Pasca banjir bandang akibat meluapnya Aek Batangtoru yang terjadi 24 November 2025, Sinar Tabagsel tiba di muara Aek Batangtoru di pesisir pantai Barat Sumatra, wilayah Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, pada Minggu, 1 Desember 2025. Jalur dari dan menuju daerah itu terputus di wilayah Hapinis karena badan jalan anjlok, membuat daerah ini terisolir.
Penulis: Nasaktion Efry | Editor: Budi Hutasuhut
Sapril dengan tubuh berlumpur lumpur, mengenakan celana pendek tanpa baju, duduk di atas sebatang pohon mahoni, di depan rumahnya Dusun Mambang Pasir, Desa Muara Hutaraja, Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Pohon itu berdiameter semeter, itu kayu yang datang bersama luapan Aek Batangtoru dan ribuan kubik kayu lainnya pada Senin, 24 November 2025.
Laki-laki 45 tahun itu sedang membersihkan pasir bercampur lumpur yang memenuhi rumahnya. Pekerjaan itu sudah dilakukannya mulai hari Rabu, 26 November 2025. Tak ada lagi perabotan di dalam rumah itu. Hanya pasir dan potongan-potongan kayu.
Ia tak banyak bicara. Setiap butir pasir bukan saja sulit disingkirkan, tapi ia tampak masih enggan untuk menyingkirkan karena khawatir banjir susulan akan datang. Pandangannya kosong ke arah Aek Batangtoru di hadapannya. Sungai itu tampak tenang dan coklat, seolah-olah tidak pernah mengamuk dan begitu menakutkan.
Sungai itu biasanya menjadi tempatnya mencari nafkah sebagai penambang pasir. Bekerja menyedot pasir dengan mesin, ia hanya buruh harian. Pada 24 November 2025 lalu, ketika langit gelap dan hujan turun lebat, air di Aek Batangtoru mengalir deras, dan sungai itu menjadi mimpi buruk.
Sapril baru saja selesai bekerja menyedot pasir. Ia di dalam rumahnya, baru saja mendirikan sholat Ashar ketika hujan lebat. Hal yang biasa, arus Aek Batangtoru menderas saat hujan. Sapril tidak punya firasat apa pun tentang bencana. Kalau pun banjir, ia menduga air hanya naik dan itu akan cepat surut.
Ia masih tenang sambil membayangkan istri dan anak-anaknya yang sedang di rumah salah seorang kerabat di Muara Apoulu, sekitar enam kilometer ke arah pesisir pantai Barat. Istrinya berangkat pagi, berencana pulang sore. Mereka biasa melakukan kunjungan seperti itu, Sapril tidak punya waktu untuk ikut.
Dalam hitungan menit, tiba-tiba terdengar suara orang-orang menjerit di kejauhan, lalu orang-orang berlari menjauh dari Aek Batangtoru sambil berteriak "banjir". Saat itulah Sapril menoleh ke Aek Batangtoru dan melihat arus air menderas membawa benda-benda berwarna hitam. Benda-benda yang bergerak bersama air mengalir beruara kretak kretak seperti bunyi kayu yang patah serentak.
Sadar bahwa arus Aek Batangtoru membawa potongan-potongan kayu, Sapril histeris memanggil istri dan anak-anaknya. Ketika ia ingat istri dan anak-anaknya sedang ke rumah saudaranya, ia teringat mereka akan pulang sore hari.
Khawatir istrinya sudah pulang dan dalam perjalanan menuju rumah, Sapril memutuskan pergi ke arah datangnya air sungai yang sedang meluap. Memilih jalur lewat hutan kebun sawit dan belukar semak, menjauah dari Aek Batangtoru. Sambil berjalan, ia melihat air telah menghantam rumah-rumah yang berdiri sepanjang Aek Batangtoru.
Kayu-kayu gelondongan menghantam dinding-dinding rumah, menembus dinding-dinding itu. Sebagian kayu melintas sampai ke hilir. Melihat pemandangan yang mengerikan, ia berlari ke hulu, ke arah perbatasan dengan Kelurahan Hutaraja, berharap istri dan anaknya ada di sana.
Di Sarah, istri Sapril, baru saja tiba di Kelurahan Hutaraja, persis di depan Masjid Al Hidayah, ketika air naik ke jalan, muntah dari sungai kecil di depan masjid. Tekanan arus air yang kuat membuat jembatan di depan masjid berderak. Dalam hitungan menit, ia melihat jembatan itu bergoyang dan runtuh. Peristiwa itu mengagetkan siapa saja yang melihat.
Sementara air semakin naik, Sarah membawa anak-anaknya menjauh. Ia mengendarai sepeda motor, melesat kembali ke arah Desa Muara Ampolu, bermaksud ke rumah saudaranya. Namun, sepanjang perjalanan, ia melihat air mulai naik dengan cepat dan menenggelamkan badan jalan. Pemandangan itu membuat Sarah menggila, menggeber gas sepeda motornya, menjauh dari air.
Di perjalanan, ia bertemu dengan oranga-orang yang juga berusaha menghindar banjir. Orang-orang yang datang dari arah berlawanan mengatakan kalau air telah menggenangi kampung-kampung mereka. Merasa bingung, Sarah tetap memacu ke arah Desa Muara Ampolu. Namun, saat ia tiba di Desa Tarapung Raya, situasi tampak semakin kacau. Banyak orang mengungsi ke desa itu. Air tidak menenggelamkan tempat itu karena lebih tinggi. Orang-orang panik mencari tempat yang lebih tinggi dan tetap kering.
Dalam hitungan menit, Sarah melihat orang-orang berkumpul menyelamatkan diri dari banjir. Sejumlah bangunan di Desa Tarapung Raya dipadati para pengungsi. Sarah menangis mengingat suaminya. Ia mengira Sapril telah dibawa arus deras Aek Batangtoru dan jadi korban. Membayangkan hal paling mengerikan telah terjadi, ia berteriak-teriak memanggil nama suaminya. Anak-anaknya ikut menangis.
Sapril sendiri tidak menemukan istrinya ketika ia tiba di Pasar Muara Hutaraja. Yang ia temukan adalah para pengungsi. Orang-orang panik dan menangis. Ia juga panik karena tak menemukan keluarganya. Ia khawatir istri dan anak-anaknya jadi korban.
Pasangan suami-istri itu bertemu sekitar dua jam setelah banjir. Nasib baik semua anggota keluarga masih utuh. Banjir mulai reda, orang-orang memberanikan diri melihat kondisi rumah masing-masing. Sebagian besar masih khawatir banjir susulan. Mereka yang memiliki sedikit keberanian, membaca situasi dan mencari tahu tentang apakah ada korban jiwa atau tidak.
Sapril dan beberapa orang yang turun ke Desa Muara Hutaraja, kesulitan melewati jalan yang telah ditutupi lumpur pasir. Air masih menggenangi jalan. Kayu-kayu gelondongan berserakan di jalan. Air masih menggenang. Rumah-rumah di sepanjang pinggiran Aek Batangtoru tertimbun lumpur bercampur pasir. Kampung yang biasanya riuh dan ramai, lengang seperti lapangan pasir tanpa penghuni.
Arus Aek Batangtoru yang deras dan membawa ribuan kubik kayu gelondongan, mengarah langsung ke Desa Muara Hutaraja yang ada di pinggir sungai. Ribuan kubik kayu yang sebagian besar telah terpotong rapi dan masih berkulit. Bekas pemotongan menunjukkan, kayu-kayu gelondongan itu sengaja ditebangi untuk diangkut. Namun, sebelum kayu-kayu itu diangkut, Aek batangtoru telah menghanyutkannya.
Kebun sawit di pinggir Aek Batangtoru di dalam wilayah Desa Muara Hutaraja dihanyut banjir. Lahan bekas kebun sawit itu dipenuhi ribuan kubik kayu gelondongan berbagai ukuran. Kayu-kayu itu tertahan oleh hutan kebun sarit, lalu membentuk daratan yang membuat badan sungai menyempit.
Sebagian kayu gelondongan masih dibawa arus Aek Batangtoru ke hilir. Itu membuat arus air tetap deras. Ketika melintasi Desa Bandar Tarutung yang persis di pinggir Aek Batangtoru, banjir itu menenggelamkan rumah-rumah penduduk.
Desa Bandar Tarutung berada di wilayah Kecamatan Angkola Sangkunur, terletak di seberang Desa Muara Hutaraja yang berada di wilayah Kecamatan Muara Batangtoru. Banjir yang menghantam Desa Bandar Tarutung lebih parah, menggenangi rumah-rumah penduduk dan mengisolasi jalan menuju perkampungan.
Kondisi terbaru di Desa Bandar Tarutung belum diketahui, karena jalur ke desa itu terisolir. Sejumlah masyarakat yang memiliki kerabat di desa tersebut mengirim video pendek yang menampilkan kondisi terbaru, di mana rumah-rumah warga telah tergenang.
Sementara arus Aek Batangtoru yang telah memorakporandakan Desa Muara Hutaraja dan Desa Bandar Tarutung, terus mengalir ke hilir dan menyebabkan arus air yang deras masuk melalui sungai-sungai kecil yang selama ini bermuara ke Aek Batangtoru. Debit air di sungai-sungai kecil yang melintasi perkampungan penduduk di Kecamatan Muara Batangtoru, menderas dan menjelma mimpi buruk bagi masyarakat.
Sejumlah desa yang ada di sepanjang jalan dari Kelurahan Hutaraja, ibu kota Kecamatan Muara Batangtoru, menuju pesisir di pantai Barat, menjadi tergenang air. Tinggi volume air berdampak terhadap perkampungan penduduk yang ada di Kecamatan Angkola Sangkunur. Kayu-kayu gelondongan menghampar pinggir Aek Batangtoru.



COMMENTS