bentuk pinjaman murah (loan) untuk biaya pendidikan dan biaya hidup yang bisa dicicil setelah lulus. 

Generasi muda sekarang punya banyak kesempatan untuk bisa sukses, tetapi kualitasnya sering tidak sesuai standar yang diharapkan para pengelola beasiswa. 

Kondisinya sudah seperti itu, apa yang bisa dilakukan generasi muda kita hari ini?

Kembali ke soal mindset. Seperti soal profesor di bidang Ikan Batak atau profesor bidang durian. Di negeri kita tidak ada orang yang punya spesifikasi keilmuwan seperti itu karena orientasi mereka sangat global. Mungkin, hal-hal yang spesifik dianggap kurang punya daya gugah luar biasa, padahal perkembangan ilmu pengetahuan di dunia sudah mengarah pada penguasaan persoalan yang lebih spesifik.  Hanya ahli durian yang bisa diharapkan menghasilkan temuan-temuan iniovatif tentang durian sebagai komoditas unggulan, misalnya. 

Generasi muda sekarang berpikirnya terlalu banyak. Harus fokus. Saya ambil contoh anak muda yang mengelola Cafe Bonabulu di Sipirok. Saya baru dari sana dan melihat cafe itu berstandar internasional. Saya sudah pernah di cafe di luar negeri, dan di Cafe Bonabulu saya merasa tidak asing. Pelayanannya luar biasa. Setiap pelanggan yang datang, baik yang baru maupun yang lama, diperlakukan sebagai teman. Diajak berfoto, lalu diberi kenang-kenangan. Saya mendapat kenang-kenangan dari Cafe Bonabulu. Ini pelayanan luar biasa. 

Saya pikir, pengelola cafe itu fokus untuk mengembangkan bisnisnya sehingga semua hal yang mendukung kemajuan bisnisnya akan dilakukannya. Ini pantas dijadikan contoh bagi generasi muda sekarang.

Kembali ke soal buku Ikan Batak, apakah Tulang menulsinya dengan harapan agar genersi muda terinspirasi untuk menjadi ahli ikan Batak.

Buku saya bercerita dari hulu sampai hilir. Mulai dari jenis ikan Batak, budidaya ikan Batak, sampai dampak ekonomi ikan Batak. Ikan Batak ini merupakan bagian dari kearifan budaya lokal yang harus dilestarikan. Dengan melestarikan atau menjaga agar ikan Batak tidak punah, dengan sendirinya menjadi menjaga kelestarian budaya. Kita beruntung di sejumlah masyarakat Batak, ada tradisi lubuk larangan yang membuat ikan Batak ini tetap terjaga. Cuma, pemanenan lubuk larangan sering dilakukan sembarangan dengan mengambil anak-anak ikan sehingga terancam kepunahan. Seharusnya, saat panen di lubuk larangan, dibuat kebijakan pembatasan penangkapan ikan. Hanya ikan batak dewasa yang boleh dipanen.

Tulang bilang buku ini akan dibicarakan di Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli di Kota Sibolga. 

Saya berharap, mahasiswa di Sekolah tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli lebih mengenal ikan Batak. Mereka berkualiah di bidang perikanan dan tentunya mereka yang paling berkompeten untuk mengurus masalah ikan Batak ini.   

Bagaimana Tulang melihat perkembangan Kota Padang Sidimpuan akhir-akhir ini? 

Saya baru saja mendatangi Wali Kota Padang Sidimpuan, Irsan Efendi Nasution, ke rumah dinasnya. Saya beri apresiasi atas apa yang dilakukannya terhadap Kota Padang Sidimpuan. Upayanya membersihkan Jalan Sutomo pantas diapresiasi. Saya perhatikan, sebagai Wali Kota Padang Sidimpuan, dia berusaha mengembalikan hal-hal bersejarah yang ada di kota ini. Saya bangga melihat perkembangan Kota Padang Sidimpuan saat ini.

Saya orang Padang Sidimpuan, tiap tahun saya pulang ke Padang Sidimpuan dan melihat kota ini tidak banyak berubah. Baru akhir-akhir ini saya melihat perubahan-perubahan mulai terjadi. Memang, tidak mudah membangun Kota Padang Sidimpuan karena masyarakatnya plural dan tidak semua keinginan masyarakat bisa diwujudkan. Tapi, perlahan-lahan dan kontinyu, Kota Padang Sidimpuan ini akan berubaha menjadi kota besar yang ramai. 



Lanjut baca »

Abdon Nababan, Masyarakat Adat Bisa Jadi Mitra Pemda untuk Mengembalikan Kewenangan Atas Sumber Daya Alam

item-thumbnail


Abdon Nababan, salah seorang pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), datang bersama Roganda Simanjutak, pengurus AMAN Tano Batak, menemui lima masyarakat adat di Bagas Godang Luat Marancar, Rabu, 1 Maret 2023. Kepada Budi Hutasuhut dari Sinar Tabagsel,  Abdon Nababan mengatakan pemerintah daerah di kabupaten/kota telah kehilangan banyak wewenang atas daerahnya di era otonomi daerah,  sehingga kesulitan menggerakkan roda pembangunan daerah yang berdampak terhadap tingginya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Sinar Tabagsel mewawancarai Abdon Nababan sekaitan solusi apa yang bisa dilakukan pemerintah daerah untuk mengatasi kehilangan kewenangan atas daerahnya dan apa yang dimaksud kehilangan kewenanga? Berikut percakapan Budi Hutasuhut dari Sinar Tabgsel dengan Abdon Nababan

Sinar Tabagsel: Anda identik dengan segala upaya untuk memberdayakan masyarakat adat di negeri ini selama puluhan tahun, membangun fondasi sekolah adat, mendorong kecintaan terhadap adat-istiadat. Apa tantangan terbesar yang dihadapi selama ini?

Abdon Nababan: Kita harus memahami lebih dahulu masyarakat adat itu. Di mana-mana, masyarakat adat kita merupakan masyarakat yang memahami nilai-nilai adat budayanya dengan sangat baik, dan mereka menjadikan nilai-nilai itu dalam kehidupan sosialnya. Masyarakat adat cenderung menghindarkan konflik, tak ingin ada masalah, dan malu jika terjadi persoalan-persoalan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai adat yang diyakini. 

Tapi, justru karena itu masyarakat adat sering dimanfaatkan orang lain dan hak-haknya direbut orang lain, sehingga kehidupan mereka bagai menjauh dari kehidupan sejahtera. Padahal, mereka yang memiliki aset berupa tanah adat atau hak ulayat, seharusnya bisa hidup sejahtera dengan aset yang dimiliki.

Itulah persoalan umum saat ini. Masyarakat adat seperti Raja-Raja Luat yang ada di Tapanuli bagian Selatan sering kehilangan akses atas hak tanah adat atau tanah ulayat mereka. 

Itulah yang tak boleh terjadi. Persoalannya, masyarakat adat tak punya daya untuk mempertahankan hak-haknya atas aset lokal yang dimiliki. Misalnya soal tanah yang dipakai investor.  Sebagian besar lahan investasi itu aset dari masyarakat adat.

Para investor selalu akan menuntut didukung pemerintah pusat yang memberi izin berinvestasi agar memberikan kemudahan dan keamanan berinvestasi. Dengan tuntutan itu, pemerintah akan mendorong pemerintah daerah di lokasi investasi agar menjaga dan memudahkan investor dalam berusaha, apapun caranya.

Ketika ada masalah soal lahan investasi seperti konflik lahan dengan masyarakat adat, bisa dipastikan masyarakat adat yang akan disalahkan dan dianggap menggangu investasi. Tidak jarang masyarakat adat ditudukh mengganggu objek vital negara dan mereka mudah diperlakukan sebagai pihak yang melanggar hukum. 


Hal seperti ini terjadi karena pemerintah daerah di kabupaten/kota tidak memahami bahwa masyarakat adat yang ada di daerahnya bukan pihak yang ingin menimbulkan kerusuhan atau konflik, tetapi pihak yang menginginkan agar hak-hak mereka atas aset berupa tanah adat atau tanah ulayat itu diakomodir.  Sebab itu, pemerintah daerah harus punya database dari setiap jengkal lahan di wilayahnya termasuk riwayat setiap jengkal lahan itu agar jelas siapa atau masyarakat adat mana yang menjadi pemilik sah atas lahan itu.  Dengan database itu, pemerintah daerah sudah bisa mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik dan sudah tahu solusi apa yang bisa dilakukan untuk menghindarkannya.

Kenyataannya, setelah puluhan tahun ada pemerintah daerah di Tabagsel, ternyata database itu yang tak ada. Pemerintah daerah tidak tahu komposisi masyarakat adat yang ada di daerahnya, tidak tahu apa itu masyarakat adat, konon lagi mengetahui aset-aset milik masyarakat adat.

Ini kekeliruan yang tak boleh dipertahankan. Pemerintah daerah harus mengubah mindset dalam memahami masyarakat adat. Masyarakat adat itu adalah mitra pemerintah daerah yang sesungguhnya dalam membangun daerah. Kenapa? Rakyat di kabupaten/kota itu masyarakat adat, dan masyarakat adat ini memiliki pemimpin adat. 

Kalau di Kabupaten Tapanuli Selatan, pemimpin masyarakat adat disebut Raja Panusunan Bulung dan jumlah mereka tidak lebih dari sepuluh orang. Pemerintah daerah harus bermitra dengan para Raja Panusunan Bulung yang menguasai tanah adat atau tanah ulayat bersama Raja-Raja Pamusuk yang ada di desa-desa. Jika kelembagaan tradisional masyarakat adat ini bermitra dengan pemerintah daerah, program-program pembangun daerah akan gampang direalisasikan jika pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat adat.

Tapi hal itu tidak terjadi karena pemerintah daerah tidak pernah menyadari potensi masyarakat adat dan tidak mau tahu soal itu. Bagi pemerintah, urusan masyarakat adat bukan urusan subtansial yang membutuhkan pendekatan serius dalam upaya pemberdayaan. Ada atau tidak masyarakat adat itu tidak terlaludiperhitungkan.

Sama seperti pemahaman pemerintah daerah tentang kebudayaan. Bagi pemerintah daerah, masyarakat adat dan kebudayaan daerah itu adalah beban karena berkaitan dengan warisan budaya. Membangun kebudayaan apalagi masyarakat budaya (adat) menjadi beban bagi pemerintah daerah.

Strategi kebudayaan harus diubah. Di dalam UU tentang Pemajuan Kebudayaan sudah diamanatkan pentingnya pemerintah daerah memiliki Pokok Pokok Kebudayaan Daerah sebagai dasar membangun kebudayaan daerah. Di dalam PPKD itu mestinya sudah dirangkum tentang masyarakat adat, nilai-nilai adat, hukum adat, dan sudah dirumuskan bagaimana membangun masyarakat adat itu. Yang terpenting, pemerintah daerah itu mengakui keberadaan masyarakat adat sesuai sejarah yang ada. Untuk itu pemerintah daerah perlu melakukan pendataan ulang untuk menguatkan eksistensi masyarakat adat di daerahnya. 

Pengakuan atas keberadaan masyarakat adat bisa juga dilakukan dengan mengeluarkan peraturan daerah yang merupakan turunan dari UU Pemajuan Kebudayaan. Dengan pengakuan dari pemerintah daerah ini, maka masyarakat adat berikut semua sistem adatnya akan bisa menjaga eksistensinya. Dengan pengakuan itu, masyarakat adat punya peluang untuk membangun masyarakatnya, mensejahterakan masyarakatnya. 

Hanya pengakuan yang dibutuhkan masyarakat. Dengan adanya pengakuan itu, masyarakat adat sudah bisa mengelola aset-aset yang dimilikinya dengan pemerintah daerah sebagai fasilitator.  Kita harus ingat, sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, eksistensi masyarakat adat itu sudah ada. Mereka yang mrembangun perkampungan, menciptakan nilai-nilai budaya, dan memiliki peradaban yang bagus.  

Masyarakat adat di Tapanuli Selatan misalnya sudah punya peradaban tinggi, memiliki bahasa lokal, aksara lokal, hukum adat, dan sistem adat. Raja Panusunan Bulung bisa mengayomi masyarakat bersama Raja Raja Pamusuk, menjaga stabilitas masyarakat dan mensejahterakan masyarakat. 

Masyarakat adat inilah yang sekarang menjadi masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan, tapi mereka diabaikan oleh pemerintah daerah.

Kawasan eksplorasi PT Agincourt Resources di wilayah Ramba Joring merupakan tanah ulayat masyarakat adat di Luat Marancar yang sampai sekarang masih menjadi persoalan karena perjanjian antara perusahaan dengan masyarakat luat tidak dieksekusi sejak 2009 lalu. (Foto: Dokumen PT Agincourt Resouces)

Selama mendampingi masyarakat adat, ada tidak contoh masyarakat adat yang sudah bisa eksis? Artinya, apa ada masyarakat adat di Indonesia yang bisa menjadi inspirasi bagi masyarakat adat lain?

Saya pernah membantu pemerintah daerah di Provinsi Bali untuk menyusun peraturan daerah tentang adat. Masyarakat adat di Bali tidak pernah menjual tanah adat mereka kepada investor. Mereka memberikan lahan mereka secara gratis tapi dengan persyaratan masyarakat adat mendapat persentase keuntungan dari investasi yang ada disamping mereka juga membuat perjanjian kontrak dengan investor. 

Masyarakat adat tidak menjual lahan adatnya, tapi investor boleh membangun aset di atas lahan itu. Namun, mereka menyepakati masa berlakunya. Misalnya, investor memiliki hak kelola selama 20 tahun tergantung negosiasi antara investor dengan masyarakat adat, dan setelah 20 tahun seluruh aset menjadi milik masyarakat adat meskipun manajemen bisnis tetap dikelola investor.

Dari kerja sama bisnis dengan investor itu, ternyata masyarakat adat di Bali mampu memiliki tabungan hingga triliunan rupiah di dalam rekening yang dikelola masyarakat adat.  Mereka bisa memikirkan masyarakat adatnya, sehingga pemerintah daerah menjadi berkurang.  

Bagaimana caranya mengaplikasikan apa yang dilakukan masyarakat adat di Bali itu untuk masyarakat adat di Tabagsel ini?

Paradigam berpikir harus diubah. Masyarakat adat itu potensi besar bagi sebuah daerah. Saat ini, dampak otonomi daerah dan reformasi, banyak kewenangan pemerintah daerah atas wilayahnya yang hilang. Dalam urusan batu dan pasir saja pemerintah daerah tidak punya wewenang, karena kewenangan memberi izin eksplorasi tambang batuan di kabupaten/kota ada di provinsi. Dampaknya, pemerintah daerah di kabupaten/kota kesulitan untuk membangun infrastruktur yang mengandalkan bahan baku pasir dan batu,  dan ini berdampak terhadap peningkatan infrastruktur di daerah. 

Banyak kewenangan pemerintah daerah di kabupaten/kota yang hilang. Dalam hal potensi hutan, misalnya. Padahal, kalau pemerintah daerah memberdayakan masyarakat adat selaku pemilik lahan, pemerintah daerah bisa mendapatkan kembali kewenangan atas tanah adat atau tanah ulayat tersebut.  Ke depan, pemerintah daerah harus bermitra dengan masyarakat adat, sehingga daerah atas nama masyarakat adat memiliki wewenang atas potensi sumber daya alam yang dimiliki.

Bersama masyarakat adat, pemerintah daerah sebagai pemilik daerah bisa melakukan negosiasi ulang dengan investor terkait keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat adat. Selama ini pemerintah daerah merasa bangga hanya mendapat remah-remah berupa CSR, bonus produksi, atau divestasi saham.  Pemerintah bangga rakyatnya diberikan bantuan langsung oleh investor padahal itu rakyatnya, bukan rakyat investor. Seharusnya segala hal yang terjadi pada masyarakat terukur dan terdata oleh pemerintah daerah. Kenyataannya, investor memberi bantuan langsung kepada rakyat yang sering tumpang tindih dengan program pemerintah daerah.



Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda