Kucuran dana desa untuk 42 desa di Kota Padangsidimpuan sudah berlangsung selama satu dekade, tapi kedaulatan desa yang didambakan justru "jauh panggang dari api".
Penulis: Efry Nasaktion | Editor: Budi Hutasuhut
Tahun 2025, genap sudah 10 tahun pemerintah pusat menggelontorkan dana desa untuk 42 desa di Kota Padangsidimpuan. Bila satu desa memperoleh Rp1 miliar per tahun, maka ada Rp10 miliar per desa dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dikucurkan. Dengan dana sebanyak Rp10 miliar, sesungguhnya banyak hal yang bisa dilakukan di desa. Kenyataannya, dana sebanyak itu tidak membuat desa-desa untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki.
Pergilah ke 42 desa yang ada di Kota Padangsidimpuan. Jangan heran bila menemukan banyak rumah yang di dindingnya diberi cap sebagai "Rumah Keluarga Miskin". Cap warna merah itu dipasang Wali Kota Padangsidimpuan untuk menandai rumah dari keluarga miskin penerima bantuan pemerintah.
Lebih lima tahun usia cap "Keluarga Miskin" pada rumah-rumah itu, namun belum ada upaya untuk menghapusnya. Pasalnya, kondisi ekonomi keluarga-keluarga itu belum lepas dari status keluarga miskin. Padahal, sudah banyak bantuan pemerintah untuk mengentaskan keluarga miskin, tapi bantuan-bantuan itu belum membawa perubahan sebagaimana diharapkan.
Tahun 2025 ini, genap satu dekade pemerintah mengucurkan dana desa untuk meningkatkan pembangunan dan mengentaskan kemiskinan. Sayangnya, sebanyak Rp10 miliar per desa selama satu dekade, ternyata tak banyak kontribusinya. Desa-desa di Kota Padangsidimpuan bukan tambah bagus, malah semakin kehilangan kemandirian.
Berdasarkan data Indeks Desa Membangun (IDM) tahun 2024 yang dikeluarkan Kementerian Desa (Kemendesa), status desa-desa penerima dana desa di Kota Padangsidimpuan masih berkutat sebagai "Desa Berkembang" yang baru lepas dari status "Desa Tertinggal". Selama satu dekade mendapat kucuran dana desa, tidak menjadi jaminan bagi desa-desa itu berstatus sebagai "Desa Mandiri".
Dari skor IDM ini, pemerintah mengkategorikan puluhan ribu desa di Indonesia menjadi lima kelas: Mandiri (skor lebih dari 0,815), Maju (skor 0,707-0,815), Berkembang (skor 0,599-0,707), Tertinggal (skor 0,491-0,599), dan Sangat tertinggal (skor kurang dari 0,491). Berdasarkan skor tersebut, hanya ada enam "Desa Maju" di Kota Padang Sidimpuan, lima berada di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara dan satu ada di Kecamatan Padangsidimpuan Angkola Julu.
Satu desa di Kota Padangsidimpuan dikategorikan sebagai "Desa Tertinggal", yakni DesaTarutung Baru di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara. Sementara desa-desa lain, yang tersebar di enam kecamatan di Kota Padangsidimpuan dikategorikan sebagai "Desa Berkembang". Dari 42 desa di Kota Padangsidimpuan, tak ada satu desa pun yang masuk kategori sebagai "Desa Mandiri".
Desa-desa yang tersebar di enam kecamatan di Kota Padangsidimpuan dikategorikan sebagai "Desa Berkembang". Dari 42 desa di Kota Padangsidimpuan, tak ada satu desa pun yang masuk kategori sebagai "Desa Mandiri".
Menurut data Kemendesa, Desa Mandiri memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan ekologi yang kuat. Desa-desa di Kota Padangsidimpuan, sejak sebelum dana desa digelontorkan, statusnya masuk kategori Desa Tertinggal dan Desa Berkembang. Setelah menerima dana desa, sewajarnya desa-desa di Kota Padangsidimpuan masuk kategori "Desa Maju" dan "Desa Mandiri".
Kondisi ini disebabkan, dana desa yang dikucurkan untuk 42 desa di Kota Padangsidimpuan belum berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Padahal, setiap tahun, dana desa selalu memiliki skala prioritas pembiayaan. Mengacu pada keputusan Kemendes, skala prioritas penggunaan dana desa disesuaikan dengan dinamika pertumbuhan ekonomi di tingkat desa yang berorientasi pada pengentasan kemiskinan.
Dengan kata lain, dana desa sudah pernah diprioritaskan untuk menumbuhkan sektor-sektor ekonomi desa lewat pengenalan unit usaha Badan Usaha Masyarakat Desa (BUMDes). Setiap unit usaha di desa itu dibiayai dengan dana desa yang dijabarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Berdasarkan data di Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kota Padangsidimpuan, BUMDes ada di 39 desa yang ada di Kota Padangsidimpuan. Namun, unit-unit usaha ekonomi desa itu kini tinggal “papan nama”. Di Kota Padangsidimpuan, BUMDes bisa dikatakan “ada” tetapi “tidak ada”. Pasalnya, nama BUMDes terpampang di desa-desa tetapi aktivitas usahanya tidak jelas. Konon lagi mengharapkan BUMDes mampu menjadi penggerak perekonomian desa.
Fakta ini memprihatinkan, karena anggaran dana desa yang berlimpah tak berkontribusi terhadap dinamika perekonomian desa. Penyebabnya bisa ditemukan dengan mudah, dana desa tak dikelola secara maksimal. Sering terjadi kasus salah kelola dana desa yang menyebabkan para kepala desa terkena sanksi tidak bisa mencairkan dana lanjutan.
Sebagaimana diketahui, pencairan dana desa dilakukan per termin per kuartal. Pencairan dana desa per termin sangat tergantung pada keberhasilan program pada termin sebelumnya. Jika program gagal, maka pencairan kuartal berikutnya akan terhambat.
Penyaluran dana desa dari Rekening Kas Umum Negara (RKUN) ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) dilakukan dalam tiga tahap: tahap 1 April sebesar 40%, tahap 2 Agustus sebesar 40%, dan tahap 3 pada Oktober sebesar 20%. Pencairan Dana Desa dari RKUD ke Rekening Kas Desa (RKD) dilakukan setelah Kepala Dersa menyampaikan APBDes kepada Wali Kota Padang Sidimpuan setiap pada bulan Maret.
Kondisi ini menyebabkan, realisasi dana desa untuk Kota Padang Sidimpuan, dari tahun ke tahun hanya mentok pada angka di bawah Rp30 miliar, padahal jumlah desa di "Kota Salak" ini sebanyak 42 desa. Artinya, ada desa yang tidak mendapatkan kucuran dana desa sebagaimana seharusnya sebagai sanksi atas keteledoran dalam penggunaan dana desa.
Dana desa yang diinisiasi pemerintah sejak era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono sebagai sumber pendapatan desa untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat, realisasi tidak signifikan untuk mendinamisasi pembangunan desa-desa yang ada di Kota Padangsidimpuan.
Keberadaan dana desa ini bukannya meningkatkan kualitas pembangunan desa, sebaliknya justru menimbulkan persoalan-persoalan krusial di lingkungan masyarakat desa.
Berdasarkan aplikasi PRR2Sumut yang dikelola Biro Administrasi Pembangunan, Sekretaris Daerah Provinsi Sumatra Utara, dana desa yang diterima desa-desa di Kota Padang Sidimpuan sejak UU Nomor 16 Tahun 2014 tentang Desa diberlakukan, ternyata tidak pernah sampai 100%. Bahkan, realisasi dana desa dalam struktur anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Padang Sidimpuan tahun 2023, hanya terealisasi sebesar Rp24.9miliar sampai 29 Desember 2023 atau sekitar 76,69 %.
Dari informasi yang diperoleh Sinar Tabagsel di Dinas PMD Kota Padang Sidimpuan, minimnya realisasi pencairan dana desa terjadi akibat para kepala desa tidak terliterasi perihal pembuatan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa sebagaimana tergambar dalam stutur Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Sejumlah kepala desa yang ditemui jurnalis media ini mengakui, proses itu tidak selalu berjalan sesuai jadwal yang ada pada peraturan perundang-undangan. Selain faktor pengetahuan para Kepala Desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) sangat minim, pembuat laporan pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa dalam APBDes pun sangat rendah.
"Kami sangat tergantung kepada aparat pemerintah di Dinas PMD dan pendamping desa," kata salah seorang kepala desa yang menolak disebutkan namanya.
Ketika ditanya tentang bimbingan teknis yang mereka dapatkan, para kepala desa mengaku selalu mengikuti berbagai bimbingan teknis setiap tahun anggaran, tetapi daya serap dan daya tangkap mereka sangat lemah. Bahkan, para kepala desa acap mengikuti bimbingan teknis terkait hal-hal yang tidak bisa dimanfaatkan di lingkungan perdesaan.
Beberapa kepala desa di Kota Padang Sidimpuan mengaku menyerahkan urusan administrasi dan penataan serta membuat laporan pertanggung jawaban kepada pihak eksternal, dan untuk jasa pembuatan laporan pertanggung jawabn itu mereka harus mengeluarkan anggaran yang tidak sedikit. Meskipun begitu, laporan pertanggung jawaban penggunaan Dana Desa masih sering terlambat, sehingga percairan Dana Desa tahap berikutnya mengalami keterlambatan.
Manajemen pengelolaan dana desa di tiap desa di Kota Padangsidimpuan tidak maksimal dari tahun ke tahun, dikhawatirkan ketidakjelasan manajemen ini berdampak terhadap realisasi penggunaan Dana Desa menjadi menyimpang dari apa yang ada pada APBDes. Para kepala desa mengaku, tingkat pemahaman dan penguasaan mereka terhadapn penyusunan APBDes masih minim, karena struktur APBDes itu lebih banyak diserahkan kepada pihak eksternal.
Sebab itu, para kepala desa mengaku, keterlambatan pembuatan laporan pertanggungjawaban penggunaan Dana Desa dalam APBDes, berdampak terhadap keterlambatan pencairan Dana Desa per triwulan. Akibat keterlambatan pencairan itu membuat realiasasi berbagai program pembangunan desa yang ada dalam APBDes tak berjalan sesuai target waktu yang direncanakan. Kondisi ini berdampak pada realisasi Dana Desa se-Kota Padang Sidimpuan, di mana setiap tahun Dana Desa itu tidak pernah mencapai 100 %.
Posting Komentar