Cerpen oleh Budi Hatees
Rambo punya pengalaman sangat buruk dengan manusia, tapi ia terlalu cepat melupakannya. Secepat itu pula ia kembali mempercayai manusia. “Orang ini baik. Tidak seperti Togar,” katanya sambil memuji-puji tuannya itu.
Aku pikir ia
sudah lupa betapa mengerikannya manusia. Aku ceritakan kepadanya tentang
dirinyanya yang nyaris mampus ketika Togar, laki-laki pemabuk yang begitu
disanjungnya, tiba-tiba memasukkannya ke dalam karung. Togar kemudian membawanya ke lapo Ja Solpot, dan
orang tua yang pincang itu berkata:”Kalau masih ada anjing lain, kau kasih saja
aku. Aku kasih harga bagus.”
“Aku hanya mau tuak.”
Ja Solpot menyuruh Togar masuk ke lapo tuak miliknya, sementara dia membawa karung itu ke belakang lapo. Namun, saat Ja Solpot mencoba membuka tali pengikat mulut karung, Rambo meloncat sekuat tenaga dan berhasil lolos. Dia berlari sekencang-kencangnya. Ia dengan Ja Solpot memaki-maki.
“Orang ini berbeda,” Rambo memuji tuannya, “dia penyelamatku dengan baik.”
“Kelak kau akan menyesali sikapmu ini.” Aku mencoba menasehatinya. ”Ketika kau lepas dari kematian di tangan Ja Solpot, kau memaki-maki Togar. Katamu, kau tak akan mempercayai manusia lagi. Nyatanya…”
“Orang ini berbeda. Namanya Ucok. Ia manusia yang baik.”
Ketika aku bilang semua manusia sama, ia malah menuduh kalau aku iri dengan keberuntungannya. Aku bilang tidak pernah bermimpi untuk dekat dengan manusia, karena aku berkeyakinan semua manusia itu sama.
Ia mencibir sikap sinisku, dan menuduh kalau aku terlalu skeptis. Aku tak perduli dan tetap mempertahankan sikapku. “Kita lihat saja nanti siapa yang paling benar antara aku dengan kau,” kataku.
Ia tersenyum sinis sambil pergi. Masih sempat ia bilang kalau Ucok pasti sedang menunggunya di tempat biasa, mengharapkan ia muncul agar mereka bisa bermain-main.
Aku menatap kepergiannya dengan sorot mata kasihan. Sejak itu kami tidak pernah lagi bertemu sampai pada suatu hari aku bertemu dengan Nero di tumpukan sampah di pasar. Dari Nero kemudian aku tahu, nasib malang telah mendera Rambo, dikhianati oleh manusia yang tak bisa menghormati pertemanan mereka.
“Bagaimana ceritanya?” tanyaku.
Dan Nero bercerita tentang pertemuannya dengan Rambo, terjadi tanpa sengaja di sebuah hutan kebun kopi pada suatu sore seusai diguyur hujan lebat. Baik Nero maupun Rambo sama-sama berteduh di bawah sebatang pohon kopi yang rimbun, dan mereka berbagi cerita.
Sebetulnya Rambo yang bercerita tentang tuannya dengan kalimat-kalimat pujian yang luar biasa, meskipun Nero setengah mempercayai ada manusia seperti itu.
“Namanya Ucok.” Rambo memulai kisahnya. “ Itu nama yang buruk. Semua anak laki-laki dipanggil dengan nama “ucok”, meskipun mereka punya nama lain. Tapi ia tidak, sejak lahir, ia tidak punya nama lain selain dipanggil Ucok.”
Itulah pertama sekali Rambo bisa dekat dengan Ucok. Selama ini Rambo selalu berada jauh dari Ucok, bersembunyi di dalam semak-belukar sekitar 8 meter dari dangau tempat Ucok duduk. Selama bersembunyi, Rambo berharap memiliki kesempatan untuk bisa dekat dengan Ucok, karena ia menduga kalau Ucok berbeda dengan kebanyakan manusia yang pernah dijumpainya.
Rambo menunggu kesempatan itu datang sambil tetap meningkatkan kewaspadaan, khawatir kalau sikap Ucok yang terlihat lembut dan sangat bersahabat itu hanya bersandiwara. Begitulah pengalaman Rambo berhubungan dengan manusia, kebanyakan dari mereka selalu mengusir dengan sangat kasar; melempari dengan batu atau benda apa saja yang sedang dipegang. Kalau pun ada yang bersikap lembut, biasanya, sikap itu untuk menyembunyikan watak buruknya yang sesungguhnya ingin menangkap dan menjualnya.
Sikap licik seperti itu tidak ditemukan Rambo pada diri Ucok. Ia anak yang baik, bahkan, sepintas lalu terlihat terlalu baik. Ucok selalu datang ke dangau yang terletak di tengah-tengah petak sawah itu setiap hari, selalu pada pagi hari ketika matahari baru terbit. Ia membawa hadangan-- sejenis tas jinjing dari rajutan bayon yang berfungsi untuk menyimpan barang dan jatah makan siangnya—dan cangkul yang tiangnya sangat panjang.
Setelah mengantungkan hadangan pada sebatang paku di tiang dangau, Ucok pergi ke petak sawah untuk mencangkul. Ia bekerja sangat rajin, dan tubuhnya basah oleh keringan serta percikan lumpur. Rambo tak pernah melihat anak seusia Ucok bekerja sendiri di sawah. Sebagian besar anak-anak seusia dirinya justru bermain-main di tanah lapang, di tempat di mana mereka sering melempari Rambo dengan batu sambil meneriakinya sebagai anjing gila. Rambo juga tidak pernah melihat ada orang dewasa yang menemani Ucok bekerja, dan karena itu Rambo jatuh kasihan kepadanya.
Apabila matahari tepat di atas kepala, Ucok akan naik dari petak sawah, lalu melangkah ke dangau. Itulah saat Ucok harus makan siang, saat yang Rambo nanti-nantikan. Air liur Rambo segera meledak membanjiri mulutku. Rasa lapar semakin merobek dinding perutnya. Rambo ingin mendekatinya, memelas agar mau membagi jatah makan siangnya. Tetapi Rambo tidak berani mendekatinya, maka ia tahankan siksaan rasa lapar itu sembari berharap agar Ucok tidak menghabiskan seluruh jatah makanannya.
Ketika sedang menikmati jatah makan siangnya, sama sekali Ucok tidak melihat ke arah semak-belukar di mana Rambo bersembunyi. Rambo sempat mengira kalau Ucok tidak tahu keberadaannya di dalam semak-belukar itu. Tapi, setiap kali Ucok selesai makan, anak itu selalu membuang pembungkus makanannya ke arah Rambo, dan selalu saja ada sisa sedikit nasi dengan kepala ikan asin di dalamnya. Rambo tidak memikirkan apakah Ucok tahu keberadaannya di dalam semak belukar atau sama sekali tidak tahu, karena rasa lapar membuatnya buru-buru menikmati sisah makanan itu sambil sekali-sekali melirik ke arah Ucok.
Begitulah terus-menerus, Rambo bersembunyi di dalam semak-belukar dan menikmati sisa makanan yang dibuang Ucok. Tapi, beberapa hari kemudian, selesai menikmati makan siangnya, Ucok berbicara: “Kenapa kau mengendap-endap,” katanya.
Rambo kaget bukan main dan berusaha kabur.
“Sejak lama aku tahu kau bersembunyi di dalam semak-belukar itu.”
Rambo mengira Ucok akan melemparinya, tetapi Ucok tidak meraih sekeping batu atau kayu pun ketika berjongkok. Ucok malah duduk di tanah, menatap Rambo, lalu membujuk agar mendekat. “Jangan takut padaku!” Ucok terdengar tulus dengan ucapannya. Meskipun masih khawatir, Rambo mendekat sambil menundukkan kepala. Ucok meminta agar lebih dekat. Rambo menurut. “Ayolah!” katanya. “Makanan ini memang sengaja aku sisahkan untukmu.”
Sejak itu, hubungan Rambo dengan Ucok semakin dekat. Mereka berkarib akrab. Setiap kali Ucok datang ke sawah, Rambo merasa senang. Bukan saja karena kedatangan Ucok berarti rasa lapar Rambo akan teratasi, tetapi karena Rambo selalu mendambakan mempunyai sahabat karib sepanjang hidupnya. Sebab itulah, Rambo selalu berusaha menyenangkan hati Ucok. Rambo menuruti apapun keinginannya.
Suatu hari, Ucok menyampaikan niatnya untuk mengajak Rambo pulang ke rumahnya dengan alasan ia tidak punya kawan di rumahnya. Tetapi Ucok mewanti-wanti agar tidak seorang pun yang mengetahui keberadaan Rambo di dalam rumah. “Bahaya,” katanya, dan tidak disebutkannya bahaya apa yang mengancam.
Berselang dua hari kemudian, Rambo baru tahu kenapa tidak boleh ada yang mengetahui keberadaannya. Penyebabnya, tak lain adalah Jahumarkar, ayah tiri Ucok. Laki-laki itu seorang pemabuk yang sinting. Ia selalu berada di bawah pengaruh alkohol dari tuak. Ia sangat kasar, baik tingkah laku maupun ucapannya. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya selalu makian.
Kata Ucok, kebiasaan buruk Jahumarkar yang selalu mabuk bukan masalah besar. Tetapi pekerjaan sehari-harinya yang jadi persoalan, karena Jahumarkar bekerja sebagai pemburu anjing. Setiap hari Jahumarkar keluar rumah, pergi keluar masuk ke kampung-kampung orang lain untuk mencari anjing, atau sering mencuri anjing milik orang, lalu menjualnya di kedai-kedai tuak. Uang hasil menjual anjing itulah yang dibelikannya ke tuak agar ia bisa tetap mabuk.
Orang-orang tidak menyukai kebiasaan Jahumarkar itu. Tidak jarang ada yang datang ke rumah meminta agar anjingnya dikembalikan, tetapi Jahumarkar lebih memilih berkelahi daripada memenuhi keinginan orang itu. Jahumarkar selalu mengancam akan menebas orang-orang yang datang meminta ganti rugi, dan ancaman itu dibuktikan dengan cara membawa-bawa parang yang berkilat saat mengusir orang-orang dari halaman rumah.
Lantaran sikap Jahumarkar seperti itu, orang-orang tidak mau berhubungan dengannya. Orang-orang lebih memilih berhubungan dengan Mince, ibunya, dan memaksa agar perempuan itu mengganti rugi uang seharga anjing tersebut. Pada awalnya Mince menolak sambil menegangkan urat leher, menceracau seperti petasan sebagai bentuk perlawanan.
Tapi orang-orang mengancam akan mengadukan perkara pencurian anjing itu ke polisi. Mau tak mau Mince yang selalu ketakutan mendengar kata “polisi”, akhirnya membayar ganti rugi. Tapi, setelah itu, Mince akan marah kepada Jahumarkar. Saat marah, suara Mince melengking-lengking. Lantaran mabuk, Jahumarkar tidak terima dipersalahkan sehingga terjadi perang mulut di antara mereka. Peristiwa itu akan berlangsung sangat lama, biasanya semua kata-kata jorok akan keluar, dan selalu berakhir dengan tangan Jahumarkar yang melayang ke wajah Mince. Kalau sudah begitu, Mince akan meraung, lalu mencari si Ucok untuk melampiaskan kekesalan hatinya.
Nasib Ucok sangat buruk. Mince akan memukulinya. Tapi, sejak Rambo berkawan karib dengan Ucok, Rambo mengajak Ucok keluar dari rumah itu apabila sedang terjadi perkelahian antara Mince dengan Jahumarkar. Mereka pergi ke belakang rumah, ke kebun kopi yang terbentang di sana. Di dalam hutan kebun kopi itu, mereka berdiam hingga pagi hari. Dari sana, mereka bisa mendengar perkelahian antra Mince dengan Jahumarkar. Mereka sering mendengar Mince meraung-raung sambil memanggil-panggil nama si Ucok.
“Lama kelamaan aku bisa membunuh laki-laki itu,” kata Ucok. “Tapi aku tak akan bisa melakukannya tanpa bantuanmu.”
Rambo hanya mengibas-kibaskan ekornya. Rambo ingin membantu tetapi ia tidak bisa membayangkan apa jadinya jika Jahumarkar menangkapnya, lalu menjualnya ke kedai-kedai tuak. Rambo tahu apa yang menimpa seekor anjing bila masuk ke dalam kedai-kedai tuak itu: jadi santapan.
*
SETIAP hari, Ucok selalu cerita tentang keinginannya membunuh Jahumarkar. Tapi, sementara keinginannya itu tidak kunjung terealisasi, Rambo justru melihat bahwa Jahumarkar yang punya peluang lebih besar untuk membunuh Ucok. Setiap hari Jahumarkar memperlakukan Ucok seperti budak. Anak kecil itu dipaksanya mencangkul ke sawah, dan ia menyuruh dengan cara sangat kasar, sering sembari menendang pantat Ucok.
Jahumarkar melakukan perbuatan itu di hadapan Mince, tetapi perempuan itu berpura-pura tidak tahu. Mince seakan-akan tidak perduli apakah Ucok akan mampus atau tidak, seolah-olah Ucok itu bukan darah dagingnya. Rambo yang justru tak tahan melihat kelakuan itu sering ingin menggigit Jahumarkar, tetapi Reno takut laki-laki itu malah akan menangkapnya.
Mince sebetulnya bukan perempuan baik-baik, sama tidak baiknya dengan Jahumarkar. Ketika Ucok pergi ke sawah dan Jahumarkar keluar rumah untuk memburu anjing, Mince akan memasukkan laki-laki ke dalam rumah. Selang beberapa menit Mince akan keluar rumah bersama laki-laki itu, lalu pulang ke rumah sebelum hari gelap. Ia akan memasak untuk Jahumarkar, karena Jahumarkar akan sangat marah kalau pulang ke rumah dan tidak menemukan ada yang bisa dimakan. Selepas itu, ia pergi ke rumah tetangga.
Rambo sering mengikuti Mince ke rumah tetangga, yang letaknya terpisah tiga rumah. Rambo diam di kolong rumah itu. Dari sana Rambo tahu kalau penghuni rumah itu bernama Asnia, seorang rentenir gendut yang juga merangkap sebagai germo. Asnia sering ke keluar masuk ke kampung-kampung untuk menawarkan uang pinjaman atau menagih utang orang-orang. Di sela-sela pekerjaan itu, Asnia menemui laki-laki hidung belang untuk menawarkan perempuan yang bisa menyenangkan hati mereka seperti Mince, dan beberapa perempuan lain di kampung itu. Itu sebabnya, setiap malam, Mince menemui Asnia dan menanyakan apakah ada pelanggan lain untuknya.
Sering, sambil menunggu Asnia keluar dari kamarnya, Mince dan beberapa perempuan lain yang datang ke rumah itu bercerita satu sama lain tentang kenapa mereka mau menjadi perempuan penghibur. Saat itulah Rambo dengar pengakuan Mince bahwa ia sudah menjalani pekerjaan sebagai pelacur sejak lama, dan ia mulai berhenti sementara ketika hamil. Untuk menutupi kehamilannya, Mince tidak menolak dinikahkan dengan Marapande tanpa mahar sepeser uang pun. Pernikahan itu bertujuan menutupi aib, dan selama pernikahan itu pula ia selalu memaki Marapande setiap kali ingin mendekatinya. Hal itu membuat Marapande sangat berduka, lalu memutuskan bekerja di hutan sebagai pencari kayu bakar agar ia jarang pulang. Lantaran terlalu berduka, Marapande banyak melamun hingga suatu hari ia mengalami kecelakaan yang menyebabkan kematianya.
“Jadi, anakmu itu bukan hasil pernikahan dengan Marapande?” tanya seorang perempuan.
“Aku tak tahu siapa ayahnya,” kata Mince.
“Kenapa kau menikah lagi?”
“Aku ingin suamiku membunuh anak itu. Bukankah ayah tiri bisa membunuh anak tirinya.”
“Makanya kau pilih pemabuk itu.”
“Ya. Aku berharap suatu saat ia akan membunuh anak itu saat ia mabuk.”
“Tapi ia tidak pernah membunuhnya. Ia malah memukulimu.”
“Nyaris membunuhnya sering. Makanya, aku yang akan menyelesaikan pekerjaannya. Aku yang akan membunuh anak itu. Jika anak itu mati, ia yang akan disalahkan.”
“Kenapa kau setega itu kepada anak sendiri?”
“Aku tak menginginkan anak itu. Kehadirannya justru membuat aku tidak bisa meraih impianku.”
“Aku juga begitu.”
“Kau punya anak?”
“Tidak. Aku mengugurkannya.”
“Apa kata suamimu?”
“Laki-laki bodoh itu.” tertawa. “Ia malah jatuh kasihan padaku.”
*
“AKU merasakan kalau ibuku semakin tak sayang kepadaku,” kata Ucok pada suatu malam, ketika mereka berada di bawah sebatang pohon kopi di kebun kopi di belakang rumah. Di kejauhan, dari arah rumah, terdengar raung Mince. Jahumarkar memukulinya. Mince menolak memberikan uang ketika Jahumarkar meminta untuk membeli tuak.
Laki-laki pemabuk itu, meskipun sangat kasar, tidak pernah sebelumnya meminta uang dari Mince karena ia selalu mendapat anjing untuk dijual ke kedai tuak. Tapi, belakangan, ia tidak pernah lagi menemukan anjing dan karena itu ia tidak punya uang. Ia sudah mencoba berutang di beberapa kedai tuak, tetapi para pemilik kedai menolak memberi utangan karena jumlah utangnya sudah banyak.
“Kau bayar dulu utang kau,” kata pemilik kedai tuak, “kau minta sama istri kau si Mince.”
Jahumarkar mengangguk, karena saat itu pikirannya sangat sehat akibat sudah beberapa hari tak minum tuak. Dalam keadaan tidak mabuk, Jahumarkar sesungguhnya seorang penakut. Ia tidak berani bicara kasar, apalagi sampai mengancam mau menebas orang dengan parang. Ia lebih tampak seperti macan tak bertaring dan tak bercakar, lesu bagai tak dialiri darah.
Suara pemilik kedai tuak yang mengancamnya, membuat hatinya kecut. Cepat-cepat ia keluar kedai tuak, lalu menemui Mince di rumah.
Mince baru saja pulang dari rumah Asnia. Wajahnya berseri karena Asnia memberitahu ada pelanggan yang meminta ditemani besok siang. Kata Asnia, tamu itu seorang pejabat pemerintah, dan orang itu yang memilih Mince. Mince penasaran pada pejabat pemerintah itu dan tak sabar menunggu hari terang. Ia membayangkan akan memperoleh untung besar, karena pengalaman sebelumnya bersama pejabat pemerintah sangat memuaskan.
Tetapi seri di wajah Mince meredup ketika Jahumarkar muncul. Ia tak bicara sepatah kata pun, langsung menuju kamar, mendekati lemari pakaian. Ia pernah melihat Mince menyimpan perhiasan di bawah lipatan pakaian, dan ia bermaksud mengambil perhiasan itu. Mince mencurigai gelagat Jahumarkar akan melakukan hal buruk, lalu mengikutinya ke kamar. Ketika Jahumarkar membongkar isi lemari, Mince curiga tindakan itu untuk mngincar perhiasannya.
“Apa yang mau kau lakukan pada barang-barangku!” teriak Mince.
“Barang-barangmu?” Jahurmarkar mendesis. “Aku mau meminjamnya.”
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?”
“Kau tak berhak.”
“Aku pemilik rumah ini. Akujuga pemilik semua barang yang ada di rumah ini.”
“Itu barang-barangku!” teriak Mince ketika Jahumarkar merengut setumpuk perhiasan dari bawah lipatan pakaian. “Keringatku yang membeli semua itu.”
“Aku kepala rumah tangga di sini.”
“Kepala rumah tangga katamu? Rumah tangga apa?”
“Berani kau sekarang!?” Jahumarkar mendekatkan wajahnya ke wajah Mince.
“Apa!” Mince tegang.
Plak! Plak! Plak!
Mereka mendengar Mince meraung-raung. Ucok bangkit dan bermaksud mau masuk ke rumah, tapi Rambo menggeram untuk mengingatkan padanya bahwa mereka sedang bersembunyi.
“Aku akan membunuh laki-laki itu,” kata Ucok.
Rambo mengonggong pelan.
“Aku bisa melakukannya.”
Rambo tetap menggonggong pelan. Dengan gonggongan itu, Rambo ingin mengatakan kalau Ucok tak akan mampu membunuh Jahumarkar, tapi Ucok tak paham maksudnya. Ucok tetap bangkit, berlari ke arah rumah. Ketika tiba di halaman, Jahumarkar baru mau keluar dari pintu. Begitu melihat Ucok dengan sikap ingin melawan, Jahumarkar menampar telinganya. Ucok terpelanting dan berguling-guling menahan rasa sakit pada telinganya. Jahumarkar meninggalkannya. Saat Ucok bangkit dan bermaksud mau mengejar Jahumarkar, Mince muncul lalu menjambak rambut Ucok.
“Anak kurang ajar. Semua ini gara-gara kau,” teriak Mince sambil menyeret Ucok ke dalam rumah.
Malam itu Rambo menutup telinganya. Rambo tak tahan mendengar suara Mince mengamuk, memukuli Ucok. Rambo tahu anak itu sangat menderita. Rambo hanya bisa berdoa agar Tuhan menyelamatkan Ucok dari pelampiasan rasa sakit hati Mince yang tak beralasan.
Pagi-pagi betul Ucok keluar dari rumah. Cara berjalannya sempoyongan. Rambo menghampirinya. Kondisi Ucok sangat memprihatinkan. Matanya biru dan membengkak, bibirnya pecah dengan darah yang mulai mengering. Ucok melangkah keluar dari halaman, Rambo mengikuti langkahnya yang tertatih. Mereka pergi ke sawah, duduk di depan dangau.
“Aku ingin membunuh Jahumarkar,” geram Ucok. Ada dendam, ada amarah yang minta diledakkan. Ucok bicara seperti menceracau. Ia menjelaskan cara yang dapat dilakukannya untuk membunuh Jahumarkar. Ia juga yakin, jika Jahumarkar mati, nasibnya akan lebih baik.
Pada saat Ucok bercerita tentang rencana membunuh Jahumarkar, tiba-tiba Jahumarkar muncul. Entah untuk apa ia datang ke sawah. Tapi, demi melihat Rambo, Jahumarkar berteriak: “Anjiiiiing!”
Rambo kaget bukan main. Bagai dilesatkan dari busur panah, Rambo melesat menerabas semak-belukar, menghindari Jahumarkar. Lamat-lamat ia dengar suara tangis Ucok meminta Juhumarkar agar tidak mengejar. Rambo pun tak melihat Jahumarkar mengejarnya. Ia berhenti berlari.
*
“KENAPA kau diam? Apa yang terjadi setelah itu?” tanyaku ketika Nero berhenti bercerita.
Nero menggelengkan kepala, mengibaskan ekornya. Ia menatapku dengan sorot mata yang kosong. Katanya, ia melihat Ucok memukul Rambo dengan sebatang kayu sambil menangis. Kata Ucok, ia terpaksa memukul Rambo untuk menangkapnya dan menyerahkannya kepada Jahumarkar. Pasalnya, jika Ucok tidak melakukan itu, Jahumarkar mengancam akan membunuh Mince.
“Aku tak bisa berbuat apa-apa,” kata Nero, “hanya melihat, selain itu aku takut jadi sasaran juga.” *
***
Budi Hatees kelahiran Sipirok, 3 Juni 1972.
Menulis cerpen, sajak, esai, di berbagai media. Kini tinggal di Kota
Padangsidempuan.
COMMENTS