Perbudakan sudah tak ada di negeri ini, tapi perilaku memperbudak manusia, sulit dihilangkan. Ratusan orang yang bekerja sebagai honorer atau non-aparatur sipil negara (non-ASN) di Pemda Kota Padangsidimpuan, selalu berada di bawah tekanan dan ancaman akan dipecat serta digaji alakadarnya.
Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion
Air mata perempuan itu bercucuran sambil berkeluh perihal nasib buruk dirinya dan suaminya, Akhiruddin Nasution, seorang pegawai non-ASN di Dinas Pembedayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kota Padangsidimpuan. Menggendong anak kecil, Yeni -- nama perempuan yang sedang berkeluh-kesah di media sosial Istagram itu -- berusaha mengetuk hati pemerintah dan siapa saja agar memperhatikan nasib buruk yang menimpa keluarganya sejak akhir tahun 2024 lalu.
Akhiruddin Nasution merupakan "kambing hitam" dalam kasus korupsi di DPMD Kota Padangsidimpuan. Kepala DPMD, pihak yang seharusnya bertanggung jawab karena melibatkan tenaga honorer, belum diadili dengan alasan menghilang. Pegawai non-ASN itu tak bisa membela diri, dan tidak mampu membayar pengacara.
Berbagai elemen masyarakat di Kota Padangsidimpuan berkali-kali menggelar aksi di Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan, menuntut agar penegak hukum di gedung itu bekerja lebih serius dalam menangkap otak dari kasus korup yang menjadikan Akhiruddin Nasution sebagai terpidana utama. Masyarakat menilai, seorang yang bekerja sebagai non-ASN tidak punya wewenang dalam mengelola dana APBD.
Tahun 2024 lalu, petugas dari Kejaksaan Negeri Padangsidimpuan menjemput Akhiruddin Nasution dengan tuduhan terlibat kasus korupsi berupa pemotongan dana Alokasi Dana Desa (ADD)-- dana pendukung Dana Desa yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Padang Sidimpuan tahun anggaran 2023-- sebesar 18 persen.
Yeni tidak bisa mempertahankan suaminya, meskipun ia tidak mengerti bagaimana bisa tenaga honorer memiliki akses begitu luar biasa hingga mampu memotong dana APBD tahun anggaran 2023. Memang, akses untuk masuk ke APBD 2023 dan mengatur pengalokasiannya, sesuai peraturan perundang-undangan, hanya ada di tangan pemegang Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) di Pemda Kota Padangsidimpuan. Selain itu, wewenang untuk mengeluarkan isi RKUD itu hanya ada di tangan Wali Kota Padangsidimpuan, Sekretaris Daerah Kota Padangsidimpuan, dan kepala dinas terkait.
Sebab itu, sangat mengherankan apabila seorang tenaga honorer di DPMD memiliki akses untuk memotong ADD yang ada dalam struktur APBD 2023 Kota Padangsidimpuan. Apakah sistem manajemen keuangan di lingkungan birokrasi Pemda Kota Padangsidimpuan begitu bobrok hingga bisa diakses tenaga honorer yang kemudian memotong ADD untuk bagi 42 desa sebesar 18% per desa? Apakah ia melakukan pemotongan langsung via rekening, atau mencairkannya lebih dahulu ke perbankan? Atau, apakah tenaga honorer ini memiliki ilmu kanuragan hingga mampu menghipnotis para penanggung jawab keuangan yang mengelola APBD Kota Padangsidimpuan?
"Suami saya orang baik, anak buah yang patuh pada atasan. Bagaimana bisa dia dituduh korupsi uang Rp5,7 miliar. Saya menuntut keadilan hukum ditegakkan," lirih Yeni, "apa yang bisa dilakukan seorang honorer yang hanya menjalankan perintah atasannya tanpa bisa menolak."
Setelah ditangkap, diperiksa, dan akhirnya ditetapkan jadi tersangka, Akhiruddin Nasution kemudian divonis 5 tahun penjara dan denda Rp200 juta. Menurut jaksa penuntut, ia melakukan pemotongan ADD sebesar 18% per desa hingga merugikan negara sebesar Rp5,7 miliar.
"Kami orang miskin, tak punya uang untuk membiayai pengacara," kata Yeni, "Tolong kami, bantu kami. Kami hanya korban."
Sebagai honorer, Akhiruddin Nasution harus menyesuaikan diri dengan prioritas kerja di DPMD yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat desa, di mana salah satu kegiatannya melakukan pembinaan terhadap pemerintahan desa. Ia tidak ikut dalam tugas dan tanggung jawab besar itu, ia hanya honorer yang terlibat karena diajak.
Keterlibatan Akhiruddin Nasution dalam perkara pencairan ADD untuk 42 desa yang ada di Kota Padangsidimpuan tidak ditemukan dalam surat tugas atau surat keterangan yang dikeluarkan penanggung jawab kegiatan dalam hal ini Kepala DPMD. Sudah berlaku umum, bahwa di dalam sistem birokrasi pemerintah daerah, keterlibatan setiap ASN dalam program-program kerja OPD ditandai dengan keluarnya surat keterangan (SK) dari penanggung jawab program.
Sumber Sinar Tabagsel di DPMD mengatakan, tugas dan tanggung jawab orang-orang yang bekerja di DPMD Kota Padang Sidimpuan acap berbenturan dengan realitas aparatur pemerintahan desa yang pengetahuannya minim. Terkait pengelolaan pemerintahan, masih banyak aparatur pemerintahan desa yang tidak memahami pekerjaannya, termasuk berkaitan penyusunan Anggaran pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Dana dalam APBDess berasal dari Dana Desa yang disalurkan dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) di Kota Padangsidimpuan, dilakukan dalam tiga tahap: tahap I April sebesar 40%, tahap II Agustus sebesar 40%, dan tahap III pada Oktober sebesar 20%. Pencairan Dana Desa dari RKUD ke Rekening Kas Desa (RKD) dilakukan setelah Kepala Desa menyampaikan APBDes kepada Wali Kota Padang Sidimpuan setiap pada bulan Maret.
Bersamaan dengan penyaluran Dana Desa itu, Pemda Kota Padangsidimpuan juga menyalurkan Alokasi Dana Desa--dana pendamping Dana Desa yang dialokasikan dalam APBD sesuai regulasi yang ada--dengan mekanisme pencairan yang sama seperti DD. Namun, aparatur pemerintahan desa hanya memahami termin-termin pencairan Danan Desa dan ADD, tapi tidak memahami program-program yang ada dalam APBDes dan bagaimana anggaran seharusnya dikelola.
Tenaga honorer dilibatkan untuk menjembatani ketidakpahaman aparatur pemerintah desa. "Honorer lebih dikenal aparatur desa ketimbang para ASN di DPMD," kata Zulfan, mantan ASN di lingkungan DPMD Kota Padangsidimpuan "Ketika ada persoalan seperti dugaan pemotongan ADD APBD 2023, tenaga honorer menjadi kambing hitam yang paling pantas."
Zulfan mengatakan, Undang-Undang No. 20/2023 tentang ASN menegaskan, tenaga non-ASN tidak bisa mengisi jabatan ASN. Dengan sendirinya, tenaga non-ASN tidak bisa memegang tugas dan tanggung jawab yang diperuntukkan bagi ASN. "Mengelola APBD merupakan wewenang ASN berdasarkan regulasi yang dibuat pemerintah, sehingga non-ASN tidak bisa campur tangan dalam urusan pemotongan ADD,' katanya.
Tidak Boleh Ikut Seleksi PPPK
Kisah Akhiruddin Nasution menjadi salah satu bukti betapa nasib tenaga honorer di lingkungan birokrasi Pemda Kota Padangsidimpuan seperti sapi perahan. Mereka diperbudakan dan kesejahteraannya tidak diperhatikan.
Tiap bulan, para honorer hanya mendapat gaji kurang dari Rp1 juta, dan itu baru naik Rp150.000 pada masa pemerintahan Wali Kota Irsan Efendi Nasution. Meskipun gaji tenaga honorer tidak seberapa, ternyata pencairan gaji honorer tidak selalu tepat waktu.
Nasib Akhiruddin Nasution tidak berbeda jauh dengan ratusan tenaga honorer yang bekerja di 14 organisasi pemerintah daerah (OPD) yang ada di Kota Padangsidimpuan, termasuk tenaga honorer di jajaran Sekretaris Kota Padangsidimpuan.
Data di Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Kota Padang Sidempuan menunjukkan, tiap-tiap OPD minimal mempekerjakan 20 tenaga honorer. Beberapa OPD malah mempekerjakan honorer lebih 50 orang seperti di Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Padangsidimpuan, Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Kota Padangsidimpuan, dan Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Padangsidimpuan.
Tenaga-tenaga honorer itu selalu muncul tiap tahun. Ada diantara mereka yang sudah bekerja lebih sepuluh tahun, dan ada yang baru bekerja kurang dari dua tahun.
Dua tahun lalu, pemerintah pusat mewacanakan penghapusan tenaga honorer dengan melakukan penataan dengan opsi, seluruh tenaga honorer akan direkrut menjadi ASN melalui seleksi PPPK. Seleksi PPPK tahap I sudah dilaksanakan pada tahun 2024 lalu, namun ternyata masih banyak tenaga honorer yang belum bisa ikut dalam penataan.
Penyebabnya, tenaga honorer yang ada di daerah terus bertambah tiap tahun, dan tidak terdata di Badan Kepegawai Nasional (BKN).
BKN mencatat kurang lebih 1,7 juta non-ASN yang harus ditata ulang, tapi hanya 1,3 juta non-ASN yang terserap dalam seleksi PPPK tahap I. Sebanyak 443.712 tenaga non-ASN belum diserap, dan tahun 2025 kembali dibuka seleksi PPPK Tahap II yang pendaftarannya akan ditutup 15 Januari 2025.
Namun, dari 443.712 tenaga non-ASN yang tercatat di BKN, tidak semuanya memenuhi syarat untuk mendaftar seleksi PPPK tahap II tahun 2025. Meskipun pendaftaran PPPK tahap II ditujukan non-ASN yang aktif bekerja di instansi pemerintahan paling sedikit 2 tahun terakhir secara terus-menerus, namun honorer yang pernah mengikuti CPNS pada 2024 tidak diberi kesempatan untuk ikut seleksi PPPK tahap II.
Ratusan tenaga non-ASN di Kota Padangsdimpuan yang ikut CPNS pada tahun 2024 tidak bisa mengikuti seleksi PPPK tahap II tahun 2025. Syarat ini menimbulkan keresahan di kalangan non-ASN, mengingat rencana penataan akan berakhir 2025. Setelah seleksi PPPK tahap II, tidak akan ada lagi seleksi PPPK karena semua tenaga non-ASN sudah tertata.
Selain tidak bisa ikut seleksi PPPK tahap II tahun 2025, sejumlah tenaga non-ASN di Pemda Kota Padangsidimpuan para honorer mengakui bahwa pimpinan OPD (organisasi pemerintahan daerah) belum bersedia menandatangani perpanjangan kontrak honorer.
"Sudah tahun 2025, tapi perpanjangan surat kami belum ditandatangani," kata salah seorang tenaga honorer di Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Padangsidimpuan.
Kesbangpol salah satu OPD di Pemda Kota Padangsidimpuan yang menjadi tempat berkumpulnya para tenaga honorer. Puluhan tenaga non-ASN di Kesbangpol Kota Padangsidimpuan muncul setiap tahun, sehingga ada tenaga non-ASN yang bekerja belum setahun.
Di sejumlah OPD lainnya, seperti Satuan Polisi Pamong Praja, Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Padangsidimpuan, Badan Pengendalian Bencana Daerah (BPBD) Kota Padangsidimpuan, nasib tenaga honorer juga sama. Meskipun sudah tahun 2025, para tenaga honorer di OPD-OPD tersebut mengaku belum mendapat perpanjangan SK dari pimpinan OPD.
"Jangankan surat perpanjangan SK, pimpinan OPD kami malah mengancam akan merumahkan tenaga honorer," kata Marwan, tenaga honorer yang sudah bekerja tiga tahun di Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Padangsidimpuan.
Diancam akan Dipecat
Ratusan tenaga honorer yang bekerja di berbagai OPD di Kota Padangsidimpuan, mereka yang tidak bisa ikut seleksi PPP tahap II maupun yang sudah mendaftar seleksi PPK tahap II, mengaku mengalami perlakuan serupa setiap awal tahun. SK perpanjangan sebagai tenaga honorer tidak kunjung diperbaharui pimpinan OPD dengan alasan akan ada pengurangan tenaga non-ASN.
Meskipun begitu, para tenaga honorer tetap bekerja hampir 24 jam di dalam iklim pekerjaan penuh tekanan itu. Belum lagi tekanan yang sengaja diciptakan di antara para honorer, di mana setiap honorer saling menggembosi antara sesama tenaga honorer demi agar lebih dekat dengan atasan sehingga dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang memberi keuntungan finansial.
Sejumlah honorer mengakui, kedekatan mereka dengan atasan, seperti pihak yang mengelola proyek-proyek yang ada di OPD, awalnya terjadi karena permintaan atasan dengan iming-iming ada honor tambahan. Menolak permintaan sama dengan menolak perintah atasan. Sebab itu, mau tak mau, para honorer harus siap apapun yang disuruh atasan. Namun, lantaran ada uang masuk, para honorer akhirnya berlomba-lomba untuk dekat dengan atasan, sehingga tercipta iklim pekerjaan yang tidak kondusif.
"Kami bekerja tanpa standar operasional procedur (SOP) pekerjaan," kata Maria (24), tenaga honorer di sebuah OPD di Pemda Kota Padangsidimpuan. "Karena tak ada SOP, honorer bekerja sesuai keinginan atasan."
Maria mengaku, selain mengurusi urusan-urusan administrasi di lingkungan OPD tempat kerja, para honorer sering disuruh atasan untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan di OPD tempat dirinya mengabdi. Misalnya, membantu urusan pekerjaan di rumah atasan, atau menyelesaikan urusan-urusan pribadi para atasan.
"Tak ada alasan untuk menolak, apalagi mengaku-aku sebagai profesional. Atasan sering mengancam tidak akan memperpanjang status honorer jika tidak mau diperintah," kata Maria.
Begitu juga pengakuan Borkat Mulia (35), tenaga honorer di salah satu OPD Pemda Kota Padangsidimpuan, yang berkantor di Kompleks Perkantoran Pemda Kota Padangsidimpuan di kawasan Pijorkoling. Ia mengaku tidak tahan menjadi tenaga honorer tetapi tidak punya pilihan.
Ia tidak pernah ingin bekerja sebagai honorer, tapi orang tuanya berharap agar ia bisa bekerja sebagai ASN. "Orang tua saya yang mengeluarkan biaya agar saya bisa jadi honorer," kata Borkat.
Sembilan tahun lalu orang tua Borkat menyuruhnya mempersiapkan berkas jadi honorer. Orang tuanya berharap, jika ia sudah jadi honorer, peluangnya akan lebih besar untuk diterima sebagai ASN. Untuk memenuhi harapan itu, orang tua Borkat mengeluarkan biaya Rp20 juta lewat seorang kerabat yang punya hubungan dekat dengan pimpinan sebuah OPD di Pemda Kota Padangsidimpuan.
"Saya sudah menolak dan minta uang Rp20 juta itu untuk saya pakai modal usaha, tapi orang tua saya menolak," kata Borkat.
Sejak itu ia menjadi honorer di OPD sembari berharap agar diterima menjadi ASN sesuai regulasi yang ada di mana kesempatan honorer menjadi lebih besar untuk diangkat jadi ASN. Namun, harapan Borkat sirna ketika ia coba mengurus administrasi dan syarat menjadi ASN. Ia sudah pernah ikut ujian PPPK, namun ia kecewa telah mengikutinya.
"Yang lulus PPPK saja harus bayar agar kelulusannya disetujui," aku Borkat yang ditemui Sinar Tabagsel sedang berdiri di pinggir jalan. Ia menunggu kendaraan umum, angkutan kota, yang akan membawanya kembali ke kawasan Padangmatinggi, dan ia masih harus berjalan kaki sejauh satu kilometer ke arah rumahnya.
"Jangankan sepeda motor, untuk ongkos naik angkot saja tidak cukup," Borkat bercerita tentang gajinya sebagai tenaga honorer di salah satu OPD, tak lebih satu juta rupiah per bulan, dan tak ada uang masuk lainnya.
Dalam sehari, hanya untuk ongkos angkot, ia mengeluarkan Rp10.000. Jika dalam sebulan ada 26 hari kerja, uang sejuta rupiah akan habis Rp260.000. Belum lagi untuk biaya makan, keperluan-keperluan lainnya. Borkat mengaku sudah berkeluarga, punya dua anak, tapi ia beruntung karena istrinya punya usaha kecil-kecilan di rumah.
Berbeda dengan Sherlina, tenaga honorer di OPD lain, yang mengaku hanya mengandalkan gengsi menjadi tenaga honorer, berseragam aparatur sipil negara (ASN). Penampilan kesehariannya, berangkat tiap pagi dan pulang sore, membuat para tetangga menghormatinya.
Suaminya, yang bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan konstruksi, sudah menyuruhnya berhenti dan fokus mengurusi anak karena gaji sejuta tak ada artinya. Sherly bergeming, karena ia merasakan manfaat lain ketika bersosialisasi dengan para tetangga.
"Orang-orang tak tahu kalau aku honorer. Bagi mereka, orang yang bekerja memakai seragam PNS, maka orang itu seorang PNS," kata Sherly sambil terseyum.
Perdagangan Honorer
Layaknya para budak di zaman perbudakan, status mereka menguat lantaran ada perdagangan. "Itu bisnis antara Komisi di legislatif dengan pimpinan OPD ," kata Muhammad Arya, nama samaran dari seorang bekas anggota DPRD Kota Padangsidimpuan, ketika bercerita kenapa tenaga honorer selalu bertambah di berbagai OPD di Kota Padangsidimpuan padahal OPD tersebut tidak punya anggaran.
Muhammad Arya mengatakan, saat pembahasan APBD Kota Padangsidimpuan, terutama saat pembahasan KUA (kebijakan umum anggaran) dan PPAS (prioritas plafon anggaran sementara) per OPD, peran komisi di DPRD Kota Padangsidimpuan sangat besar. Setiap komisi di legislatif, yang terdiri dari anggota-aggota DPRD Kota Padangsidimpuan, akan berdiskusi dengan ketua OPD terkait program-program kerja yang disusun OPD bersangkutan. Setiap program kerja OPD itu dirancang dengan nominal uang tertentu yang bersumber dari APBD.
Komisi di legislatif akan mempertanyakan item demi item, menganalisis nominal anggaran dengan output yang akan diperoleh. Orientasinya selalu sama, apakah program itu pro-rakyat atau bukan. Namun, metode yang dipergunakan untuk menganalisis, sering, tidak metodelogis. Pasalnya, minimnya waktu yang tersedia, tidak memungkinkan anggota legislatif melakukan kajian mengingat banyaknya mitra OPD yang harus diajak berdiskusi.
"Berapa banyak dari anggota legislatif yang paham soal anggaran? Kita tahu keterpilihan mereka di DPRD, sering, bukan karena kualitas. Anggota legislatif juga tahu, keterpilihan seorang pimpinan OPD di eksekutif sering bukan karena kualitasnya," kata Arya.
Ketika Arya masih menjabat anggota legislatif, ia mengaku para anggota legislatif di komisi jarang yang langsung menyetujui anggaran per OPD. Anggaran baru disetujui jika pimpina OPD bersedia negosiasi tentang proyek di OPD bersangkutan, di mana para anggota legislatif akan mendapat pekerjaan dari pimpinan OPD.
"Soal tenaga honorer, itu hasil negosiasi antara anggota legislatif dengan pimpinan OPD. Tiap anggota legislatif mendapat jatah tenaga honorer 2 sampai 5 orang dari pimpina OPD,' kata Arya.
Menurut Arya, setiap anggota legislatif yang mendapat jatah tenaga honorer itu akan menjualnya kepada agen dengan harga Rp15 juta sampai Rp20 juta, tergantung di OPD mana tenaga honorer itu. "Agensi itu akan mencari orang yang mau jadi honorer di OPD dengan bayaran lebih dari Rp15 juta," kata Arya.
Sejumlah anggota legislatif di DPRD Kota Padangsidimpuan yang ditemui Sinar Tabagsel mengaku, pihaknya tidak pernah negosiasi seperti itu dengan pimpinan OPD selama pembahasan APBD Kota Padangsidimpuan tahun 2025.
Posting Komentar