Cerpen : Hilang


Oleh : Bang Harlen

Sudah enam bulan berlalu, kabar mengenai menghilangnya anak Wali Kota masih menemui jalan buntu. Pihak kepolisian juga  hampir angkat tangan dan kewalahan menghadapi kasusnya. Akan tetapi, mengingat bahwa korbannya adalah anak seorang pejabat pemerintah yang tentunya menjadi tajuk utama pemberitaan di berbagai media, maka mereka tidak boleh sepele dan harus tetap berusaha menyelidiki dan mengumpulkan bukti-bukti hingga titik darah penghabisan. Pasalnya, yang mereka pertaruhkan adalah harga diri serta reputasi. Marwah mereka akan hancur di mata masyarakat jika mereka gagal memecahkan kasus ini. Mau ditaruh di mana muka instansi kepolisian nantinya jika untuk menemukan seorang gadis saja mereka tidak becus.

Spekulasi lantas bermunculan di tengah masyarakat. Mengalir deras dari mulut ke mulut, dari satu kedai kopi ke kedai kopi lainnya, dari satu ibu-ibu ke ibu-ibu berikutnya. Banyak dari mereka yang menduga bahwa anak Wali Kota itu telah diculik untuk diambil organ tubuhnya. Tak sedikit pula yang menganggap bahwa anak Wali Kota itu telah dijual ke negara asing untuk dijadikan budak seks. Anggapan yang terakhir ini cukup masuk akal bila mengingat paras anak Wali Kota tersebut yang tergolong cantik dengan ditopang  kulit yang tampak bercahaya dan mulus. Bahkan, orang-orang justru lebih tertarik membahas pesona putri Wali Kota tersebut ketimbang perkembangan kasus yang menimpanya.

Wajar saja bila mereka bersikap demikian, sebab selama ini tidak ada satu pun warga yang mengetahui bahwa Wali Kota mereka ternyata memiliki anak gadis yang berparas jelita. Nyaris tidak ada satupun pemberitaan mengenai dirinya. Wali Kota itu terkesan seperti menyembunyikan bahwa ia memiliki seorang anak perempuan yang menginjak usia dewasa. Terlebih selama ini, Nauli, anak gadisnya itu memang sedang berkuliah di luar kota dan amat jarang mengengok ayah dan ibunya. Malah ayah dan ibunya yang lebih sering mengunjungi Nauli ke apartemennya.

Tak dapat dipungkiri, nihilnya hasil investigasi yang digelar oleh kepolisian sedikit menggores hati Wali Kota itu, sehingga ia pun memutuskan untuk mengadakan sebuah sayembara. Uang sebesar 2 miliar rupiah telah ia siapkan sebagai hadiah bagi siapa saja yang berhasil melacak keberadaan Nauli. Orang-orang lantas menjadi antusias dan tergiur ketika membaca pengumuman sayembara yang beredar luas di berbagai koran cetak maupun media online tersebut. Mereka tampaknya tidak peduli apakah uang 2 miliar itu nantinya dikucurkan dari kantong pribadi Wali Kota atau justru akan disunat dari APBD.

Salah satu yang berminat untuk menyemarakkan sayembara tersebut adalah Jalambok, seorang pengangguran ulung yang kegiatan sehari-harinya adalah menjadi budak sosial media. Pemuda itu merasa tertantang untuk memecahkan kasus tersebut dengan berbekal pengalamannya menonton puluhan film detektif.

“Dunia memang terlalu berbahaya untuk gadis secantik dia. Sebagai seorang Ayah, amat wajar bila Wali Kota itu enggan memublikasikan anak gadisnya. Sudah semestinya memang bila berlian itu harus disimpan rapat-rapat. Begitu banyak kucing garong di luar sana yang bukan hanya kelaparan, tapi juga brutal dan ga punya akal,” seru Jalambok di dalam kamarnya ketika melihat poster sayembara tersebut dari layar ponsel.

Siang itu, seperti biasanya Jalambok tengah menikmati waktu luangnya sebagai pengangguran dengan rebahan di atas kasurnya yang empuk. Untuk membunuh waktu senggangnya yang maha longgar, ia memang kerap membuka aplikasi instagram. Dan begitu ia membuka halaman pencarian dan menggeser-geser layar dengan jempolnya, tiba-tiba saja pandangan Jalambok terhenti pada sebuah foto. Takdir sepertinya telah menuntun mata Jalambok untuk melirik satu foto yang terimpit di antara miliaran foto yang terpajang di sana, Foto itu menampilkan seorang gadis yang duduk sendirian di sebuah kafe. Gadis berambut ikal  sebahu itu tampak termenung dan menatap sendu ke arah luar kafe. Sehingga hanya separuh wajahnya saja yang tertangkap dengan jelas. Namun, pakaian yang menempel pada gadis itu persis sama dengan pakaian terakhir yang dikenakan oleh anak Wali Kota tersebut sebelum ia dinyatakan menghilang. Mulai dari kaos putih berlengan pendek yang tampak longgar  dengan logo Balenciaga di bagian dadanya,  celana kargo bercorak loreng, hingga sepatu kets putih yang membungkus tungkainya.

Menurut penuturan salah seorang tetangganya apartemen Nauli, ia sempat berpapasan di dalam lif dan melihat anak gadis wali Kota itu mengenakan busana tersebut. Ternyata kegigihan dan kejelian Jalambok berselancar di dunia maya telah menggiringnya pada gerbang awal investigasi kasus menghilangnya Nauli, anak gadis Pak Wali Kota.

***

Sore itu sebuah kafe, Jalambok tampak duduk dengan tampannya sambil menikmati secangkir cappuccino hangat dan sepotong croissant yang tergolek di atas piring kecil. Beberapa hari sebelumnya, rupanya ia telah mengontak pengunggah foto yang diduga mirip dengan Nauli yang tempo hari dilihatnya di instagram. Keduanya lantas berjanji untuk saling bertatap muka di kafe tersebut. Jalambok berdalih ingin memberikan fotografer itu sebuah proyek pemotretan. Untuk menemui fotografer tersebut, Jalambok harus rela menempuh jarak ribuan kilometer dengan pesawat lantaran lokasi si fotografer yang berada di luar kota.

Kau pasti bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang pengangguran seperti Jalambok punya uang sebanyak itu untuk membeli tiket pesawat. Perlu diketahui bahwa Jalambok merupakan seorang pengangguran yang senang. Dengan kata lain, Jalambok adalah pemuda yang tidak perlu lagi repot-repot berbanjir peluh untuk menghasilkan uang demi menyambung hidup. Pasalnya, sebagai anak tunggal dan berstatus yatim piatu, ia telah mewarisi harta mendiang kedua orang tuanya. Sebuah hunian berlantai dua, sejumlah mobil dan motor, sepuluh unit ruko serta sebuah rumah kos dengan tiga puluh  kamar telah resmi menjadi miliknya. Belum lagi lahan sawit belasan hektar dan isi rekeningnya yang entah berapa digit jumlahnya. Dengan segala keran kenikmatan duniawi tersebut, sah-sah saja bukan bila Jalambok merasa tidak perlu lagi membuang waktu dan energinya untuk bekerja.

 Setelah hampir setengah jam menunggu, Jalambok akhirnya bertemu juga dengan fotografer tersebut. Fotografer itu tampak sudah tua. Mungkin usianya telah menyentuh angka 60 tahun. Sebagian besar area rambutnya  telah dijajah oleh uban. Ketika fotografer itu kemudian duduk dan meletakkan tas kameranya di atas meja, bola mata Jalambok seketika melebar begitu menyaksikan jari-jari si fotografer tersebut rupanya buntung. Fotografer itu rupanya sadar dengan ekspresi kaget Jalambok dan segera menetralkan suasana.

“Ini sejarah masa lalu,” ujarnya sambil menghadapkan tangannya.

Jalambok pun makin penasaran dengan ucapan fotografer itu. Sejarah macam apa pula tega merenggut jari-jari bapak itu, pikirnya. Untuk sementara ia pun meminggirkan urusan menghilangnya Nauli dan mulai membuka obrolan dengan menanyakan soal tangan si bapak fotografer. 

“Sejarah masa lalu? Kalau tidak keberatan boleh dong Bapak ceritakan sedikit.”

Fotografer itu lantas mulai mengurai cerita. Sebelum menjadi seorang fotografer, dulu ia adalah seorang jurnalis. Tepatnya sekitar 30 tahun lalu, ketika situasi politik dalam negeri sedang bergejolak menjelang lengsernya Soeharto. Sebagai seorang wartawan, bapak fotografer itu mengaku memang kerap menulis berita yang menyudutkan pemerintahan Soeharto. Tak ayal, masa itu banyak wartawan yang dianggap provokator dan berbahaya kemudian diculik dan disekap, salah satu di antaranya adalah bapak fotografer itu.

“Di dalam penjara, jari-jari Bapak kemudian dihantam dengan kaki kursi yang diduduki oleh polisi berkali-kali  supaya tidak bisa menulis berita yang buruk lagi tentang pemerintah,” kenang si bapak fotografer

“Kenapa Bapak bisa senekat itu sih memancing amarah pemerintah? ”sahut Jalambok.

“Bapak bukannya nekat, Bapak hanya mencoba untuk jujur dalam menulis berita. Kau bisa bayangkanlah betapa kacaunya situasi saat itu. Semua harga melambung tinggi. Banyak rakyat yang kelaparan. Pengangguran merajalela. Toko-toko jadi objek amukan warga dan perkelahian sudah menjadi tontonan sehari-hari. Sehingga demo besar-besaran dari segala sudut pun tak bisa dielakkan lagi. Sebagai wartawan, masa Bapak harus tutup mata dengan realita yang terpampang begitu nyata dan jelas di depan mata. Apa kata kawan-kawan dan keluarga Bapak nantinya kalau yang Bapak tulis justru tidak seusai dengan peristiwa sebenarnya? Kredibilitas dan integritas Bapak sebagai jurnalis dipertaruhkan. Bapak ga mau mau dicap sebagai wartawan gadungan.”

“Terus kenapa Bapak malah beralih jadi fotografer?” tanya Jalambok usai melahap potongan terakhir  croissant dari piring kecil di hadapannya..

“Setelah diperiksa oleh dokter, Bapak rupanya mengidap diabetes sehingga jari-jari Bapak yang sudah remuk redam itu berujung infeksi dan terpaksa di amputasi supaya tidak menyebar. Bapak kemudian dianggap sudah tidak bisa menulis berita lagi.Tak ada satu pun perusahaan media yang mau mempekerjakan Bapak sebagai wartawan.Waktu itu belum ada laptop dan masih menggunakan mesin tik. Kondisi tangan Bapak yang menyedihkan ini hanya akan memperlambat proses pengetikan berita. Bagi perusahaan media, akselarasi penyiaran berita adalah hal yang utama. Semakin cepat berita itu sampai ke masyarakat, maka akan semakin baik. Lantas untuk menyambung hidup, Bapak kemudian beralih menjadi fotografer. Karena selain menulis, kemampuan Bapak lainnya hanyalah memotret,” mulut bapak itu kemudian ia geser ke arah sedotan lalu  mengisap segelas latte dingin dari sana.

“Termasuk diam-diam memotret seorang anak gadis di sebuah kafe?” Jalambok mulai menusuk ke pokok persoalan yang sebenarnya.

“Maksudnya?” Fotografer itu tampak tersentak dan agak bingung hingga ia terlihat membetulkan letak kacamatanya.

Jalambok lantas meraih ponsel yang terletak di atas meja kemudian menyodorkan foto Nauli kepadanya.“Bapak tahu tidak kalau gadis yang Bapak foto ini anak Wali Kota dan sudah menghilang sejak 6 bulan yang lalu?”cecar Jalambok penuh selidik.

Bapak fotografer itu tak langsung menjawab. Ia hanya menghela napas panjang. Ia lantas melemparkan pandangannya ke arah luar kafe. Mendung yang sedari tadi menaungi jalanan sekitar seketika mengubah dirinya menjadi hujan deras yang membasuh setiap kendaraan yang melintas. Suasana kafe sejak mereka tiba memang tampak lengang. Hanya beberapa meja saja yang ditempati. Barangkali karena kondisi dompet yang megap-megap di akhir bulan, orang-orang jadi berpikir dua kali untuk mampir ke kafe yang terbilang cukup mewah tersebut. Beberapa saat kemudian, fotografer itu kembali menggeser pandangannya ke arah Jalambok, kemudian kembali menyesap latte dingin yang hampir habis. Setelah cairan kopi susu tersebut melintasi kerongkongannya, ia mulai menjawab pertanyaan Jalambok

“Begini, Nak. Terus terang sebelumnya Bapak tidak tahu menahu kalau anak gadis yang Bapak potret itu merupakan anak seorang Wali Kota dan rupanya sudah menghilang. Waktu itu Bapak hanya melihatnya termenung seorang diri di kafe ini. Bagi Bapak, segala bentuk keindahan itu harus diabadikan, karena keindahan itu sering keberadaannya tidak disadari atau malah dieksplotasi sesuka hati. Salah satu cara mengabadikan keindahan itu adalah melalui tangkapan lensa kamera. Naluri Bapak sebagai fotografer langsung terbakar begitu melihat anak gadis itu. Wajahnya terkesan ayu dan bercahaya. Sebagian rambut ikalnya ia biarkan menjuntai hingga menyentuh bahu, sedang sebagian lagi ia kepang ke belakang. Bagaimana mungkin dengan penampilan tomboy begitu ia masih tampak anggun dan jelita? Saking terpukaunya, Bapak langsung refleks mengeluarkan kamera dari dalam tas kemudian mengambil beberapa fotonya. Akan tetapi, kamera Bapak tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. Lalu Bapak berusaha bangkit dari kursi untuk mencari colokan dan bergegas mengisi daya. Namun, begitu Bapak kembali, gadis itu rupanya sudah tidak ada di mejanya lagi. Padahal Bapak sudah berniat untuk memperlihatkan foto itu padanya.”

Kening Jalambok tampak berkerut. Alisnya seketika melipat. Ia rupanya menaruh curiga terhadap argumen fotografer tersebut. Ia mengendus adanya sesuatu yang tidak beres. Ia merasa bahwa fotografer itu seperti tengah menyembunyikan sesuatu. Bapak fotografer itu rupanya paham dengan gelagat Jalambok yang memacarkan rona ketidakpercayaan.

“Kalau tidak percaya dengan omongan Bapak, silahkan tanyakan sendiri ke kasir yang di depan. Bila perlu minta sekalian rekaman cctv-nya.”

Jalambok lalu beringsut dari kursinya dan segera mengayunkan langkah menghampiri seorang kasir yang tampak sibuk melayani seorang pembeli. Baru beberapa langkah Jalambok bergerak, fotografer itu tiba-tiba memanggilnya dari belakang. Jalambok lantas berbalik badan dan langsung tercengang begitu menyaksikan lensa kamera fotografer itu sudah membidiknya dengan mantap. Detik selanjutnya, pandangan Jalambok seketika bagai ditabrak oleh seberkas cahaya kilat yang semakin lama semakin lebar dan menyilaukan. Jalambok lalu berusaha membuka mata dan terheran-heran ketika mendapati seluruh area kafe seakan-akan telah mengubah diri menjadi cahaya putih yang menyala-nyala.

Beberapa hari kemudian, jagat media sosial di kota bersejarah itu kembali gempar. Seorang  pemuda yatim piatu yang merupakan anak mantan Kapolres dilaporkan telah menghilang tanpa kabar.[]

Padang Sidimpuan, 2024   
alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes