Deforestrasi Hulu Sungai Penyebab Banjir Parapat


Kawasan hutan yang menjadi hulu sejumlah sungai yang meluap dan menerjang Parapat, Minggu, 16 Maret 2025,  merupakan lahan konsesi PT Toba Pulp Lestari. Rusaknya kawasan hulu akibat deforestrasi untuk kepentingan investor produsen bubur kertas itu, disinyalir  sebagai penyebab bencana yang merugikan masyarakat. 

Penulis: Efry Nasaktion | Editor: Budi Hutasuhut

Banjir bandang yang menghantam Parapat akibat meluapnya Sungai Batu Gaga dan membawa material batu dan lumpur,  membuat sejumlah warga yang menjadi korban menderita trauma pascabanjir.  Setelah tiga hari pascabanjir,  Rabu,  19 Maret 2025, warga yang rumahnya diterjang air dan bebatuan yang dibawa arus sungai,  trauma kalau-kalau banjir susulan akan kembali menerjang. 

"Kami tak bisa tenang. Begitu mendengar suara gemuruh, kami khawatir banjir susulan datang," kata salah seorang warga yang ditemui sedang menmbersihkan rumahnya yang direndam lumpur. 

Para warga mengaku trauma akibat banjir karena tidak pernah menyangka akan mendapat musibah seperti itu. Pasalnya,  warga mengaku tidak logis air Sungai Batu Gaga bisa meluap dan menghanyutkan rumah-rumah warga serta merusak sejumlah fasilitas umum. Banjir juga menyebabkan aktivoitas ekonomi masyarakat di Parapat menjadi terhenti.

Berdasarkan data Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), banjir bandang menyebabkan 11 rumah warga mengalami rusak parah, sementara 138 Kepala Keluarga terdampak langsung oleh banjir. Bahkan, banjir kali ini juga menyebabkan fasilitas umum seperti rumah sakit dan beberapa hotel, termasuk Hotel Atsari, terendam lumpur. 

Jalan Lintas Sumatra, yang menghubungkan Parapat dengan Balige dan Medan, lumpuh akibat longsor dan genangan air. Hingga Rabu, 16 Maret 2025, kondisi Kota Parapat belum sepenuhnya pulih.  Aktivitas ekonomi masyarakat belum bergerak: warung-warung dan rumah makan masih tutup. 

Di beberapa titik terlihat warga bergotong-royong membersihakan material berupa batu-batu dan lumpur yang memasuki rumah-rumah warga. 

"Dampak bencana seperti ini terasa lebih dari satu bulan. Wisatawan takut singgah,  sehingga usaha kami merugi," kata Ngatiman, pemilik usaha di kawasan Panatapan. 

Ia berharap pemerintah segera mengambil langkah nyata untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang. "Sekarang kami selalu khawatir setiap kali hujan turun, takut longsor terjadi lagi. Pemerintah

harus bersikap tegas terhadap pelaku perusakan hutan," tegasnya.

Deforestrasi Kawasan Hutan

Banjir bandang yang menghantam Kota Parapat diduga terjadi akibat tingginya intensitas hujan pada Minggu, 16 Maret 2025.  Debit air yang tinggi tak mampu diserap tanah di hulu sungai, terutama di kawasan bangun Dolok,  yang telah mengalami deforestrasi,  sehingga terjadi pengikisan permukaan tanah berupa lumpur dan batu-batu. 

Material lumpur dan batu-batu masuk ke aliran Sungai Batu Gaga, sementara sungai itu tidak mampu menampung debit air hingga melimpas.  Arus air Sungai Batu Gaga yang membawa material batiu-batu dan lumpur menghantam apa saja yang ada di hilir, melimpas dari badan sungai, dan menyebar sampai ke Kota Parapat.


Material lumpur dan batu-batu masuk ke aliran Sungai Batu Gaga, sementara sungai itu tidak mampu menampung debit air hingga melimpas.  Arus air Sungai Batu Gaga yang membawa material batiu-batu dan lumpur menghantam apa saja yang ada di hilir, melimpas dari badan sungai, dan menyebar sampai ke Kota Parapat.


Sejumlah video yang disiarkan secara online lewat media sosial menunjukkan, limpasan arus air Sungai Batu Gaga mengalir sampai menutupi permukaan jalan aspal Lintas Sumatra yang membelah Kota Parapat.  Ruas jalan selebar dua belas meter itu berubah menjadi aliran sungai, mengahanyutkan apa saja yang ada di sepanjang ruas jalan tersebut.

"Banjir Parapat bukan ujian dari Tuhan atau suratan tangan, ini adalah akibat ulah manusia yang merusak alam ciptaan Tuhan," kata  Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Tinambunan, dalam konferensi pers pada Senin, 17 Maret 2025. 

Pernyataan Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Tinambunan sejalan dengan hasil investigasi yang dilakukan Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN), dan Auriga Nusantara. Berdasarkan analisis spasial dan penelitian di lapangan, ditemukan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir telah terjadi pembukaan hutan yang signifikan di 5 kecamatan sekitar Parapat: Girsang Sipangan Bolon, Dolok Panribuan, Pematang Sidamanik, Hatoguan, dan Jorlang Hataran.  Lima kecamatan merupakan landsekap satu daerah aliran Sungai Bolon Simalungun. 

Berdasarkan investigasi tersebut,  disebutkan pada tahun 2000,  luas hutan hutan di lima kecamatan tersebut mencapai 10.348 hektare. Namun, angka ini terus menyusut hingga tersisa hanya 3.614 hektare pada tahun 2023. 

"Periode kehilangan hutan terbesar terjadi pada tahun 2005-2010, di mana 2.779 hektare hutan hilang," kata Rocky dari KSPPM dan Henki Manalu dari AMAN Tano Batak dalam rilis yang diterima Sinar Tabagsel. "Dalam periode 2010-2025, kembali terjadi pengurangan tutupan hutan sebesar 2.366 hektare."

Jika diakumulasi, dari tahun 2000 hingga 2022, kawasan ini telah kehilangan hutan alam seluas 6.148 hektar. Perubahan ini sangat berpengaruh terhadap daya tampung air hujan dan stabilitas tanah, yang akhirnya berkontribusi terhadap bencana banjir dan longsor.

"Banjir bandang kali ini lebih parah dibanding 2021. Ini  menunjukkan kerusakan hutan di hulu semakin memburuk," kata Jaka Kelena, manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Sumut. 

WALHI Sumut mendesak pemerintah untuk segera mengevaluasi dan mencabut izin konsesi perusahaan-perusahaan yang merusak hutan. 

Menurut Pasal 1 angka 7 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H), pemerintah wajib mencegah kerusakan hutan. Namun, WALHI Sumut menilai pemerintah tidak serius menerapkan UU ini.

"Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) tidak terlihat eksistensinya, padahal UU P3H telah mengatur secara rinci," tambah Jaka.

WALHI Sumut memperingatkan, jika izin konsesi perusahaan seperti PT TPL tidak dievaluasi atau dicabut, pemerintah dinilai membiarkan kerusakan hutan dan membahayakan masyarakat dengan ancaman bencana ekologis."Pemerintah harus bertindak tegas untuk melindungi hutan dan masyarakat," tegasnya.

Banjir bandang di Parapat menjadi alarm bagi pemerintah untuk segera mengevaluasi izin konsesi perusahaan perusak hutan. Tanpa tindakan tegas, ancaman bencana ekologis akan terus membayangi masyarakat.

Konsesi PT TPL

PT Toba Pulp Lestari (TPL) diketahui memiliki wilayah konsesi seluas 20.360 hektar di sektor Aek Nauli, Kabupaten Simalungun. Berdasarkan analisis perubahan tutupan hutan alam yang dilakukan oleh tim, terjadi deforestasi signifikan dalam kawasan konsesi ini selama periode 2000 hingga 2023. 

Pada tahun 2000, luas hutan alam di wilayah tersebut masih mencapai 10.348 hektar. Namun, angka ini terus menyusut hingga hanya tersisa 3.614 hektare pada tahun 2023. Total kehilangan tutupan hutan dalam kurun waktu tersebut mencapai 6.734 hektare. 

Periode deforestasi terbesar terjadi antara tahun 2005-2010 dengan kehilangan hutan seluas 2.779 hektare, disusul periode 2010-2023 yang mengalami penyusutan lebih lanjut sebesar 2.336 hektare. Data ini menunjukkan bahwa laju kehilangan hutan di sektor Aek Nauli sangat massif dan mengkhawatirkan.

Menurut Henki, banjir yang melanda Parapat pada 16 Maret 2025 menunjukkan adanya kelalaian pemerintah daerah dalam mengawasi tata ruang di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Bolon Simalungun. Pembukaan lahan di kawasan DAS serta daerah terjal telah berkontribusi terhadap terjadinya bencana yang berulang di Parapat.

Untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang, Pemerintah Daerah Simalungun harus mengambil langkah serius dalam mengevaluasi tata ruang, terutama di wilayah rawan bencana.

Selain itu, keberadaan perusahaan TPL di kawasan DAS Bolon yang telah menyebabkan perubahan tutupan hutan alam juga menjadi perhatian utama.

Diperlukan tindakan tegas untuk menghentikan pembukaan hutan alam serta upaya pemulihan terhadap kawasan hutan yang sudah kritis. Jika langkah-langkah ini tidak segera diambil, risiko bencana akan terus mengancam wilayah tersebut.

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes