Generasi muda kurang mengenal budaya lokalnya karena tidak pernah secara sungguh-sungguh mempelajari budaya sebagai jati dirinya
Penulis: Dian Maas Siregar | Editor: Nasaktion Efry
Di dalam Diskusi Budaya bertema "Bersama Generasi Muda Melestarikan Budaya Lokal" yang merupakan bagian dari acara Kemah Budaya Angkola 2025, Sanggar SEP (Sahata Etnik Padangsidimpuan), lembaga yang merancang kegiatan itu selama dua hari, 22-23 November 2025 di Lingkungan VI Kelurahan Batunadua Jae, Kecamatan Batunadua, Kota Padangsidimpuan., mengundang tokoh-tokoh budaya di tingkat lokal.
Diskusi yang dimoderatori Nasaktion Efry, seorang akativis budaya di Kota Padangsidimpuan yang juga Direktur Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Kebudayaan Daerah (LPPKD), dihadiri ratusan masyarakat Kelurahan Batunadua Jae, Kecamatan Batunadua, Kota Padangsidimpuan yang duduk mengelilingi tanah lapang. Di antara hadirian ada Lurah Batunadua Jae; tampak Rudy Iswandhi, S.Pd (Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Padng Sidimpuan), Purnadi, S.E. (anggota DPRD Kota Padangsidimpuan), dan dihadiri wakil dari Kepolisian Sektor (Polsek) Batunadua.
Diskusi dibuka dengan pernyataan dari Hasrin Siregar, tokoh budaya yang menjadi orang kaya huta (orang yang ditetapkan sebagai juru bicara masalah adat-istiadat) di Lingkungan VI Kelurahan Batunadua Jae, Kecamatan Batunadua, Kota Padangsidimpuan.Ia mengungkapkan, sebagai orang kaya huta yang sering menghadiri acara-acara adat, ia melihat generasi muda kurang perduli dengan kebudayaannya karena ketidaktahuan mereka.
Kondisi ini terjadi karena pola pendidikan dalam keluarga membuat orang tua cenderung memposisikan adat-istiadat sebagai hal yang tidak praktis dan karenanya menyusahkan, sehingga kegiatan-kegiatan berdimensi prosesi adat-istiadat yang digelar dalam rangka penguatan ikatan sosial, sering dilewatkan atau malah ditiadakan. Para orang tua menganggap segala hal yang berhubungan dengan kebudayaan, terutama adat-istiadat, hanya akan menimbulkan kesulitan dalam kehidupan sosial.
"Faktor agama pun acap menjadi penyebab. Masih banyak pihak yang menganggap adat-istiadat itu tidak sejalan dengan akidah agama," kata Hasrin Siregar yang juga Kepala Lingkungan VI Kelurahan Batunadua Jae.
Untuk menghindari prosesi adat-istiadat, para orang tua memilih menggelar acara pernikahan anggota keluarganya di gedung dengan alasan menggelar pernikahan di kampung sendiri akan memakan banyak waktu karena harus digelar sesuai aturan adat yang berlaku. Untuk menghindari aturan-aturan adat dalam pernikahan, para orang tua memutuskan menggelar acara pernikahan di luar wilayah adatnya.
"Acara adat dalam pernikahan bukan untuk mempersulit masyarakat. Acara adat itu menjadi bagian penting dari kehidupan sosial, karena acara adat bertujuan mengikat hubungan antara kedua belah pihak yang menikah menjadi ikatan keluarga Dalihan Na Tolu. Pengikatan itu hanya bisa dilakukan lewat seremoni adat-istiadat pernikahan," katanya.
Lantaran tidak ada acara adat yang digelar, generasi muda tidak bisa lagi mempelajari adat-istiadatnya. Pada akhirnya generasi muda tidak mengetahui soal adat, sehingga mereka tidak lagi memperdulikannya. "Ketika kita mengajak generasi muda terlibat dalam acara adat-istiadat, mereka menolak terlibat dengan alasan tidak mengerti," katanya.
Ustad Ian Pimpinan Lubis, tokoh agama di Lingkungan VI Kelurahan Batunadua Jae menyatakan, nilai-nilai budaya Batak tidak bertentangan dengan ajaran agama mana pun. Di dalam Islam, dasar-dasar beradat itu sejalan dengan kitabulah. Namun, pemahaman sempir tentang adat-istiadat akibat tidak mau belajar membuat orang sangat gampang menyalahkan adat-istiadat.
"Selaku orang tua jangan pernah bosan mengajarkan adat leluhur kepada generasi muda. Kita harus menanamkan nilai-nilai budaya itu kepada anak-anak," katanya.
Mengutif pernyataan Ali bin Abu Tholib yang menyebut "didiklah anak dan keturunanmu sesuai zamannya", Ustad Ian Pemimpin Lubis mengharapkan agar para orang tua mengajarkan adat-istiadat dan kebudayaan sesuai dengan zaman anaknya agar generasi muda perduli terhadap kebudayaan daerah di lingkungannya.
"Keperdulian bisa muncul jika generasi muda diyakinkan bahwa kebudayaan itu selalu sesuai dengan zamannya. Kebudayaan berkaitan dengan ekspresi-ekspresi masyarakat, nilai-nilai kehidupan sehari-hari, dan kreativitas generasi muda," katanya.
Senada disampaikan Ahmad Rusli Harahap, M.Hum, akademisi di UIN Syahada Padangsidimpuan, mengatakan seharusnya generasi muda itu peka terhadap budaya karena kebudayaan itu tidak akan pernah sirna. Pasalnya, kebudayaan itu berkaitan dengan nilai-nilai budaya, atau lebih spesifik budaya itu berkaitan dengan kasih sayang.
Dalam ranah budaya Angkola, seharusnya generasi muda menyadari bahwa leluhur budaya Angkola mewariskan generasi muda atau naposo nauli bulung merupakan pagar ni huta (orang yang menjadi simbol pelindung kampung)
"Selama generasi muda masih memiliki kasih sayang terhadap apapun, selama itu budaya tetap akan utuh. Dalam ranah budaya Angkola, seharusnya generasi muda menyadari bahwa leluhur budaya Angkola mewariskan generasi muda atau naposo nauli bulung merupakan pagar ni huta (orang yang menjadi simbol pelindung kampung)," katanya.
Sebagai pagar ni huta, keberadaan generasi muda atau naposo nauli bulung dalam prosesi-prosesi adat selalu dilibatkan. Tanpa keterlibatan generasi muda, prosesi adat-istiadat tidak akan berjalan dengan lancar.
"Jika ada musyawarah adat pernikahan, para tokoh budaya akan menyerahkan pekerjaan untuk memperlancar acara itu kepada generasi muda," katanya.
Budi Hutasuhut, peneliti dan penulis buku budaya, menegaskan bahwa generasi muda mengalami kebingungan dalam memahami situasi di lingkungannya, menganggap dirinya bukan bagian dari kebudayaan lokal yang ada. Mereka bukan saja tak memiliki rasa tanggung jawab untuk memajukan kebudayaan daerahnya, tetapi juga tidak merasa bertanggung jawab atas pelestarian nilai-nilai budaya.
"Kita tidak bisa menyalahkan generasi muda, karena ini kesalahan sejak lama. Para orang tua juga tidak paham tentang kebudayaannya," kata Budi.
Menurut Budi Hutasuhut, ketidakperdulian terhadap kebudayaan sudah terjadi pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Ketika Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, orang-orang fokus untuk meningkatkan kesejahteraannya sehingga menghabiskan energi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Ketika mereka menyekolahkan anak-anaknya, para orang tua tidak mengarahkan anak-anaknya untuk menjadi ahli budaya, tetapi memaksa agar sekolah yang membuat si anak cepat mendapat pekerjaan.
"Orientasi orang tua hanya pada ekonomi dan bagaimana agar bisa hidup sejahtera. Untuk sejahtera, hanya bisa diwujudkan dengan menjadi PNS. Akibatnya anak-anak tidak pernah belajar kebudayaan," katanya.

COMMENTS