.

Bertahun-Tahun Konflik Agraria Mendera Rakyat Tapsel

 

Bertahun-tahun konflik agraria mendera rakyat di beberapa kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan. Tak ada solusi membuat masyarakat kehilangan lahan hidupnya.

Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Efry Nasaktion

Dalam banyak kegiatan, Bupati Tapanuli Selatan Dolly Putra Parlindungan Pasaribu selalu mengkomunikasikan perihal prestasi dan pristise yang diperoleh Kabupaten Tapanuli Selatan selama periode kepemimpinannya. Ragam penghargaan di tingkat regional dan nasional itu, dikemas dan dikomunikasikan Pemda Kabupaten Tapsel hingga mendulang pujian dari sebagian masyarakat.  

Prestasi dan prestise itu muncul sebagai videotron yang ditayangkan di Kantor Bupati Tapanuli Selatan. Video-video pendek dengan tema serupa juga muncul dalam ragam media sosial  akun Pemda Tapanuli Selatan dan akun Bupati Dolly seperti di akun tiktok @hajidollypasaribu. Semua publikasi itu untuk menunjukkan betapa Bupati Dolly berhasil menaikkan citranya sebagai Kepala Daerah hasil Pilkada Serentak 9 Desember 2020. 

Di balik prestasi dan prestise yang mentereng itu,  persoalan-persoalan yang menimpa masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan tidak kunjung diselesaikan, terutama terkait konflik agraria antara warga dengan investor. 

Dari catatan Sinar Tabagsel, konflik agraria itu terjadi dengan investor sektor pertambangan dan energi seperti konflik masyarakat adat Luat Marancar dengan PT Agincourt Resources tentang pembayaran pago-pago atas pengambilalihan kawasan ramba Joring menjadi Pit Ramba Joring sejak 2017 yang didiamkan. Atau konflik masyarakat di Kecamatan Sipirok, Marancar, dan Batangtoru dengan pengelola proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). 

Bentrok Konflik Agraria

Selain dengan investor tambang dan energi, konflik agraria terjadi antara masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan dengan investor sektor perkebunan seperti PT Maju Indo Raya (MIR) dan PT Samukti Karya Lestari ( SKL) di Kecamatan Batangtoru, konflik warga di Kecamatan Angkola Selatan dengan PT. Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Siais. 

Konflik dengan investor perkebunan ini telah berlangsung bertahun-tahun, tidak ada solusi yang dibuat Pemda Tapsel. Setiap saat, konflik ini dikhawatirkan akan berdampak serius terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.  Pasalnya, masyarakat acap menggelar aksi unjuk rasa, terutama ke lokasi milik investor yang rawan menyebabkan perpecahan, dan pihak perusahaan melakukan perlawanan.  

Catatan Sinar Tabgsel, peristiwa bentrok pernah terjadi antara masyarakat dengan petugas sekuriti di kompleks perkebunan PT Austindo Nusantara Jaya (ANJ) Agri Siais di Dusun Janji Matogu, Pardomuan, Angkola Selatan, Tapanuli Selatan (Tapsel), Sumatera Utara, Minggu, 28 April 2019  malam hingga Senin,  29 April 2019 dini hari. 

Bentrokan dipicu kemarahan masyarakat yang kehilangan hak atas lahannya merasa tidak ada jalan lain karena Pemda Tapsel tidak memberi solusi.  Berkali-kali menggelar aksi, berkali-kali juga meminta agar Bupati Tapanuli Selatan mencarikan solusinya, namun tidak kunjung ada titik terang. 

Konflik terakhir terjadi pada Sabtu, 13 Januari 2024 lalu, ketika masyarakat di Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapsel, kembali menggelar aksi demo menuntut PT Samukti Karya Lestari (SKL) mengembalikan hak masyarakat. Perusahaan perkebunan sawit yang merupakan anak usaha Grup CSR (Cisadane Sawit Raya) ini menolak memenuhi perjanjian Perjanjian Kesepakatan antara PT. SKL dengan Koperasi Tondi Bersama (KTB). 

Informasi yang dikumpulkan Sinar Tabagsel menyebut, KTB adalah koperasi yang dibentuk masyarakat Desa Huta Raja yang diketuai Drs. M. Jusar Nasution. PT SKL dengan KTB  melakukan kesepakatan  Kerjasama Pembangunan Kebun Sawit Pola Kemitraan terhadap sawit di lahan yang ada Desa Huta Raja pada 13 November 2008. Kesepakatan itu ditandatangani oleh Drs. Gita Sapta Adi selaku Dirut PT. KSL (Pihak Pertama) dan Drs. M. Jusar Nasution selaku Ketua KTB (Pihak Kedua).

Obyek lokasi usaha perkebunan dalam kesepakatan tersebut merupakan pelepasan kawasan hutan di Kecamatan Muara Batang Toru seluas kurang lebih 10.407 hektare yang terdiri dari 11 sertifikat HGU. Point terpenting perjanjian, jika PT SKL mengelola lahan kebun seluas 5.000 hektare, maka hasil lahan sebanyak 1.000 hektare dialokasikan kepada KTB. Jika PT SKL mengelola lahan kebun seluas 9.000 hektare, maka PT SKL akan memberikan hasil usaha dari lahan seluas 2 hektare bagi setiap anggota KTB. 

Anggota KTB sebanyak 691 orang. Jika masing-masing anggota dialokasikan 2 hektare lahan sesuai kesepakatan antara PT SKL versus KTB, tambahan lahan yang harus dialokasi kepada PT SKL sebanyak 1.382 hektare. Kenyataannya, sejak periode 2013 sampai dengan 2018, pembayaran Hasil Usaha Pola Kemitraan yang diterima KTB dari PT SKL hanya sebesar Rp5.058.120.000,00, dan itupun tidak didukung dengan data yang jelas tentang luas, lokasi lahan, hasil produksi dan harga TBS. 

KTB menghitung sisa uang hasil perjanjian yang belum dibayarkan PT SKL sebesar lebih Rp162 miliar, total periode 2013 sampai dengan  2018 ditambah  kekurangan periode 2019 sampai dengan 2023 sebesar lebih Rp442 miliar. 

KTB melalui kuasa hukumnya, Daulat Sihombing, SH, MH, telah mengajukan gugatan perdata terhadap PT. SKL untuk membayar sebesar lebih Rp604 miliar di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan karena PT SKL dinilai wanprestasi (ingkar janji). Sidang perdana perkara perdata dengan register No. 37/Pdt.G/2023/PN Psp sudah digelar di PN Padang Sidimpuan pada Selasa, 24 Oktober 2023. 

Menghadapi aksi demo masyarakat Desa Huta Raja, Kapolres Tapanuli Selatan, AKBP Yasir Ahmadi, SIK, MH,  mengatakan dirinya siap berpihak kepada masyarakat jika PT SKL yang melakukan kesalahan. "Keadilan harus ditegakkan seadila-adilnya," kata AKBP Yasir Amin di hadapan masyarakat Desa Huta Raja.

Pernyataan Kapolres Tapsel mengundang reaksi masyarakat, merasa harapan mereka mulai terealisasi setelah bertahun-tahun tak ada yang mendukung. Namun, kasus gugatan perdata yang didaftarkan KTB masih berproses di Pengadilan Negeri Padang Sidimpuan. Selama proses hukum bergulir, masyarakat yang memiliki lahan dan telah dikelola PT SKL berdasarkan perjanjian yang dibuat, hanya bisa gigit jari.

Tak ada solusi

Warga eks Lahan Transmigrasi Rianiate acap melakukan aksi demo ke PT Samukti Karya Lestari. Terakhir, Sabtu, 13 Januari 2024, warga mendatangi perusahaan dan menuntut haknya.

Kondisi serupa juga dialami masyarakat di  Desa Muara Upu, Muara Manompas, dan Muara Ampolu di Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan.  

Masyarakat di tiga desa itu kehilangan lahan karena diklaim oleh PT Maju Indo Raya (MIR) dan PT Samukti Karya Lestari ( SKL) sebagai milik mereka berdasarkan hak guna usaha (HGU) yang diberikan pemerintah pusat.  Dua perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit itu, mengambil alih secara sepihak ratusan hektare tanah milik masyarakat.

"Yang diklaim perusahaan sebagai HGU itu lahan kami," kata Bahrum, salah seorang warga di Desa Muara Umpu. "Kami sudah menjadi pemilik sah lahan-lahan itu sebelum perusahaan datang."

Pernyataan Bahrum dibenarkan beberapa warga yang ditemui Sinar Tabagsel di Kecamatan Batangtoiru. Mereka menceritakan asal-usul dari setiap jengkal tanah yang diklaim oleh PT MIR dan PT SKL tersebut.  

Menurut warga, lahan-lahan itu awalnya merupakan Lahan Transmigrasi Rianiate, yang terbagi ke dalam dua satuan pemukiman (SP) Rianiate 1 dan SP Rianiate 2. 

Penjelasan warga di Kecamatan Muara Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, sesuai dengan fakta yang ditemukan Sinar Tabagsel. Sejumlah sumber yang diperoleh Sinar Tabagsel terkait sejarah Lahan Transmigrasi Rianiate menyebutkan, awalnya ada surat keputusan tentang hak pengelolaan lahan (HPL) dari Menteri Dalam Negeri Nomor: 11/HPL/DA/1986, tanggal 26 Februari 1986 atas lahan seluas 4.000 hekatre. 

SK Menteri Dalam Negeri Nomor: 11/HPL/DA/1986 merupakan tindak lanjut dari Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara Nomor : 27.282/Sekrc tertanggal 6 September 1980 tentang keinginan Gubernur Sumatra Utara mentransmigrasikan warganya dari satu kabupaten ke lain kabupaten di Provinsi SUmatra Utara. 

Menanggapi surat Gubernur Sumatra Utara itu, Mendagri akhirnya mengeluarkan SK Nomor : 11/HPL/DA/86.  SK Mendagri itu dilampiri dengan peta yang menunjukkan posisi geografis lahan seluas 4.000 hektare tersebut. Posisi lahan itu persisnya berada di Desa Huta Raja, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, yang waktu itu belum ada pemekaran wilayah.  

Di dalam SK Menteri Dalam Negeri Nomor: 11/HPL/DA/1986 juga dijelaskan, lahan seluas 4.000 hektare dipergunakan sebagai lokasi untuk pemukiman transmigrasi dan  tempat usaha para transmigran. Lahan 4.000 hekatre itu kemudian diberikan Mendagri kepada Departemen Transmigrasi.  

Pada tahun 1995/1996, Departemen Transmigrasi akhirnya menetapkan program Transmigrasi Swakarsa Mandiri untuk 300 keluarga. Sebanyak 200 keluarga ditempatkan di SP Rianiate I dan mengelola sebanyak 400 hekatre lahan. Sisanya, 100 keluarga lainnya ditempatkan di SP Rianiate 2.

Para transmigrasi itu didatangkan untuk mengelola kawasan hutan. Sebanyak 300 keluarga transmigrasi dari berbagai daerah di Provinsi Sumut kemudian mengembangkan usaha pertanian. Ada keluarga transmigrasi yang sukses mengembangkan usaha pertanian dan perkebunan, tetapi tidak sedikit yang memilih menjual lahannya. 

Meskipun begitu, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatra Utara, Ir. A. Aziz Zein Gumay, kemudian mengajukan permohonan agar tanah yang dikeloloa oleh keluarga Transmigrasi Swakarsa Mandiri itu disertifikasi menjadi hak milik. 

Untuk itu, Kepala Desa Rianiate 1 waktu itu, Ruslan Aritonang, ditugaskan mendata warganya yang ada di SP Rianiate 1 dan menyampaikan nama-nama peserta TSM Rianiate I.  Nama-nama keluarga peserta Transmigrasi Swakarsa Mandiri yang disusun Ruslan Aritonang kemudian diajukan kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Sumatera Utara. Dari dinas, daftar nama itu diajukan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sumutera Utara untuk diterbitkan sertifikat hak milik.

BPN Sumatra Utara kemudian menerbitkan sertifikat hak milik kepada nama-nama yang diajukan tersebut. Namun, di atas lahan milik transmigrasi yang sudah memperoleh sertifikat hak milik dari BPN, tiba-tiba pihak PT MIR mengklaim seluas 340 hektare lahan lahan di SP Rianiate 2 sebagai bagian dari HGU yang dimilikinya.  

Sebagian kawasan SP Rianiate 2 sekarang dikenal dengan nama Kelurahan Muara Ampolu, Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebagian lagi kawasan SP Rianiate 2 menjadi wilayah desa lain di Kecamatan Batangtoru dan Kecamatan Muara Batangtoru.

Berdasarkan peraturan daerah terkait penataan administrasi pasca Kabupaten Tapanuli Selatan mekan menjadi empat kabupaten dan satu kota, banyak nama desa yang lama berubah akibat terjadi penggabungan desa. Perubahan nama secara administratif itu tidak dengan sendirinya menghapus hak masyarakat atas tanah di desanya, meskipun alas hak berupa sertifikat hak milik menjadi tidak sama dengan nama desa tempat tinggal pemiliknya. 

PT MIR mengantongi sertifikat HGU dengan No 1/Desa/Kelurahan Rianiate bertanggal 15 Juni 1999 dengan ukuran batas-batas, sesuai dengan surat ukur Nomor: 1935/1999 bertanggal 15 Juni 1999, seluas 5.523,30 hektare yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tapanuli Selatan. Selain PT MIR, ternyata PT SKL  juga mengklaim 74 hektare lahan masyarakat Kelurahan Muara Ampolu, Kecamatan Muara Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan yang terletak di SP Rianiate 2.

Klain dua perusahaan perkebunan sawit itu tak akan bisa terjadi jika Pemda Tapsel sejak awal memainkan peran sebagai pemerintah daerah, karena kehadiran kedua perusahaan itu di Kabupaten Tapanuli Selatan tak akan pernah terwujud tanpa restu Pemda Kabupaten Tapsel. Selain itu, persoalan sesungguhnya dari konflik adalah alas hak yang dipakai kedua belah pihak yang berkonflik. Investor mengacu pada HGU, sedangkan masyarakat mengacu pada sertifikat hak milik selaku eks keluarga di lokasi Transmigrasi Rianiate. 

Pemda Tapanuli Selatan melalui Bupati Dolly Putra Parlindungan Pasaribu bisa saja menguji keabsahan setiap alas hak yang dipakai kedua belah pihak yang berkonflik. Tentu saja,  solusi dibuat dengan tujuan mencari kebenaran dan bukan untuk menutupi kesalahan-kesalahan di masa lalu terkait pemberian alas hak pada kedua pihak yang berkonflik. Sayangnya, keinginan menyelesaikan konflik rakyat versus investor itu yang tidak ada.

Tidak ada komentar

Beranda