Jaranan adalah kesenian tari tradisional yang menggambarkan gerak prajurit penunggang kuda, dipengaruhi mistik karena pelakunya acap kesurupan (trance). Kesenian yang banyak dipentaskan di Pulau Jawa ini sejak abad ke-13, kini bisa dinikmati di Kota Padangsidimpuan.
Penulis: Dian MS Siregar | Editor: Budi Hutasuhut
Meskipun Kota Padangsidimpuan di Provinsi Sumatra Utara identik sebagai kampungnya masyarakat etnik Batak Angkola, namun suku bangsa penduduk di kota tua yang telah berdiri sejak 1852 ini sangat beragam. Selain Batak, ada juga Minangkabau, Jawa, Nias, Tionghoa, dan lain sebagainya. Semua hidup rukun, dan masing-masing melestarikan nilai-nilai warisan budayanya.
Minggu malam, 13 April 2025, di Kelurahan Bonan Dolok, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, Kota Padangsidimpuan, hujan turun rintik-rintik ketika Hendra Gunawan naik ke panggung di mana peralatan musik seperti gamelan, kendang, kenong, gong, bonang, saron, demongdan sebagainya telah ditata.
Di sekitar panggung, masyarakat dari berbagai lingkungan di Kelurahan Bonan Dolok, berkumpul membentuk setengah lingkaran. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun terlihat antusias ingin menonton pertunjukan.
"Kami diberitahu akan ada jaranan," kata Yusuf Pohan, salah seorang warga Kelurahan Bonan Dolok.
Hendra Gunawan, pemimpin Putra Langgeng Lestari, kelompok seni tradisi masyarakat etnik Jawa di Kota Padangsidimpuan. Mengenakan pakaian serba hitam, ia mendekati kendang. Setelah memberi aba-aba kepada pemain gamelan dan pemain gong, ia pun menabuh kendang itu.
Haromoni nada alat-alat musik tradisional yang biasa digunakan untuk mengiringi jaranan itu pun mengalun. Itulah musik pembuka pentas jaranan yang ditaja Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatra), organisasi masyarakat etnik Jawa di Kota Padangsidimpuan yang diketui H. Purnadi, SE. Melibatkan Putra Langgeng Lestari, kelompok seni tradisi jaranan yang tergabung dalam Manajemn SEP (Sanggar Etnik Padangsidimpuan).
Setelah menampilkan sebuah lagu, Hendra Gunawan memberi aba-aba kepada anggota Putra Langgeng Lestari yang sedang mempersiapkan diri dengan tata rias dan seragam. "Kalau sudah selesai, kita akan mulai," kata Gunawan lewat pelantang suara.
Ajakan itu disambut para anggota Putra Langgeng Lestari, serempak mereka memasuki lapangan yang sudah dipersiapkan. Di bawah siraman tiga lampu sorot, para pemain jaranan memasuki lapangan lengkap dengan riasan dan kostum. Ada yang membawa jaranan, kuda yang dibuat dari anyaman bambu, dan ada jaranan berukuran lebih besar terbuat dari resin poliester atau epoksi.
Lima barongan, menggambarkan kepala binatang, berjalan membentuk barisan. Barongan itu melewati barisan penonton, membuat kehadiran mereka mengagetkan. Salah satu barong tampak barong celeng, dibawakan penari Shinta Ayu Nadia, penari yang juga Sekretaris SEP.
Semua penari jaranan dan barongan berkumpul di depan panggung dan memberi hormat kepada penonton. Setelah itu musik kembali dimainkan, diikuti kemunculan seorang warok (pawang) ke tengah-tengah lapangan sambil membawa cambuk. Berdiri di tengah lapangan, di bawah cahaya lampu sorot, warok mulai menari sambil melecutkan cambuk. Suara cambuk meledak, menandakan pertunjukan jaranan dimulai.
Para penari jaranan dan barongan masuk gelanggang, membentuk bartingan, lalu berjalan mengelilingi warok. Volume musik pengiring meninggi ketika bunyi saron mengalun. Beberapa jaranan kemudian berkumpul, lalu satu per satu mendekati warok, memainkan gerak tari yang ekspresif. Lalu, tiba-tiba, jaranan berputar-putar semakin cepat, bergerak lebih liar. Setiap kali suara cambuk meletus, jaranan dan barongan semakin liar. Akhirnya, satu per satu jaranan dan barongan, mengalami transce.
Beberapa pawang mendekati tiap jaranan dan barongan yang mengalami trance. Mula-mula barong celeng menjerit melengking lalu terpelanting, kemudian berguling-guling di tanah. Adegan ini membuat beberapa pawang bekerja ekstra, menyuguhkan apa saja yang diinginkan jaranan dan barong yang mulai kesurupan.
Di atas panggung, Hendra Gunawan dan para pemain musik semakin menghentakkan nada. Para penonton mulai memekik ketika satu per satu jaranan dan barongan jatuh tersungkur dan menggelupur di tanah.
Menghibur Masyarakat
Hendra Gunawan mengatakan, di bekas Kabupaten Tapanuli Selatan -- kini telah mekar menjadi Kota Padangsidimpuan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Padanglawas, dan Kabupaten padanglawas Utara -- ada banyak kesenian daerah dalam bentuk seni tari, yang merupakan warisan etnik masyarakat Jawa. Salah satunya adalah kesenian jaranan, seni tari yang banyak dipertunjukkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan dikenal secara luas sebagai kuda kepang atau kuda lumping.
Kesenian jaranan itu dikembangkan oleh kelompok-kelompok kesenian jaranan. Setiap kelompok kesenian mengembangkan jaranan dengan ciri khas tersendiri, namun pada dasarnya semua kesenian jaranan itu mengacu pada tujuan dari kesenian itu sendiri.
Pada dasarnya, kesenian jaranan dipentaskan untuk tujuan ritual atau upacara adat seperti bersih desa, upacara tolak bala, atau upacara pemenuhan nazar. Sebagai ritual, jaranan menjadi sarana untuk menyampaikan rasa syukur kepada Tuhan, memohon perlindungan, atau menghormati leluhur.
"Bagi masyarakat, jaranan ini merupakan hiburan dan tontonan. Jaranan juga dapat menjadi daya tarik wisata," kata Gunawan.
Selain itu, jaranan merupakan bentuk ekspresi budaya tradisional masyarakat Jawa. Pertunjukan jaranan melambangkan nilai-nilai budaya dan sejarah masyarakat seperti semangat juang, kesabaran, gotong royong, dan kebersamaan.
"Melalui pertunjukan jaranan, budaya tradisional masyarakat dapat dilestarikan dan diwariskan kepada generasi berikutnya," kata Gunawan.
Posting Komentar