Tempat parkir terpanjang di Indonesia ada di Kota Padangsidimpuan. Bentuknya berupa jalan raya yang ada di kota ini, panjangnya mencapai 536,96 km--mencakup jalan negara, jalan provinsi, dan jalan kabupaten.
Di sepanjang jalan itu, berbagai jenis kendaraan selalu akan terlihat diparkir. Mulai dari kendaraan roda dua sampai kendaraan roda delapan. Badan jalan yang sempit menjadi sesak. Kondisi ini menyulitkan berbagai jenis kendaraan yang melintas.
Stagnasi arus lalu lintas terjadi di beberapa titik pada pagi hari, saat anak-anak berangkat ke sekolah. Kemacetan itu akibat para orang tua mengantar anak-anak ke sekolah. Misalnya di Jalan Masjid Raya Baru di Kelurahan Kantin, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, tepat di depan SD negeri.
Ruas jalan selebar sekitar 10 meter itu akan serasa cuma dua meter lebarnya. Kendaraan yang datang dari arah Jalan Merdeka menjadi terhambat bila ingin ke Jalan Kenanga. Bunyi klakson seperti ledakan bom. Tak jarang para pemakai jalan perang mulut.
Situasi tak kondusif itu bertambah buruk manakala orang tua siswa memarkir kendaraannya sembarangan. Mereka berhenti di tengah-tengah jalan raya sambil memasang sikap seakan-akan orang lain telah menyulitkan hidupnya. Padahal sikapnya sendiri jelas tidak memperdulikan keberadaan para pemakai jalan lainnya.
Hal seperti ini terjadi karena pengelola sekolah tidak menyediakan tempat khusus bagi orang tua yang ingin menjemput anaknya. Pengelola sekolah tidak perduli, apakah orang tua siswa itu akan kecelakaan di jalan raya di depan sekolah, atau tidak sama sekali.
Tapi pihak pengelola sekolah tak bisa disalahkan. Pasalnya, lokasi sekolah persis di pinggir jalan. Hanya dipisahkan pagar dan trotoar selebar satu meter. Trotoar itu pun sudah berubah jadi tempat parkir dan tempat pedagang jajanan anak-anak. Anak-anak sekolah, kalau pengelola sekolah tidak awas, bisa saja keluar dari pagar dan langsung ke jalan raya.
Hampir semua pengelola sekolah, baik negeri maupun swasta, tak memiliki aturan dalam penjemputan siswa oleh orang tua. Para orang tua siswa, yang datang berkendaraan, membentuk barisan di depan gerbang sekolah hingga menimbulkan kemacetan lalu-lintas. Ketika aksi para orang tua ditegur, mereka akan merasa bahwa dirinya telah dizolimi.
Padangsidimpuan bukanlah kota besar, bukan pula kota yang maju. Ini kota yang menyedihkan, yang tak mampu mengelola dirinya sendiri.
Tingkat mobilitas kendaraan di Kota Padangsidimpuan sangat rendah. Jumlah kendaraan lebih 60.000 unit. Roda dua mendominasi, lebih 50.000 unit. Saking rendahnya jumlah kendaraan, pemerintah daerah hampir tak punya kebijakan terkait penataan kendaraan dan lalu lintas jalan raya.
Setiap tahun, jalan raya di Kota Padangsidimpuan tetap menjadi tempat parkir terpanjang. Tidak perduli jalan kota, jalan provinsi, maupun jalan negara. Bahkan, jalan yang berstatus sebagai urat nadi kota, seperti Jalan Merdeka yang melintasi Kantor Wali Kota Padangsidimpuan dan DPRD Kota Padangsidimpuan, berubah fungsi menjadi tempat parkir.
Persis di depan Kantor Wali Kota Padangsidimpuan, selalu akan terlihat mobil yang diparkir. Ada petugas parkirnya, resmi pula. Mereka yang parkir, membayar retribusi. Itu artinya, pemerintah daerah mengubah fungsi jalan raya menjadi tempat parkir agar bisa mengumpulkan retribusi.
Beberapa waktu lalu, jalan di depan Kantor Wali Kota Padangsidimpuan itu pernah berubah jadi show room mobil bekas. Setiap mobil yang parkir di jalan itu, ada tanda di belakangnya, berupa stiker yang menjelaskan bahwa mobil tersebut dijual. Ada nomor telepon yang bisa dihubungi. Tentu saja itu reklame yang dipasang di tempat umum.
Sudah tentu mereka yang menjadikan jalan raya sebagai show room mobil itu memiliki hubungan erat dengan pelaku usaha jual-beli mobil bekas di Kota Padangsidimpuan. Jika pemerintah daerah mengetahui hal ini, apakah pemerintah daerah memiliki regulasi berupa peraturan daerah (Perda) yang memungkinkan untuk menerapkan tarif?
Di Bagian Hukum Pemda Kota Padangsidimpuan, hanya ada Perda tentag retribusi parkir. Tidak ada regulasi mengenai beban tarif bagi para pengusaha jual beli mobil bekas yang mengubah jalan raya menjadi show room. Padahal, peraturan perundangan-undangan membenarkan, pemerintah daerah membebani pajak reklame kepada pihak yang memasang merek dalam bentuk reklame di tempat umum.
Defenisi reklame merupakan sarana informasi atau promosi yang bertujuan memperkenalkan produk, jasa, atau kegiatan kepada publik melalui media visual. Defenisi itu hampir sama dengan upaya para pengusaha jual beli mobil bekas yang menjual merek-merek jual beli mobilnya di tempat umum, yakni pinggir jalan yang menyebabkan penyempitan badan jalan.
Setiap aktivitas pemasangan reklame di ruang publik wajib memenuhi ketentuan pajak reklame yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan undang-undang dan peraturan daerah yang berlaku. Pemda Kota Padangsidimpuan telah mengesahkan Perda Nomor: 16 Tahun 2016 tentang Pajak Reklame, di dalam Pasal 3 telah ditetapkan objek pajak adalah penyelenggara reklame.
Masyarakat tidak tahu apakah ada pajak reklame yang dibebankan kepada para pengusaha jual-beli mobil bekas? Pemda yang tahu soal itu. Tapi, bila melihat struktur APBD Kota Padangsidimpuan tahun 2025, pendapatan Kota Padangsidimpuan dari DBH (dana bagi hasil) -- yang sebagian di antaranya berasal dari pajak reklame -- totalnya lebih Rp24 miliar.
Jalan raya yang dijadikan tempat parkir bukan saja di depan Kantor Wali Kota Padangsidimpuan, juga di depan markas Polresta Padangsidimpuan. Jalan raya itu berstatus jalan negara, merupakan Jalan Lintas Tengah Sumatra (Jalinsum).
Jalinsum ini jalur yang seharusnya menjadi etalase Kota Padangsidimpuan. Para pengendara kendaraan, yang datang dari mana-mana, akan melintasi jalan ini. Sepanjang jalan, orang-orang yang lewat melihat bagaimana jalan raya telah diubah menjadi tempat parkir. Di depan markas Polresta Padangsidimpuan, tempat parkir itu membentang sepanjang Jalan Sisingamangaraja.
Posting Komentar