.

Bokor Hutasuhut, Sastrawan yang Berpolitik


Bokor Hutasuhut, sastrawan yang muncul sejak dekade 1950-an, punya peran tak sedikit dalam perkembangan kesusastraan di negeri ini. Novel Penakluk Ujung Dunia,  karyanya, merekam realitas lokal masyarakat Balige (Batak), membuat masyarakat luas semakin memahami realitas antropologi masyarakat ini.

Beberapa tahun pasca peristiwa 30 S PKI yang menjadi akhir dari polemic kebudayaan antara kubu sastrawan yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dengan sastrawan penandatangan Manifes (Manifestasi Kebudayaan), nama Bokor Hutasuhut sebagai salah seorang penggagas dan penandatangan  Manifestasi Kebudayaan bagai menghilang dari jagat kesusastraan di negeri ini.[1] Karya-karyanya, yang sering muncul di hampir semua media publikasi berupa majalah seperti Mimbar Indonesia, Sastra, dan lain sebagainya, semakin jarang dibaca. Bokor Hutasuhut bagai telah menarik diri dari hiruk-pikuk dunia kesusastraan Indonesia yang keras, penuh fitnah, dan ketegangan politik.  

Bokor Hutasuhut menulis kembali cerita bersambunganya, Pantai Barat,  yang pernah terbit di majalah Sastra. Dia juga menyusun ulang dua belas cerita pendekkan untuk menjadi buku dan diberi judul, Menyilang ke Utara. Manuskrip kumpulan cerita pendek Menyilang ke Utara dikirimkan ke sejumlah penerbit buku, hampir bersamaan dengan manuskrip novel Pantai Barat, dikirim ke berbagai penerbit buku. Bahkan, rekan-rekan Bokor Hutasuhut seperti HB Jassin, Ras Siregar, A.M. Hoeta Soehoet, dan banyak lagi sudah berusaha ikut mempromosikan manuskrip-manuskrip itu. Namun, tidak ada penerbit yang bersedia menerbitkannya karena kondisi perekonomian nasional waktu itu sedang kurang bagus.

Menghadapi realitas kehidupan pasca peristiwa 1965 yang mengorbankan banyak hal, terutama perkawanan antarpengarang,  Bokor Hutasuhut  mulai berpikir untuk mencari sumber penghasilan lain. Namun, pertama-tama dia harus menikah untuk membangun keluarga. Bokor Hutasuhut kemudian merambah dunia usaha di bidang lain dan akhirnya tahun 1968 dia pulang kampung ke Sipirok untuk menikah dengan D. Sari Hafni Siregar asal Desa Parsorminan, Kecamatan Sipirok.  Dari pernikahan ini, Bokor Hutasuhut dikarunia empat orang anak: Irma Bulan Hutasuhut, Syamsul Wahidin Hutasuhut, Tama Alamsyah Hutasuhut, dan  Muhammad Layan Hutasuhut. 

 2


Bokor Hutasuhut adalah tokoh besar dalam kesusastraan Indonesia. Ia tidak hanya terlibat dan menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia sekaitan
  prahara budaya, tetapi juga menghasilkan karya-karya sastra yang membuka wawasan masyarakat pembaca di Indonesia tentang fungsi sebuah karya sastra sebagai perekan kondisi social budaya masyarakat.  Novelnya, Penakluk Ujung Dunia, diterbitkan tahun 1964 menjadi mahakarya Bokor Hutasuhut meskipun dia telah menulis dua novel lain, Tanah Kesayangan (1965) dan Pantai Barat (1988) serta cerita pendek yang terkumpul dalam buku Datang Malam (1963) dan ratusan cerita pendek lainnya yang berserakan di sejumlah majalah sejak dekade 1950-an. Sebagai sebuah mahakarya,  Penakluk Ujung Dunia jadi metafora bagi Bokor Hutasuhut untuk mendaku dirinya sebagai penakluk ujung dunia. [2]

Novel Penakluk Ujung Dunia berkisah tentang orang yang berhasil menaklukkan ujung dunia, dan Bokor Hutasuhut adalah seorang pengarang yang sangat biografis dalam menghasilkan karyanya.[3] Di dalam sebagian besar karyanya, pembaca seakan-akan melihat dua penggal hal yang sangat mendasar; sepenggal riwayat hidup Bokor Hutasuhut lengkap dengan alam di mana ia lahir dan besar, penggalan sisanya adalah imajinasi yang berfungsi sebagai bumbu agar riwayat hidup itu tidak kering saat dinikmati pembaca. Dalam novel ini, dua hal itu sangat kental. Bokor Hutasuhut merekam pengalaman pribadinya keluar-masuk ke perkampungan masyarakat Batak bersama ayahnya yang menjadi seorang mubaliq, dan pengalaman pribadi itu berupa mendapatkan cerita-cerita rakyat dari orang-orang yang ditemui terkait realitas antropologi masyarakat Batak yang ada di sekitar Danau Toba.

Dalam banyak cerita rakyat yang berkembang disebutkan, pernah pada suatu masa leluhur masyarakat Batak hidup untuk menyalakan peperangan terus-menerus, mencari komunitas-komunitas masyarakat adat yang lemah untuk diperangi agar tanah dan harta-benda mereka bisa dikuasai.  Peperangan menjadi pilihan utama untuk mempertahankan hidup yang sangat tergantung terhadap pemberian sumber daya alam.  Begitu juga sebaliknya, setiap komunitas masyarakat marga harus mempersiapkan diri dengan pengetahuan berperang untuk menghadapi serbuan dari komunitas lain agar tidak kehilangan kehormatan dan hidup dalam penderitaan sebagai jappurut akibat kalah dalam peperangan.[4]

Bokor Hutasuhut yang lahir dan besar di Balige menyadari betul, masa lalu leluhur bangso Batak yang keras dan selalu berperang itu, erat kaitannya dengan  bonabulu (tanah kelahiran) atau tanah asal. Setiap komunitas masyarakat adat ditandai dengan adanya wilayah sendiri yang diatur oleh seorang pemimpin sebagai pemegang kekuasaan atas sistem yang diwarisi secara turun-temurun. Ketika tanah atau daerah suatu komunitas tidak bisa dipertahankan oleh pemiliknya karena kalah perang, maka komunitas itu akan punah. Kalau tidak punah atau saat perang mereka ditangkap (ditaban), seumur hidup mereka akan menyandang predikat sebagai keturunan jappurut, status sebagai budak kalah perang yang diperjualbelikan dan tidak memiliki hak-hak adat sesuai dengan hokum adat yang berlaku dalam komunitas masyarakat adat yang menahannya. Sampai sekarang, pada beberapa komunitas masyarakat adat bermarga Batak, masih ada trauma masa lalu akibat leluhurnya diperlakukan sebagai jappurut. 

Bokor Hutasuhut merekam sejarah bangso Batak yang selalu identik dengan tanah (lahan hidup). Tanah bagi orang Batak adalah tahta, kekuasaan, kehidupan, keutuhan, dan kasih sayang terhadap sesama. Sebuah komunitas masyarakat marga belum bisa disebut masyarakat bila tak punya bona (tempat tinggal) yang dalam bahasa umpasa (metaforik) disebut portibi atau banua, yaitu sepetak tanah di mana masyarakat membangun perkampungan, memiliki lahan pertanian, dan menata sistem sosialnya. Tapi Bokor Hutasuhut justru menciptakan Ronggur, tokoh utama dalam Penakluk Ujung Dunia, seorang anak muda yang berpikiran maju, yang menolak ikut berperang, dan mencarikan solusi dengan cara mencari tanah lain sebagai daerah baru. [5]

Pengalaman masa kecil Bokor Hutasuhut melahirkan gagasan tentang “kenapa harus berperang kalau yang diinginkan hanya tanah” dan “bukankah tanah bisa dicari dengan menemukan lahan baru”.  Gagasan dasarnya, merekam sejarah bangso Batak yang masyarakatnya selalu berpikir mencari inovasi dalam mengatasi persoalan kehidupan akibat daerahnya tak subur, sehingga yang dibutuhkan bangso Batak adalah mengubah pola pikir agar bisa mendapatkan solusi atas persoalan-persoalan krusial yang sedang dihadapi.

Novel Penakluk Ujung Dunia menampilkan tokoh yang berpikiran maju yang bertolak-belakang dengan masyarakatnya yang tradisional, dan kelahiran tokoh seperti ini erat kaitannya dengan sosok Bokor Hutasuhut yang mengikuti ayahnya berdakwa agama ke perkampungan-perkampungan untuk membuka pola pikir masyarakat. 

Dalam novel Tanah Kesayangan dan novel Pantai Barat, tokoh-tokoh Bokor Hutasuhut identik sebagai manusia  yang berpikiran maju, selalu punya alternative atas persoalan yang dihadapi, dan keluar dari mainstream yang kuat dipengaruhi tradisi.  Setiap novel Bokor Hutasuhut menegaskan, selain pentingnya tanah bagi bangso Batak, juga yang sangat penting adalah mengubah pola pikir agar tidak menderita (karena beban tradisi menjadi japuurut dalam Penankluk Ujung Dunia, atau dijajah Belanda dan Jepang dalam Tanah Kesayangan dan Pantai Barat) atau hidup miskin dan terbelakang. 

3


Selama “menghilang” dari dunia kreatif berkesusastraan, Bokor Hutasuhut menjadi pengusaha sembari mengumpulkan cerpen-cerpennya yang pernah disiarkan di media cetak. Manuskrip-manuskrip kumpulan cerita pendek Bokor Hutasuhut seperti
Menyilang ke Utara, Daerah Toba Danauku Sayang, Pecahan Yang Menggumpal,  dan Di Atas Sepeda. Sementara novelnya Pantai Barat, mulai menemukan penerbit.

Tahun 1980-an manuskrip Pantai Barat  ditawarkan para sastrawan Medan ke penerbit di Malaysia. Salah satu penerbit yang tertarik adalah  Penerbit Marwillis Publisher, Selangor, Malaysia Penerbit ini bermaksud menerbitkan manuskrip Pantai Barat dan beberapa novel Bokor Hutasuhut lainnya seperti Penakluk Ujung Dunia dan Tanah Kesayangan.  Namun, untuk Pantai Barat, penerbit memberi syarat ada revisi dari pengarang. Revisi tersebut dimaksudkan untuk menyesuaikan antara novel yang berlatar Tanah Batak yang mayoritas Kristen dengan pembaca Malaysia yang beragama Islam. Kesepakatan didapat, dengan mengganti isu gereja dengan bunyi loncengnya menjadi masjid dengan suara azannya. Jadilah novel ini diterbitkan pada tahun 1988 dengan judul tetap Pantai Barat.

Setelah novel Pantai Barat terbit, Bokor Hutasuhut kembali menulis untuk koran-koran di Medan. Pada dekade 1980-an Bokor Hutasuhut mulai sering keluar rumah dan bertemu kawan-kawan sastrawan. Waktu itu, dari Sumatra Utara muncul banyak nama sastrawan yang mengisi majalah sastra Horison seperti Sori Siregar, Pamusuk Eneste, Hamsad Rangkuti, B.Y. Tand, Zainuddin Tamir Koto, Damiri Mahmud, A. Rahim Qahar, Rusli A. Malem, AA Bungga, Herman KS, dan banyak nama lagi termasuk Saut Mangapul Situmorang—mahasiswa Universitas Sumatra Utara yang kelak memakai nama Saut Situmorang. 

Munculnya   sastrawan-sastrawan asal Sumatra Utara di majalah Horison membuat Sumatra Utara menjadi salah satu kiblat perkembangan karya sastra di Tanah Air tidak lepas dari sosok Bokor Hutasuhut. Keberangkatannya dari Medan ke Jakarta dan kemudian menjadi bagian terpenting dari sejarah kesusastraan nasional, tidak hanya membuat masyarakat Batak menjadi salah satu kebudayaan daerah yang mengundang perhatian public, tetapi juga menginspirasi generasi-gerasi muda di Sumatra Utara untuk menjadi sastrawan. Bokor Hutasuhut adalah sastrawan yang melanjutkan generasi lama yang sebelumnya sudah lebih dahulu menjadi fenomena dalam dunia kesusastraan nasional sejak era Merari Siregar (Sipirok), Armijn Pane dan Sanusi Pane (Sipirok), Amir Hamzah (Tanjung Pura), Chairil Anwar (Medan), Sitor Situmorang (Samosir), Bakri Siregar (Medan), Matu Mona (Medan), Bahrum Rangkuti (Medan), Bokor Hutasuhut (Balige), dan banyak nama lainnya. Keikutsertaan Bokor Hutasuhut kembali ke dunia sastra setelah menghilang hampir selama 1970-an, menambah gairah kesusastraan di Sumatra Utara.   

Pada Jumat, 4 Agustus 2017, Bokor Hutasuhut meninggal dunia.


Tulisan ini disampaikan Budi P Hutasuhut dalam acara "Tribute to Bokor Hutasuhut", salah satu agenda Balige Writers Festival 2023 di TB Silalahi Center, Balige, pada 27 Oktober 2023.



[1] Alexander Supartono merekam kembali polemic Lekra versus Manifesta Kebudayaan dalam skripsinya berjudul Lekra Vs Manipol untuk keperluan mendapatkan gelar sarjana di STF Dirkaryasa tahun 2000.  DS Muljanto dan Taufiq Ismail juga merekam apa yang mereka sebut prahara seputar polemic Lekra versus Manifestasi Kebudayaan di dalam buku  Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk.,.

[2] Bokor Hutasuhut dalam percakapan dengan penulis sering mendaku dirinya sebagai: “penakluk ujung dunia”.

[3]  Kritikus sastra HB Jassin dalam tulisannya, “Bokor Hutasuhut Pengarang Romantik”, terbit di Mimbar Indonesia Nomor:3-4 Maret-April 1966 Tahun XX, menyebut realitas Bokor Hutasuhut adalah realitas romantic dan mengukur dunianya haruslah dengan realitas romantik.

[4] Sitor Situmorang membahas perang bius sebagai bagian dari sejarah antropologi masyarakat Batak di sekitar Danau Toba. , Toba Na Sae: Sejarah Lembaga Sosial Politik Abad XIII-XX (Cet-2),  2009, Jakarta : Komunitas Bambu.

[5] Budi P Hutasuhut, Historiografi Padang Sidimpuan, 2022. Penerbit Pustaha, Padang Sidimpuan

 

Tidak ada komentar

Beranda