Di masa lalu, seorang pejabat di lingkungan Badan Intelijen Nasional (BIN), konon sukses mengendalikan aksi-aksi demo yang dilakukan buruh PT Freeport Indonesia. James R. Moffett, pemilik Freeport-McMoRan, kemudian memberikan jabatan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia kepada pejabat BIN tersebut sebagai ucapan terima kasih.
Budi Hutasuhut | budihutasuhut@hotmail.com
Pejabat BIN itu Marsekal Muda Maroef Sjamsoeddin. Saat bertugas, ia merupakan Wakil Kepala BIN, menjabat 2011-2014. Ketika memasuki masa pensiun pada 2015, konon James R. Moffett mengangkatnya jadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Ia menggantikan posisi Rozik B. Soetjipto yang memasuki masa pensiun.
Publik tak pernah tahu, apakah betul James R. Moffett mengangkat Maroef Sjamsoeddin sebagai ucapan rasa terima kasih atas jasa-jasanya. Publik hanya tahu, seorang pejabat harus profesional dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, dan negara telah menggajinya. Berhasil atau tidak seorang pejabat, tidak diukur oleh orang lain, apalagi oleh James R. Moffett yang jelas memiliki konflik kepentingan.
Soal jabatan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia yang diberikan kepada Maroef Sjamsoeddin, tidak ada kaitannya dengan kebaikan James R. Moffett Seseorang berkebangsaan asing seperti James R. Moffett, tidak punya urusan terhadap pejabat negara atau mantan pejabat negara. Perkara Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, siapa pun orangnya, merupakan kebijakan Indonesia sebagai pemilik saham dominan. Dan, selama ini, posisi itu memang selalu dijabat oleh orang Indonesia.
Para bekas Presiden Direktur PT Freeport Indonesia sebagian besar merupakan orang yang memiliki jam terbang tinggi di dunia bisnis pertambangan. Maroef Sjamsoeddin bukan orang Indonesia pertama yang menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, tapi ia merupakan mantan purnawirawan TNI pertama yang menjabat Presiden Direktur PT Freeport Indonesia.
Selama menjadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia kurun 2015-2016, nama Maroef Sjamsoeddin bergaung ketika ia mengungkapkan percakapan Ketua DPR Setya Novanto terkait kasus "Papa Minta Saham". Saat itu, ia menjadi sorotan karena memperdengarkan rekaman percakapan antara dirinya, Setya Novanto, dan Muhammad Riza Chalid tentang "minta saham" PT Freeport Indonesia, di dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Tentu saja memperdengarkan rekaman "Papa Minta Saham" itu tidak ada kaitannya dengan kapasitas profesional Maroef Sjamsoeddin selaku Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Di sana lebih kentara kapasitas politik tentang bagaimana caranya agar Ketua DPP Partai Golkar, Setya Novanto, memiliki citra yang lebih buruk di mata publik. Dan, akhirnya, kita tahu bagaimana nasib Setya Novanto serta Partai Golkar, lalu siapa yang kemudian memegang kendali atas partai "pohon beringin" ini.
Prestasi Maroef Sjamsoeddin di PT Freeport Indonesia justru tidak mentereng karena gagal membangun smelter pemurnian. Ia pun tak ada kaitannya dengan mayoritas saham Indonesia di PT Freeport Indonesia yang dikuasai Mining Industry Indonesia (MIND ID), perusahaan pelat merah gabungan PT ANTAM Tbk, PT Bukit Asam Tbk, PT Freeport Indonesia, PT INALUM, dan PT Timah Tbk.
Meskipun tanpa prestasi mentereng selama di PT Freeport Indonesia, justru itu yang membuat Menteri BUMN Erick Thohir menunjuk Maroef Sjamsoeddin sebagai Direktur MIND ID, holding perusahaan tambang pelat merah yang menjadi pemilik dominan saham PT Freeport Indonesia. Publik tersentak, terutama mereka yang tidak pernah mengetahui bagaimana situasi Papua dalam peta daerah penghasil emas di Indonesia.
Para aktivis HAM (hak asasi manusia), yang sering melakukan investigasi dan membongkar siapa yang menjadi otak dari keterlibatan MIND.ID dalam pengelolaan bekas konsesi Tambang Grasberg.
Kita tak akan lupa podcast berjudul “Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!” yang diunggah di kanal Youtube Haris Azhar pada 20 Agustus 2021. Podcast itu berupa narasi Fatia atas hasil kajian atau riset yang dilakukan Koalisi #BersihkanIndonesia dan diterbitkan dengan judul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”.
Baca: Perlawanan Haris-Fatia Membongkar Drama di Papua
Para peneliti di Koalisi Bersihkan Indonesia melakukan kajian cepat terkait operasi militer yang dilakukan pemerintah di Papua menggunakan kacamata ekonomi-politik. Operasi militer untuk mengatasi kelompok yang disebut pemerintah separatis, disinyalir banyak kalangan mengandung agenda terselubung. Kajian ekonomi politik yang dilakukan Koalisi Bersihkan Indonesia memperlihatkan indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua dengan mengambil satu kasus di Kabupaten Intan Jaya.
Relasi antara gerakan militer dengan kepentingan ekonomi di Papua sudah berlangsung sejak 1949. Kehadiran PT Freeport milik Amerika Serikat salah satu bukti. Sejarah Papua, yang lebih dikenal di dunia internasional sebagai West Papua, identik dengan pergerakan militer dan kepentingan ekonomi. Pasalnya, West Papua merupakan "negeri surga" yang kaya akan sumber daya alam hasil tambang.
Kekayaan ini diincar perusahaan-perusahaan pertambangan transnasional terbesar di dunia sejak lama. Nama-nama perusahaan perusahan dunia dari Amerika Serikat seperti Union Oil, Amoco, Agip, Conoco, Phillips, Esso, Texaco, Mobil, Shell, Petromer Trend Exploration, Atlantic Richfield, Sun Oil, dan Freeport, sudah lama mengeksploiutasi Papua Barat. Belum lagi Oppenheimer (Afrika Selatan), Total (Prancis), Ingold (Kanada), Minyak Marathon dan Kepala Burung (Inggris), Dominion Mining, Cudgen RZ, dan CRA (Australia).
Negara-negara asing menjadikan Papua Barat sebagai sumber ekonomi yang tak habis dieksploitasi. Setiap negara mewakili kepentingan institusi bisnis, namun menjadikan negara asalnya sebagai tameng. Potensi Papua Barat ini jarang dibuka untuk publik. Bahkan, warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saja hanya paham bahwa Papua secara de jure bagian dari NKRI, tapi seluruh isinya telah dibagi-bagi untuk kepentingan pengusaha dari berbagai negara. Warga setempat, tidak mendapat tempat di daerahnya.
Indonesia tentunya tidak ingin potensi ekonomi Papua diambil alih negara asing. Salah satu upaya yang dilakukan, merumuskan program penghiliran 21 proyek tambang dengan total investasi mencapai US$ 40 miliar atau lebih dari Rp 650 triliun. Proyek ini akan dikelola MIND ID, sehingga Maroef Sjamsoeddin menjadi orang yang bertanggungjawab memuluskan program tersebut.
Sebanyak 21 proyek penghiliran itu didanai Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara). Jika Maroef Sjamsoeddin profesional, ia akan mengkonsolidasikan aset MIND ID ke Danantara.
Dengan kata lain, Maroef Sjamsoeddin akan memuluskan usaha Danantara untuk mengelola semua aset MIND ID. Tentu saja termasuk dividen yang dikantongi MIND ID. selama ini, dan itu akan menjadi pendapatan Danantara.
COMMENTS