Oleh : Bang Harlen
Ada yang bilang bahwa
terdapat dua syarat yang mesti dipenuhi terlebih dahulu oleh seseorang agar ia
pantas ditasbihkan sebagai seorang Kiai. Pertama, tentu saja adalah luasnya
pemahaman agamanya yang bagai bentang cakrawala, dan yang kedua adalah adanya kelompok
jamaah yang jumlahnya tidak sedikit dan hampir dipastikan selalu menuruti apa
pun fatwa yang terlontar dari mulut Sang Kiai. Dari kedua syarat tersebut,
barangkali tidak salah bila seluruh warga yang bermukim di Kampung Sirittik
sepakat untuk menambahkan kata “Kiai” di depan nama seorang pemuda yang bernama
Leman. Namun, kau jangan kaget bila ternyata yang menjadi jamaah Kiai Leman
bukanlah manusia, melainkan hewan-hewan dan tumbuhan yang menyemut di kampung
tersebut.
Meski dikatakan sebagai
pemuda, usia Kiai Leman sebetulnya tak dapat dikategorikan muda. Umurnya nyaris
menyentuh angka 40 tahun. Hanya saja, di usianya tersebut beliau masih
melajang. Bukan karena Kiai Leman tak ingin menikah. Beliau sebetulnya sudah beberapa
kali datang mengajukan lamaran, tetapi lamarannya selalu ditolak
mentah-mentah oleh orang tua si perempuan. Memang, selain statusnya sebagai
Kiai, tak ada lagi hal yang bisa dibanggakan darinya. Beliau juga bukan
tergolong Kiai yang hidupnya berkecukupan, bahkan cenderung miskin. Orang tua
mana coba yang rela menyerahkan masa depan anak gadisnya kepada laki-laki yang
hanya menghidangkan penderitaan dunia.
“Mau kau kasih makan apa
anakku? Ayat-ayat tidak akan membuat perut anakku kenyang!” Begitulah balasan
yang senantiasa diberikan oleh para orang tua perempuan itu
ketika Kiai Leman datang mengungkapkan niat baiknya untuk melamar.
Oleh warga Kampung
Sirittik, Kiai Leman juga dijuluki sebagai kiai munafik. Pasalnya, dulu ketika
beliau masih dipanggil Ustad Leman, ia selalu menolak amplop yang disodorkan
oleh warga usai memberikan ceramah maupun tausyiah, baik saat khotbah jum’at
maupun saat perayaan hari besar keagamaan macam Maulid Nabi dan Hari Raya Idul
Fitri serta Hari Raya Idul Adha. Bagi Kiai Leman, amplop yang pasti berisi uang
itu sebaiknya diserahkan kepada warga-warga yang hidupnya jauh lebih
menyedihkan daripada dirinya. Kalau tidak, sebaiknya dikembalikan saja ke dalam
kas masjid. Untuk menyambung hidup sehari-hari, Kiai Leman merasa penghasilannya
sebagai buruh tani sudah cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh para pemilik
kebun, Kiai Leman memang sering dipekerjakan untuk mengurus ladang, menggarap
sawah, menanam cabe, kadang pula menyadap getah karet. Malah tak jarang beliau
juga bersedia digaji untuk menggembalakan sapi atau kambing milik para juragan
di Kampung Sirittik.
Maka wajar saja bila pola
pikirnya yang terkesan naïf, kolot dan tidak progresif itu
menjadikan para orang tua perempuan yang ia lamar jadi berpikir
seribu kali untuk menjadikan Kiai Leman menantunya. Karena pola pikirnya itu
pulalah marwah Kiai Leman yang mulia sebagai ahli agama perlahan luntur. Sebab
bagi masyarakat Kampung Sirittik, seorang Kiai tidak pantas untuk mengerjakan
hal-hal seperti itu. Seorang Kiai tidak boleh dibanjiri peluh serta
berkotor-kotoran di bawah sengatan matahari. Bahkan pelan-pelan posisi Kiai
Leman sebagai penceramah di Kampung Sirittik juga mulai tergeser oleh kehadiran
penceramah-penceramah yang tidak hanya lulusan luar negeri, tetapi juga piawai
memasukkan unsur-unsur komedi sehingga suasana jamaah jadi lebih cair.
Sementara Kiai Leman, di samping hanya sebagai lulusan pesantren antah berantah
yang tak jelas rimbanya, ceramahnya juga dianggap terlalu serius dan
membosankan oleh para warga.
Aku mengenal Kiai Leman
ketika sedang melakukan penelitian untuk kebutuhan skripsi di Kampung Sirittik.
Pertama kali kulihat dia ketika jalan-jalan sore mengitari kampung. Dan
perhatianku langsung tersedot seketika begitu melintasi sebuah pematang sawah
yang tampak baru selesai dibajak. Di antara hamparan lumpur yang begitu
mengkilap itulah aku menyaksikan dengan jelas sosok Kiai Leman yang duduk
bersila dengan mantap di dalam sebuah pondok kayu. Tangannya sesekali terlihat
bergerak ke sana ke mari seakan-akan memberi sebuah pengarahan dengan mulutnya
yang terus berkomat-kamit. Di hadapannya kusaksikan pula puluan binatang yang
dengan tekun menyimak apa yang keluar dari mulut Kiai Leman..
Dengan didorong rasa heran
sekaligus penasaran, aku lantas mengendap-endap semakin mendekati posisi Kiai
Leman dengan melewati deretan pohon pinang dan rimbun ilalang yang
memagari petak sawah tersebut. Dan betapa terperangahnya
aku ketika mendapati Kiai Leman berkomunikasi dengan binatang-binatang tersebut
dengan bahasa mereka masing-masing. Terkadang beliau seperti mengembik,
melenguh, mendesis, berkuak, meleter, mencicit, menderik, dan lain sebagainya.
Mataku seperti hendak meloncat dan mulutku semakin menganga begitu melihat
binatang-binatang itu sesekali juga tampak menanggapi ceramah yang diberikan
oleh Kiai Leman. Ada yang manggut-manggut, ada pula yang berteriak lantang.
Beberapa ekor sapi terdengar melenguh, kambing-kambing sebagian ada yang
mengembik, sebagian lagi ada yang hanya mengangguk-angguk. Di bawah langit sore
menjelang senja itu, aku juga menangkap suara kodok yang berkuak, gerombolan
bebek yang meleter serta derik tonggeret yang entah menempel di pohon sebelah
mana. Bahkan, samar-samar kudengar pula cicit tikus dan
cericit burung gereja yang merayapi gendang telinga. Terkadang
mereka juga terdengar seperti tengah bernyanyi. Gabungan suara-suara binatang
yang menggumpal di sana tak ubahnya gema koor yang mengalun merdu bagai
menyusun melodi yang menciptakan sebuah harmonisasi. Majelis taklim yang
digelar oleh Kiai Leman itu kemudian bubar seiring kumandang azan yang bergetar
di langit yang merah terbakar. Andai saja baterai ponselku saat itu tidak
habis, tentu aku akan merekam peristiwa tersebut dan menunjukkannya agar kau
tak menganggap bahwa ceritaku ini hanya rekayasa.
Keesokan paginya, ketika
aku hendak berangkat untuk menyebarkan kuisioner penelitian yang akan diisi
oleh para warga, aku juga pernah memergoki Kiai Leman sedang mengelus-elus
batang pohon karet sebelum mengiris kulitnya dengan parang. Tak lupa pula
beliau menengadahkan tangan usai mengorek-ngorek getah yang menggumpal di dalam
tempurung kelapa yang tergantung di sana, bagai mengucap syukur kepada Sang
Pencipta. Di lain waktu, aku juga pernah melihat daun-daun kering
melayang-layang di sekitar tubuh Kiai Leman seperti menari-nari dengan riang
gembira menyambut kedatangannya. Tak sampai di situ, pernah juga ketika aku
mewawancarai kumpulan bapak-bapak di sebuah kedai kopi, aku menyaksikan dengan
jelas sejumlah pohon jambu, rambutan, pepaya, mangga, bahkan
bunga-bunga yang mekar di sekitar rumah warga tiba-tiba tunduk seolah memberi
hormat begitu melihat Kiai Leman melintas. Dan rupanya, seluruh warga Kampung
Sirittik sudah terbiasa dan sama sekali tidak mempersoalkan fenomena tak wajar
yang berlangsung di kampung mereka.
“Biarkan sajalah Kiai Leman
itu. Setidaknya masih ada yang mau mendengarkan ceramah dari orang gila dan
munafik seperti dia. Ya, walaupun ayat-ayat yang ia ucapkan itu cuma mempan
sama hewan dan tumbuhan saja,” tutur salah seorang bapak dengan enteng yang
kemudian disusul tawa orang-orang di sekelilingnya.
Aku hanya tersenyum simpul
dan tidak berminat menanggapi dengan serius penjelasan mereka. Fokusku di
kampung itu hanya untuk memenuhi tuntutan skripsiku saja. Kendati demikian, harus
kuakui bahwa lambat laun keunikan Kiai Leman ini terus mencengkeram
ketenteraman otakku. Rasa penasaran pun kian menjalar dan membakar. Untuk
memadamkannya, lantas kuputuskan agar segera berkomunikasi langsung dengannya.
“Mohon maaf Pak Kiai, boleh
saya tahu kenapa Pak Kiai jadi ga bergairah lagi memberi tausyiah kepada
orang-orang di kampung?” tanyaku di suatu siang ketika beliau sedang bersandar
di bawah pohon kelapa sambil mengamati sapi-sapi gembalanya yang tampak lahap
mengunyah rumput dan dedaunan.
“Lha memang orang-orang
kampungnya sendiri kok yang ga mau lagi mendengar ceramah saya. Daripada
bengong mendingan saya ceramahi hewan sama tumbuhan saja,” balas Kiai Leman
santai sambil terus mengibaskan kopiah hitamnya yang senantiasa bertengger di kepala.
Kulihat pula uban-uban telah menjilat pinggiran rambutnya yang dipotong model
cepak. Wajahnya yang kecoklatan dan tampak letih itu juga telah
diparut oleh keriput. Dan Bila kuamati dengan seksama, penampilan Kiai Leman
memang tampak lebih boros dari usia sebenarnya. Beberapa detik
berselang, dari balik celana panjangnya yang lusuh, beliau mengeluarkan
sebungkus rokok.”Adek merokok?” tawarnya sembari menyodorkan rokok itu ke
hadapanku. Dan kami akhirnya mengepulkan asap tembakau bersama-sama ke arah
langit yang terasa cukup menggigit siang itu.
“Zaman sekarang kan sudah
canggih. Kenapa Pak Kiai ga milih berdakwah lewat sosial media seperti youtube,
facebook, dan instagram?” Aku kembali membuka obrolan.
“Saya ini cuma Kiai
kampung, Dek. Tak paham sama yang gitu-gituan. Lagipula, saya cuma punya HP
yang beginian,” sahutnya seraya menunjukkan sebuah ponsel lawas yang kalau kata
kawan-kawanku di kampus bisa difungsikan untuk melempar anjing atau bahkan
mengganjal kaki meja yang tak rata .
“Lantas bagaimana caranya
para hewan dan tumbuh-tumbuhan itu bisa paham dan tunduk sama apa yang Pak Kiai
ucapkan, di mana pula Pak Kiai belajar bahasa mereka?”
Ucapanku itu rupanya
memancing perhatiannya. Beliau lalu menggeser pandangannya ke arahku. Kami
kemudian bertatapan cukup lama. Beliau hanya membisu sambil terus menusukku
dengan sorot matanya yang penuh tanda tanya. Sementara jantungku kian
berdebar-debar tak menentu bagai laki-laki yang menunggu balasan cinta dari
perempuan pujaannya.
Tak berselang lama, Kiai
Leman kembali mengalihkan pandangannya ke arah padang rumput yang tampak
berbahagia ketika dikunyah sapi-sapi gembalanya. Usai mengisap rokok dan
membebaskannya ke udara, beliau kemudian berkata:
“Di dunia ini jauh lebih
banyak hal yang tidak kita ketahui dan pahami. Dan sesungguhnya banyak dari
kita itu benar-benar tidak tahu bahwa diri kita sebenarnya tidak tahu.”
Keningku seketika mengerut.
Beban hidupku rasanya berlipat ganda begitu mendengar ucapan dari Kiai Leman
yang bernuansa filosofis dan terkesan abstrak tersebut. Supaya beban hidupku
yang sudah menumpuk di pundak tidak bertambah lagi, alangkah baiknya bila aku
segera pamit undur diri.
***
Seperti kebiasaannya, usai
menunaikan ibadah sholat isya dan memberi sedikit tausyiah kepada jamaahnya
yang terdiri dari berbagai hewan di mushola kecil yang juga berfungsi sebagai
rumahnya, Kiai Leman tak lupa untuk menyempatkan diri mengunjungi kuburan yang
terletak di puncak bukit. Orang-orang kampung selalu berspekulasi bahwa di
sanalah Kiai Leman bersemedi untuk memperdalam lagi kegilaannya.
Namun, karena aku selalu melatih diriku untuk tidak menelan begitu saja
spekulasi tanpa berusaha mencari bukti yang konkret, maka diam-diam aku
menguntitnya dari belakang.
Lagi-lagi Kiai Leman
berhasil membuat keningku bergelombang. Suasana pekuburan yang semula kelam
seketika berubah meriah bagai lampu pasar malam. Kusaksikan ribuan titik cahaya
kerlap-kerlip yang satu persatu keluar dari dalam kuburan-kuburan di sana.
Setelah kuteliti lebih lanjut, barulah aku sadar bahwa titik-titik cahaya itu
adalah gerombolan kunang-kunang. Aku langsung terkesima dan tertegun begitu
melihat ribuan kunang-kunang yang mengambang seperti meloncat
kegirangan menyambut kedatangan Kiai Leman. Ada yang bilang bahwa kunang-kunang
adalah jelmaan dari kuku orang-orang yang telah meninggal. Sepertinya
mayat-mayat di kuburan itu juga membutuhkan siraman rohani dari Kiai Leman.
Kunang-kunang yang sebelumnya hanya dapat kusaksikan di video-video dan
berbagai film itu, kini kutangkap dengan mata kepalaku sendiri. Ini pasti akan
jadi berita besar jika kubagikan di sosial media. Pasalnya, keberadaan
kunang-kunang sudah teramat sulit untuk ditemukan. Kehidupan mereka seperti
telah tersisih oleh zaman yang semakin canggih. Masa depan mereka terlantar
bagai terlantar oleh peradaban yang kiar barbar. Sejurus kemudian, langsung
saja kuambil ponsel dan merekam peristiwa langka yang tersaji manis di
hadapanku itu.
Ternyata dugaanku meleset.
Rupanya tak banyak orang yang merespon positif video Kiai Leman dan kunang-kunangnya
yang kuunggah beberapa hari lalu. Mereka bahkan menganggap bahwa video tersebut
hasil editan dan rekayasaku saja. Namun, rupanya di antara mereka ada seorang
lelaki yang tertarik dan memintaku agar segera mempertemukannya dengan Kian
Leman. Bahkan ia juga telah menawariku segepok uang dan mengajukan
syarat agar pertemuannya dengan Kiai Leman dirahasiakan dan tidak boleh ada
seorang pun bertemu dengan Kiai Leman selain lelaki tersebut. Mengingat betapa
entengnya syarat yang ia ajukan, maka tanpa pikir panjang langsung saja
kulumat. Kami lantas mencapai kata sepakat.
Usai berhasil mempertemukan
lelaki tersebut dengan Kiai Leman, tak lama kemudian aku langsung angkat kaki
dari Kampung Sirittik. Pasalnya, penelitianku di sana sudah berakhir dan aku mesti
fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi seminar hasil di depan para dosen
penguji. Kesibukan-kesibukan itulah yang membuatku tidak punya waktu lagi untuk
memikirkan Kiai Leman, para jamaahnya, berikut orang-orang di Kampung Sirittik.
Maka, lambat laun kehadiran Kiai Leman mulai menguap dari benakku.
Belakangan, barulah
kuketahui bahwa lelaki yang kupertemukan dengan Kiai Leman tempo hari adalah
seorang politisi yang tengah mengincar kursi Bupati. Sebagaimana yang kita
ketahui, di samping para pengusaha, kelompok manusia lainnya yang mampu dengan
jeli melihat dan mengendus peluang yang menguntungkan di depan mata adalah para
politisi. Dan lelaki itu rupanya mencium potensi besar yang dimiliki oleh Kiai
Leman, terutama soal kemampuannya dalam mempengaruhi para hewan dan tumbuhan.
Baginya, Kiai Leman tak ubahnya mesin dongkrak yang dapat mendobrak perolehan
suaranya di pemilu nanti. Pasalnya, jumlah hewan dan tumbuhan di Kampung
Sirittik ternyata jauh melebihi jumlah warga yang bermukim di sana.
Perbandingannya sekitar 5:1. Untuk memuluskan langkahnya tersebut, politisi itu
kemudian mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi agar para hewan dan
tumbuhan juga mempunyai hak suara yang sama dengan manusia untuk menentukan
nasib bangsa ke depan. Hingga kini, politisi tersebut beserta partai yang
menaunginya masih terus berjuang dan mengerahkan segala daya upaya agar
undang-undang pemilu tersebut dapat direvisi kembali oleh Mahkamah Konstitusi.
Dan kabarnya, begitu
mendengar berita soal permohonan politisi tersebut, seluruh warga Kampung
Sirittik tiba-tiba saja memutuskan untuk mengubah diri mereka menjadi hewan dan
tumbuhan. Dan jangan heran bila saat ini kau tidak akan menemukan lagi satu
manusia yang tinggal di sana. Suasana di Kampung Sirittik seketika berubah jadi
lebih tenteram, hening, dan syahdu. Sementara itu, keberadaan Kiai Leman secara
ajaib seketika raib dibasuh oleh waktu.[]
Padang Sidimpuan, 2023
Tidak ada komentar
Posting Komentar