.

Di Depan Kuburan


Oleh : Bang Harlen

Seperti yang kita ketahui, kuburan adalah simbol kematian yang tak pernah gagal menegakkan bulu kuduk bila mengingat segenap misteri dan kengerian yang melingkupinya. Namun, kisah ini tidak akan menceritakan tentang perempuan yang beranak di dalam kubur, bukan pula perihal  jenazah yang susah dikebumikan, apalagi mayat yang tiba-tiba keluar dan menghantui orang-orang sekitar. Terlebih dahulu, aku merasa perlu mengingatkan kepada kalian bahwa yang akan aku beberkan ini bukanlah cerita yang sifatnya hantu-hantuan. Jadi, kalian boleh segera beralih mengerjakan hal lain atau melanjutkan kegiatan yang jauh lebih bermanfaat sebelum nantinya kalian malah jadi kecewa berat.

Ceritanya bermula beberapa tahun lalu ketika aku masih melajang.

Gerimis telah luruh ketika malam itu aku baru saja keluar dari sebuah minimarket. Alih-alih memacu sepeda motor lebih kencang supaya tidak basah kuyup dalam perjalanan menuju  kosan, aku malah mengendarainya dengan kecepatan lambat seolah-olah membiarkan gerimis mendarat manis di tiap senti pakaianku. Tak sampai di situ, aku juga menerobos gerimis tersebut sembari melamunkan seorang perempuan. Lalu karena tidak menjaga konsentrasi, nyaris saja aku menjalin silaturahmi dengan malaikat Izrail begitu membelok di sebuah perempatan. Kendati demikian, untuk menghindari hantaman sebuah truk, akhirnya aku harus merelakan sayap depan motorku ambruk ketika berbenturan dengan sebuah tiang listrik yang terpancang di pinggir jalan. Sontak orang-orang di sekitar mulai merubungiku. Untunglah hanya sikuku saja yang sedikit lecet akibat terjatuh dari motor

“Kamu ga kenapa-kenapa? Ada yang luka tidak?” Ujar seorang bapak yang mendekatiku dan mencoba memapahku berdiri.

Aku tak menjawab. Hanya tangan saja yang kulambaikan kepadanya sambil memasang wajah meringis menahan sakit. Kemudian kulihat area sikuku yang tampak sedikit memar

“Kita bawa ke klinik aja,” bapak itu coba  memberi usul.

“Ga perlu, Pak,” balasku sambil mencoba tersenyum palsu menahan sedikit perih dan mencoba mengendalikan napasku yang masih terengah-engah karena rasa panik.

“Lain kali kalau lewat sini apalagi malam-malam gini harus lebih hati-hati ya, Bang. Sebaiknya bunyikan klakson tiga kali. Suka ada yang aneh-aneh memang. Pahamlah, namanya juga kuburan,”salah seorang di antara kerumunan tiba-tiba menimpali.

Hujan kemudian turun semakin lebat seolah memberi isyarat agar kerumunan orang-orang yang menggumpal di depan area pemakaman itu segera bubar. Bapak yang tadi menolongku lantas mengajakku untuk singgah di lapak baksonya yang digelar tepat di depan pekuburan tersebut. “Sambil menenangkan diri dan menunggu hujan reda, sebaiknya kita makan bakso dulu. Kamu tenang aja, kali ini Bapak kasih gratis,”tawarnya dengan nada ramah.

Bulir-bulir hujan terdengar menampar-nampar dengan buas sebuah terpal biru yang membentang seluas 3x3 meter persegi di atas gerobak bakso. Aku duduk di sebuah meja memanjang yang dikelilingi 6 buah kursi plastik tanpa sandaran. Cahaya lampu neon tampak menyepuh semangkok bakso urat di hadapanku yang tampilannya sebetulnya sangat menggiurkan dan menggugah selera. Namun, aku hanya memandangnya dengan tatapan kosong  tanpa sedikit pun berniat menyentuhnya. Pikiranku seperti dibawa kabur entah ke mana.

“Kok malah dilihatin aja baksonya? Ntar keburu dingin,lho!” bapak itu seketika memecah lamunanku. Kulihat ia menyeka keringat yang merembes di keningnya dengan handuk kecil yang sedari tadi selalu menggantung di pundaknya. Uap panas dari gentong bakso terlihat membubung di depan wajah senjanya. Dari garis-garis keriput yang menggores wajahnya, kutaksir usia bapak tersebut hampir menyentuh angka 60 tahun.

Aku hanya menunduk dan tersenyum tipis membalas omongannya.Untuk menghargai kebaikannya, tanganku lantas mulai kugerakkan mengambil botol saus dan menyemprotkannya ke dalam kuah bakso. Sejurus kemudian kuraih sendok dan garpu lalu mengaduk-aduk gumpalan mie, potongan sayur, daging ayam, kerupuk dan beberapa bulatan bakso yang tampak memerah. Kulihat bapak itu masih tekun menuangkan kuah yang disusul menaburkan serpihan kerupuk ke dalam dua mangkok bakso  untuk sepasang muda-mudi yang duduk di sebelahku.

Tak lama berselang, derai hujan mulai menyingkir dan suara lecut petir tampaknya telah berakhir. Sisa-sisa hujan seketika menggenangi jalanan yang menggigil. Sepasang muda-mudi di sebelahku tadi mulai bergegas meninggalkan kami. Karena sedang santai, bapak penjual bakso itu kemudian menghampiriku dan bertanya ihwal rona wajahku yang memang terlihat muram disertai sorot mata yang redup dan digelayuti rasa putus asa.

Aku hanya membisu dan tidak menjawab pertanyaannya. Saat itulah  lambat laun kurasakan semerbak wangi kamboja merayap manja ke lubang hidungku. Ada hawa dingin yang terasa ganjil mengelus-elus tengkukku. Kemudian samar-samar kutangkap suara rintihan yang terdengar pilu dari arah pekuburan di belakangku. Aku spontan berbalik badan dan berusaha mencari sumber suara tersebut.

Di antara ratusan nisan yang tertancap di sana, pandanganku lantas terhenti pada sebuah pohon kamboja yang tampak menaungi sesosok bayangan putih. Bayangan putih itu tampak duduk bersimpuh dan memeluk sebuah makam. Bulu kudukku semakin tegak berdiri dan tanganku gemetar tiada henti. Darahku berdesir kencang bagai dikejar-kejar penagih utang. Dan jantungku seketika bagai ditonjok hingga bonyok begitu sebuah tangan terasa mendarat di pundakku.

Idealnya begitulah semestinya yang kurasakan ketika melihat sososok bayangan misterius itu. Akan tetapi, aku sama sekali tidak merasa takut dan kaget walau hanya sedikit. Ekspresiku datar saja, malah cenderung kaku layaknya kanebo kering. Seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, bahwa kisah yang akan kubeberkan ini bukanlah cerita yang sifatnya hantu-hantuan. Jadi, berhubung cerita ini masih panjang, maka kalian boleh segera pergi sebelum nantinya malah jadi sakit hati.

“Udah ga usah kaget. Laki-laki yang kamu lihat itu bukan hantu, Dia itu Pak Leso,” rupanya yang baru saja menyentuh pundakku adalah si bapak penjual bakso. Uap panas sisa kuah bakso yang menempel di kacamatanya segera ia singkirkan dengan handuk kecil. Ia lalu menjelaskan siapa sebenarnya Pak Leso. Ia menuturkan bahwa Pak Leso merupakan seorang ayah yang malang. Sebulan yang lalu ia harus menghadapi kenyataan yang getir ketika mendapati bahwa putra semata wayangnya ditemukan tewas bunuh diri.

Alisku seketika melipat. Bola mataku sedikit menyipit. Mendadak aku jadi penasaran dengan ceritanya.

“Sebentar. Nanti kita lanjutkan. Ada rezeki yang harus segera dijemput,” ia kemudian bangkit dari kursinya. Dua orang gadis rupanya telah menunggu untuk segera dilayani. Dari seragam yang mereka kenakan, sepertinya keduanya merupakan karyawan usaha spa dan panti pijat yang menempati salah satu dari deretan ruko yang berdiri tepat di depan gerobak bakso. Pakaian mereka tampak seksi, tapi wajah mereka terlihat letih. Mungkin mereka baru selesai bertempur dengan beberapa pelanggan. Usai menyerahkan dua bungkus plastik hitam berisi beberapa bungkus bakso, si bapak kembali menghampiriku dan melanjutkan ceritanya.

“Pak Leso itu punya anak bernama Jaleleng. Jadi, si Jaleleng ini bermimpi jadi seorang pelukis. Sementara Bapaknya tidak setuju dan ingin si Jaleleng jadi PNS saja agar kehidupannya lebih stabil dan terjamin. Gara-gara perbedaan itulah mereka selalu bertengkar dan hubungan keduanya kian retak. Dalam beberapa tahun ini, Jaleleng telah merampugkan sejumlah lukisan. Dan memang kebanyakan tidak laku. Jaleleng akhirnya jadi bahan olok-olokan dan pergunjingan para tetangga karena dianggap sebagai pelukis yang gagal. Saat itulah ia mulai didera depresi dan sering mengurung diri. Alih-alih memberikan dukungan, Ayahnya justru turut mengucilkannya. Di mata Pak Leso, Jaleleng tak ubahnya borok yang kemunculannya jadi aib bagi keluarga,” si bapak penjual bakso tampak berhenti sejenak kemudian merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan sebungkus rokok dari sana. Setelah mengepulkan asap rokoknya, ia kembali bercerita.

“Ujungnya pun seperti yang sudah bisa kita tebak. Jaleleng akhirnya stres dan memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menenggak racun tikus di dalam kamarnya. Ironisnya, setelah Jaleleng meninggal, lukisannya kemudian tak lama diborong oleh salah seorang pengusaha dengan harga yang terbilang mahal. Pengusaha yang tidak mau disebutkan namanya itu membeli seluruh lukisan Jaleleng seharga 2 miliar. Padahal lukisannya menurut Bapak ga bagus-bagus amat. Apa pengusaha itu ga merasa rugi ya? Ah, dunia seni memang sering bikin garuk-garuk kepala.”

Bapak itu kemudian kembali menikmati rokoknya. Usai menjentikkan abunya ke tanah, ia kembali mengurai cerita.

“Terus setiap malam minggu yang bertepatan dengan hari meninggalnya Jaleleng, Pak Leso selalu datang berziarah ke makam putranya itu. Ia pasti merasa terpukul sekaligus menyesal. Bapak bisa merasakan betapa remuk dan hancurnya jiwa Pak Leso karena lima tahun lalu Bapak juga pernah mengalami hal yang sama. Anak sulung Bapak harus meregang nyawa karena overdosis narkoba. Karena terlalu sibuk bekerja, Bapak jadi kurang mengawasi pergaulan anak Bapak. Sebagai seorang anak, Bapak pernah merasakan perihnya kehilangan orang tua, Dan setelah menjadi orang tua, kehilangan anak ternyata jauh lebih menyengsarakan jiwa. Dada ini terasa mau meletus. Dan seperti ada kerikil kecil yang menancap di jantung,” wajah si bapak penjual bakso tiba-tiba berubah sendu. Pandangannya bagai menerawang menembus ruang dan waktu. Dari balik kacamatanya, aku bisa melihat setetes airmata yang sebentar lagi akan terjun ke pipinya.

“Ah, masa lalu biarlah berlalu. Yang penting kita tidak patah arang dan terus semangat memperbaiki masa depan. Eh, tapi kamu masa belum tahu cerita ini sih? Padahal kisah kematian Jaleleng ini ramai dibahas di internet. Bapak yang gaptek saja tahunya dari anak Bapak yang memang doyan main sosial media.”

Ah, betul juga. Aku baru ingat kalau aku sudah tidak punya ponsel lagi. Seminggu lalu, satu-satunya ponselku sudah kubanting ke dinding hingga pecah berkeping-keping.Waktu itu aku kaget sekaligus geram setengah mati ketika menerima undangan dari pacarku di kampung. Ia  mengabarkan bahwa ia sebentar lagi akan menikah. Aku merasa perjuanganku selama bertahun-tahun menjadi sia-sia. Aku telah bekerja siang dan malam. Kuputuskan merantau ke kota dan menjadi karyawan sebuah minimarket. Selain itu, aku juga mencari pemasukan tambahan dengan menjadi pengendara ojek daring agar modal untuk menikahi gadis pujaanku itu lekas terkumpul. Namun, tak kusangka kerja keras dan keseriusanku untuk menikahinya malah dibalasnya dengan undangan pernikahan dengan pria lain. Sebagai laki-laki, aku merasa kerja kerasku tidak dihargai dan disepelekan olehnya. Jiwaku terguncang. Pijakannku goyah dan tak tahu lagi ke mana harus melangkah.

“Pak ini baksonya,” suara seorang perempuan tiba-tiba mengalun lembut di telingaku. Sumbernya rupanya berasal dari anak gadis si bapak penjual bakso yang datang mengantarkan sepanci bakso. Stok bakso di dalam gerobak si bapak rupanya sudah hampir habis, sementara waktu masih menunjukkan pukul 9 malam.

“Malam masih panjang. Siapa tahu masih banyak rezeki yang menghampiri di jam-jam berikutnya,” ungkap si bapak sembari tersenyum dan memindahkan bulatan-bulatan bakso dari panci ke dalam etalase gerobak.

Cukup lama aku menatap anak gadis bapak tersebut yang tampak tertegun di sebelah gerobak bakso. Wajahnya begitu teduh dan seperti punya magnet yang terus menyeret tatapanku agar terus lengket. Sebagian rambutnya terlihat menyembul dari balik jaket hoodie yang membungkus kepalanya. Saat itulah aku merasa seperti ada yang bergejolak di dalam dada. Seperti ada sesuatu yang mekar seketika. Sebotol racun tikus yang sebelumnya kubeli di minimarket segera kukeluarkan dari dalam saku celana. Kupandangi botol racun itu lekat-lekat. Dan aku sangat yakin bahwa aku sudah tidak membutuhkannya lagi lantaran sekarang aku sudah tahu ke mana kaki ini harus melangkah.

“Aku boleh minta tolong ga, Pak?”Suaraku seketika keheingan malam.

“Pertolongan seperti apa rupanya yang kamu harapkan dari Bapak?”

“Tolong ajari aku bikin bakso!” 

Tidak ada komentar

Beranda