Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengklaim pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang membendung sungai Batangtoru di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, diprediksi beroperasi atau comissioning operational date (COD) pada semester I tahun 2026.
Penulis: Budi P Hutasuhut | Editor: Hady K Harahap
Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan Konservasi Energi (EBTKE), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan prediksi itu lebih cepat daripada target power purchase aggrement (PPA). "Di dalam PPA yang terbaru, PLTA Batangtoru ditargetkan COD pada 31 Desember 2026," kata Eniya sebagaimana disiarkan Katadata.co.id edisi Kamis, 15 Agustus 2024.
Pernyataan Eniya ini justru molor dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Tahun 2021-2030, di mana PT PLN menargetkan PLTA Batangtoru sudah berproduksi tahun 2025.
Dalam sebuah studi yang dilakukan Riverscope, "Case Study: Batang Toru, Indonesia Summary TMP Systems" pada August 2021, disimpulkan proyek PLTA Batangtoru sebagai proyek tidak masuk akal dari segi komersial, ekonomi, atau sosial. Rencana saat ini mahal dan memiliki biaya lingkungan yang tidak dapat diterima. Riverscope menyebut, Batangtoru tidak mungkin beroperasi sebelum tahun 2027, yang berarti biayanya akan 46% lebih mahal daripada alternatif lainnya.
PLTA Batangtoru merupakan proyek prestisius kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah China. Pemerintah China diwakili PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), di mana 70% saham perusahaan ini dikuasai State Development and Investment Corporation (SDIC) Power yang merupakan anak dari China Power--BUMN yang bermarkas di Tiongkok.
Pemerintah Indonesia melalui PT PLN, aawalnya melibatkan anak perusahaannya, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) pada 2015. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT PJB Desember 2016, proyek ini dialihkan kepada PJBI selaku anak perusahaan PT PJB (cucu perusahaan PLN).
Proyek PLTA Batangtoru diperkirakan menelan biaya 1,68 miliar dolar AS. Sebesar 75% dari anggaran itu dibiayai pinjaman, sisanya ditanggung ekuitas yang disuntikkan para pemegang saham, PLN dan ChinaPower.
Pengelolaan dan operasional proyek diserahkan kepada PT NSHE, karena PLN hanya menguasai 25% saham. China Power menjadi pemilik saham sisanya, 70%, dan duduk sebagai mayoritas pemilik saham.
Dengan kepemilikan 25% saham di PT NSHE, PLN wajib menyetor modal setidaknya sebesar 86,8 juta dolar AS. Namun, dalam perkembangan belakangan, kewajiban PLN melonjak jadi 104,2 juta dolar AS.
Proyek yang mendapat kecaman dari para aktivis lingkungan di dalam dan di luar negeri ini karena lokasinya berada di habitat Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) ini, merupakan proyek independent power producer (IPP) yang penandatanganan power purchase agreement (PPA) dilakukan pada 21 Desember 2015. Peran PLN terbatas hanya sebagai pembeli akhir sesuai perjanjian PPA.
Ketika itu, proyek PLTA Batangtoru ditetapkan beroperasi pada 2022 dan akan mensuplai energi listrik sebesar 2,124 GWh/tahun yang berkontribusi terhadap 15% kebutuhan beban puncak Sumatera Utara pada saat beroperasi. Namun, perkiraan awal produksi PLTA Batangtoru beroperasi pada 2022 tidak terwujud. Pengerjaan proyek tidak kunjung selesai.
PT NSHE selaku pengembang menghadapi kendala besar, terutama setelah Bank of China menolak mendanai proyek itu pada Maret 2019. Bank of China mengevaluasi proyek PLTA Batangtoru lantaran dampaknya terhadap lingkungan, terutama kepunahan Orangutan tapanuli. Akibat tertunda-tunda, rencana operasional PLTA Batangtoru mundur, dari sebelum 2022 menjadi 2026.
Mengancam Orangutan tapanuli
Proyek ini dibangun di atas lahan yang diklaim sebagai areal penggunaan lain (APL), yakni kawasan Ekosistem Hutan Batangtoru yang ada di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Batangtoru -- mulai dari Kecamatan Sipirok, Kecamatan Marancar sampai Kecamatan Batangtoru. Luas arealnya 122 hektare, sebagian merupakan lahan budidaya dan sumber mata pencaharian masyarakat petani di sejumlah desa di Kecamatan Sipirok, Kecamatan Marancar, dan Kecamatan Batangtoru.
Sengketa mengenai akses lahan antara PT NSHE dengan petani setempat diklaim sebagai salah satu penyebab keterlambatan proyek PLTA Batangtoru. Sengketa itu terjadi karena petani yang telah memberikan lahannya dengan perjanjian akan dipekerjakan di proyek, ternyata tidak dipekerjakan. Para petani membuat penawaran seperti itu karena membayangkan tidak lagi memiliki usaha setelah lahannya diberikan untuk proyek PLTA Batangtoru. Namun, ketika proyek mulai dikerjakan, PT NSHE tidak mempekerjakan warga setempat.
Kemarahan dan ketidaksenangan warga memuncak manakala PT SHNE mendatangkan tenaga kerja dari China, yang bekerja sebagai tenaga kerja kasar. Penolakan terhadap PLTA Batangtoru semakin massif di sejumlah desa di Kecamatan Sipirok, Kecamatan Marancar, dan Kecamatan Batangtoru.
Aksi penolakan para petani pemilik lahan yang tidak lagi memiliki pekerjaan tetap in, masih berlangsung hingga kini. Persoalan hukum dengan petani setempat ini belum kelar, tapi pengembang proyek PLTA Batangtoru terus beroperasi.
Belum selesai persoalan hukum dengan petani setempat, giliran aktivis lingkungan melancarkan aksi protes. Pasalnya, 122 hektare lahan yang diklain PT NSHE sebagai apal itu, ternyata habitat dari primata endemik Orangutan tapanuli.
Keberadaan Orangutan Tapanuli ( Pongo tapanuliensis ) diumumkan pertama kali oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada November 2017. Orangutan endemik di Ekosistem Batangtoru, dan hasil hasil riset yang pernah diterbitkan di jurnal Current Biology, mengatakan, populasi spesies ini tinggal 800 ekordi dunia. Dengan populasi yang minim, International Union for Conservation of Nature (IUCN) menetapkan status Orangutan tapanuli sangat terancam punah.
Sejak dinyatakan sebagai spesies baru, Orangutan tapanuli sering menjadi berita karena ancaman langsung yang ditimbulkan terhadap spesies baru tersebut oleh proyek PLTA Batangtoru. Lahan PLTS Batangtoru merupakan habitas Orangutan tapanuli, yakni Ekosistem Batangtoru.
Data BPKH Wilayah I Medan menyebut, Ekosistem Batangtoru memiliki luas sekitar 105.808 hektare, terdiri dari kawasan konservasi seluas 15.020 hektare, hutan lindung 17.737 hektare, HPT 1483 hektare, HP 57.171 hektare, dan APLK seluas 14.397 hektare. Secara administratif landskap Batangtoru ini berada di dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Kota Padang Sidempuan, dan Kota Sibolga.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pernah merilis laporan yang menunjukkan jumlah orangutan di Sumatra dan Kalimantan terus menurun dalam periode satu dekade ini. Laporan itu menyebutkan populasi orangutan menyusut dari survei sebelumnya yang dilakukan tahun 2004. Adapun kerusakan habitat adalah salah satu penyebab utama. Jumlah orangutan ditaksir kini sebanyak 0,13 hingga 0,47 individu per kilometer per segi, menurun dari 0,45 hingga 0,76 individu per kilometer per segi.
COMMENTS