.

2023, Terjadi 241 Konflik Agraria Antara Warga Versus Investor


Sepanjang tahun 2023, terjadi 241 konflik agraria antara masyarakat dengan investor yang melibatkan 638.188 hektare lahan dan 135.608 kepala keluarga (KK) di 346 desa/kampung/kota. 

Penulis: Lumongga Harahap | Editor: Budi Hutasuhut

Data statistik itu dipublikasikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam acara peluncuran Laporan Tahunan Konsorsium Pembaruan Agraria 2023 pada Senin, 15 Januari 2024.  "Konflik agraria itu dominan melibatkan sektor perkebunan dan agribisnis. Ini terjadi selama 10 tahun terakhir,” kata Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Sartika.

Konflik di area perkebunan menempati posisi teratas sebanyak 108 letusan konflik, berimbas terhadap 124.545 hektare lahan dengan jumlah korban terdampak mencapai 37.553 KK. Tren ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2022 yang mencatat 99 konflik.

"Sektor perkebunan menyumbang jumlah kasus konflik agraria tertinggi selama 10 tahun terakhir."

Baca: Bertahun-Tahun Komflik Agraria Mendera Rakyat  Tapsel

Di sektor perkebunan, komoditas sawit menyumbang 82% atau 88 konflik atau yang tertinggi di antara komoditas lainnya pada 2023, dengan luas area terdampak 103.133 hektare. 

"Penyebab konflik agraria di area perkebunan melibatkan perusahaan pelat merah PTPN dengan 20 konflik yang mencakup 21.602 hektare lahan. Konflik menimpa 7.778 korban," katanya. 

Sementara itu perusahaan swasta menyebabkan konflik yang jauh lebih tinggi, yakni 88 konflik yang mencakup luas 102.943 hektare dan 29.775 korban. 

Dewi mengatakan konflik agraria di sektor perkebunan tidak terlepas dari kebijakan pemerintah dalam pemberian izin konsesi. 

"Bisnis sawit tidak bisa terus-menerus mengabaikan bahwa memang ada PR cukup berat terkait kebijakan alokasi tanah untuk ekspansi kebun sawit yang terus meluas dan mendapat privilese kebijakan," kata Dewi. 

Menurut Dewi, aktivitas perusahaan perkebunan di Indonesia tidak hanya identik sebagai penyebab letusan konflik, tetapi juga sarat kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. 

KPA mencatat kasus represifitas dan kekerasan dari operasi perkebunan berujung pada kriminalisasi terhadap 252 orang, 52 mengalami penganiayaan, dua orang tertembak, dan 3 orang meninggal dunia. 

“Data ini cukup mencerminkan bagaimana krisis agraria yang terus menerus terjadi di industri perkebunan, utamanya bisnis sawit dan telah melahirkan korban-korban kekerasan serta hilangnya nyawa,” kata Dewi. 

Sektor pembangunan properti menempati posisi kedua sebanyak 44 kasus, disusul pertambangan sebanyak 35 kasus. Kemudian konlfik agraria akibat proyek infrastruktur sebanyak 30 kasus, konflik sektor kehutanan 17 kasus,  konflik di pesisir dan pulau kecil sebanyak 5 kasus,  serta konflik pembangunan fasilitas militer sebanyak 5 kasus.

Tidak ada komentar

Beranda