Jurnlisme Profetik

Oleh:  Budi P Hutasuhut 

Parni Hadi saat peluncuran bukunya, Jurnalisme Profetik

Ketika Republika muncul awal dekade 1990-an, ummat Islam merasa punya media. Perusahaan yang menerbitkannya, menerbitkan saham ummat. Siapa saja, ummat Islam, boleh berkontribusi membeli saham.           

Zaman itu, negara Orde Baru sangat kuat. Sulit mendapat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Tapi media ini melalui Ketua ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), BJ Habibie, bisa dengan mudah mendapatkannya.            

Ketika itu saya mahasiswa Ilmu Jurnalistik di sebuah kampus di Jakarta Selatan. Dalam kelompok diskusi yang digerakkan oleh para mahasiswa pecinta jurnalisme, sering digelar diskusi soal dunia media massa di negeri ini. Kami menilai, tanpa kedekatan Habibie dengan Presiden Soeharto, sulit bagi Republika untuk beroperasional.           

Banyak pengusaha yang telah mengajukan SIUPP ke Direktur Jenderal Pers dan Grafika, tapi belum mendapat persetujuan. Termasuk SIUPP yang kami ajukan untuk mendirikan media berbentuk tabloid, yang akan disebarluaskan ke berbagai komunitas pecinta jurnalisme di seluruh Indonesia.           

Kelak, setelah rezim Soeharto lengser, izin-izin itu keluar. Mudah, cepat, dan tak bertele-tele. Dan kami, para mahasiswa pecinta jurnalisme, menjadi bagian dari institusi-institusi pers yang baru itu.        

Kehadiran Republika sebetulnya mengusung jurnalisme  alternatif. Bukan jurnalisme baru, karena jurnalisme seperti itu sudah diusung Tabloid Jumat. Ada juga Tabloid Dakwah. Bahkan, majalah Amanah, yang salah seorang redakturnya adalah Ahmad Tohari, novelis yang terkenal dengan trilogi Ronggeng Dukuh Paruh, sering menulis kolom yang memperjuangkan nilai-nilai Islam.           

Kebetulan, salah seorang dosen di kampus, bekerja di tabloid Jumat. Ia dosen mata kuliah Agama Islam, seorang ustad yang kalem. Ucapan-ucapannya punya pretensi untuk selalu beramanat. Saya acap ngobrol dengan dirinya. Bukan soal jurnalisme. Tapi, soal-soal hidup, soal kuliah, utamanya soal religiusitas dalam bingkai nilai-nilai agama Islam.           

Kelak, percakapan dengan dirinya mendorong saya untuk sering berkunjung ke “masjid-masjid unik” di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Saya juga acap menghabiskan waktu di sebuah masjid di kawasan Sawah Besar. Di masjid-masjid itu, selalu ada orang yang dengan senang hati membagi ilmu agama Islam. Keberadaan mereka seperti para ahli kitab di zaman lampau, yang menyampaikan kandungan kitab suci tanpa pamrih.           

Saya membayangkan mereka, orang-orang yang membagi ilmu agama Islam tanpa pamrih itu ketika membaca seluruh isi Republika. Bukan cuma berita atau karya-karya jurnalismenya, tapi juga materi seluruh iklan yang muncul pada tiap halaman. Semua berpretensi mengusung amanat. Nilai-nilai agama Islam adalah ideologi yang sangat lekat.           

Mungkin lantaran Republika diterbitkan ICMI. Lembaga ini digerakkan para cendekiawan Islam. Nama mereka sudah santer sebagai nara sumber media massa. Gagasan mereka tentang ummat Islam brilian. Sering, mereka memicu polemik yang tajam. Apalagi bila sampai pada urusan pertarungan ideologi Islam versus Barat, yang menyeret-nyeret kebijakan-kebijakan negara beraliran pembangunanisme.       

Habibie sedang naik daun citranya di lingkungan Pemerintah Orde Baru. Ia dekat dengan Presiden Soeharto. Pemikirannya tentang pembangunanisme sangat brilian. Ia memperkenalkan apa yang kemudian disebut Habibienomic. Pemikiran ekonomi itu muncul ketika Bengawan Ekonomi, ayah Prabowo Subiakto, mengundurkan diri dari kabinet.           

Habibie dengan konsep teknologisasi, mewujud lewat persembahan CN-235 kepada rakyat. Ia menyatukan para cendekiawan muslim dalam wadah bermerek ICMI. Kata “cendikiawan” melekat dengan kata “muslim”, membuat ICMI identik sebagai lembaga yang akan memperjuangkan kepentingan ummat Islam.          

Meskipun, belakangan, ternyata ICMI mendorong para cendikiawan muslim untuk berpolitik. Condong sebagai sayap Golongan Karya. Para cendikiawannya diikat atas nama kader Golongan Karya.             

ICMI terseret dalam arus politik. Posisinya semakin kuat. Habibie punya peran besar dalam kabinet. Dengan sendirinya punya kekuasaan dalam pemerintahan. Ia, tiba-tiba, mengusulkan pembelian kapal perang ronsokan sisa Jerman Timur. ABRI merasa kewenangan mereka dilampaui. Menteri Keuangan, Marie Muhammad, merasa ditelikung.          

Tahun 1994 ketika itu dan majalah Tempo membuat liputan khusus tentang kapal perang rongsokan itu.  Republika tak memuat berita itu. Kita bisa menebak, karena Republika milik ICMI. Sedangkan ICMI berada dalam genggaman Habibie.           

Untung bagi Republika,  ketika majalah Tempo diberangus, koran ummat Islam ini justru tidak. SIUPP tabloid Detik dan majalah Editor juga disita. Tiga institusi media tutup seketika. Republika tetap berdiri.

Cuma, koran yang diharapkan memperjuangkan kepentingan ummat Islam ini, berubah jadi alat politik ICMI. Padahal, pembelian kapal rongsokan itu, jelas mengabaikan kepentingan ummat Islam. Mestinya, sebagai koran yang mengusung semangat pencerahan ummat Islam, Republika juga membeberkan hal-hal yang subtansial seperti itu.           

Kami,mahasiswa pecinta jurnalisme, mendiskusikan soal pembredelan itu. Beberapa rekan menyatakan prihatin, lainnya sangat berduka. Kami memutuskan bergabung untuk menggelar aksi dengan massa dari kampus lain, menolak pembredelan itu. Sejak itu, kepercayaan terhadap misi pencerahan ummat islam pada Republika, perlahan-lahan tergerus dari diri kami.           

Ingatan soal Republika ini berkelebat. Adalah Parni Hadi, orang yang ikut membidani kelahiran Republika. Pada Maret 2014 lalu ia meluncurkan bukunya, Jurnalisme Profetik.  Konon, buku itu hasil pemikiran dan permenungannya selama menjadi jurnalis, sejak awal 1973.           

Waktu 41 tahun sangat panjang untuk menghasilkan sebuah buku, Jurnalisme Profetik. Menjadi jurnalis selama 41 tahun, tentu membuat seseorang kaya akan pengalaman.Saya membayangkan betapa dasyatnya buku itu. Barangkali, buku ini akan sejajar dengan karya-karya monumental Garbriel Garcia Marque, jurnalis cum sastrawan.

Tapi, bukan itu yang menjadi perhatian saya, melainkan jurnalisme profetik itu.  

Setelah sekian lama, baru saya tahu nama jurnalisme yang satu ini. Jurnalisme yang melekat pada laku jurnalisme Republika. Jurnalisme dengan nilai-nilai kebenaran. “Jurnalisme kenabian,” tulis Parni Hadi.

Kata profetik dari bahasa Inggris, “prophetic”. Artinya adalah kenabian. Jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama. Kita tahu, tugas para nabi dan rasul menurut Al Quran, menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan, mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar.           

Jurnalisme profetik memposisikan jurnalis sebagai nabi. Mengacu pada pemahaman Parni Hadi, jurnalisme profetik (prophetic journalism) merupakan suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya menulis atau melaporkan berita dan peristiwa secara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab atau sekedar memenuhi kaidah dan teknis jurnalistik semata. Juga memberikan petunjuk ke arah transformasi atau perubahan berdasarkan cita-cita etik dan profetik Islam. Ini berarti, suatu  jurnalisme yang secara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai dari cita-cita ideologi, etik dan sosial Islam.           

Saya ingat Republika pada 1994 lalu. Ketika itu Parni Hadi bekerja di sana. Ia adalah bidan yang membangun Republika. Sebagai bidan, tentu, isi kepalanya membentuk Republika. Juga, menjadi ruh yang menghidupi Republika. Ruh jurnalisme Republika, yang digembar-gemborkan sebagai koran ummat Islam, adalah jurnalisme profetik.

Jurnalisnya dituntut untuk senantiasa memegang teguh amar makruf, nahi munkar.  Tapi, dalam kasus kapal perang rongsokan yang direkomendasi Habibie agar dibeli pemerintah, Republika tidak memainkan perannya kecuali berdiri sebagai pendukung pemerintah (ICMI).           

Sebab itu, jurnalisme profetik adalah jurnalisme munafik. Mohammad A. Siddiqi, penulis buku Ethics and Responsibility in Journalism: An Islamic Perspective, tentu tak setuju dengan simpul ini. Baginya, jurnalisme profetik perlu, dan harus ada komunitas dari para jurnalis seperti ini untuk membangun kode etik sendiri.

Dari pengamatannya, belum ada kode jurnalistik yang secara tegas didasarkan atas prinsip-prinsip Islam. Itu sebabnya, lebih dari satu miliar Muslim di seluruh dunia, tidak mempunyai kontrol terhadap informasi yang disajikan oleh pers di seluruh dunia terutama negara-negara adikuasa informasi.           

Ia menyebut, negara-negara yang berpenduduk Muslim seperti Indonesia, Pakistan, Turki, Mesir dan Iran serta negara-negara lainnya, masih mendasarkan jurnalisme pada bias sekuler. Ucapannya sejalan dengan keprihatinan para cendikiawan muslim atas dinamika abad informasi. Sebut saja Ziauddin Sardar dalam bukunya, Information and the Muslim World: A Strategy for the Twenty-firt Century (1988).

Sardar khawatir masa depan muslim di abad informasi, menyimpulkan bahwa banyak informasi bias secular mempunyai relevansi kecil terhadap Negara-negara muslim. Sebab itu, perlu dipikirkan mengembangkan sebuah infrastruktur demi menghasilkan informasi yang sesuai dengan kebutuhan Negara-negara muslim.           

Gagasan soal infrastruktur ini mendorong Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) berkumpul di Jeddah, Saudi Arabia. Tahun 1979, OKI kemudian membentuk International Islamic News Agency (IINA. Pada 1980 digelar International Conference of Muslim Journalists di Jakarta. Pelaksananya Rabithah al-Alam al-Islami (Liga Islam Dunia) yang menghasilkan Deklarasi Jakarta.

Pertemuan itu dilaksanakan pada 1-3 September 1980 dihadiri sekitar 300 wartawan dan pengarang Islam dari 52 negara yang juga dihadiri peninjau dari Liga Islam Dunia, Asosiasi Bank Islam Internasional dan Unesco. Di situ dirumuskan kesepakatan untuk bekerjasama merumuskan jurnalisme Islam dan etik yang berkaitan dengannya.           

Inilah awal jurnalisme profetik muncul. Ia dipahami sebagai jurnalisme Islami. Jurnalisme profetik bukan domain Parni Hadi. Bahwa Parni Hadi pernah mencobausahakannya di Republika, memang tidak keliru. Bahwa Republika ternyata gagal, memang tidak keliru. Persoalan muncul: kenapa jurnalisme Islami selalu tidak berhasil di negeri ini.           

Majalah Sabili pernah mengemparkan, terutama karena liputannya terkait kerusuhan di Ambon. Sekarang, hidupnya memprihatinkan. Salah seorang bekas pengelolanya, mengaku Sabili telah dikooptasi kepentingan kapitalis. Keuntungan bisnis jadi orientasi utama, dan misi awal terabaikan. 

Inilah kasus yang umum mendera media-media berbasis Islam. Padahal, media-media ini memiliki jurnalis dengan semangat profetik yang luar biasa. Bagaimana mungkin masih bisa kalah dengan kapitalis. 

Di negeri kita banyak media yang mengemban amanat Pan Islamisme, yang dirintis Jamaluddin Al-Afghani dan Mohammad Abduh lewat majalah Al-Urwatul Wutsqa  (terbit di Paris akhir abad ke-19. Ada majalah Al Munir (1911) di Sumatra pimpinan Dr H. Abdullah Ahmad, Utusan Hindia (1912) terbit di Surabaya dipimpin HOS Tjokroaminoto, Panji Islam (1934) pimpinan H. Zainal Abidin Ahmad, Pedoman Masyarakat pimpinan Hamka dan HM.Yunan Nasution.           

Majalah-majalah Pan Islamisme itu punya pengaruh luas. Belum lagi Panji Islam, yang lebih banyak bicara Islam politik. Polemik Soekarno dan M. Natsir di majalah ini menjelaskan semuanya: berputar antara ideologi Islam dan nasionalis bagi Indonesia. Buku Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (1998) mengungkapkan perdebatan ideologis itu. M. Natsir mendukung Islam sebagai ideologi negara, sementara Soekarno lebih memilih nasionalisme Indonesia.           

Setelah era Panji Islam, pers Islam kita bicara politik aliran. Ada Panji Masyarakat, Kiblat, Duta Masyarakat (NU), Mercu Suar (Muhammadiyah), dan Abadi (Masyumi). Ini pun menjadi penyebab utama kenapa media Islami tidak muncul. Afiliasi politiknya bertolak belakang dengan kepentingan ummat.

Sabili konon berafiliasi politik dengan Partai Keadilan (PK). Setelah PK berganti jadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), majalah ini pun menurun. Begitu juga dengan Republika, ketika di bawah ICMI dan afiliasi politik Golongan Karya, perkembangan media ini luar biasa. Tapi, ketika Orde Baru runtuh, pasarnya pun anjlok.

Jadi, bukan perkara jurnalisme profetik yang sesungguhnya. Tapi, perkara bagaimana menselaraskan antara perkataan dengan perbuatan. Jurnalisme boleh beraliran apa saja, asal tidak bias kepentingan. Jurnalis harus tegak sendiri dengan kebenarannya.

Saya ingat masjid-masjid unik di Jakarta, yang sering saya datangi saat mahasiswa. Mereka, yang suka membagi ilmu agama secara gratis, jumlahnya makin banyak. Tapi, sebagian dari mereka, tak segan-segan berebut saat mengambil wudhuk.

Jadi, Islam itu bukan soal berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk beribadah dan membaca kitab suci, atau berapa banyak orang yang sudah mendengar ceramah agamamu. Islam tentang seberapa dalam subtansi ajaran agama mengakar di hati, mewujud dalam perilaku sehari-hari.

Salam ukhuwah.

Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes