.

Dunia Internasional Nilai PLTA Simarboru Perusak Lingkungan

Budi Hutasuhut | Jurnalis Sinar Tabagsel

Bupati Tapanuli Selatan, Dolly Pasaribu, bersama  bersama Presiden Direktur PT NSHE, Du Yubao, dalam acara pengalihan aliran Sungai Batangtoru pada Senin, 10 Juli 2023

Norwegian Government Pension Fund Global (GPFG), Dewan Etik Dana Pensiun Pemerintah Norwegia, mengikuti langkah Bank of China yang lebih dahulu menolak memberikan kredit kepada PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), pengelola Pusat Listrik Tenaga Air Sipirok, Marancar, Batangtoru (PLTU Simarboru) di Kabupaten Tapanuli Selatan yang merupakan anak perusahaan Power Construction Group of China Ltd (PowerChina). 

Norwegian Government Pension Fund Global (GPFG) mengeluarkan rekomendasinya agar mem-black-list PowerChina pada 6 Juli 2023 yang ditujukan kepada perusahaan manajemen investasi pengelola dana pensiun milik pemerintah Norwegia. Alasan GPFG, PowerChina yang menguasai PT NSHE dan mengelola PLTA Simarboru dinilai berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan di ekosistem Batangtoru, habitat orangutan tapanuli. 

Beberapa tahun sebelumnya, Bank of China yang memberikan dana sebesar Rp21 triliun kepada PT NHSE untuk mengerjakan PLTA Simarboru,  proyek yang masuk daftar proyek strategis nasional. Proyek yang seharusnya selesai pada 2022, kemudian batas akhirnya direvisi menjadi 2026. Setelah kalangan aktivis lingkungan internasional menggelar aksi di halaman gedung Bank of China di Jakarta karena perusakan lingkungan Ekosistem Batangtoru, Bank of China kemudian menolak membiayai proyek yang dikelola anak perusahaan PowerChina tersebut.

Alasan perusak lingkungan di Ekosistem Batangtoru membuat GPFG Norwegia merekomendasikan lembaga investasi di negaranya untuk menolak membiayai proyek PLTA Simarboru yang dikelola PowerChina. Bagi GPFG Norwegia, Ekosistem Batangtoru merupakan rumah dari berbagai satwa khas Sumatera, terutama harimau sumatera dan orangutan tapanuli. “...karena risiko yang tidak dapat diterima bahwa perusahaan berkontribusi terhadap, atau bertanggung jawab atas, kerusakan lingkungan yang serius,” tulis rekomendasi tersebut. 

Kabar black list Norwegia itu, membuat proyek PowerChina di dalam Ekosistem Batangtoru kembali jadi sorotan kalangan aktivis lingkungan internasional. Pembangunan PLTA Simarboru kapasitas 4×127,5 MW ini membangkitkan kembali peristiwa empat tahun lalu, 2019. Ketika itu,  Mighty Earth, lembaga swadaya masyarakat dari Amerika Serikat, gencar mengkampanyekan perlindungan orang utan Batang Toru yang menjadi lokasi PLTA Simarboru. 

Mighty Earth yang dipimpin Glenn Hurowitz, membentuk Koalisi Perlindungan Orangutan Tapanuli bersama Orangutan Information Centre, Sumatran Orangutan Conservation Programme, dan Center for Orangutan Protection. Koalisi ini kemudian menulis surat kepada Presiden Joko Widodo agar menghentikan pembangunan PLTA itu. Reaksi Presiden Joko Widodo bukannya langsung menutup proyek PLTA Simarboru, malah merevisi batas akhir penyelesaian proyek startegis nasional itu dari 2022 menjadi 2026. 

Pasalnya, belakangan diketahui, kampanye Mighty Earth tentang perlindungan orangutan tapanuli lewat koalisi yang dibentuk bersama sejumlah lembaga lingkungan hidup, ternyata ditunggangi kepentingan bisnis merebut pembiayaan dan kepemilikan saham perusahaan. Mighty Earth yang mendesak PT NSHE menghentikan proyek PLTA Simarboru, ternyata menawarkan skema pendanaan kredit sindikasi bank-bank Amerika Serikat untuk membiayai proyek tersebut.

Guna memuluskan tawaran itu, Mighty Earth menjanjikan kepada PT NHSE untuk berkomitmen melindungi orang utan Tapanuli dan ekosistem Batangtoru, membentuk tim ahli untuk mengevaluasi dampak pembangunan PLTA terhadap orang utan dan masyarakat sekitar proyek, serta menawarkan opsi pembiayaan proyek PLTA dan energi bersih di Sumatera. 

Namun, PT NHSE menolak tawaran pembiayaan Mighty Earth karena bunganya terlalu tinggi dan memutuskan menerima kredit dari Bank of China. Akibat penolakan PT NHSE itu, protes Mighty Earth semakin gencar terhadap keberadaan PT NSHE di PLTA Simarboru. Aksi penolakan ini kemudian diikuti oleh sejumlah lembaga lingkungan, yang kemudian menyasar kepada keterlibatan Bank of China di proyek PLTA Simarboru. 

Black List Norwegia

Isu proyek strategis nasional PLTA Simarboru yang mengancam habitat orangutan tapanuli terus mendapat perhatian dunia internasional. Sebuah media di Skotlandia juga menyoroti masalah tersebut. Kolumnis Skotlandia, Mark Smith, dalam opininya di surat kabar Scottish Herald Voices pada 5 Juni 2023, menjelaskan kaitan proyek PLTA Simarboru dengan Skotlandia.

Dalam tulisan berjudul "Why is Scotland silent on the scandal of Batang Toru?" itu, Smith menilai State Development & Investment Corporation (SDIC), badan usaha minil negara China, yang menjadi pendana  pembangunan PLTA Simarboru. Perusahaan BUMN China itu juga mengoperasikan proyek energi di Skotlandia melalui anak usahanya, Red Rock Power. Mark mengingatkan agar pemerintah Skotlandia tidak terlibat dengan perusahaan yang menyebabkan ancaman langsung terhadap lingkungan dan dapat menyebabkan kepunahan suatu spesies langka seperti yang terjadi dengan orangutan tapanuli di Ekosistem Batangtoru.

Menyikapi black list dari Norwegia terhadap PowerChina karena proyek PLTA Simarboru merusak lingkungan dan mengganggu habitat orangutan tapanuli, Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, mengapresiasi keputusan tersebut sebagai bentuk komitmen serius terhadap perlindungan hutan dan keanekaragaman hayati.

“China seharusnya melakukan hal yang sama dengan meninggalkan bendungan Batang Toru. Apalagi Cina merupakan tuan rumah COP15 yang seharusnya menunjukkan komitmen untuk melindungi keanekaragaman hayati,” kata Andi Muttaqien dalam rilis pers.

Muttaqien menambahkan, proyek PLTA Simarboru akan membuat habitat orangutan tapanuli semakin terfragmentasi dan terancam punah. Berinvestasi dalam proyek tersebut berarti mendanai penghancuran habitat orangutan tapanuli–kera besar paling langka di dunia yang populasinya hanya tersisa kurang dari 800 individu.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Tarigan, menyampaikan setidaknya ada tiga proyek besar yang mengancam bentang alam Batang Toru. Selain PLTA Batang Toru, ada pula Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Sarulla dan tambang emas Martabe yang dikelola PT Agincourt Resources serta beberapa konsesi lainnya. Aktivitas perusahaan-perusahaan tersebut sangat mempengaruhi kelangsungan ekosistem Batang Toru dan mengancam ruang hidup Orangutan Tapanuli.

“Melihat kondisi tersebut, sebaiknya pemerintah meninjau ulang izin-izin terhadap perusahaan rakus ruang tersebut, karena banyak sekali biodiversitas yang bergantung kepada Hutan Batangtoru,” ujar dia.

Pengaliran Air Sungai

Meskipun terjadi penolakan internasional terhadap proyek PLTA Simarboru, pemerintah Indonesia bergeming menunjuk PT NSHE sebagai pengelola proyek senilai Rp21 triliun ini. 

PT NSHE merupakan perusahaan konsorsium yang sahamnya dimiliki PT Dharma Hydro Nusantara (DHN) sebesar 52,82 persen, PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) 25 persen, dan Fareast Green Energy Pte Ltd. sebesar 22,18 persen. Sementara  Fareast Green Energy bersama Asia Ecoenergy Development merupakan pemilik PT Dharma Hydro Nusantara. Dengan kata lain, sebanyak 75% saham PT NSHE  dikuasai oleh Fareast Green Energy. 

PT NSHE yang beroperasi di bawah skema build operate transfer (BOT). Pembangkit nantinya diserahkan kepada PT PLN (Perseroa) setelah 30 tahun. 

Banyaknya desakan kalangan aktivis lingkungan terhadap keberadaan proyek PLTA Simarboru, sempat membuat pemilik saham mayoritas di PT NSHE berpikir untuk tidak lagi terlibat dan menjual sahamanya.   Anton Sugiono, direktur PT Dharma Hydro Nusantara sebagai pemilik saham mayoritas di PT NSHE, sempat ingin menjual sahamnya pasca penolakan Bank of China. Namun, upaya itu terhenti setelah mendapatkan investor baru, BUMN China,  State Development & Investment Corporation (SDIC). 

Diengan pembiayan dari SDIC, proyek PLTA Simarboru terus berlanjut. Pada 10 Juli 2023 lalu, PT NSHE mengundang Bupati Tapanuli Selatan Dolly Pasaribu menghadiri pengalihan aliran Sungai Batangtoru di areal proyek.

Meskipun begitu, berbagai persoalan terjadi di lingkungan proyek PLTA Simarboru. Salah satunya terkait persoalan tanah masyarakat yang belum selesai, juga mengenai serapan tenaga kerja di sejumlah perusahaan yang ada di lingkungan proyek PLTA Simarboru tersebut. Daya serap tenaga kerja di sejumlah perusahaan dalam lingkungan PLTA Simarboru sangat lemah, dan sering terjadi pemutusan hubungan kerja yang merugikan masyarakat sekitarnya. 



Tidak ada komentar

Beranda