Menurut pengetahuan aku yang cetek, yang aku dapat dari pelajaran menulis surat di SMA, tidak ada yang salah pada surat yang baru aku ketik. Tapi, A.M. Hoeta Soehoet menilai ada banyak kesalahan padahal dia baru melihat bentuknya saja.
Mau tak mau, aku membaca ulang, meneliti kata per kata. Akhirnya aku tahu, nyaris semua yang aku tulis itu salah. Aku baru tahu setelah dua kali mengetik ulang dan A.M. Hoeta Soehoet kemudian membacanya, lalu memberi tanda merah pada tiap hal yang dia sebut kesalahan fatal dalam berbahasa.
Suatu hari, lantaran aku terlalu sering melakukan kesalahan, A.M. Hoeta Soehoet kemudian mengatakan, kesalahan yang aku lakukan disebabkan aku menulis dalam bahasa percakapan yang aku pergunakan sehari-hari. Mula-mula aku tak bisa memahami ucapan itu, tapi kemudian aku baru menyadari bahwa A.M. Hoeta Soehoet ingin mengatakan: "Bahasa Indonesia yang aku pakai, bukan bahasa yang resmi, tapi bahasa dengan dialek orang Batak."
"Bahasa Indonesia," kata A.M. Hoeta Soehoet, "telah disahkan sebagai bahasa persatuan karena bahasa Indonesia mampu mengatasi perbedaan kultural yang ada negeri ini."
Sejak itu, kemampuan berbahasa Indonesia aku perbaiki. Di kampus, aku beruntung mengenal banyak ahli bahasa Indonesia. A.M. Hoeta Soehoet salah satunya.
Aku belajar dengan cara yang ganjil. A,M. Hoeta Soehoet seorang yang teliti dalam berbahasa Indonesia, dia menolak semua kesalahan berbahasa Indonesia dengan selalu membawa spidol warna merah. Spidol itu bergerak di atas teks yang dia baca, mencoret dan melingkari tiap kata yang keliru, dan dia tidak perduli jika akhirnya semua teks yang dia baca itu penuh lingkaran.
Suatu hari dia bilang: "Tanda baca itu diciptakan untuk dipergunakan. Kau hanya tahu mempergunakan tanda 'titik' dan 'koma' ", katanya.
Intinya, di hadapannya, aku tak bisa berbahasa Indonesia. Pengetahuanku tentang kata pun payah. Konon pengetahuan tentang kalimat.
"Aku dengar kau menulis cerpen dan puisi waktu SMA? Bagaimana bisa kau menulis karya sastra sementara bahasa Indonesia saja kau tidak bisa," katanya, pada hari yang lain.
Aku mestinya terpukul, merasa kalau dia telah membuat pengetahuanku tidak berarti apapun. Tapi aku justru senang karena A.M. Hoeta Sohoet ini sangat lama bekerja sebagai editor di surat kabar terkenal, Abadi dan Indonesia Raya. Dia juga belajar menulis dari orang bernama Parada Harahap, seseorang yang pernah mendapat gelar sebagai The King Press of Java pada masa Bel;anda dan Jepang. Dia pun bekerja dengan para ahli, Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, dan banyak nama lagi.
Melihat riwayatnya, aku putuskan mentransfer pengetahuan yang dimilikinya dengan cara mengikuti strateginya.
Aku kuliah sekaligus bekerja sebagai staff administrasi, yang bertugas menulis banyak surat penting, dan setiap surat harus ditandatangani A.M. Hoeta Soehoet sebagai Rektor. Setiap kali ada surat yang harus ditandatanganinya, aku mamfaatkan momentum itu untuk belajar bahasa Indonesia. Jatuh bangun, babak-belur.
Dan, suatu hari, apa yang aku peroleh, aku terapkan dalam menulis opini yang kukirimkan di Jayakarta, Suara Pembaruan, Mutiara, dan sejumlah media cetak di Jakarta. A.M. Hoeta Soehoet pengamat media yang tekun dan berlangganan semua media cetak yang ada di negeri ini. Dia bukan pembaca judul dan lead berita--kebiasaan para pembaca awam. Dia membaca semua isi media, dan dia melakukan itu karena dia menciptakan mata kuliah Isi Media Cetak. Dia paham berita yang baik dan benar, dia menguasai bahasa Indonesia, dia pun sangat mengerti tentang iklan (isi media cetak). Dia, ternyata pula, tidak asing dengan karya sastra.
Suatu hari saya meminta izin kepada A.M. Hoeta Sohoet agar boleh membaca buku-buku yang ada dalam lemari di ruang kerjanya. "Aku akan membacanya pada malam hari," kataku.
"Untuk apa?" tanyanya.
Aku beri alasan yang membuat dia mengangguk. Dan akhirnya, di rak-rak bukunya, aku menemukan banyak buku sastra dari sastrawan yang dekat dengan dia. Dari buku-buku itu aku belajar lagi menulis karya sastra sekaligus karya jurnalistik. Sejak itu, aku semakin sering menulis dan mengirimkan karya ke media.
"Cerpenmu buruk," katanya suatu hari setelah dia membaca cerpen aku yang muncul di Tabloid Mutiara. "Tidak ada yang bisa pembaca peroleh dari cerpen itu."
Di hari lain, dia justru menyalahkan redaktur yang memuat opini yang aku tulis. "Redaktur ini tidak paham menulis opini," katanya. "Opini yang tak menawarkan apapun bisa disiarkannya."
Dia tak pernah menganggap karyaku bagus, dan itu membuat aku terus belajar. Aku terus menulis, terus-menerus menyiarkan tulisan-tulisanku di media. Produktivitasku begitu tinggi. Semua jenis tulisan aku tulis. Koran-koran menyiarkannya. Aku sengaja melakukannya karena mengharapkan penilaiannya, dan dia jsutru menertawakanku: "Untuk apa produktif kalau tidak membawa inovasi," katanya.
Aku selalu dikritik A.M. Hoeta Soehoet . Belakangan aku sadari, dia banyak mengajariku menulis. Satu hal yang aku ingat dari dia: "Menulis itu berbahasa Indonesia yang baik."
Suatu hari, aku masuk Aliansi Jurnalis Independen di Kota Bandar Lampung. Itulah pertama kali aku masuk organisasi profesi jurnalis dalam hidupku. Dan, ternyata, aku bertemu dengan orang-orang yang menempatkan persoalan bahasa Indonesia sebagai kata kunci dalam menulis berita.
Posting Komentar