.

Cerpen : Tragedi Kucing Kampung

item-thumbnail

 


Oleh : Bang Harlen

Tidak ada yang spesial darinya.Ia hanya seekor kucing kampung yang kumuh dengan bekas luka yang menempel di beberapa bagian tubuhnya. Hidupnya menggelandang seorang diri. Mencari makan dari satu tong sampah ke tong sampah lain. Akan tetapi, kucing berwajah sangar itu kini jadi buronan pihak kepolisian.Ia telah dilaporkan oleh sejumlah warga yang merasa terganggu karena ulahnya yang meresahkan.

Beberapa kasus sedang menjerat kucing itu.Iadiklaim telah mengotori kerapihan dan keindahan kota dengan mengacak-acak tong sampah yang diletakkan di beberapa titik, seperti di sudut jalanan dan di depan rumah-rumah warga. Hal ini bukan hanya menambah pekerjaan bagi petugas kebersihan yang setiap pagi datang untuk mengangkut sampah-sampah yang menumpuk, tapi tak ayal juga menimbulkan aroma busuk yang amat menusuk.Selain itu, kucing kampung itu juga dituding selalu menjerit keras di malam hari dan berlari-lari diatas loteng rumah.Suara jeritan dan derap langkah kucing kampung itu dianggap telah mengusik kenyamanan dan waktu istirahat orang-orang. Belum lagi ia juga kerap menyerang kucing-kucing rumahan yang dipelihara oleh sebagian warga di kota itu.

Mengapa tuduhan-tuduhandemikian keji secara sepihak langsung dialamatkan kepada kucing kampung itu, padahal belum terdapat bukti-buktikonkret yang dapat dijadikan dasar untuk menegakkan diagnosa atas kekacauan yang terjadi ? Jawabannya adalah dikota yang dikenal modern itu rupanya kucing kampung hanya menyisakan dirinya seekor saja. Teman-teman kucingnya yang lain memilih untuk dirawat dan menggantungkan masa depan mereka kepada seorang majikan. Tinggal nyaman di sebuah rumah, diberi perawatan yang baik, dan tentu saja memperoleh asupan makanan yang bukan cuma lezat, tapi juga sarat kandungan gizi. Dengan kata lain, tidak mungkin kucing-kucing rumahan yang anggun bersedia mengorek-ngorek sampah dan membuat keributan di atas loteng rumah. Mereka berangganggapan hanya kucing kampung saja yang punya perangai demikian

Sontak saja satu-satunya kucing kampung yang memutuskan untuk hidup mandiri dan menggelandang itu selalu menerima hujatan dan cemoohan dari teman-temannya sesame kucing.Ia dicap sok idealis dan tidak realistis dalam memandang kehidupan yang singkat ini. Kucing mana coba yang tidak ingin diperlakukan layaknya Raja dan Ratu ? Bukankah di dunia ini kemewahan serta kenyamanan hidup adalah puncak hirarki yang mesti digapai bagaimanapun caranya ? Sungguh betapa naïf dan bodohnya kau sebagai seekor kucing ! Hanya kucing tolol yang memilih hidup dengan mengorek-ngorek kubangan kotoran ketimbang hidup bergelimang kenikmatan !Begitulah cercaan yang tiada hentidilontarkan kepada kucing kampung tersebut.Untungnya, telinga serta batinnya sudah resisten menghadapinya.

Sebetulnya tidak semua warga yang merasa dirugikan oleh ulah kucing kampung itu. Lebih tepatnya sebagian orang-orang justru tidak pernah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri kucing kampung itu mengaduk-aduk tong sampah seperti yang dikatakan orang-orang dan yang disiarkan di media-media. Demikian pula dengan tidur mereka yang masih pulas setiap malam karena sama sekali tidak mendengar keributan dari arah loteng rumah.Meski begitu, mereka tidak dapat berbuat banyak.Sebagian warga itu hanya mampu berdiam diri saja. Pasalnya, di kotayang dikenal modern itu perbedaan pendapat bisa berbuntung panjang dan berakhir dengan sangat mengerikan. Apalagi pemberitaan di media-media terus –menerus menggiring opini publik yang seolahmenyudutkan posisi si kucing kampung. Mereka tak punya pilihan lain, demi  keamanan dan ketentraman hidup, mereka putuskan untuk menutup mulut.

Sudah berhari-hari pihak kepolisian melakukan pencarian terhadap kucing kampung itu.Namun, tak kunjung juga menuai hasil yang diharapkan.Kucing kampung itu masih bebas berkeliaran, malah beberapa warga kembali melaporkan bahwa kucing kampung itu telah menyusup ke dapur dan mencuri beberapa potong ikan yang mereka simpan di dalam tudung. Makin kencanglah pasal yang melilit kucing kampung tersebut..

Untuk mempermudah dan mempercepat proses pencarian, maka pihak kepolisian akhirnya meminta bantuan seorang detektif swasta untuk melacak keberadaan dan lokasi persembunyian kucing kampung itu. Sungguh amat disayangkan, belum seminggu detektif itu menjalani tugas penyelidikannya, ia tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar. Seketika itu pula berbagai spekulasi pun mencuat.Ada yang menduga bahwa detektif itu telah melarikan diri ke luar negeri, sebagian beranggapan bahwa detektif itu telah bekerjasama dengan kucing kampung itu dan menipu pihak kepolisian. Serta yang tidak kalah mengejutkannya adalah tidak sedikit pula yang meyakini bahwa detektif itu telah tewasditerkam oleh kucing kampung tersebut. Opini sebagaian dari mereka itu dilandasi oleh kehidupan kucing kampung yang memang susahuntuk dijinakkan. Apalagi meskipun terlihat kecil dan lemah, penelitian telah mengungkap bahwa kucing mempunyai 95,6 % gen yang sama dengan harimau. Jadi, bisa saja sewaktu-waktu bila dihadapkan pada situasi yang sempit insting hewan liar liarnya akanbangkit kemudian menyerang dan membunuh si detektif.

Berita menghilangnya si detektif kian menyudutkan keberadaan si kucing kampung seiring dengan pemberitaan di media-media yang cenderung menyiarkan bahwa si detektif telah dimangsa oleh kucing kampung tersebut.Kini bukan hanya polisi yang semakin bernafsu untuk menangkapnya, melainkan kecemasan dan kekhawatiran seketika menguasai pikiran para warga. Mereka takut jika besok atau lusa giliran mereka yang akan menjadi santapan si kucing kampung.

Karena situasi kota yang mulai tidak aman dan terkendali ditambah warga yang semakin panik, pemerintah kemudian melayangkan surat edaran agar dalam beberapa hari ke depan untuk sementara waktu seluruh warga berdiam diri dan melaksanakan rutinitas pekerjaan di rumah dulu. Keputusan berani tersebut diambil mengingat alangkah berbahayanya kucing kampung yang sampai saat ini masih belum tertangkap itu.

Dan sudah dapat dipastikan peraturan sepihak dan mendadak dari pemerintah tersebut melahirkan pro dan kontra di tengah masyarakat.Khususnya bagi kelompok masyarakat yang mengharuskan dirinya untuk mencari nafkah di luar rumah. Tapi apa boleh buat, peraturan tetaplah peraturan. Seluruh elemen masyarakat mau tidak mau mesti mentaatinya.Ah !tak disangka seekor kucing kampung rupanya sanggup menciptakan kehebohan yang luar biasa.

***

Dua hari berlalu sejak surat keputusan dari pemerintah itu diedarkan. Sejumlah warga tetap bersikeras untuk beraktifitas di luar rumah, terutama bagi mereka yang memiliki ladang rezeki di bawah terik matahari.Mereka masa bodoh dan tidak mengacuhkan anjuran yang berlaku.Bagi mereka, kebahagiaan lambung yang sejengkal itu lebih utama daripada memenjarakan diri dalam jeruji-jeruji ketakutan.Mereka juga sudah merelakan nyawa andaikata menjadi korban si kucing kampung.Setidaknya mereka akan mati dengan gagah daripada hanya berdiam dan pasrah. Begitulah keyakinan sebagian warga yang tinggal di kota yang dikenal modern itu, mereka tetap bersikukuh untuk mencari sesuap nasi di luar rumah meski nyawa yang menjadi taruhannya.

Usai berhasil membuat geger warga satu kota dalam beberapa waktu belakangan, kucing kampung itu akhirnya menampakkan kumisnya juga. Ia tertangkap mata seorang petugas polisi yang berpatroli sedang melintas di salah satu atap rumah warga. Di sana ia berjalan dengan begitu santainya seolah-olah tidak menyadari bahwa keadaan kota telah ditetapkan statusnya ke tahap siaga satu karena ulahnya. Ia merasa selama ini hidupnya baik-baik saja. Ia hanya mencari makan seperti biasa. Sebab sebagai seekor kucing gelandangan, jangankan untuk mempunyai sebuah televisi,tempat tinggalnya pun sering bergonta-ganti.Kadang di emperan toko, di dalam parit dan gorong-gorong, atau malah menyelipkan diri antara rongsokan yang menumpuk di gudang.Dan tentu sajaia bukan manusia yang mahir menggunakan kecanggihan teknologi telepon seluler yang memuat beragam platform media untuk mengikuti arus informasi yang berlalu-lalang. Sehingga amat wajar  jika kucing kampung itu bersikap datar dan tidak tahu-menahu bahwa betapa ia telah menjadi musuhnomor satu warga sekota.

Melihat buruannya yang sudah di depan mata, petugas polisi itu pun langsung mengarahkan tembakan peringatan ke udara. Lantas si kucing kampung pun kaget lalu menghentikan langkahnya.Ia menoleh ke belakang mengikuti asal suara ledakan. Mereka berdua kini saling berhadapan. Si kucing kampung mematung di atas atap dengan perasaan bingung, sedangkan petugas polisi tersebut berdiri gagah di depan sebuah rumah sembari menodongkan moncong berettanya ke arah si kucing. Tak lama berselang, lewat sebuah alat protofon yang menempel di rompinya, polisi tersebut mengabarkan kepada rekan-rekannya yang lain bahwa si kucing kampung telah ditemukan.

Dalam beberapa menit saja, si kucing kampung telah dikepung oleh puluhan personil polisi bersenjata lengkap dari segala arah. Bahkan sebuah helikopter pun turut dikerahkan guna membantu proses penangkapan. Situasinya  persis adegan di film-film aksi ketika si targetsudah tersudut, dan tidak bisa ke mana-mana lagi. Gerakannya sudah tertutup, dan ia sudah kena skakmat dan tidak bisa kabur lagi. Padahal kucing kampung itu memang tidak punya niat untuk meloloskan diri dari sana, sampai saat terjepit tersebut ia malah masih  ditimpa sebuah tanda tanya yang besar. Mengapa ia diperlakukan layaknya penjahat kelas kakap ?

Sejurus kemudian kucing kampung itu dibombardir pertanyaan demi pertanyaan yang mengarahkannya agar mengakui perbuatannya yang telah meresahkan masyarakat.Sontak rasa heran bercampur kaget menerobos masuk ke dalam relung hati dan ruang pikirannya.Dan lambat laun berbuntut lahirnya perasaan sedih, marah, dan kecewa.Akhirnya  ia menyadari bahwa dirinya telah difitnah sedemikian keji oleh sebagian besar warga kota yang dikenal modern tersebut.

Kucing kampung itu pun membantah dengan tegas bahwa ia pernah mencuri ikan di dalam tudung saji. Malah ia sering ditendang, diguyur air panas, dan dilempar pakai batu oleh sejumlah warga yang merasa risih dan jijik dengan kondisinya yang kotor.

Ia juga menampik tuduhan yang menyebut dirinya telah mengacak-acak tong sampah hingga seluruh isinya itu berserakan di jalanan. Kucing kampung itu  beralasan kalau sampah-sampah  itu telah tercerai berai dan terburai keluar dari tempatnya terlebih dahulu sebelum ia datang. Dan ia hanya melahap  sisa-sisa makanan yang terhidang di jalanan sambil sesekali melongok ke dalam area tong sampah.

Untuk persoalan loteng rumah warga yang sering menimbulkan keributan di malam hari. Kucing kampung itu mengungkap bahwa saat itu ia sedang mengejar gerombolan tikus yang diakuinya banyak bersembunyi di rumah-rumah warga. Dari keseluruhan kucing yang berdiam di kota yang dikenal modern itu, hanya ia saja yang masih memiliki insting tajam dan kemampuan untuk menangkap tikus. Sementara kucing-kucing lain telah menjadi kucing rumahan yang sudah tidak berselera dan memiliki kepekaan lagi dengan keberadaan tikus di sekelilingnya.Dan untuk setiap kebisingan yang diperbuatnya ketika di loteng, kucing kampung itu memohon maaf.

Rupanya permohonan maaf yang diucapkannya tidak cukup untuk menyelamatkan hidup kucing kampung tersebut.Saat itu juga sebuah peluru melesat ke arahnya, dan beruntung si kucing kampung dengan gesit mampu mengelak darinya.Karena merasa nyawanya sedang terancam, insting bertahan hidupnya hewan liarnya menggelora.Ia menyeringai tajam dan bulu-bulu serta ekornya menegang. Dengan penuh amarah kemudian iamengambil ancang-ancang hendak menerjang salah seorang petugas kepolisian yang masih menodongkan berretta ke arahnya.Deretan kuku-kuku yang runcing mengkilap seolah tak sabar lagi hendak mencabik-cabik wajah polisi keparat yang berdiri di bawahnya. Si kucing kampung  menjelma bak pejuang yang siap sedia membela tanah air serta harga dirinya.

Namun, sungguh disayangkan. Baru satu meter kucing kampung yang gagah itu melompat meninggalkan atap, sebutir peluru panas segera menembus tengkorak dan bersarang di otaknya. Tak lama tubuh kucing kampung itu pun roboh dan terhempas ke ujung atap, berguling-guling hingga akhirnya tersungkur ke tanah.Darah kental kemudian merembes deras dari kepalanya, otaknya berceceran di mana-mana.Seolah tak puas dengan kondisi kepala si kucing kampung yang telah berantakan, perut si kucing kampung pun turut jadi sasaran berikutnya.Dua buah peluru panas kembali diledakkan oleh salah seorang petugas yang tampaknya masih gusar.Sontak bulu si kucing kampung yang semula berwarna belang abu-abu kini menjelma merah darah. Kucing kampung itu akhirnya menemui ajalnya dengan cara yang amat mengenaskan.

Tidak ada yang spesial darinya.Ia hanya seekor kucing kampung yang kumuh dengan bekas luka yang menempel di beberapa bagian tubuhnya. Hidupnya menggelandang seorang diri. Mencari makan dari satu tong sampah ke tong sampah lain. Dan kematiannya kini mulai disesali oleh orang-orang di kota yang dikenal modern itu.

Selepas kepergiannya yang tragis, gerombolan tikus yang semula hanya bisa bersembunyi dan mengendap-endap, sekarang mulai berani menunjukkan eksistensinya.Tikus-tikus itu semakin leluasa mengerat dan menjarah lumbung makanan warga.Jumlah mereka pun semakin banyak dan terus berkembang biak dengan subur. Tak ada lagi satupun kucing di kota yang dikenal modern itu yang berani memburu, menangkap, dan menekan langkah tikus-tikus yang keberadaannya kian meresahkan tersebut. Warga juga tidak bisa berbuat banyak, sebab satu-satunya yang mampu mendengar dan mengendus dengan tajam keberadaan tikus-tikus itu hanya si kucing kampung saja. Saat itulah untuk pertama kalinya kucing kampung itu sungguh dirindukan kehadirannya.[]


Lanjut baca »

Cerpen: Nasib

Di Depan Kuburan

item-thumbnail

Oleh : Bang Harlen

Seperti yang kita ketahui, kuburan adalah simbol kematian yang tak pernah gagal menegakkan bulu kuduk bila mengingat segenap misteri dan kengerian yang melingkupinya. Namun, kisah ini tidak akan menceritakan tentang perempuan yang beranak di dalam kubur, bukan pula perihal  jenazah yang susah dikebumikan, apalagi mayat yang tiba-tiba keluar dan menghantui orang-orang sekitar. Terlebih dahulu, aku merasa perlu mengingatkan kepada kalian bahwa yang akan aku beberkan ini bukanlah cerita yang sifatnya hantu-hantuan. Jadi, kalian boleh segera beralih mengerjakan hal lain atau melanjutkan kegiatan yang jauh lebih bermanfaat sebelum nantinya kalian malah jadi kecewa berat.

Ceritanya bermula beberapa tahun lalu ketika aku masih melajang.

Gerimis telah luruh ketika malam itu aku baru saja keluar dari sebuah minimarket. Alih-alih memacu sepeda motor lebih kencang supaya tidak basah kuyup dalam perjalanan menuju  kosan, aku malah mengendarainya dengan kecepatan lambat seolah-olah membiarkan gerimis mendarat manis di tiap senti pakaianku. Tak sampai di situ, aku juga menerobos gerimis tersebut sembari melamunkan seorang perempuan. Lalu karena tidak menjaga konsentrasi, nyaris saja aku menjalin silaturahmi dengan malaikat Izrail begitu membelok di sebuah perempatan. Kendati demikian, untuk menghindari hantaman sebuah truk, akhirnya aku harus merelakan sayap depan motorku ambruk ketika berbenturan dengan sebuah tiang listrik yang terpancang di pinggir jalan. Sontak orang-orang di sekitar mulai merubungiku. Untunglah hanya sikuku saja yang sedikit lecet akibat terjatuh dari motor

“Kamu ga kenapa-kenapa? Ada yang luka tidak?” Ujar seorang bapak yang mendekatiku dan mencoba memapahku berdiri.

Aku tak menjawab. Hanya tangan saja yang kulambaikan kepadanya sambil memasang wajah meringis menahan sakit. Kemudian kulihat area sikuku yang tampak sedikit memar

“Kita bawa ke klinik aja,” bapak itu coba  memberi usul.

“Ga perlu, Pak,” balasku sambil mencoba tersenyum palsu menahan sedikit perih dan mencoba mengendalikan napasku yang masih terengah-engah karena rasa panik.

“Lain kali kalau lewat sini apalagi malam-malam gini harus lebih hati-hati ya, Bang. Sebaiknya bunyikan klakson tiga kali. Suka ada yang aneh-aneh memang. Pahamlah, namanya juga kuburan,”salah seorang di antara kerumunan tiba-tiba menimpali.

Hujan kemudian turun semakin lebat seolah memberi isyarat agar kerumunan orang-orang yang menggumpal di depan area pemakaman itu segera bubar. Bapak yang tadi menolongku lantas mengajakku untuk singgah di lapak baksonya yang digelar tepat di depan pekuburan tersebut. “Sambil menenangkan diri dan menunggu hujan reda, sebaiknya kita makan bakso dulu. Kamu tenang aja, kali ini Bapak kasih gratis,”tawarnya dengan nada ramah.

Bulir-bulir hujan terdengar menampar-nampar dengan buas sebuah terpal biru yang membentang seluas 3x3 meter persegi di atas gerobak bakso. Aku duduk di sebuah meja memanjang yang dikelilingi 6 buah kursi plastik tanpa sandaran. Cahaya lampu neon tampak menyepuh semangkok bakso urat di hadapanku yang tampilannya sebetulnya sangat menggiurkan dan menggugah selera. Namun, aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong  tanpa sedikit pun berniat menyentuhnya. Pikiranku seperti dibawa kabur entah ke mana.

“Kok malah dilihatin aja baksonya? Ntar keburu dingin,lho!” bapak itu seketika memecah lamunanku. Kulihat ia menyeka keringat yang merembes di keningnya dengan handuk kecil yang sedari tadi selalu menggantung di pundaknya. Uap panas dari gentong bakso terlihat membubung di depan wajah senjanya. Dari garis-garis keriput yang menggores wajahnya, kutaksir usia bapak tersebut hampir menyentuh angka 60 tahun.

Aku hanya menunduk dan tersenyum tipis membalas omongannya.Untuk menghargai kebaikannya, tanganku lantas mulai kugerakkan mengambil botol saus dan menyemprotkannya ke dalam kuah bakso. Sejurus kemudian kuraih sendok dan garpu lalu mengaduk-aduk gumpalan mie, potongan sayur, daging ayam, kerupuk dan beberapa bulatan bakso yang tampak memerah. Kulihat bapak itu masih tekun menuangkan kuah yang disusul menaburkan serpihan kerupuk ke dalam dua mangkok bakso  untuk sepasang muda-mudi yang duduk di sebelahku.

Tak lama berselang, derai hujan mulai menyingkir dan suara lecut petir tampaknya telah berakhir. Sisa-sisa hujan seketika menggenangi jalanan yang menggigil. Sepasang muda-mudi di sebelahku tadi mulai bergegas meninggalkan kami. Karena sedang santai, bapak penjual bakso itu kemudian menghampiriku dan bertanya ihwal rona wajahku yang memang terlihat muram disertai sorot mata yang redup dan digelayuti rasa putus asa.

Aku hanya membisu dan tidak menjawab pertanyaannya. Saat itulah  lambat laun kurasakan semerbak wangi kamboja merayap manja ke lubang hidungku. Ada hawa dingin yang terasa ganjil mengelus-elus tengkukku. Kemudian samar-samar kutangkap suara rintihan yang terdengar pilu dari arah pekuburan di belakangku. Aku spontan berbalik badan dan berusaha mencari sumber suara tersebut.

Di antara ratusan nisan yang tertancap di sana, pandanganku lantas terhenti pada sebuah pohon kamboja yang tampak menaungi sesosok bayangan putih. Bayangan putih itu tampak duduk bersimpuh dan memeluk sebuah makam. Bulu kudukku semakin tegak berdiri dan tanganku gemetar tiada henti. Darahku berdesir kencang bagai dikejar-kejar penagih utang. Dan jantungku seketika bagai ditonjok hingga bonyok begitu sebuah tangan terasa mendarat di pundakku.

Idealnya begitulah semestinya yang kurasakan ketika melihat sososok bayangan misterius itu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak merasa takut dan kaget walau hanya sedikit. Ekspresiku datar saja, malah cenderung kaku layaknya kanebo kering. Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, bahwa kisah yang akan kubeberkan ini bukanlah cerita yang sifatnya hantu-hantuan. Jadi, berhubung cerita ini masih panjang, maka kalian boleh segera pergi sebelum nantinya malah jadi sakit hati.

“Udah ga usah kaget. Laki-laki yang kamu lihat itu bukan hantu, Dia itu Pak Leso,” rupanya yang baru saja menyentuh pundakku adalah si bapak penjual bakso. Uap panas sisa kuah bakso yang menempel di kacamatanya segera ia singkirkan dengan handuk kecil. Ia lalu menjelaskan siapa sebenarnya Pak Leso. Ia menuturkan bahwa Pak Leso merupakan seorang ayah yang malang. Sebulan yang lalu ia harus menghadapi kenyataan yang getir ketika mendapati bahwa putra semata wayangnya ditemukan tewas bunuh diri.

Alisku seketika melipat. Bola mataku sedikit menyipit. Mendadak aku jadi penasaran dengan ceritanya.

“Sebentar. Nanti kita lanjutkan. Ada rezeki yang harus segera dijemput,” ia kemudian bangkit dari kursinya. Dua orang gadis rupanya telah menunggu untuk segera dilayani. Dari seragam yang mereka kenakan, sepertinya keduanya merupakan karyawan usaha spa dan panti pijat yang menempati salah satu dari deretan ruko yang berdiri tepat di depan gerobak bakso. Pakaian mereka tampak seksi, tapi wajah mereka terlihat letih. Mungkin mereka baru selesai bertempur dengan beberapa pelanggan. Usai menyerahkan dua bungkus plastik hitam berisi beberapa bungkus bakso, si bapak kembali menghampiriku dan melanjutkan ceritanya.

“Pak Leso itu punya anak bernama Jaleleng. Jadi, si Jaleleng ini bermimpi jadi seorang pelukis. Sementara Bapaknya tidak setuju dan ingin si Jaleleng jadi PNS saja agar kehidupannya lebih stabil dan terjamin. Gara-gara perbedaan itulah mereka selalu bertengkar dan hubungan keduanya kian retak. Dalam beberapa tahun ini, Jaleleng telah merampugkan sejumlah lukisan. Dan memang kebanyakan tidak laku. Jaleleng akhirnya jadi bahan olok-olokan dan pergunjingan para tetangga karena dianggap sebagai pelukis yang gagal. Saat itulah ia mulai didera depresi dan sering mengurung diri. Alih-alih memberikan dukungan, Ayahnya justru turut mengucilkannya. Di mata Pak Leso, Jaleleng tak ubahnya borok yang kemunculannya jadi aib bagi keluarga,” si bapak penjual bakso tampak berhenti sejenak kemudian merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebungkus rokok dari sana. Setelah mengepulkan asap rokoknya, ia kembali bercerita.

“Ujungnya pun seperti yang sudah bisa kita tebak. Jaleleng akhirnya stres dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun tikus di dalam kamarnya. Ironisnya, setelah Jaleleng meninggal, lukisannya kemudian tak lama diborong oleh salah seorang pengusaha dengan harga yang terbilang mahal. Pengusaha yang tidak mau disebutkan namanya itu membeli seluruh lukisan Jaleleng seharga 2 miliar. Padahal lukisannya menurut Bapak ga bagus-bagus amat. Apa pengusaha itu ga merasa rugi ya? Ah, dunia seni memang sering bikin garuk-garuk kepala.”

Bapak itu kemudian kembali menikmati rokoknya. Usai menjentikkan abunya ke tanah, ia kembali mengurai cerita.

“Terus setiap malam minggu yang bertepatan dengan hari meninggalnya Jaleleng, Pak Leso selalu datang berziarah ke makam putranya itu. Ia pasti merasa terpukul sekaligus menyesal. Bapak bisa merasakan betapa remuk dan hancurnya jiwa Pak Leso karena lima tahun lalu Bapak juga pernah mengalami hal yang sama. Anak sulung Bapak harus meregang nyawa karena overdosis narkoba. Karena terlalu sibuk bekerja, Bapak jadi kurang mengawasi pergaulan anak Bapak. Sebagai seorang anak, Bapak pernah merasakan perihnya kehilangan orang tua, Dan setelah menjadi orang tua, kehilangan anak ternyata jauh lebih menyengsarakan jiwa. Dada ini terasa mau meletus. Dan seperti ada kerikil kecil yang menancap di jantung,” wajah si bapak penjual bakso tiba-tiba berubah sendu. Pandangannya bagai menerawang menembus ruang dan waktu. Dari balik kacamatanya, aku bisa melihat setetes airmata yang sebentar lagi akan terjun ke pipinya.

“Ah, masa lalu biarlah berlalu. Yang penting kita tidak patah arang dan terus semangat memperbaiki masa depan. Eh, tapi kamu masa belum tahu cerita ini sih? Padahal kisah kematian Jaleleng ini ramai dibahas di internet. Bapak yang gaptek saja tahunya dari anak Bapak yang memang doyan main sosial media.”

Ah, betul juga. Aku baru ingat kalau aku sudah tidak punya ponsel lagi. Seminggu lalu, satu-satunya ponselku sudah kubanting ke dinding hingga pecah berkeping-keping.Waktu itu aku kaget sekaligus geram setengah mati ketika menerima undangan dari pacarku di kampung. Ia  mengabarkan bahwa ia sebentar lagi akan menikah. Aku merasa perjuanganku selama bertahun-tahun menjadi sia-sia. Aku telah bekerja siang dan malam. Kuputuskan merantau ke kota dan menjadi karyawan sebuah minimarket. Selain itu, aku juga mencari pemasukan tambahan dengan menjadi pengendara ojek daring agar modal untuk menikahi gadis pujaanku itu lekas terkumpul. Namun, tak kusangka kerja keras dan keseriusanku untuk menikahinya malah dibalasnya dengan undangan pernikahan dengan pria lain. Sebagai laki-laki, aku merasa kerja kerasku tidak dihargai dan disepelekan olehnya. Jiwaku terguncang. Pijakannku goyah dan tak tahu lagi ke mana harus melangkah.

“Pak ini baksonya,” suara seorang perempuan tiba-tiba mengalun lembut di telingaku. Sumbernya rupanya berasal dari anak gadis si bapak penjual bakso yang datang mengantarkan sepanci bakso. Stok bakso di dalam gerobak si bapak rupanya sudah hampir habis, sementara waktu masih menunjukkan pukul 9 malam.

“Malam masih panjang. Siapa tahu masih banyak rezeki yang menghampiri di jam-jam berikutnya,” ungkap si bapak sembari tersenyum dan memindahkan bulatan-bulatan bakso dari panci ke dalam etalase gerobak.

Cukup lama aku menatap anak gadis bapak tersebut yang tampak tertegun di sebelah gerobak bakso. Wajahnya begitu teduh dan seperti punya magnet yang terus menyeret tatapanku agar terus lengket. Sebagian rambutnya terlihat menyembul dari balik jaket hoodie yang membungkus kepalanya. Saat itulah aku merasa seperti ada yang bergejolak di dalam dada. Seperti ada sesuatu yang mekar seketika. Sebotol racun tikus yang sebelumnya kubeli di minimarket segera kukeluarkan dari dalam saku celana. Kupandangi botol racun itu lekat-lekat. Dan aku sangat yakin bahwa aku sudah tidak membutuhkannya lagi lantaran sekarang aku sudah tahu ke mana kaki ini harus melangkah.

“Aku boleh minta tolong ga, Pak?”Suaraku seketika keheingan malam.

“Pertolongan seperti apa rupanya yang kamu harapkan dari Bapak?”

“Tolong ajari aku bikin bakso!” 

Lanjut baca »

Kiai Leman

item-thumbnail

 Oleh : Bang Harlen


Ada yang bilang bahwa terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi terlebih dahulu oleh seseorang agar ia pantas ditasbihkan sebagai seorang Kiai. Pertama, tentu saja adalah luasnya pemahaman agamanya yang bagai bentang cakrawala, dan yang kedua adalah adanya kelompok jamaah yang jumlahnya tidak sedikit dan hampir dipastikan selalu menuruti apa pun fatwa yang terlontar dari mulut Sang Kiai. Dari kedua syarat tersebut, barangkali tidak salah bila seluruh warga yang bermukim di Kampung Sirittik sepakat untuk menambahkan kata “Kiai” di depan nama seorang pemuda yang bernama Leman. Namun, kau jangan kaget bila ternyata yang menjadi jamaah Kiai Leman bukanlah manusia, melainkan hewan-hewan dan tumbuhan yang menyemut di kampung tersebut.

Meski dikatakan sebagai pemuda, usia Kiai Leman sebetulnya tak dapat dikategorikan muda. Umurnya nyaris menyentuh angka 40 tahun. Hanya saja, di usianya tersebut beliau masih melajang. Bukan karena Kiai Leman tak ingin menikah. Beliau sebetulnya sudah beberapa kali datang mengajukan lamaran, tetapi lamarannya  selalu ditolak mentah-mentah oleh orang tua si perempuan. Memang, selain statusnya sebagai Kiai, tak ada lagi hal yang bisa dibanggakan darinya. Beliau juga bukan tergolong Kiai yang hidupnya berkecukupan, bahkan cenderung miskin. Orang tua mana coba yang rela menyerahkan masa depan anak gadisnya kepada laki-laki yang hanya menghidangkan penderitaan dunia.

“Mau kau kasih makan apa anakku? Ayat-ayat tidak akan membuat perut anakku kenyang!” Begitulah balasan yang senantiasa diberikan oleh para orang tua perempuan itu ketika  Kiai Leman datang mengungkapkan niat baiknya untuk melamar.

Oleh warga Kampung Sirittik, Kiai Leman juga dijuluki sebagai kiai munafik. Pasalnya, dulu ketika beliau masih dipanggil Ustad Leman, ia selalu menolak amplop yang disodorkan oleh warga usai memberikan ceramah maupun tausyiah, baik saat khotbah jum’at maupun saat perayaan hari besar keagamaan macam Maulid Nabi dan Hari Raya Idul Fitri serta Hari Raya Idul Adha. Bagi Kiai Leman, amplop yang pasti berisi uang itu sebaiknya diserahkan kepada warga-warga yang hidupnya jauh lebih menyedihkan daripada dirinya. Kalau tidak, sebaiknya dikembalikan saja ke dalam kas masjid. Untuk menyambung hidup sehari-hari, Kiai Leman merasa penghasilannya sebagai buruh tani sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh para pemilik kebun, Kiai Leman memang sering dipekerjakan untuk mengurus ladang, menggarap sawah, menanam cabe, kadang pula menyadap getah karet. Malah tak jarang beliau juga bersedia digaji untuk menggembalakan sapi atau kambing milik para juragan di Kampung Sirittik.

Maka wajar saja bila pola pikirnya yang terkesan naïf, kolot dan tidak progresif itu menjadikan  para orang tua perempuan yang ia lamar jadi berpikir seribu kali untuk menjadikan Kiai Leman menantunya. Karena pola pikirnya itu pulalah marwah Kiai Leman yang mulia sebagai ahli agama perlahan luntur. Sebab bagi masyarakat Kampung Sirittik, seorang Kiai tidak pantas untuk mengerjakan hal-hal seperti itu. Seorang Kiai tidak boleh dibanjiri peluh serta berkotor-kotoran di bawah sengatan matahari. Bahkan pelan-pelan posisi Kiai Leman sebagai penceramah di Kampung Sirittik juga mulai tergeser oleh kehadiran penceramah-penceramah yang tidak hanya lulusan luar negeri, tetapi juga piawai memasukkan unsur-unsur komedi sehingga suasana jamaah jadi lebih cair. Sementara Kiai Leman, di samping hanya sebagai lulusan pesantren antah berantah yang tak jelas rimbanya, ceramahnya juga dianggap terlalu serius dan membosankan oleh para warga.

Aku mengenal Kiai Leman ketika sedang melakukan penelitian untuk kebutuhan skripsi di Kampung Sirittik. Pertama kali kulihat dia ketika jalan-jalan sore mengitari kampung. Dan perhatianku langsung tersedot seketika begitu melintasi sebuah pematang sawah yang tampak baru selesai dibajak. Di antara hamparan lumpur yang begitu mengkilap itulah aku menyaksikan dengan jelas sosok Kiai Leman yang duduk bersila dengan mantap di dalam sebuah pondok kayu. Tangannya sesekali terlihat bergerak ke sana ke mari seakan-akan memberi sebuah pengarahan dengan mulutnya yang terus berkomat-kamit. Di hadapannya kusaksikan pula puluan binatang yang dengan tekun menyimak apa yang keluar dari mulut Kiai Leman..

Dengan didorong rasa heran sekaligus penasaran, aku lantas mengendap-endap semakin mendekati posisi Kiai Leman dengan melewati deretan pohon pinang dan rimbun ilalang yang memagari  petak sawah tersebut.  Dan betapa terperangahnya aku ketika mendapati Kiai Leman berkomunikasi dengan binatang-binatang tersebut dengan bahasa mereka masing-masing. Terkadang beliau seperti mengembik, melenguh, mendesis, berkuak, meleter, mencicit, menderik, dan lain sebagainya. Mataku seperti hendak meloncat dan mulutku semakin menganga begitu melihat binatang-binatang itu sesekali juga tampak menanggapi ceramah yang diberikan oleh Kiai Leman. Ada yang manggut-manggut, ada pula yang berteriak lantang. Beberapa ekor sapi terdengar melenguh, kambing-kambing sebagian ada yang mengembik, sebagian lagi ada yang hanya mengangguk-angguk. Di bawah langit sore menjelang senja itu, aku juga menangkap suara kodok yang berkuak, gerombolan bebek yang meleter serta derik tonggeret yang entah menempel di pohon sebelah mana. Bahkan, samar-samar kudengar pula cicit tikus dan cericit  burung gereja yang merayapi gendang telinga. Terkadang mereka juga terdengar seperti tengah bernyanyi. Gabungan suara-suara binatang yang menggumpal di sana tak ubahnya gema koor yang mengalun merdu bagai menyusun melodi yang menciptakan sebuah harmonisasi. Majelis taklim yang digelar oleh Kiai Leman itu kemudian bubar seiring kumandang azan yang bergetar di langit yang merah terbakar. Andai saja baterai ponselku saat itu tidak habis, tentu aku akan merekam peristiwa tersebut dan menunjukkannya agar kau tak menganggap bahwa ceritaku ini hanya rekayasa.

Keesokan paginya, ketika aku hendak berangkat untuk menyebarkan kuisioner penelitian yang akan diisi oleh para warga, aku juga pernah memergoki Kiai Leman sedang mengelus-elus batang pohon karet sebelum mengiris kulitnya dengan parang. Tak lupa pula beliau menengadahkan tangan usai mengorek-ngorek getah yang menggumpal di dalam tempurung kelapa yang tergantung di sana, bagai mengucap syukur kepada Sang Pencipta. Di lain waktu, aku juga pernah melihat daun-daun kering melayang-layang di sekitar tubuh Kiai Leman seperti menari-nari dengan riang gembira menyambut kedatangannya. Tak sampai di situ, pernah juga ketika aku mewawancarai kumpulan bapak-bapak di sebuah kedai kopi, aku menyaksikan dengan jelas sejumlah pohon jambu, rambutan, pepaya, mangga,  bahkan bunga-bunga yang mekar di sekitar rumah warga tiba-tiba tunduk seolah memberi hormat begitu melihat Kiai Leman melintas. Dan rupanya, seluruh warga Kampung Sirittik sudah terbiasa dan sama sekali tidak mempersoalkan fenomena tak wajar yang berlangsung di kampung mereka.

“Biarkan sajalah Kiai Leman itu. Setidaknya masih ada yang mau mendengarkan ceramah dari orang gila dan munafik seperti dia. Ya, walaupun ayat-ayat yang ia ucapkan itu cuma mempan sama hewan dan tumbuhan saja,” tutur salah seorang bapak dengan enteng yang kemudian disusul tawa orang-orang di sekelilingnya.

Aku hanya tersenyum simpul dan tidak berminat menanggapi dengan serius penjelasan mereka. Fokusku di kampung itu hanya untuk memenuhi tuntutan skripsiku saja. Kendati demikian, harus kuakui bahwa lambat laun keunikan Kiai Leman ini terus mencengkeram ketenteraman otakku. Rasa penasaran pun kian menjalar dan membakar. Untuk memadamkannya, lantas kuputuskan agar segera berkomunikasi langsung dengannya.

“Mohon maaf Pak Kiai, boleh saya tahu kenapa Pak Kiai jadi ga bergairah lagi memberi tausyiah kepada orang-orang di kampung?” tanyaku di suatu siang ketika beliau sedang bersandar di bawah pohon kelapa sambil mengamati sapi-sapi gembalanya yang tampak lahap mengunyah rumput dan dedaunan.

“Lha memang orang-orang kampungnya sendiri kok yang ga mau lagi mendengar ceramah saya. Daripada bengong mendingan saya ceramahi hewan sama tumbuhan saja,” balas Kiai Leman santai sambil terus mengibaskan kopiah hitamnya yang senantiasa bertengger di kepala. Kulihat pula uban-uban telah menjilat pinggiran rambutnya yang dipotong model cepak. Wajahnya yang kecoklatan dan tampak letih itu  juga telah diparut oleh keriput. Dan Bila kuamati dengan seksama, penampilan Kiai Leman memang tampak lebih boros dari usia sebenarnya.  Beberapa detik berselang, dari balik celana panjangnya yang lusuh, beliau mengeluarkan sebungkus rokok.”Adek merokok?” tawarnya sembari menyodorkan rokok itu ke hadapanku. Dan kami akhirnya mengepulkan asap tembakau bersama-sama ke arah langit yang terasa cukup menggigit siang itu.

“Zaman sekarang kan sudah canggih. Kenapa Pak Kiai ga milih berdakwah lewat sosial media seperti youtube, facebook, dan instagram?” Aku kembali membuka obrolan.

“Saya ini cuma Kiai kampung, Dek. Tak paham sama yang gitu-gituan. Lagipula, saya cuma punya HP yang beginian,” sahutnya seraya menunjukkan sebuah ponsel lawas yang kalau kata kawan-kawanku di kampus bisa difungsikan untuk melempar anjing atau bahkan mengganjal kaki meja yang tak rata .

“Lantas bagaimana caranya para hewan dan tumbuh-tumbuhan itu bisa paham dan tunduk sama apa yang Pak Kiai ucapkan, di mana pula Pak Kiai belajar bahasa mereka?”

Ucapanku itu rupanya memancing perhatiannya. Beliau lalu menggeser pandangannya ke arahku. Kami kemudian bertatapan cukup lama. Beliau hanya membisu sambil terus menusukku dengan sorot matanya yang penuh tanda tanya. Sementara jantungku kian berdebar-debar tak menentu bagai laki-laki yang menunggu balasan cinta dari perempuan pujaannya.

Tak berselang lama, Kiai Leman kembali mengalihkan pandangannya ke arah padang rumput yang tampak berbahagia ketika dikunyah sapi-sapi gembalanya. Usai mengisap rokok dan membebaskannya ke udara, beliau kemudian berkata:

“Di dunia ini jauh lebih banyak hal yang tidak kita ketahui dan pahami. Dan sesungguhnya banyak dari kita itu benar-benar tidak tahu bahwa diri kita sebenarnya tidak tahu.”

Keningku seketika mengerut. Beban hidupku rasanya berlipat ganda begitu mendengar ucapan dari Kiai Leman yang bernuansa filosofis dan terkesan abstrak tersebut. Supaya beban hidupku yang sudah menumpuk di pundak tidak bertambah lagi, alangkah baiknya bila aku segera pamit undur diri.

***

Seperti kebiasaannya, usai menunaikan ibadah sholat isya dan memberi sedikit tausyiah kepada jamaahnya yang terdiri dari berbagai hewan di mushola kecil yang juga berfungsi sebagai rumahnya, Kiai Leman tak lupa untuk menyempatkan diri mengunjungi kuburan yang terletak di puncak bukit. Orang-orang kampung selalu berspekulasi bahwa di sanalah  Kiai Leman bersemedi untuk memperdalam lagi kegilaannya. Namun, karena aku selalu melatih diriku untuk tidak menelan begitu saja spekulasi tanpa berusaha mencari bukti yang konkret, maka diam-diam aku menguntitnya dari belakang.

Lagi-lagi Kiai Leman berhasil membuat keningku bergelombang. Suasana pekuburan yang semula kelam seketika berubah meriah bagai lampu pasar malam. Kusaksikan ribuan titik cahaya kerlap-kerlip yang satu persatu keluar dari dalam kuburan-kuburan di sana. Setelah kuteliti lebih lanjut, barulah aku sadar bahwa titik-titik cahaya itu adalah gerombolan kunang-kunang. Aku langsung terkesima dan tertegun begitu melihat ribuan kunang-kunang yang mengambang  seperti meloncat kegirangan menyambut kedatangan Kiai Leman. Ada yang bilang bahwa kunang-kunang adalah jelmaan dari kuku orang-orang yang telah meninggal. Sepertinya mayat-mayat di kuburan itu juga membutuhkan siraman rohani dari Kiai Leman. Kunang-kunang yang sebelumnya hanya dapat kusaksikan di video-video dan berbagai film itu, kini kutangkap dengan mata kepalaku sendiri. Ini pasti akan jadi berita besar jika kubagikan di sosial media. Pasalnya, keberadaan kunang-kunang sudah teramat sulit untuk ditemukan. Kehidupan mereka seperti telah tersisih oleh zaman yang semakin canggih. Masa depan mereka terlantar bagai terlantar oleh peradaban yang kiar barbar. Sejurus kemudian, langsung saja kuambil ponsel dan merekam peristiwa langka yang tersaji manis di hadapanku itu.

Ternyata dugaanku meleset. Rupanya tak banyak orang yang merespon positif video Kiai Leman dan kunang-kunangnya yang kuunggah beberapa hari lalu. Mereka bahkan menganggap bahwa video tersebut hasil editan dan rekayasaku saja. Namun, rupanya di antara mereka ada seorang lelaki yang tertarik dan memintaku agar segera mempertemukannya dengan Kian Leman. Bahkan ia juga  telah menawariku segepok uang dan mengajukan syarat agar pertemuannya dengan Kiai Leman dirahasiakan dan tidak boleh ada seorang pun bertemu dengan Kiai Leman selain lelaki tersebut. Mengingat betapa entengnya syarat yang ia ajukan, maka tanpa pikir panjang langsung saja kulumat. Kami lantas mencapai kata sepakat.

Usai berhasil mempertemukan lelaki tersebut dengan Kiai Leman, tak lama kemudian aku langsung angkat kaki dari Kampung Sirittik. Pasalnya, penelitianku di sana sudah berakhir dan aku mesti fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi seminar hasil di depan para dosen penguji. Kesibukan-kesibukan itulah yang membuatku tidak punya waktu lagi untuk memikirkan Kiai Leman, para jamaahnya, berikut orang-orang di Kampung Sirittik. Maka, lambat laun kehadiran Kiai Leman mulai menguap dari benakku.

Belakangan, barulah kuketahui bahwa lelaki yang kupertemukan dengan Kiai Leman tempo hari adalah seorang politisi yang tengah mengincar kursi Bupati. Sebagaimana yang kita ketahui, di samping para pengusaha, kelompok manusia lainnya yang mampu dengan jeli melihat dan mengendus peluang yang menguntungkan di depan mata adalah para politisi. Dan lelaki itu rupanya mencium potensi besar yang dimiliki oleh Kiai Leman, terutama soal kemampuannya dalam mempengaruhi para hewan dan tumbuhan. Baginya, Kiai Leman tak ubahnya mesin dongkrak yang dapat mendobrak perolehan suaranya di pemilu nanti. Pasalnya, jumlah hewan dan tumbuhan di Kampung Sirittik ternyata jauh melebihi jumlah warga yang bermukim di sana. Perbandingannya sekitar 5:1. Untuk memuluskan langkahnya tersebut, politisi itu kemudian mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi agar para hewan dan tumbuhan juga mempunyai hak suara yang sama dengan manusia untuk menentukan nasib bangsa ke depan. Hingga kini, politisi tersebut beserta partai yang menaunginya masih terus berjuang dan mengerahkan segala daya upaya agar undang-undang pemilu tersebut dapat direvisi kembali oleh Mahkamah Konstitusi.

Dan kabarnya, begitu mendengar berita soal permohonan politisi tersebut, seluruh warga Kampung Sirittik tiba-tiba saja memutuskan untuk mengubah diri mereka menjadi hewan dan tumbuhan. Dan jangan heran bila saat ini kau tidak akan menemukan lagi satu manusia yang tinggal di sana. Suasana di Kampung Sirittik seketika berubah jadi lebih tenteram, hening, dan syahdu. Sementara itu, keberadaan Kiai Leman secara ajaib seketika raib dibasuh oleh waktu.[]

 


Padang Sidimpuan, 2023

Lanjut baca »

Suara Minta Tolong

item-thumbnail

 Oleh : Bang Harlen


Aku sedang duduk menekuni sebuah buku di tengah ruang perpustakaan ketika suara itu merayap di telingaku. Mulanya aku menduga suara yang lirih itu berasal dari lagu yang mengalir melalui earphone  yang kupasang. Akan tetapi, begitu earphone ini kulepas, suara itu masih juga kudengar. Malah semakin menggema saja. Aku jadi merasa jengkel karena suara itu amat berisik hingga membuatku tidak bisa fokus membaca. Aku lantas bangkit dari kursi kayu yang sudah hampir sejam ini memangku badanku dan berusaha mencari sumber  suara tersebut.

“Tolong aku!” Suara itu terdengar sangat memilukan bagai korban gempa yang merintih karena tertimpa puing-puing bangunan.

Dengan penuh rasa penasaran kuayunkan langkah ini mengikuti arah suara itu. Aku bergegas ke balik rak buku karena suara minta tolong itu terdengar mengalir dari sana. Namun, sesampainya di sana, tak kutemukan seorang pun. Kemudian suara itu kembali merambati gendang telingaku. Kali ini terdengar dari semua rak yang berjejer di perpustakaan. Aku lantas bergerak mengitari seluruh penjuru perpustakaan. Beranjak dari satu rak buku ke rak buku berikutnya. Namun, tetap saja tak membuahkan hasil. Dan aku baru menyadari kalau pengunjung perpustakaan ini hanya aku seorang, tak kulihat siapa-siapa lagi di sini, kecuali dua orang penjaga yang duduk di pintu depan tentunya. Oh ya, kenapa tidak aku tanya mereka saja? Mungkin mereka juga mendengar suara minta tolong itu, batinku.

Prediksiku rupanya melencengt. Kedua penjaga yang masih tampak muda yang kutanyai itu sama sekali tidak menangkap suara orang yang sedang meminta pertolongan. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala dan saling tatap satu sama lain. Kucoba meyakinkan kedua gadis itu untuk memasang telinga mereka dengan saksama agar dapat mendengar suara yang bagiku cukup menggema di seluruh penjuru ruangan perpustakaan. Mereka pun mengikuti saranku dan tetap saja yang mengetuk gendang telinga mereka hanya desir angin yang menghantarkan kehampaan. Dengan alis yang terus melipat dan sorot mata yang menyiratkan kebingungan, kedua penjaga perpustakaan itu lantas menatapku dan kembali menegaskan jawaban mereka : “Sumpah, Bang! Kami ga mendengar suara apa-apa lho,” bola mata mereka seakan hendak keluar supaya aku percaya dengan ucapan mereka.

Pikiranku dibanjiri kebimbangan. Saraf-sarafku seperti mengamuk karena disuruh bekerja diluar batas kewajaran. Daripada nanti mereka mogok kerja, kuputuskan untuk istrirahat sejenak di bawah pohon mangga yang berdiri kokoh di depan perpustakaan. Kemudian kunyalakan sebatang rokok, lantas meniupkan asapnya ke udara. Kepulan asap tembakau yang membubung di udara itu sepertinya juga turut membawa partikel-partikel jahat yang sebelumnya menghambat laju pikiranku.

Duduk di bawah pohon mangga berdaun lebat ini, suara minta tolong itu masih saja menjalar di telingaku. Hanya saja kali ini ia tidak begitu bergema seperti sebelumnya. Setelah pikiranku sedikit tenang, aku kembali menyelidiki lagi asal suara tersebut. Aku lantas mulai mengingat-ingat kembali. Barangkali ada satu sisi ruangan di perpustakaan yang luput oleh pengamatanku. Dan benar saja, aku baru sadar kalau masih ada satu ruangan yang belum terjamah oleh pandanganku, yaitu toilet. Mungkin saja ada seseorang yang tengah terkunci di dalam toilet, atau yang lebih ekstrim adalah ada seseorang yang terpeleset hingga mengalami perdarahan hebat yang membutuhkan bantuan secepatnya.

Langsung saja kumatikan rokokku yang masih tersisa setengah itu dan  segera bangkit lalu berlari ke arah perpustakaan. Aku masih sempat sedikit melirik ke tempat duduk kedua gadis penjaga perpustakaan itu, mereka tampak melongo ketika menyaksikanku yang seketika tergopoh-gopoh masuk ke dalam perpustakaan. Lagipula, aku sudah tidak peduli lagi dengan apa yang menghinggapi kepala mereka. Satu satunya yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana menyelamatkan orang yang mungkin saja sedang bertarung dengan maut  dalam toilet tersebut.

Memasuki area perpustakaan, suara minta tolong itu kembali menggaung dengan jelas, kali ini terdengar seperti rintihan seorang gadis yang memohon belas kasih. Tanpa mengulur waktu lagi, aku langsung melesat bagai anak panah yang terlepas dari busurnya menuju arah toilet. Saking menyalanya semangatku, aku sampai tergelincir dan menabrak tembok dekat pintu kamar mandi karena kecepatan lariku yang sulit kukendalikan.

“Tolong aku!” Suaraku itu masih menyelusup di telinga begitu aku berdiri tepat di depan pintu toilet. Tanpa pikir panjang, langsung saja kudobrak pintu kamar mandi yang rupanya tidak terkunci tersebut. Apa yang kutemukan di dalam kamar mandi itu rupanya sungguh diluar perkiraan. Tak ada seorangpun di dalamnya. Eh, tapi tunggu dulu! Itu apa? Aku mendapati seonggok tahi yang mengambang di dalam lubang kloset. Teksturnya masih menyegarkan. Tampaknya ia baru beberapa jam terlantar di sana. Mungkinkah yang sedari dari teriak-teriak minta tolong itu adalah tahi tersebut? Barangkali tahi itu meminta pertolongan agar dirinya segera disiram karena terjebak dan tak bisa bertemu dengan kawan-kawannya yang tengah berpesta di dalam septik tank. Sejurus kemudian, kuraih gagang gayung yang terapung di atas ember lalu segera menyiram tahi yang malang itu.

“Ada apa sih, Bang? Kok jadi ribut?” Kedua gadis penjaga perpustakaan itu tiba-tiba mengagetkanku. Rupanya suara pintu toilet yang kudobrak cukup mengejutkan mereka.

“Siapa sih yang habis berak lupa nyiram ini?” Kupandangi wajah keduanya satu per satu dengan tatapan yang tajam

Mereka cuma saling pandang kemudian hanya mengangkat bahu seperti memberi isyarat kalau mereka juga tidak tahu, lantas pergi begitu saja.

Setelah mengirim tahi yang malang itu  bertemu kawan-kawannya, aku kemudian melangkah ke ruangan perpustakan dan melanjutkan kembali bacaanku yang sempat tertunda. Baru beberapa detik aku menempelkan pantatku di atas kursi, suara minta tolong itu lagi-lagi berdengung di telinga. Kali ini bukan rintihan seorang perempuan, melainkan suara seorang pria. Perasaan jengkel yang tadinya belum padam, kini semakin membara saja dan membakar seluruh rongga dada. Kendati demikian, kucoba untuk mengendalikan amarah. Aku lantas kembali beringsut dari kursi kemudian kembali mengelilingi segenap penjuru perpustakaan.

Jam dinding menunjukkan pukul 2 siang. Barangkali ada pengunjung yang baru datang ketika tadi aku sibuk dengan urusan tahi di toilet. Seluruh  sudut perpustakaan telah kujelajahi. Mulai dari toilet, rak demi rak, bahkan segala laci dan loker telah kubongkar. Namun, tetap saja hasilnya nihil. Tak kutemukan sosok yang sedari tadi merintih meminta pertolongan.

Dalam kebingungan yang terus mendominasi pikiran, kuputuskan untuk selonjoran di atas lantai. Di hadapanku berdiri sebuah rak besar yang memuat ratusan buku. Ada beberapa foto para Wali Kota yang pernah dan tengah menjabat berderet di puncak rak tersebut. Ah, barangkali salah satu dari bapak-bapak terhormat ini yang tengah meminta tolong, pikirku.  Mungkin saja ada yang bibirnya pegal dan kaku karena sudah terlalu lama tersenyum. Atau bisa aja mereka sudah jenuh dengan busana serba putih yang formal itu dan ingin segera berganti dengan  pakaian yang lebih santai. Atau mungkin saja mereka sudah bosan berdiri mematung di atas sana dan ingin dipindahkan agar dapat menikmati suasana yang baru. Akan tetapi, setahuku warna vokal bapak-bapak ini terdengar lebih berat dan kesannya berwibawa, tidak cempreng seperti yang terus mengusikku ini. Aku menarik kesimpulan kalau suara minta tolong itu bukanlah bersal dari salah satu dari mereka.

Tiba-tiba saja suara minta tolong itu semakin menyesaki gendang telingaku. Sekarang bukan hanya satu orang saja, tapi ada puluhan, ratusan, atau mungkin saja ribuan suara. Ada berbagai macam suara yang menyeruduk telingaku, dari suara anak-anak sampai kakek-nenek terasa begitu menumpuk. Seketika aku berpikiran bahwa aku telah menjelma menjadi anjing yang mampu menangkap suara infrasonik. Mungkin juga aku telah mendapat anugerah sebagai anak indigo yang menjamur di acara-acara televisi serta kanal youtube tersebut. Atau yang lebih parah, aku sebenarnya telah mengalami gangguan kejiwaan karena sedang berhalusinasi.

 “Bang, perpustakaannya sebentar lagi mau tutup!”

Suara penjaga perpustakaan tiba-tiba menyentakku. Jarum jam menunjukkan pukul 3 siang. Dari pagi hingga sekarang aku hanya mendapat teror suara misterius yang entah dari mana asalnya. Aku lantas bangkit dari lantai dan bergegas  melangkah menuju parkiran motor. Segera kupacu sepeda motorku meninggalkan perpustakaan. Dalam perjalanan aku masih bertanya-tanya perihal suara yang meminta tolong itu. Namun, aku bersyukur karena begitu menjauhi perpustakaan, suara minta tolong itu tidak menggangguku lagi. Setidaknya aku yakin bahwa aku saat itu aku tidak sedang berhalusinasi.[]

 

Padang Sidimpuan, 2023



Lanjut baca »

Jalotok

item-thumbnail

 Oleh : Bang Harlen


Jalotok, begitulah orang-orang memanggilku. Jalotok bermakna si kotor atau si keruh. Tentunya bukanlah namaku yang sebenarnya. Setiap orangtua yang masih setia memelihara kewarasan dan sedang tidak dihinggapi setan, mustahil akan tega memberikan nama yang sedemikian hina kepada anaknya. Namun, orang-orang juga tidak keliru bila akhirnya memberiku panggilan tersebut. Aku memang kotor. Lebih tepatnya aku selalu merasa kotor. Dalam sehari, sekurang-kurangnya aku bisa mandi hingga sepuluh kali. Tak ayal orang-orang menganggapku aneh dan gila, tapi memang demikianlah faktanya. Entah mengapa aku selalu merasa kotor dan jijik dengan diriku sendiri.

Pada saat aku masih kecil, ketika kebanyakan ibu-ibu harus pontang panting memaksa anak mereka untuk mandi, aku justru mempertontonkan sikap yang berbeda. Sebelum ibuku menyuruhku untuk mandi, aku sudah lebih dulu mengajukan diri agar segera dimandikan olehnya.

Momen itu masih tertancap kuat di benakku ketika masih berada di taman kanak-kanak. Seperti halnya pagi-pagi sebelumnya, pukul lima subuh aku telah bergeser dari kamarku menuju kamar ibuku. Setibanya di sana, aku akan membangunkan ibuku agar ia segera menuntunku ke kamar mandi dan  bergegas mengguyur seluruh tubuhku dengan air. Namun, saat itu ibu malah menertawakanku. Ia kemudian berkata kalau hari itu adalah hari minggu, artinya hari libur buatku. Jadi, aku tidak perlu buru-buru mandi sepagi itu. Ibu masih membungkus dirinya dengan selimut ketika aku membangunkannya. Dalam keadaan setengah mengantuk, ia terus memperingatkanku bahwa aku tidak perlu buru-buru untuk mandi karena TK-ku juga sedang libur. Kendati demikian, aku tetap bersikeras agar ibu segera memandikanku pagi itu juga, sebab aku menganggap diriku sudah sedemikian kotor dan menjijikkan.

 Perdebatan yang tidak terlalu sengit pun berlangsung di antara kami. Ibu ngotot dengan argumennya bahwa aku tidak harus mandi pagi saat itu, sedangkan aku tetap mempertahankan pendapatku kalau aku harus segera membasuh diri dengan air. Mendengar adanya suara-suara berisik di sekitarnya, ayah yang sedari tadi tertidur pulas di samping ibu tiba-tiba saja bangun. Dengan memasang wajah gusar ia lantas membentakku. Ia berujar kalau memang aku mau mandi sebaiknya aku pergi mandi sendiri saja. Ia juga memperingatkanku kalau aku jangan dulu mengganggu mereka yang sedang kelelahan. Lelah? Aku lantas mengamati wajah ibu erat-erat. Beberapa detik berikutnya lantas kugeser tatapanku ke wajah ayah. Ucapan ayah barusan rupanya betul. Mereka berdua memang tampak kelelahan seperti orang yang baru saja membajak sawah. Aku sudah tidak peduli dengan apa yang telah mereka lakukan hingga bisa sampai selemas itu. Yang berkobar-kobar di otakku sekarang adalah aku harus segera membasuh badanku dengan air. Akhirnya kutinggalkan ayah dan ibu yang masih meringkuk di balik selimut mereka. Sementara aku segera mengayunkan langkah ke arah kamar mandi.

Aku sudah berdiri di lantai kamar mandi tanpa sehelai benang pun yang melekat dan  bersiap meraih gayung yang mengapung di dalam bak mandi. Begitu tanganku menyentuh gagang gayung, aku terdiam sejenak. Sebuah ide tiba-tiba saja bangkit dan menyeruduk dinding otakku. Aku lantas melepas genggamanku pada gayung, lalu mulai merangkak naik ke atas bak mandi. Kemudian dengan riang gembira aku langsung meloncat dan menceburkan diri ke dalamnya. Tak pelak, suara dentuman keras terdengar mengaum dari arah bak berukuran 1x1,5 meter itu. Begitu telapak kakiku menyentuh dasar bak dan kepalaku telah terendam sepenuhnya ke dalam air, barulah aku ingat kalau rupanya aku tak pandai berenang. Dalam keadaan panik, aku kemudian menyibak-nyibak air sambil berteriak dan berusaha meraih apapun yang bisa kupegang. Situasi semakin kacau karena aku sama sekali belum berhasil menarik diri ke atas permukaan bak. Pada titik ini aku merasa bahwa aku akan segera bersilaturahmi dengan malaikat Izrail. Dan betapa kesalnya aku jika harus menemui ajal dengan cara konyol seperti ini. Sungguh cara mati yang tidak keren sama sekali.

Aku masih berusaha menggerak-gerakkan tanganku dan berupaya menyelamatkan diri dari kubangan bak mandi yang telah menelanku. Aku tidak ingin mati dengan cara bodoh seperti ini. Saat itulah aku mulai memutar otak dan mencoba berpikir dengan tenang. Kuhentikan sejenak tanganku yang sedari tadi terus berontak di dalam dalam air. Untuk beberapa detik aku hanya terdiam di dalam bak tanpa melakukan apapun. Otakku yang masih mungil kupaksa untuk berpikir keras. Sejurus kemudian barulah aku sadar kalau kepanikanku yang luar biasa itulah yang sebetulnya menenggelamkanku di dalam bak mandi. Aku lantas berdiri dan mendapati tinggi air dalam bak mandi rupanya hanya sebatas dadaku saja. Namun, saat itu pula aku menemukan sebuah keganjilan. Air dalam bak yang semula bening tiba-tiba menjadi keruh dan kotor seakan-akan bekas air rendaman sprei anak kos yang sudah lima tahun tidak dicuci.

Dalam keadaan bingung tersebut pintu kamar mandi tiba-tiba didobrak dengan kencang. Dari mulut pintu kedua orang tuaku muncul. Wajah mereka tampak dibalut rasa panik. Mereka berpikir kalau aku telah tenggelam dalam bak mandi karena teriakanku barusan. Raut ketakutan di wajah mereka segera berganti menjadi merah padam begitu menyaksikan air dalam bak yang berubah keruh tak ubahnya air parit. Mereka beranggapan aku telah memasukkan tanah atau semacamnya ke dalam bak mandi. Sontak tangan ibu segera menghampiri daun telingaku. Dan seperti yang sudah kalian bayangkan, tangan ibu kemudian memilin kupingku dengan beringas. Ia lalu menarikku dari dalam bak mandi sambil terus melampiaskan amarahnya dengan tembakan kata-kata yang pedas. Itulah awalnya aku dipanggil Jalotok yang dalam bahasa Batak Angkola berarti si kotor atau si keruh.

Waktu terus bergulir. Kini aku telah masuk  SMP dan memiliki seorang adik perempuan yang baru masuk SD. Saat itu bertepatan dengan hari libur sekolah. Ayah bermaksud mengajak kami sekeluarga untuk menikmati liburan di Danau Toba sekaligus membawa kami jalan-jalan dengan mobil barunya.  

Beberapa hari sebelumnya sebuah mobil baru telah terparkir di halaman rumah kami. Berjenis Toyota Kijang Innova berwarna hitam mengkilap. Ayah mengaku mendapat rezeki dari kantornya untuk membeli mobil tersebut. Sebetulnya bukan asal muasal uangnya untuk membeli mobil itu yang menyedot perhatianku. Aku bertanya-tanya untuk apa pula ayah membeli mobil baru, sementara di garasi rumah kami sudah terparkir sebuah Toyota Starlet yang sudah menemani keluarga kami sejak aku lahir. Starlet berwarna putih susu itu memang sudah tampak tua, usang, dan mulai sering sakit-sakitan, tapi secara keseluruhan ia masih sanggup mengangkut kami sekeluarga mengitari kota karena ayah begitu telaten merawatnya. Namun, ayah beralasan kalau mobil starlet itu sudah terasa sempit untuk menampung kami berempat. Mobil keluaran tahun 80-an itu juga dianggap tidak layak lagi untuk dibawa keluar kota. Ayah lalu menyimpulkan bahwa kami membutuhkan mobil yang lebih luas, nyaman, dan cocok untuk menempuh perjalanan jauh. Mendengar jawaban ayah yang cukup masuk akal, akhirnya aku hanya terdiam dan tak ingin mendebatnya lagi.

Sore menjelang petang, dari Padang Sidimpuan berangkatlah kami menuju Danau Toba dengan mengendarai mobil baru. Ayah memacu mobil dengan kecepatan sedang. Andai prediksinya tidak melenceng, sebelum jam 12 malam harusnya kami sudah tiba bila kondisi jalan tidak macet. Apa lagi sering terjadi kemacetan begitu kendaraan mememasuki daerah Aek Latong karena kondisi jalan yang selalu rusak dan rawan longsor, terlebih bila diterpa musim penghujan, Kawasan Aek latong memang kerap menguji emosi para pengendara yang merasa waktu dan tenaganya banyak terisap di sana.

Di dalam mobil yang melaju santai, udara AC membelai kulitku dengan lembut. Berbeda dengan mobil starlet kami sebelumnya, udara yang mengalir dari rongga AC mobil kijang ini rupanya jauh lebih sejuk. Kendati demikian, aku harus jujur bila kondisi ini tiba-tiba membuat tubuhku menangkap sebuah keganjilan. Udara AC yang memenuhi seluruh bagian mobil kurasakan seperti asap knalpot yang nenempel di kulitku. Aku merasa seluruh badanku mendadak kotor dan menjijikkan. Ketika kami memasuki daerah Sipirok dan sedang menunggu antrean di sebuah SPBU untuk mengisi bahan bakar, saat itu aku mengatakan kepada ibu kalau aku ingin mandi. Tentu saja ia kaget, karena sebelum berangkat dari rumah tadi aku sudah mandi dari rumah. Ibuku juga heran karena AC di dalam mobil juga selalu hidup hingga mustahil bila sekujur badanku mengeluarkan keringat. Namun, ucapan ibu tidak kuhiraukan. Aku tetap ingin mandi saat itu juga dan menuntut ibu segera mengambilkan handuk, peralatan mandi, serta pakaian gantiku.

Rupanya ibu tetap bergeming. Ia tidak mengindahkan pemintaanku. Ia menganggap kalau aku hanya mencari masalah saja, tetapi aku tidak peduli dengan anggapannya itu. Akhirnya dengan perasaan jengkel aku lantas keluar dari pintu depan mobil an bergerak ke arah bagasi. Di sana aku segera mengacak-acak tas dan mengambil handuk, sabun, dan pakaian ganti. Setelahnya aku langsung bergegas menuju kamar mandi yang berada tidak jauh dari area pengisian bensin. Kuperhatikan sorot mata ayah dan ibu menusukku dengan tatapan yang aneh, sementara adikku yang masih kecil terlihat sibuk dengan boneka barbienya. Namun, sekali lagi, aku tidak peduli. Yang ada di kepalaku saat ini hanyalah mandi, mandi, dan mandi.

Untunglah perjalanan kami lancar saja sehingga kami tiba tepat waktu sebelum jam 12 malam, sesuai dengan prediksi ayah. Sesampainya di Parapat, kami pun langsung mencari hotel untuk menginap. Dan apa yang pertama kali kulakukan ketika masuk ke kamar hotel? Tentu saja mandi. Terpaan udara AC mobil ditambah paparan udara AC di kamar hotel membuatku kembali merasa kotor dan jijik.

Kami tidak lama berlibur di Danau Toba. Terhitung hanya dua malam saja. Bukan karena kami bosan dan tidak takjub dengan keindahan panorama alam yang disuguhkan di sana, tapi karena  ibu sudah tidak sanggup lagi membendung kejengkelannya menghadapi tingkahku yang selalu ingin mandi. Perangaiku tersebut rupanya membuat suasana hati ayah dan ibu jadi kacau. Terus terang aku juga tidak paham dengan keanehan yang menimpa diriku. Mereka pikir aku sebetulnya sedang menggelar sebuah lelucon dan berusaha mencari perhatian mereka. Apalagi sejak kelahiran adik perempuanku tersebut, harus kuakui perhatian kedua orang tuaku memang lebih banyak tercurahkan kepadanya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak cemburu. Aku memang merasa sekujur badanku tiba-tiba kotor ketika disapu oleh udara yang keluar AC mobil baru kami itu.

Beberapa hari kemudian sepulang dari liburan yang tidak mengasyikkan itu, ibu lantas membawaku ke seorang psikolog. Dia rupanya menganggap kalau otakku sudah sedikit bergeser dari porosnya. Setelah melewati serangkaian tes, psikolog itu rupanya juga merasa aneh dengan keadaan tubuhku. Ia menyimpulkan bahwa kondisi psikologis dan mentalku sebetulnya baik-baik saja. Dan ia juga mengakui kalau baru kali ini menghadapi kasus seperti yang kualami.

Karena merasa tidak puas, ibu kemudian menemui psikolog lain. Dan hasil yang dikemukakan rupanya tak jauh berbeda dengan psikolog yang pertama. Begitulah seterusnya hingga jawaban yang ibu dapatkan selalu sama. Para psikolog itu mengaku angkat tangan dengan kondisiku. Akhirnya ibu ikut menyerah pula dan pasrah saja dengan keadaan tubuhku yang membingungkan ini.

Sekarang aku sudah dewasa dan berstatus mahasiswa di sebuah kampus ternama. Aku sendiri juga bingung kenapa bisa berada di kampus elit ini. Pasalnya, para mahasiswa yang diterima di kampus ini harus memiliki otak yang encer, sedangkan aku sadar dengan kemampuan otakku yang biasa-biasa saja, bahkan cenderung di bawah rata-rata. Namun, ayahku bersikeras bahwa bagaimana pun caranya aku harus  bisa kuliah di kampus elit ini.

Di kampus, hasratku untuk selalu mandi rupanya tak kunjung mereda, malah semakin ganas saja. Kini, bukan hanya badanku saja yang kuanggap kotor dan menjijikkan. Bahkan aku juga merasa kalau otakku juga berangsur kotor dan menjijikkan pula. Bagaimana tidak, setiap memandang perempuan yang cantik, apa lagi bila ia bertubuh sintal dan padat, seketika itu pula jantungku berdebar begitu hebat. Bibirku berontak dan ingin secepatnya memagut bibir perempuan itu, kemudian kami saling beradu kelamin di atas ranjang. Bila hasratku itu menggelora, maka saat itu pula aku akan bergegas ke kamar mandi dan langsung mengguyur badanku dengan air karena merasa kotor dan jijik.

Oleh sebab itu, setiap hari apa lagi ketika berangkat kuliah aku selalu membawa peralatan mandi dan sejumlah pakaian ganti. Rutinitas pertamaku begitu memasuki kampus adalah mandi. Karena udara AC yang berembus dalam mobil fortuner yang dibelikan ayah untuk transportasiku sehari-hari selalu saja membuatku merasa kotor dan jijik. Belum lagi ketika aku memandang gadis-gadis  kampus yang cantik dan montok yang sering melintas di hadapanku. Bahkan di dalam kelas ketika dosen tengah memberikan kuliah aku sering permisi ke kamar mandi. Dan mereka pun sudah maklum dengan keanehanku yang selalu ingin mandi itu. Terus terang saja, aku sampai lelah bila harus menghitung frekuensi mandiku dalam sehari.

Demikian pula dengan teman-temanku di kampus. Meski pada awalnya mereka merasa risih dengan kebiasaanku itu, seiring bergulirnya waktu, akhirnya mereka mulai biasa menerima keanehanku, tapi tetap saja sesekali mereka tak bisa mengendalikan mulut mereka lantas mencoba menggodaku. Bahkan terkadang mereka memanggilku Jalotok si cabul. Dan nama itu rupanya sudah santer tersebar di seantero kampus. Namun, sekali lagi, perlu kutegaskan bahwa aku tidak peduli dengan omongan mereka. Toh, mereka tetap mau berteman denganku dan menganggap bahwa aku adalah teman yang baik. Mereka berkata seperti itu mungkin karena aku memang sering mentraktir mereka dan kerap pula mengajak mereka jalan-jalan dengan mobil mewahku.

Kenangan demi kenangan semasa kecil hingga kuliah itu tiba-tiba saja berhamburan ketika aku mengendarai mobil menuju lapas untuk menjemput ayah. Sudah lima tahun ini ia mesti menikmati hidup dari balik jeruji besi karena tersangkut masalah korupsi dan hari ini ia sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun, sebelum menuju rutan, aku harus berbelok dahulu ke arah bandara untuk menjemput adik perempuanku di sana. Kebetulan ia sedang libur kuliah sekaligus ingin merayakan kebebasan ayah dan memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Sudah dua tahun ini ia memang tidak pulang karena dikurung berbagai kesibukan kuliahnya di London. Aku dan  ibu tentu saja juga sangat merindukan kehadirannya

Nyaris setengah jam aku dan ibu memupuk kesabaran di terminal kedatangan penumpang pesawat. Beberapa saat kemudian, akhirnya adik perempuanku itu muncul juga. Dan terus terang saja, aku mendadak pangling dan mataku seketika terbelalak hendak keluar begitu melihatnya berjalan menghampiri kami. Dua tahun kami tak berjumpa dan tak kusangka ternyata begitu banyak perubahan dalam dirinya. Dia jadi makin cantik, seksi, dan berisi. Entah kenapa darahku berdesir hebat dan  jantungku tiba-tiba memompa lebih cepat. Saat itulah aku segera beranjak dan bergegas mencari lokasi kamar mandi[]


                                                                                                    Padang Sidimpuan, 2023

Lanjut baca »
Postingan Lama
Beranda