.

Delapan Tahun Masyarakat Adat Luat Marancar Menunggu "Ganti Rugi" Lahan Ramba Joring

Masyarakat adat Luat Marancar sedang melakukan aksi di depan gerbang proyek PLTA karena lahan ulayat mereka diambil-alih. Masyarakat adat kehilangan hak atas tanah adatnya akibat tidak ada pengakuan dari Pemda Tapsel.

Saat ini, tidak ada lagi Tor Ramba Joring dalam peta geologi di Kabupaten Tapanuli Selatan. Hilangnya bukit yang jadi deposit tambang PT Agincourt Resources itu, meninggalkan cerita duka masyarakat adat Luat Marancar yang kehilangan hak atas tanah ulayat dan sumber kehidupan. 

Penulis: Budi Hutasuhut | Editor: Hady K Harahap

Tor (Bukit) Ramba Joring sebuah daerah berbukit-bukit dengan tingkat kecuraman yang ekstrim, 5% sampai 18%, merupakan bagian dari kawasan Hutan Batangtoru, salah satu bagian dari Hutan Hujan Tropis Sumatra di Provoinsi Sumatra Utara yang diakui UNESCO sebagai situs warisan dunia pada 2004.  Bukit yang ada di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan itu, sejak 2016 didaftarkan PT Agincourt Resources kepada pemerintah sebagai salah satu deposit tambang. 

PT Agincourt Resources adalah perusahaan yang  95% sahamnya dikuasai PT. Danusa Tambang Nusantara--perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh PT. United Tractors Tbk (60%) dan PT. Pamapersada Nusantara (40%). Sebanyak 5% sisa saham dikuasai PT Artha Nugraha Agung -- BUMD yang sahamnya sebanyak 70% dikuasai PT Tapanuli Selatan Membangun milik Pemda Tapsel dan 30% sisanya dikuasai PT Pembangunan Prasarana Sumatera Utara  milik Pemda Sumut.  PT United Tractor Tbk dan PT Pamapersda Nusantara berada di bawah holding Grup Astra Internasional. 

PT Agincourt Resources memegang kontrak karya 30 tahun dari pemerintah dan menguasai lahan seluas 130.252 hektar atau 1.303 km².  Tahun 2009,  perusahaan ini diakuisisi G-Resources,  perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Hong Kong dan berfokus pada bisnis jasa keuangan, bisnis peminjaman uang, bisnis investasi utama, dan bisnis properti real.  G-Resources kemudian menetapkan deposit tambang PT Agincourt Resources berada di Pit Purnama, Pit Barani, Pit Ramba Joring, dan Pit Ulu Ala.  Dengan deposit empat pit tambang ini,  sumber daya PT Agincourt Resources menjadi potensial untuk dikembangkan. 

Tahun 2015, G-Resources mengumumkan deposit tambang yang dimiliki. Namun, persoalan muncul terkait masalah ganti rugi lahan, terutama di lahan Ramba Joring. Saat itulah masyarakat adat Luat Marancar menyatakan keberatan terhadap rencana PT Agincourt Resources hendak mengeksploirasi Tor Ramba Joring.  Lahan berupa tanah berbukit-bukit itu, selain sumber kehidupan masyarakat karena merupakan areal perkebunan,  juga bagian terpenting dari sejarah masyarakat adat Luat Marancar. 

Menanggapi keberatan masyarakat masyarakat adat Luat Marancar, akhirnya dibuat beberapa kali pertemuan antara PT Agincourt Resources dengan masyarakat adat Luat Marancar untuk membicarakan perihal ganti rugi Ramba Joring. Masyarakat adat Luat Marancar mengakui bahwa mereka selaku pemilik tanah ulayat yang seluruhnya masuk dalam lahan kontrak karya PT Agincourt Resource, selalu dikecewakan sejak kehadiran Tambang Emas Martabe. 

Raja Panusunan Bulung Luat Marancar, Darma Bakti  Siregar gelar Sutan Barumun Naposo, yang ditemui Sinar Tabgsel di kediamannya di Bagas Godang Sipenggeng mengatakan, sejak pertama kali melakukan eksploirasi tambang emas di Tor Purnama, PT Agincourt Resource seharusnya membicarakan persoalan lahan yang mereka jadikan deposit tambang dengan masyarakat adat Luat Marancar. Kenyataannya, PT Agincourt Resources memberikan ganti rugi terhadap masyarakat adat di Kecamatan Batangtoru yang merupakan bekas penguasa Kuria Batangtoru. 

Kuria Batangtoru adalah wilayah pemerintahan tingkat kuriahoeft yang dibentuk oleh Keresidenan Tapanuli pada zaman kolonialisme Belanda dengan kegiatan utama memungut pajak rakyat. Wilayah Kuria Batangtoru yang dipimpin tokoh adat masyarakat marga Pulungan merupakan bagian dari wilayah adat Luat Marancar. Mereka tidak bisa mengatasnamakan selaku pemilik hak atas tanah ulayat Luat Marancar, meskipun kenyataan justru hal itu yang terjadi. 

"Itu sudah terjadi. Sebab itu, kami ingin menegaskan kalau Ramba Joring merupakan tanah ulayat Luat Marancar meskipun sekarang berada di Kecamatan Batangtoru," kata Darma Bakti. 

Namun, tidak ditemukan kesepakatan dalam pertemuan dengan PT Agincourt Resources. Kemudian, digelar pertemuan antara PT Agincourt Resources dengan masyarakat adat Luat Marancar yang juga melibatkan Pemda Tapanuli Selatan. PT Agincourt Resource akhirnya menyepakati akan membayarkan uang yang disebut "pago-pago" kepada masyarakat adat Luat Marancar selaku pemilik hak atas tanah ulayat. Untuk itu, PT Agincopurt Resources menyediakan uang senilai Rp50 miliar, namun pencariannya baru dilakukan setelah Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mengakui keberadaan masyarakat adat Luat Marancar sebagai bagaian dari warga Kabupaten Tapanuli Selatan.

Budi Hutasuhut dari Sinar Tabagsel bersama Abdon Nababan dan Roganda Simanjuntak dari AMAN Tano Batak berkunjung ke rumah Raja Adat Harajaon Luat Marancar, Darma Bakti Siregar gelar Sutan Barumun Naposo di Bagas Godang Sipenggeng. 

"Pemda Tapsel menyetujui kesepakatan itu di atas kertas perjanjian. Permasalahan pun dianggap selesai. Belakangan, Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan tidak kunjung mengeluarkan surat keterangan yang mengakui keberadaan masyarakat adat Luat Marancar sebagai bagian dari warga Kabupaten Tapanuli Selatan," kata Raja Panusunan Bulung Luat Marancar, Dharma Bakti Siregar, kepada Sinar Tabagsel

Kabupaten Tapanuli Selatan saat itu dipimpin Bupati Syahrul Mangapul Pasaribu, putra daerah yang berasal dari Kecamatan Marancar. Diduga akibat perbedaan dukungan politik, di mana masyarakat adat Luat Marancar tidak mendukung Syahrul Mangapul Pasaribu untuk menjadi Bupati Tapsel untuk periode kedua, 2016-2021. Masyarakat adat Luat Marancar mendukung lawan politik Syahrul M Pasaribu, sehingga syarat surat pernyataan yang seharusnya selesai tahun 2016 tidak pernah ditanda tangani Bupati Tapsel Syahrul M. Pasaribu.

Sementara masyarakat adat Luat Marancar berharap pada Pemda Tapsel agar dikeluarkan surat,  PT Agincourt Resources menganggap persoalan lahan dengan masyarakat adat Luat Marancar sudah selesai. G-Resources sebagai pemilik PT Agoincourt Resources kemudian menyelesaikan berbagai persyaratan administrasi untuk menambang di pit Barani dan pit Ramba Joring. Pada 2016, pemerintah mula-mula mengeluarkan izin penambanmgan untuk pit Barani.

Sebelum proses penambangan dilakukan, G-Resources sebagai pemegang saham utama PT Agincourt Resources kemudian menjual perusahaan itu kepada konsorsium EMR Capital, perusahaan dana ekuitas swasta dengan spesialisasi pertambangan Farallion Capital, perusahaan investor keuangan global, Martua Sitorus, dan Robert Hartono & Michael Bambang Hartono.

Di tangan EMR Capital, PT Agincourt Resources dianggap tidak lagi punya persoalan sekaitan lahan di pit penambangan. Penambangan dimulai di pit Ramba Joring pada tahun 2017.  Menurut  laporan PT Agincourt Resources,  tahun 2017 merupakan tahun dengan hasil produksi dan eksplorasi terbaik dalam sejarah perusahaan. Operasi mencatat rekor penggilingan sebanyak 5.35 juta ton dengan penuangan 355,000 ounce emas. Program eksplorasi dan pengembangan sumber daya meliputi 120 meter yang dibor oleh 15 rig yang menghasilkan peningkatan sumber daya emas hingga 8,9 juta ounce dan peningkatan cadangan bijih emas hingga 4,8 juta ounce.

Kondiusi ini menyebabkan arus kas operasi yang kuat, cadangan yang meningkat dan umur tambang yang lebih panjang memungkinkan PT Agincourt Resources untuk membiayai kembali utangnya sebesar $425 juta dengan jangka waktu yang lebih panjang, suku bunga yang lebih rendah serta persyaratan dan ketentuan yang lebih menguntungkan.

Kondisi yang baik akibat eksplorasi di pit Ramba Joring terus berlanjut pada 2018. Hasil produksi pada tahun 2018 melampaui rekor yang tercatat di tahun-tahun sebelumnya. Sebanyak 5,57 juta ton bijih mineral telah diolah untuk menghasilkan 410.387 ounce emas, yang merupakan peningkatan 15,5% dari tahun 2017. 

Keberhasilan PT Agincourt Resources ini dilanjutkan dengan rencana eksplorasi pit Ulu Ala. Prestasi PT Agincourt Resources dengan banyakannya deposit tambang, menarik perhatian Astra Internasional yang saat itu sedang mengembangkan lini bisnis ke sektor pertambangan dan energi.

Tahun 2018, Grup Astra Intrernasional mengakuisisi 95% saham dari EMR Capital melalui PT. Danusa Tambang Nusantara, yang dimiliki PT. United Tractors Tbk (60%) dan PT. Pamapersada Nusantara (40%).  Tahun 2018, diperoleh persetujuan dari pemerintah untuk menambang di deposit pit Ulu Ala. 

Sejak dikuasai Astra Internasional, persoalan lahan pit Ramba Joring terabaikan. Uang "pago-pago" senilai lebih Rp50 miliar yang menjadi hak masyarakat adat Luat Marancar menguap tidak jelas. 

"Kami sudah berulang-ulang mendesak perusahaan agar membayarkan sesuai janji. Pihak perusahaan mengatakan, dana itu sudah disediakan namun harus ada syarat surat pengakuan keberadaan masyarakat adat Luat Marancar dari Pemda Tapsel," kata Dharma Bakti Siregar. 

Kehilangan Mata Pencaharian

Sulaiman Siregar, warga Kelurahan Aek Pining, Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, masih ingat saat ia sering pergi ke kebun cengkih mereka di Ramba Joring untuk mengantarkan beras dan lauk-pauk buat ayahnya yang memilih bermalam di kebun itu. Tahun 1970-an, ratusan batang pohon cengkih varietas zanjibar tumbuh subur di lahan mereka. Waktu itu cengkih lebih mahal dari emas.  

Setiap pemilik kebun cengkih akan menginap di ladangnya untuk merawat tanamannya, apalagi saat musim berbunga. Ayahnya menghabiskan waktunya di kebun cengkih, menyiangi gulma di sekitar batang cengkih, merawatnya begitu telaten.  Sulaiman akan membantu membersihkan sampah, menanam sampah itu di sekeliling batang cengkih. Gulma yang tumbuh di sekitar batang cengkih, juga daun-daun cengkih yang gugur, lebih sering ditanam agar cepat membusuk dan menjadi pupuk. 

"Bila tiba musim panen cengkih, Ramba Joring itu akan sangat ramai. Para pemilik kebun akan pindah ke kebun karena khawatir cengkih-cengkih itu akan dicuri orang," katanya.

Sulaiman hanya salah satu warga yang punya kenangan indah tentang tanah mereka di Ramba Joring. Ratusan warga lainnya, baik mereka yang mendapatkan tanah itu sebagai warisan dari orang tuanya maupun mereka yang membeli tanah pasca booming cengkih, mengaku tidak ingin bercerita tentang masa lalu mereka. Pasalnya, mengingat tentang Ramba Joring, membuat mereka sangat berduka karena merasa telah ditelantarkan oleh pemerintah daerah.

Bagi warga, riwayat kebun di kawasan Ramba Joring itu, hanya akan membongkar kembali kedukaan dan rasa sakit hati yang sudah mereka kubur sejak 2017 lalu. Pasalnya,  lahan di Tor Ramba Joring beserta ribuan  hekatre lahan lainnya, merupakan tanah adat yang dikuasai oleh masyarakat adat Luat Marancar secara turun-temurun.  

Namun, masyarakat adat Luat Marancar yang merupakan masyarakat yang sudah ada sebelum terbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu, keberadaannya dihapuskan oleh Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan. Dengan begitu, hak-hak masyarakat Luat Marancar atas  tanah ulayat mereka, ditiadakan. 

Ahmad Marwan, warga yang mengaku memiliki kebun di Ramba Joring mengatakan, masyarakat adat Luat Marancar merupakan pemilik pertama atas lahan yang kemudian diberikan pemerintah kontrak karyanya kepada PT Agincourt Resorces. Jauh sebelum Kabupaten Tapanuli Selatan terbentuk, kata dia, masyarakat adat sudah memiliki tanah ulayat yang merupakan bonabulu (tanah asal) dari masyarakat adat bermarga Siregar beserta anggota keluarga dalihan na tolunya. 

"Tanah ulayat ini dimiliki masyarakat marga Siregar. Masyarakat itu sudah ada jauh sebelum Kabupaten Tapanuli Selatan terbentuk," katanya.

Hal senada diungkapkan Abdon Nababan dari Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN) ketika berkunjung ke rumah Raja Panusunan Bulung Luat Marancar, Darma Bakti Siregar, di Bagas Godang Sipenggeng, bersama Sinar Tabagsel. 

Menurut Abdon Nababan, setiap masyarakat   adat   mempunyai   hukum   adat   yang   digunakan   untuk   mengatur   semua persoalan  yang terjadi dalam lingkungan adat mereka. Hukum adat ini merupakan kumpulan aturan  tingkah  laku  yang  hanya  berlaku  bagi  masyarakat asli Indonesia,  yang  bersifat  memaksa  dan  belum  dikodifikasikan  dalam  bentuk  peraturan perundang-undangan, termasuk pengakuan tentang keberadaan tanah ulayat milik masyarakat adat. 

"Negara mengakui  keberadaan  masyarakat  hukum  adat sebagaimana dapat  kita  lihat  dalam rumusan Pasal 18B ayat (2) dan 28I ayat (3) UUD RI 1945. Pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat ini masih sering menimbulkan persoalan krusial, yang kemudian menjadi pemicu munculnya persoalan-persoalan lain menyangkut hak-hak masyarakat adat  sebagai bagian dari wargabangsa di negeri ini," kata Abdon. 

Abdon Nababan menegaskan, solusi dari persoalan ini sangat sepele, yakni pengakuan dari pemerintah daerah bahwa warga yang ada di daerahnya merupakan kumpulan masyarakat adat yang memiliki hukum adat sendiri. "Mengakui keberadaan mereka sama saja dengan mengakui eksistensi warga. Bukankan pemerintah daerah ada untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerahnya," katanya.

Dia mempertanyakan, bagaimana pemerintah daerah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sementara pemerintah daerah tidak mengakui keberadaan warganya sebagai bagian dari masyarakat adat.  Di daerah eksistensi mereka sebagai masyarakat adat belum mendapat pengakuan dari pemerintah daerah. Tidak adanya pengakuan ini ditandai dengan belum adanya kebijakan secara de jure yang dikeluarkan Pemda menegaskan   bahwa pemerintah tidak mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai komunitas masyarakat yang membentuk kabupaten/kota.

"Kondisi ini berimplikasi terhadap hak-hak masyarakat adat, di mana hak-hak masyarakat adat yang sudah dimiliki sebagai warisan dari leluhur budaya seperti hak  atas tanah adat  yang disebut juga sebagai tanah ulayat, tidak diakui oleh pemerintah daerah," katanya. 

Tak Ada Pengakuan

Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan tidak mengakui keberadaan masyarakat adat yang merupakan unsur utama pembentuk warga Kabupaten Tapanuli Selatan. Ketika perihal pengakuan ini ditanyakan Sinar Tabagsel kepada Pemda Tapanuli Selatan, Bupati Dolly Putra Parlindungan Pasaribu menugaskan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk menjelaskannya. Namun, Kadis Arman Pasaribu  justru tidak punya jawaban apapun.

Berdasarkan data peraturan daerah di Kabupaten Tapanuli Selatan yang diperoleh Sinar tabagsel di Bagian Hukum Sekretaris Daerah Tapanuli Selatan, belum pernah ada peraturan daerah (Perda) atau peraturan bupati (Perbup) tentang pengakuan masyarakat adat yang dikeluarkan. Akibatnya, keberadaan masyarakat adat di Kabupaten Tapanuli Selatan secara de jure tidak diakui, meskipun dalam banyak program-program pemerintah daerah selalu dilibatkan para pemangku adat yang tergabung dalam Forum Komunikasi Antar Lembaga Adat (Forkala) Kabupaten Tapanuli Selatan.

Namun, kedudukan Forkala di Kabupaten Tapanuli Selatan bukan untuk mendukung keberadaan masyarakat adat, tetapi hanya pelengkap untuk mengesahkan secara adat program-program  Pemda Tapsel. "Kami ada untuk melengkapi acara-acara pemerintah daerah yang berbau adat-istiadat," kata Ketua Forkala Tapsel, Sorimuda Gelar Sutan Soripada Mulia Harahap. 

Minimnya perhatian pemerintah daerah terhadap masyarakat adat mendapat reaksi keras dari berbagai masyarakat adat yang ada di Kabupaten Tapanuli Selatan seperti masyarakat adat. Di beberapa masyarakat adat, muncul upaya alternatif untuk mengantisipasi tidak adanya pengakuan dari Pemda Tapsel. 

Masyarakat adat di Kecamatan ANgkola Selatan, Kecamatan Batang Angkola, Kecamatan Sayur matinggi, dan Kecamatan Tantom Angkola menyepakati pembentukan Parsadaan Rim Ni tahi Haruaya Mardomu Bulung yang merupakan gabungan masyarakat adat Sayur Matinggi, Sigalangan, Siondop, dan Singkuang. 

Gabungan masyarakat adat ini mengeluarkan surat bernomor 36/TU.SGL/IV/2023 tertanggal 23 Oktober 2023 yang isinya "meminta aparat pemerintah daerah agar jangan membuat kebijakan administrasi pemerintahan tanpa koordinasi dengan raja-raja panusunan bulung". Intinya, para raja adat dari masyarakat adat ini meminta aparatur pemerintah daerah di tingkat desa/kelurahan, camat, dan kabupaten untuk melakukan koordinasi dengan raja-raja adat sebelum membuat kebijakan berkaitan administrasi pemerintahan. 

Munculnya penegasan seperti ini dari masyarakat adat di Kabupaten Tapanuli Selatan beresiko menyebabkan konflik di masa yang akan datang. Persoalan ini dilakukan masyarakat untuk menghindarkan agar mereka tidak kehilangan hak atas tanah ulayat yang dimilikinya.

Tidak ada komentar

Beranda