Sudah enam bulan berlalu, kabar mengenai
menghilangnya anak Wali Kota masih menemui jalan buntu. Pihak kepolisian juga hampir angkat tangan dan kewalahan menghadapi kasusnya.
Akan tetapi, mengingat bahwa korbannya adalah anak seorang pejabat pemerintah
yang tentunya menjadi tajuk utama pemberitaan di berbagai media, maka mereka
tidak boleh sepele dan harus tetap berusaha menyelidiki dan mengumpulkan
bukti-bukti hingga titik darah penghabisan. Pasalnya, yang mereka pertaruhkan
adalah harga diri serta reputasi. Marwah mereka akan hancur di mata masyarakat
jika mereka gagal memecahkan kasus ini. Mau ditaruh di mana muka instansi
kepolisian nantinya jika untuk menemukan seorang gadis saja mereka tidak becus.
Spekulasi lantas bermunculan di
tengah masyarakat. Mengalir deras dari mulut ke mulut, dari satu kedai kopi ke
kedai kopi lainnya, dari satu ibu-ibu ke ibu-ibu berikutnya. Banyak dari mereka
yang menduga bahwa anak Wali Kota itu telah diculik untuk diambil organ tubuhnya.
Tak sedikit pula yang menganggap bahwa anak Wali Kota itu telah dijual ke
negara asing untuk dijadikan budak seks. Anggapan yang terakhir ini cukup masuk
akal bila mengingat paras anak Wali Kota tersebut yang tergolong cantik dengan
ditopang kulit yang tampak bercahaya dan
mulus. Bahkan, orang-orang justru lebih tertarik membahas pesona putri Wali
Kota tersebut ketimbang perkembangan kasus yang menimpanya.
Wajar saja bila mereka bersikap
demikian, sebab selama ini tidak ada satu pun warga yang mengetahui bahwa Wali
Kota mereka ternyata memiliki anak gadis yang berparas jelita. Nyaris tidak ada
satupun pemberitaan mengenai dirinya. Wali Kota itu terkesan seperti menyembunyikan
bahwa ia memiliki seorang anak perempuan yang menginjak usia dewasa. Terlebih
selama ini, Nauli, anak gadisnya itu memang sedang berkuliah di luar kota dan
amat jarang mengengok ayah dan ibunya. Malah ayah dan ibunya yang lebih sering
mengunjungi Nauli ke apartemennya.
Tak dapat dipungkiri, nihilnya
hasil investigasi yang digelar oleh kepolisian sedikit menggores hati Wali Kota
itu, sehingga ia pun memutuskan untuk mengadakan sebuah sayembara. Uang sebesar
2 miliar rupiah telah ia siapkan sebagai hadiah bagi siapa saja yang berhasil melacak
keberadaan Nauli. Orang-orang lantas menjadi antusias dan tergiur ketika
membaca pengumuman sayembara yang beredar luas di berbagai koran cetak maupun
media online tersebut. Mereka tampaknya tidak peduli apakah uang 2 miliar itu nantinya
dikucurkan dari kantong pribadi Wali Kota atau justru akan disunat dari APBD.
Salah satu yang berminat untuk menyemarakkan
sayembara tersebut adalah Jalambok, seorang pengangguran ulung yang kegiatan
sehari-harinya adalah menjadi budak sosial media. Pemuda itu merasa tertantang
untuk memecahkan kasus tersebut dengan berbekal pengalamannya menonton puluhan
film detektif.
“Dunia memang terlalu berbahaya
untuk gadis secantik dia. Sebagai seorang Ayah, amat wajar bila Wali Kota itu
enggan memublikasikan anak gadisnya. Sudah semestinya memang bila berlian itu
harus disimpan rapat-rapat. Begitu banyak kucing garong di luar sana yang bukan
hanya kelaparan, tapi juga brutal dan ga punya akal,” seru Jalambok di dalam
kamarnya ketika melihat poster sayembara tersebut dari layar ponsel.
Siang itu, seperti biasanya Jalambok
tengah menikmati waktu luangnya sebagai pengangguran dengan rebahan di atas
kasurnya yang empuk. Untuk membunuh waktu senggangnya yang maha longgar, ia memang
kerap membuka aplikasi instagram. Dan begitu ia membuka halaman pencarian dan
menggeser-geser layar dengan jempolnya, tiba-tiba saja pandangan Jalambok
terhenti pada sebuah foto. Takdir sepertinya telah menuntun mata Jalambok untuk
melirik satu foto yang terimpit di antara miliaran foto yang terpajang di sana,
Foto itu menampilkan seorang gadis yang duduk sendirian di sebuah kafe. Gadis berambut
ikal sebahu itu tampak termenung dan menatap
sendu ke arah luar kafe. Sehingga hanya separuh wajahnya saja yang tertangkap dengan
jelas. Namun, pakaian yang menempel pada gadis itu persis sama dengan pakaian
terakhir yang dikenakan oleh anak Wali Kota tersebut sebelum ia dinyatakan
menghilang. Mulai dari kaos putih berlengan pendek yang tampak longgar dengan logo Balenciaga di bagian dadanya, celana kargo bercorak loreng, hingga sepatu
kets putih yang membungkus tungkainya.
Menurut penuturan salah seorang
tetangganya apartemen Nauli, ia sempat berpapasan di dalam lif dan melihat anak
gadis wali Kota itu mengenakan busana tersebut. Ternyata kegigihan dan kejelian
Jalambok berselancar di dunia maya telah menggiringnya pada gerbang awal
investigasi kasus menghilangnya Nauli, anak gadis Pak Wali Kota.
***
Sore itu sebuah kafe, Jalambok
tampak duduk dengan tampannya sambil menikmati secangkir cappuccino hangat dan sepotong croissant
yang tergolek di atas piring kecil. Beberapa hari sebelumnya, rupanya ia telah
mengontak pengunggah foto yang diduga mirip dengan Nauli yang tempo hari
dilihatnya di instagram. Keduanya lantas berjanji untuk saling bertatap muka di
kafe tersebut. Jalambok berdalih ingin memberikan fotografer itu sebuah proyek
pemotretan. Untuk menemui fotografer tersebut, Jalambok harus rela menempuh jarak
ribuan kilometer dengan pesawat lantaran lokasi si fotografer yang berada di
luar kota.
Kau pasti bertanya-tanya, bagaimana
mungkin seorang pengangguran seperti Jalambok punya uang sebanyak itu untuk
membeli tiket pesawat. Perlu diketahui bahwa Jalambok merupakan seorang pengangguran
yang senang. Dengan kata lain, Jalambok adalah pemuda yang tidak perlu lagi repot-repot
berbanjir peluh untuk menghasilkan uang demi menyambung hidup. Pasalnya,
sebagai anak tunggal dan berstatus yatim piatu, ia telah mewarisi harta
mendiang kedua orang tuanya. Sebuah hunian berlantai dua, sejumlah mobil dan
motor, sepuluh unit ruko serta sebuah rumah kos dengan tiga puluh kamar telah resmi menjadi miliknya. Belum lagi
lahan sawit belasan hektar dan isi rekeningnya yang entah berapa digit
jumlahnya. Dengan segala keran kenikmatan duniawi tersebut, sah-sah saja bukan
bila Jalambok merasa tidak perlu lagi membuang waktu dan energinya untuk
bekerja.
Setelah hampir setengah jam menunggu, Jalambok
akhirnya bertemu juga dengan fotografer tersebut. Fotografer itu tampak sudah
tua. Mungkin usianya telah menyentuh angka 60 tahun. Sebagian besar area
rambutnya telah dijajah oleh uban. Ketika
fotografer itu kemudian duduk dan meletakkan tas kameranya di atas meja, bola
mata Jalambok seketika melebar begitu menyaksikan jari-jari si fotografer
tersebut rupanya buntung. Fotografer itu rupanya sadar dengan ekspresi
kaget Jalambok dan segera menetralkan suasana.
“Ini sejarah masa lalu,” ujarnya
sambil menghadapkan tangannya.
Jalambok pun makin penasaran
dengan ucapan fotografer itu. Sejarah macam apa pula tega merenggut jari-jari
bapak itu, pikirnya. Untuk sementara ia pun meminggirkan urusan menghilangnya
Nauli dan mulai membuka obrolan dengan menanyakan soal tangan si bapak
fotografer.
“Sejarah masa lalu? Kalau tidak
keberatan boleh dong Bapak ceritakan sedikit.”
Fotografer itu lantas mulai mengurai
cerita. Sebelum menjadi seorang fotografer, dulu ia adalah seorang jurnalis. Tepatnya
sekitar 30 tahun lalu, ketika situasi politik dalam negeri sedang bergejolak
menjelang lengsernya Soeharto. Sebagai seorang wartawan, bapak fotografer itu
mengaku memang kerap menulis berita yang menyudutkan pemerintahan Soeharto. Tak
ayal, masa itu banyak wartawan yang dianggap provokator dan berbahaya kemudian
diculik dan disekap, salah satu di antaranya adalah bapak fotografer itu.
“Di dalam penjara, jari-jari
Bapak kemudian dihantam dengan kaki kursi yang diduduki oleh polisi
berkali-kali supaya tidak bisa menulis
berita yang buruk lagi tentang pemerintah,” kenang si bapak fotografer
“Kenapa Bapak bisa senekat itu sih
memancing amarah pemerintah? ”sahut Jalambok.
“Bapak bukannya nekat, Bapak
hanya mencoba untuk jujur dalam menulis berita. Kau bisa bayangkanlah betapa
kacaunya situasi saat itu. Semua harga melambung tinggi. Banyak rakyat yang
kelaparan. Pengangguran merajalela. Toko-toko jadi objek amukan warga dan
perkelahian sudah menjadi tontonan sehari-hari. Sehingga demo besar-besaran
dari segala sudut pun tak bisa dielakkan lagi. Sebagai wartawan, masa Bapak
harus tutup mata dengan realita yang terpampang begitu nyata dan jelas di depan
mata. Apa kata kawan-kawan dan keluarga Bapak nantinya kalau yang Bapak tulis
justru tidak seusai dengan peristiwa sebenarnya? Kredibilitas dan integritas Bapak
sebagai jurnalis dipertaruhkan. Bapak ga mau mau dicap sebagai wartawan
gadungan.”
“Terus kenapa Bapak malah beralih
jadi fotografer?” tanya Jalambok usai melahap potongan terakhir croissant
dari piring kecil di hadapannya..
“Setelah diperiksa oleh dokter,
Bapak rupanya mengidap diabetes sehingga jari-jari Bapak yang sudah remuk redam
itu berujung infeksi dan terpaksa di amputasi supaya tidak menyebar. Bapak
kemudian dianggap sudah tidak bisa menulis berita lagi.Tak ada satu pun
perusahaan media yang mau mempekerjakan Bapak sebagai wartawan.Waktu itu belum
ada laptop dan masih menggunakan mesin tik. Kondisi tangan Bapak yang menyedihkan
ini hanya akan memperlambat proses pengetikan berita. Bagi perusahaan media, akselarasi
penyiaran berita adalah hal yang utama. Semakin cepat berita itu sampai ke
masyarakat, maka akan semakin baik. Lantas untuk menyambung hidup, Bapak kemudian
beralih menjadi fotografer. Karena selain menulis, kemampuan Bapak lainnya
hanyalah memotret,” mulut bapak itu kemudian ia geser ke arah sedotan lalu mengisap segelas latte dingin dari sana.
“Termasuk diam-diam memotret seorang
anak gadis di sebuah kafe?” Jalambok mulai menusuk ke pokok persoalan yang
sebenarnya.
“Maksudnya?” Fotografer itu
tampak tersentak dan agak bingung hingga ia terlihat membetulkan letak
kacamatanya.
Jalambok lantas meraih ponsel
yang terletak di atas meja kemudian menyodorkan foto Nauli kepadanya.“Bapak
tahu tidak kalau gadis yang Bapak foto ini anak Wali Kota dan sudah menghilang
sejak 6 bulan yang lalu?”cecar Jalambok penuh selidik.
Bapak fotografer itu tak langsung
menjawab. Ia hanya menghela napas panjang. Ia lantas melemparkan pandangannya
ke arah luar kafe. Mendung yang sedari tadi menaungi jalanan sekitar seketika mengubah
dirinya menjadi hujan deras yang membasuh setiap
kendaraan yang melintas. Suasana kafe sejak mereka tiba memang tampak lengang. Hanya
beberapa meja saja yang ditempati. Barangkali karena kondisi dompet yang megap-megap
di akhir bulan, orang-orang jadi berpikir dua kali untuk mampir ke kafe yang
terbilang cukup mewah tersebut. Beberapa saat kemudian, fotografer itu kembali
menggeser pandangannya ke arah Jalambok, kemudian kembali menyesap latte dingin yang hampir habis. Setelah
cairan kopi susu tersebut melintasi kerongkongannya, ia mulai menjawab
pertanyaan Jalambok
“Begini, Nak. Terus terang sebelumnya
Bapak tidak tahu menahu kalau anak gadis yang Bapak potret itu merupakan anak
seorang Wali Kota dan rupanya sudah menghilang. Waktu itu Bapak hanya
melihatnya termenung seorang diri di kafe ini. Bagi Bapak, segala bentuk keindahan
itu harus diabadikan, karena keindahan itu sering keberadaannya tidak disadari atau
malah dieksplotasi sesuka hati. Salah satu cara mengabadikan keindahan itu
adalah melalui tangkapan lensa kamera. Naluri Bapak sebagai fotografer langsung
terbakar begitu melihat anak gadis itu. Wajahnya terkesan ayu dan bercahaya.
Sebagian rambut ikalnya ia biarkan menjuntai hingga menyentuh bahu, sedang
sebagian lagi ia kepang ke belakang. Bagaimana mungkin dengan penampilan tomboy
begitu ia masih tampak anggun dan jelita? Saking terpukaunya, Bapak langsung refleks
mengeluarkan kamera dari dalam tas kemudian mengambil beberapa fotonya. Akan
tetapi, kamera Bapak tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. Lalu Bapak
berusaha bangkit dari kursi untuk mencari colokan dan bergegas mengisi daya. Namun,
begitu Bapak kembali, gadis itu rupanya sudah tidak ada di mejanya lagi. Padahal
Bapak sudah berniat untuk memperlihatkan foto itu padanya.”
Kening Jalambok tampak berkerut. Alisnya
seketika melipat. Ia rupanya menaruh curiga terhadap argumen fotografer
tersebut. Ia mengendus adanya sesuatu yang tidak beres. Ia merasa bahwa
fotografer itu seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Bapak fotografer itu
rupanya paham dengan gelagat Jalambok yang memacarkan rona ketidakpercayaan.
“Kalau tidak percaya dengan
omongan Bapak, silahkan tanyakan sendiri ke kasir yang di depan. Bila perlu
minta sekalian rekaman cctv-nya.”
Jalambok lalu beringsut dari
kursinya dan segera mengayunkan langkah menghampiri seorang kasir yang tampak sibuk
melayani seorang pembeli. Baru beberapa langkah Jalambok bergerak, fotografer
itu tiba-tiba memanggilnya dari belakang. Jalambok lantas berbalik badan dan langsung
tercengang begitu menyaksikan lensa kamera fotografer itu sudah membidiknya
dengan mantap. Detik selanjutnya, pandangan Jalambok seketika bagai ditabrak
oleh seberkas cahaya kilat yang semakin lama semakin lebar dan menyilaukan. Jalambok
lalu berusaha membuka mata dan terheran-heran ketika mendapati seluruh area
kafe seakan-akan telah mengubah diri menjadi cahaya putih yang menyala-nyala.
Beberapa hari kemudian, jagat
media sosial di kota bersejarah itu kembali gempar. Seorang pemuda yatim piatu yang merupakan anak mantan
Kapolres dilaporkan telah menghilang tanpa kabar.[]
Posting Komentar