.

Cerpen: Nasib


Oleh : Bang Harlen

Nasib memang tak pernah kehabisan cara untuk menghadirkan kejutan. Hidup yang semula dibungkus penderitaan, sekejap mata bisa saja berubah begitu menyenangkan. Sebaliknya, tawa yang dulu berkuasa, mendadak luruh menjadi derai airmata.


Sudah puluhan tahun Lomo dan keluarganya dilingkupi kebahagiaan. Jabongak, ayahnya, seorang pengusaha konstruksi yang sukses dan dikenal luas di kalangan pejabat pemerintahan. Pergaulannya yang luas membuatnya kerap memperoleh proyek bernilai fantastis dari pemerintah. Secara otomatis, kehidupan keluarganya jadi serbaberkecukupan, bahkan, cenderung bertumpah-tumpah. Uang tidak menjadi kendala yang berarti bagi mereka, dan mereka menganggap semua hal pasti bisa dibeli. Bahkan, dengan uang yang bertumpuk-tumpuk tersebut, gampang bagi mereka mengundang nasib baik untuk bertamu, ataupun menetap di rumah mereka. Akan tetapi, mereka akhirnya mulai menyadari bahwa nasib baik pun rupanya enggan menjalin silaturahmi, meski terus dibujuk dengan angka-angka duniawi.

Proyek pembanguan jembatan yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa yang sudah berjalan selama beberapa tahun menjadi biang keladinya. Setelah melalui proses investigasi yang cukup panjang, KPK akhirnya mengendus adanya praktik korupsi yang melibatkan sejumlah pihak, dan Jabongak termasuk diantara pihak yang dicurigai. Dia terbukti telah menyuap lembaga-lembaga terkait agar memuluskan megaproyek ini. Cuma KPK dan kejaksaan saja yang tak tergiur sogokannya tersebut.

Kengadilan dan KPK yang sekarang tidak seperti di masa lalu. Saat itu mereka memang sering meminta uang pelicin agar kasus-kasus korupsi yang ada dibiarkan menguap begitu saja. Situasinya kini jauh berbeda, orang-orang yang mengisi kedua lembaga tersebut adalah orang-orang yang punya integritas, berhati nurani, dan tak bisa dibeli. Inilah yang luput dari perkiraan Jabongak. Dia menganggap situasi saat ini tak berbeda dengan puluhan tahun lalu, ketika semua perkara hukum tak ubahnya barang dagangan yang dibanderol dengan harganya masing-masing.

Sejak itulah roda kehidupan keluarga Lomo mendadak berubah. Bapaknya dijauhi hukuman penjara seumur hidup. Seluruh aset berharga mereka disita lantaran dicurigai juga berasal dari hasil korupsi dan penyuapan. Mereka dimiskinkan. Saat ini mereka cuma tinggal di sebuah kontrakan sederhana. Ibu Lomo juga tiba-tiba jatuh sakit dan kedua adiknya putus sekolah karena tidak punya biaya. Adik-adiknya pun merasa malu keluar rumah karena kondisi mereka yang memprihatinkan. Sementara itu, sebagai anak sulung, mau tidak mau Jabongak harus mengganti peran ayahnya sebagai tulang punggung keluarga.

“Woi, jangan melamun kau! Cepat kau habiskan makan siangmu, lalu aduk semen itu lagi!” Suara mandor seketika menghardik Lomo.

Tak pernah sedetik pun terbayang di benak Lomo bahwa nasib akan menggiringkan menjadi kuli bangunan. Sebagai alumni fakultas hukum, mestinya ia bekerja sebagai pengacara. Harusnya yang ada di hadapannya saat ini adalah tumpukan dokumen tentang kasus-kasus klien yang harus segera dituntaskan, bukannya tumpukan semen dan pasir. Harusnya sekarang dia duduk di ruangan ber-AC yang nyaman, bukannya duduk di bawah terik matahari yang menyengat seluruh badan.

“Bapaknya saja tersandung masalah hukum, apalagi anaknya!”

“Tidak ada jaminan kalau anaknya bakalan jujur!”

“Buah itu tidak akan pernah jatuhnya jauh dari pohonnya!”

Begitulah stigma yang ditempelkan orang di wajah Lomo. Bukannya diwariskan harta, anak muda itu malah mewarisi dosa. Karena ulah ayahnya, orang-orang tidak lagi mempercayai Lomo untuk menangani kasus apapun. Mereka menganggap apa yang mengalir di tubuhnya adalah airmata rakyat. Gumpalan daging di badannya dianggap terbentuk dari uang haram. Lomo sudah dicap sebagai anak koruptor yang kotor. Keluarga Lomo juga dijauhi rekan-rekan ayahnya. Mereka takut ikut ketularan miskin.

Lambat laun Lomo akhirnya membenci ayahnya. Kebencian yang tidak semata-mata karena keluarga mereka jadi jatuh miskin, melainkan karena ayahnya juga tidak sepenuhnya jujur mengenai kasus korupsi yang membelitnya. Ada beberapa nama lagi yang sebetulnya terlibat dalam proyek tersebut, tapi ayahnya berusaha tidak mengungkapkannya  karena berbagai pertimbangan.

Salah satunya adalah Jaleso. Suatu ketika Lomo pernah menguping pembicaraan ayahnya dengan Jaleso di teras rumah. Jaleso merupakan seorang perwira tinggi kepolisian yang bertugas mengamankan proyek jembatan itu agar terbebas dari gangguan masyarakat sekitar yang menolak pembangunan. Sejumlah ormas pun dikerahkan untuk membungkam, bahkan, bila perlu menghabisi orang-orang yang mencoba menghalangi keberlanjutan proyek tersebut.

“Kenapa Ayah melindungi Tulang Jaleso?” tanya Lomo ketika menjenguk ayahnya di penjara.

“Jaleso itu terlalu kuat, Mang. Koneksinya banyak. Ayah ga mau hidup kalian jadi terancam.”

“Lantas bagaimana dengan Wak Lobe? Kan dia yang ngasih proyek itu ke Ayah.”

“Wak Lobe sudah berjanji sama Ayah kalau dia akan menanggung seluruh biaya hidup Kalian selama Ayah dipenjara. Asal namanya tidak Ayah sebutkan di pengadilan.”

“Oalah, Yah. Ngapain pula omongan koruptor dipercaya!”

“Maksudmu apa?”

“Asal Ayah tahu ya, sampai sekarang seratus perak pun tak pernah kami terima dari Wak Lobe. Nomornya juga tak pernah aktif. Aku juga sudah berkali-kali ke kantor dan rumahnya, tapi begitu sampai di pintu gerbang, satpam sudah langsung mengusirku seperti mengusir anjing jalanan yang kotor dan menjijikkan.”

Tak lupa pula Lomo membeberkan kepada ayahnya mengenai kondisi ibunya yang memprihatinkan karena dirongrong stroke serta kedua adiknya yang putus sekolah dan hanya mengurung diri di dalam rumah, juga pekerjaannya kini yang hanya jadi kuli bangunan. Jauh dari gambaran seorang pengacara sukses seperti yang dia dan ayahnya gadang-gadang dahulu. Apalagi sekarang seluruh keluarga Lomo juga menjauhi mereka karena merasa jijik dan malu dengan perilaku Jabongak.

Kedua bola mata Jabongak seketika membelalak. Dia tak menyangka bahwa Wak Lobe, sahabatnya, begitu tega membohonginya.  Jabongak tidak bisa berbuat apa-apa. Hakim sudah mengetuk palu. Untuk membuka kembali kasus tersebut tentu membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Kondisi psikis Jabongak perlahan-lahan semakin retak dan hancur sejak saat itu. Dia dilanda depresi berkepanjangan hingga akhirnya ditemukan tewas dengan menyilet nadinya sendiri di dalam kamar selnya.

***

Sambil menyuap nasi bungkus berlauk telur dadar, Lomo terus mengingat-ingat masa lalunya tersebut. Kalau saja saat itu Lokot tidak melihatnya tengah berjalan bagai orang linglung di depan sebuah warung nasi, mungkin Lomo tidak akan penah mendapatkan pekerjaan hingga sekarang. Lokot   yang kemudian mengajaknya ikut bekerja seperti dirinya menjadi kuli bangunan.

“Kau Lomo, kan?” tanya Lokot begitu melangkah menghampiri Lomo yang lewat di depan warung nasi.

“Iya. Bapak ini siapa ya?” Lomo merasa heran karena sama sekali tidak mengenal pria yang berdiri di depannya itu.

“Panggil saja Bang Lokot. Wajar kalau kau tidak begitu mengenalku karena waktu itu kau masih kecil. Namun, Abang  sangat mengenal almarhum Jabongak, Ayahmu.”

“Kenal dari mana?” Lomo tak yakin kalau Ayahnya bisa punya kawan yang tampak kumal dan berpakaian lusuh seperti Lokot.

Lokot kemudian menguraikan kejadian lima belas tahun lalu. Tengah malam itu mobil yang dikendarai Pak Rafa tiba-tiba mogok di tengah hutan dekat kampung Lokot. Wajak Jabongak tampak bingung bercampur takut. Selain karena dia tidak paham seluk beluk mesin mobil, saat itu juga tidak ada sinyal sehingga Jabongak tidak bisa menghubungi siapapun. Di tengah kepanikan itulah Lokot yang masih muda tampak melintas usai pulang dari kedai kopi bersama teman-temannya.

Tak butuh waktu lama bagi Lokot untuk memperbaiki mobil Jabongak yang mogok, karena sehari-harinya Lokot bekerja sebagai montir yang dikelola oleh ayahnya. Karena terkesan dengan hasil kerjanya dan juga sebagai bentuk balas budi atas jasanya, Jabongak lalu menawarkan pekerjaan kepada Lokot

“Kau bisa bawa mobil?” tanya Pak Rafa

“Bisa Pak!”

“Kalau ada waktu datang ke rumahku ya,” ujar Jabongak sembari menyodorkan kartu nama.

Beberapa hari kemudian Lokot pun tiba di rumah Jabongak. Atas rekomendasi Jabongak, Lokot pun menjadi supir pribadi Jahodar, salah seorang kolega bisnisnya yang di kemudian hari rupanya juga ikut tersandung masalah korupsi pembangunan jembatan tersebut. Setelah Jahodar dipenjara, Lokot pun beralih profesi menjadi kuli bangunan hingga akhirnya takdir mempertemukannya dengan Lomo.

“Ayo Lomo. Kita harus kembali bertugas.”Kali ini suara Lokot yang membuyarkan lamunan Mario.

“Eh iya, Bang” Lomo pun bergegas melahap nasi bungkusnya hingga suapan terakhir. Kemudian ia segera beranjak untuk meneruskan pekerjaannya. Setelah sempat mangkrak, proyek yang dulu dipegang Jabongak itu rupanya dilanjutkan kembali, tentunya dengan perusahaan pengembang yang baru. Dan Lomo menjadi salah satu kuli bangunannya.

Betapa ironisnya nasib Lomo,  tak pelak ia selalu jadi bahan ledekan kuli-kuli yang lain.

“Mimpi apalah kau, Lomo? Kok jadi gini nasibmu?”

“From hero to zero!”

“Dari miliaran jadi puluhan ribuan!”

Omongan kuli-kuli tersebut rupanya tak begitu digubris oleh Lomo. Dia hanya tertunduk sambil terus mengaduk semen dan pasir.

“Lagi baca apa sih? Serius kali keknya” ujar Bapakku yang duduk di belakang kemudi mobil. Dia melirik ke arahku dari kaca spion yang menggantung di atas dashboard mobil.

“Lagi baca cerpen, Pak!

“ Ceritanya tentang apa itu?” Dia tampak penasaran.

“Tentang seorang koruptor yang masuk penjara terus bunuh diri di dalam selnya. Lalu keluarganya jatuh miskin dan anak sulungnya bekerja jadi kuli bangunan.”

“Hhahahahah,” tiba-tiba saja tawa Bapakku meledak.

“Bapak kok ketawa?”

“Kau percaya kalau cerita itu bisa terjadi di dunia nyata?”

“Ya enggaklah. Macam betul aja ada anak koruptor yang jadi miskin gitu hidupnya terus dikucilkan lagi dari pergaulan sosial,” jawabku sinis.

Detik selanjutnya aku dan Bapakku seketika tertawa terpingkal-pingkal bersama di dalam mobil. Cukup lama kami terbahak-bahak hingga mobil kami akhirnya keluar dari jembatan yang menghubungkan Pulau Sumatera dan Pulau Jawa.


Padang Sidimpuan, 2024

 

Tidak ada komentar

Beranda