Oleh : Bang Harlen
Aku sedang duduk menekuni sebuah buku di tengah ruang perpustakaan ketika suara itu
merayap di telingaku. Mulanya aku menduga suara yang lirih itu berasal dari
lagu yang mengalir melalui earphone yang kupasang. Akan tetapi, begitu earphone ini kulepas, suara itu masih
juga kudengar. Malah semakin menggema saja. Aku jadi merasa jengkel karena
suara itu amat berisik hingga membuatku tidak bisa fokus membaca. Aku lantas bangkit
dari kursi kayu yang sudah hampir sejam ini memangku badanku dan berusaha
mencari sumber suara tersebut.
“Tolong
aku!” Suara itu terdengar sangat memilukan bagai korban gempa yang merintih karena tertimpa
puing-puing bangunan.
Dengan
penuh rasa penasaran kuayunkan langkah ini mengikuti arah suara itu. Aku
bergegas ke balik rak buku karena suara minta tolong itu terdengar mengalir
dari sana. Namun, sesampainya di sana, tak kutemukan seorang pun. Kemudian suara
itu kembali merambati gendang telingaku. Kali ini terdengar dari semua rak yang
berjejer di perpustakaan. Aku lantas bergerak mengitari seluruh penjuru
perpustakaan. Beranjak dari satu rak buku ke rak buku berikutnya. Namun, tetap
saja tak membuahkan hasil. Dan aku baru menyadari kalau pengunjung perpustakaan
ini hanya aku seorang, tak kulihat siapa-siapa lagi di sini, kecuali dua orang
penjaga yang duduk di pintu depan tentunya. Oh ya, kenapa tidak aku tanya
mereka saja? Mungkin mereka juga mendengar suara minta tolong itu, batinku.
Prediksiku
rupanya melencengt. Kedua penjaga yang masih tampak muda yang kutanyai itu sama
sekali tidak menangkap suara orang yang sedang meminta pertolongan. Mereka hanya
menggeleng-gelengkan kepala dan saling tatap satu sama lain. Kucoba meyakinkan kedua
gadis itu untuk memasang telinga mereka dengan saksama agar dapat mendengar
suara yang bagiku cukup menggema di seluruh penjuru ruangan perpustakaan.
Mereka pun mengikuti saranku dan tetap saja yang mengetuk gendang telinga
mereka hanya desir angin yang menghantarkan kehampaan. Dengan alis yang terus
melipat dan sorot mata yang menyiratkan kebingungan, kedua penjaga perpustakaan
itu lantas menatapku dan kembali menegaskan jawaban mereka : “Sumpah, Bang!
Kami ga mendengar suara apa-apa lho,” bola mata mereka seakan hendak keluar
supaya aku percaya dengan ucapan mereka.
Pikiranku
dibanjiri kebimbangan. Saraf-sarafku seperti mengamuk karena disuruh bekerja
diluar batas kewajaran. Daripada nanti mereka mogok kerja, kuputuskan untuk
istrirahat sejenak di bawah pohon mangga yang berdiri kokoh di depan
perpustakaan. Kemudian kunyalakan sebatang rokok, lantas meniupkan asapnya ke
udara. Kepulan asap tembakau yang membubung di udara itu sepertinya juga turut
membawa partikel-partikel jahat yang sebelumnya menghambat laju pikiranku.
Duduk
di bawah pohon mangga berdaun lebat ini, suara minta tolong itu masih saja menjalar
di telingaku. Hanya saja kali ini ia tidak begitu bergema seperti sebelumnya. Setelah
pikiranku sedikit tenang, aku kembali menyelidiki lagi asal suara tersebut. Aku
lantas mulai mengingat-ingat kembali. Barangkali ada satu sisi ruangan di perpustakaan
yang luput oleh pengamatanku. Dan benar saja, aku baru sadar kalau masih ada
satu ruangan yang belum terjamah oleh pandanganku, yaitu toilet. Mungkin saja
ada seseorang yang tengah terkunci di dalam toilet, atau yang lebih ekstrim
adalah ada seseorang yang terpeleset hingga mengalami perdarahan hebat yang
membutuhkan bantuan secepatnya.
Langsung
saja kumatikan rokokku yang masih tersisa setengah itu dan segera bangkit lalu berlari ke arah
perpustakaan. Aku masih sempat sedikit melirik ke tempat duduk kedua gadis
penjaga perpustakaan itu, mereka tampak melongo ketika menyaksikanku yang
seketika tergopoh-gopoh masuk ke dalam perpustakaan. Lagipula, aku sudah tidak
peduli lagi dengan apa yang menghinggapi kepala mereka. Satu satunya yang
kupikirkan sekarang adalah bagaimana menyelamatkan orang yang mungkin saja
sedang bertarung dengan maut dalam
toilet tersebut.
Memasuki
area perpustakaan, suara minta tolong itu kembali menggaung dengan jelas, kali
ini terdengar seperti rintihan seorang gadis yang memohon belas kasih. Tanpa
mengulur waktu lagi, aku langsung melesat bagai anak panah yang terlepas dari
busurnya menuju arah toilet. Saking menyalanya semangatku, aku sampai
tergelincir dan menabrak tembok dekat pintu kamar mandi karena kecepatan lariku
yang sulit kukendalikan.
“Tolong
aku!” Suaraku itu masih menyelusup di telinga begitu aku berdiri tepat di depan
pintu toilet. Tanpa pikir panjang, langsung saja kudobrak pintu kamar mandi
yang rupanya tidak terkunci tersebut. Apa yang kutemukan di dalam kamar mandi
itu rupanya sungguh diluar perkiraan. Tak ada seorangpun di dalamnya. Eh, tapi
tunggu dulu! Itu apa? Aku mendapati seonggok tahi yang mengambang di dalam
lubang kloset. Teksturnya masih menyegarkan. Tampaknya ia baru beberapa jam
terlantar di sana. Mungkinkah yang sedari dari teriak-teriak minta tolong itu
adalah tahi tersebut? Barangkali tahi itu meminta pertolongan agar dirinya
segera disiram karena terjebak dan tak bisa bertemu dengan kawan-kawannya yang
tengah berpesta di dalam septik tank. Sejurus kemudian, kuraih gagang gayung
yang terapung di atas ember lalu segera menyiram tahi yang malang itu.
“Ada
apa sih, Bang? Kok jadi ribut?” Kedua gadis penjaga perpustakaan itu tiba-tiba mengagetkanku.
Rupanya suara pintu toilet yang kudobrak cukup mengejutkan mereka.
“Siapa
sih yang habis berak lupa nyiram ini?” Kupandangi wajah keduanya satu per satu
dengan tatapan yang tajam
Mereka
cuma saling pandang kemudian hanya mengangkat bahu seperti memberi isyarat
kalau mereka juga tidak tahu, lantas pergi begitu saja.
Setelah
mengirim tahi yang malang itu bertemu
kawan-kawannya, aku kemudian melangkah ke ruangan perpustakan dan melanjutkan
kembali bacaanku yang sempat tertunda. Baru beberapa detik aku menempelkan pantatku
di atas kursi, suara minta tolong itu lagi-lagi berdengung di telinga. Kali ini
bukan rintihan seorang perempuan, melainkan suara seorang pria. Perasaan
jengkel yang tadinya belum padam, kini semakin membara saja dan membakar
seluruh rongga dada. Kendati demikian, kucoba untuk mengendalikan amarah. Aku
lantas kembali beringsut dari kursi kemudian kembali mengelilingi segenap
penjuru perpustakaan.
Jam
dinding menunjukkan pukul 2 siang. Barangkali ada pengunjung yang baru datang
ketika tadi aku sibuk dengan urusan tahi di toilet. Seluruh sudut perpustakaan telah kujelajahi. Mulai
dari toilet, rak demi rak, bahkan segala laci dan loker telah kubongkar. Namun,
tetap saja hasilnya nihil. Tak kutemukan sosok yang sedari tadi merintih meminta
pertolongan.
Dalam
kebingungan yang terus mendominasi pikiran, kuputuskan untuk selonjoran di atas
lantai. Di hadapanku berdiri sebuah rak besar yang memuat ratusan buku. Ada
beberapa foto para Wali Kota yang pernah dan tengah menjabat berderet di puncak
rak tersebut. Ah, barangkali salah satu dari bapak-bapak terhormat ini yang tengah
meminta tolong, pikirku. Mungkin saja
ada yang bibirnya pegal dan kaku karena sudah terlalu lama tersenyum. Atau bisa
aja mereka sudah jenuh dengan busana serba putih yang formal itu dan ingin segera
berganti dengan pakaian yang lebih
santai. Atau mungkin saja mereka sudah bosan berdiri mematung di atas sana dan
ingin dipindahkan agar dapat menikmati suasana yang baru. Akan tetapi, setahuku
warna vokal bapak-bapak ini terdengar lebih berat dan kesannya berwibawa, tidak
cempreng seperti yang terus mengusikku ini. Aku menarik kesimpulan kalau suara
minta tolong itu bukanlah bersal dari salah satu dari mereka.
Tiba-tiba
saja suara minta tolong itu semakin menyesaki gendang telingaku. Sekarang bukan
hanya satu orang saja, tapi ada puluhan, ratusan, atau mungkin saja ribuan
suara. Ada berbagai macam suara yang menyeruduk telingaku, dari suara anak-anak
sampai kakek-nenek terasa begitu menumpuk. Seketika aku berpikiran bahwa aku
telah menjelma menjadi anjing yang mampu menangkap suara infrasonik. Mungkin
juga aku telah mendapat anugerah sebagai anak indigo yang menjamur di
acara-acara televisi serta kanal youtube tersebut. Atau yang lebih parah, aku sebenarnya
telah mengalami gangguan kejiwaan karena sedang berhalusinasi.
“Bang, perpustakaannya sebentar lagi mau tutup!”
Suara penjaga perpustakaan tiba-tiba menyentakku. Jarum jam menunjukkan pukul 3 siang. Dari pagi hingga sekarang aku hanya mendapat teror suara misterius yang entah dari mana asalnya. Aku lantas bangkit dari lantai dan bergegas melangkah menuju parkiran motor. Segera kupacu sepeda motorku meninggalkan perpustakaan. Dalam perjalanan aku masih bertanya-tanya perihal suara yang meminta tolong itu. Namun, aku bersyukur karena begitu menjauhi perpustakaan, suara minta tolong itu tidak menggangguku lagi. Setidaknya aku yakin bahwa aku saat itu aku tidak sedang berhalusinasi.[]
Padang
Sidimpuan, 2023
Tidak ada komentar
Posting Komentar