![]() |
Haris Azhar dan Luhut Binsar Panjaitan bersalaman dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. |
Jurnalis: Efry Nasaktion | Editor: Budi P Hutasuhut
Seusai Haris Azhar membacakan pledoi di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin, 27 November 2023, pekik ‘Bebaskan Fatia dan Haris’ bergema. Pekikan itu menandai puncak dari gugatan pencemaran nama baik yang didaftarkan Luhut Binsar Panjaitan terhadap Haris Azhari dan Fatia Maulidiyanti. Jaksa memutuskan kedua aktivis itu bersalah, keduanya dituntut masing-masing 4 tahun dan 3,5 tahun penjara.
Kedua aktivis yang menyiarkan video berjudul ‘Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!!’ di kanal youtube Azhari pada 20 Agustus 2021, itu didakwa jaksa terbukti melanggar Pasal 27 ayat 3 juncto Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Video itu membongkar keterlibatan salah satu anak perusahaan Grup PT Toba Sejahtera dalam proyek tambang emas Blok Wabu di Kabupaten Intan Jaya, Papua. Dalam situs resmi perusahaan, Grup Toba Sejahtra yang didirikan pada 2004 itu kini terbagi ke dalam 6 anak usaha yang bergerak di bidang energi, pertambangan dan migas serta perkebunan, hutan tanaman industri, properti dan merambah ke industri.
Mayoritas saham di Grup PT Toba Sejahtera atau 99,98% dimiliki oleh Luhut Binsar Pandjaitan, purnawirawan TNI bintang empat dari Komando Pasukan Khusus Angkatan Darat (Kopassus AD). Selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Luhut Panjaitan memiliki jabatan strategis sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia. Pada 2017 dikabarkan bahwa Luhut melepas saham di PT Toba Sejahtra hingga 90%.
Dalam videonya, Haris Azhar dan Fatia membicarakan siaran pers yang disampaikan Koalisi #BersihkanIndonesia tentang kajian berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Koalisi Bersihkan Indonesia berisi sejumlah non-goverment organization (NGo) seperti YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia, dan Trend Asia.
Para peneliti di Koalisi Bersihkan Indonesia melakukan kajian cepat terkait operasi militer yang dilakukan pemerintah di Papua menggunakan kacamata ekonomi-politik. Operasi militer untuk mengatasi kelompok yang disebut pemerintah separatis, disinyalir banyak kalangan mengandung agenda terselubung. Kajian ekonomi politik yang dilakukan Koalisi Bersihkan Indonesia memperlihatkan indikasi relasi antara konsesi perusahaan dengan penempatan dan penerjunan militer di Papua dengan mengambil satu kasus di Kabupaten Intan Jaya.
Relasi antara gerakan militer dengan kepentingan ekonomi di Papua sudah berlangsung sejak 1949. Kehadiran PT Freeport milik Amerika Serikat salah satu bukti. Sejarah Papua, yang lebih dikenal di dunia internasional sebagai West Papua, identik dengan pergerakan militer dan kepentingan ekonomi. Pasalnya, West Papua merupakan "negeri surga" yang kaya akan sumber daya alam hasil tambang.
Kekayaan ini diincar perusahaan-perusahaan pertambangan transnasional terbesar di dunia sejak lama. Nama-nama perusahaan perusahan dunia dari Amerika Serikat seperti Union Oil, Amoco, Agip, Conoco, Phillips, Esso, Texaco, Mobil, Shell, Petromer Trend Exploration, Atlantic Richfield, Sun Oil, dan Freeport, sudah lama mengeksploiutasi Papua Barat. Belum lagi Oppenheimer (Afrika Selatan), Total (Prancis), Ingold (Kanada), Minyak Marathon dan Kepala Burung (Inggris), Dominion Mining, Cudgen RZ, dan CRA (Australia).Negara-negara asing menjadikan Papua Barat sebagai sumber ekonomi yang tak habis dieksploitasi. Setiap negara mewakili kepentingan institusi bisnis, namun menjadikan negara asalnya sebagai tameng. Potensi Papua Barat ini jarang dibuka untuk publik. Bahkan, warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) saja hanya paham bahwa Papua secara de jure bagian dari NKRI, tapi seluruh isinya telah dibagi-bagi untuk kepentingan pengusaha dari berbagai negara. Warga setempat, tidak mendapat tempat di daerahnya.
Petromer Trend dan Conoco perusahaan minyak milik Amerika Serikat, yang lahan konsesi pertambangannya berada di pegunungan Ertsberg dan Grasberg meliputi wilayah Danau Paniai dan Wissel, Fak Fak, Lembah Baliem, ujung barat Kepala Burung dan wilayah perbatasan PNG, dijadikan sebagai daerah tanpa penguasa (dislokasi). Kawasan itu tidak boleh ditempati siapa pun sehingga penduduk asli harus dipindahkan dan mendapat penindasan terus-menerus. Kondisi ini melahirkan perlawanan dari masyarakat setempat, namun pengusaha asing mengklaim masyarakat itu sebagai pelaku kriminal yang menolak kehadiran investor asing dan merugikan.
Kondisi serupa juga terjadi di Dataran Tinggi Barat, daerah operasi penambangan Freeport Indonesia. Tambang Freeport di Gunung Ertsberg merupakan tambang tembaga terbesar kedua di dunia, juga memiliki simpanan emas terbukti terbesar yang pernah ada, bernilai lebih dari $US 40 miliar. Perkiraan terbaru untuk lapisan Gunung Grasberg adalah satu miliar ton bijih dan diperkirakan berumur tiga puluh tahun. Kawasan sekitar tambang tertutup bagi pihak luar dan juga bagi pemilik tanah adat yang telah dirampas.
Freeport mempunyai konsesi seluas 3,6 juta hektar di Papua Barat setelah pemberian konsesi seluas 2,6 juta hektar. Pada Maret 1995 diumumkan, perusahaan pertambangan terbesar di dunia, Rio Tinton (RIO-Z) dari Inggris, telah membeli 18 persen saham milik Freeport Indonesia senilai 1,8 miliar dolar AS. Dengan modal sebanyak itu, terjadi perluasan besar-besaran operasi Freeport.
Namun, keberadaan Freeport justru menyingkirkan warga setempat. Freeport memindahkan puluhan ribu penduduk dfari desa-desa yang ada dalam wilayah konsesi penambangan. Pada bulan Februari 1995, misalnya, Freeport memindahkan 2000 orang yang tinggal di sekitar lembah Waa, Arwaa dan Tsinga. Saat pemindahan ini terjadi pertempuran yang menyebabkan kematian sekitar 40 warga sipil dan hilangnya hingga 200 orang lainnya.
Rencana untuk memperluas operasi Freeport dalam konsesi tambahan seluas 2,6 juta hektar yang baru saja diberikan menimbulkan kekhawatiran besar bagi masyarakat lain dan lingkungan mereka.
Daerah-daerah di dalam beberapa konsesi pertambangan diragukan telah ditetapkan sebagai "zona gempa", yang memerlukan pemukiman kembali suku-suku seperti Hupla di dataran tinggi tengah, sebuah praktik yang tidak perlu dan merusak. Masyarakat sering kali terpaksa pindah ke lokasi yang lebih rendah, dimana mereka lebih rentan terhadap penyakit seperti malaria dan dimana makanan tradisional pegunungan seperti pohon pandan tidak tumbuh.
Warga berontak dan melakukan perlawanan. Freeport McMoRan (induk Freeport Indonesia) merasa dirugikan padahal pihaknya merupakan pembayar pajak terbesar di Indonesia. Sebagai pembayar pajak terbesar, Freeport menuntut ada perlakuan khusus dari pemerintah Indonesia. Freeport kemudian menuduh aksi warga sebagai tindakan yang menghalangi investor. Pemerintah Indonesia menurut dan memperlakukan warga sendiri sebagai pihak yang bersalah.
Kondisi ini ternyata dibiarkan, sehingga situasi Papua selalu dicekam konflik. Dalam kondisi dicekam seperti itu, posisi musuh sudah ditetapkan yakni warga setempat yang melakukan perlawanan. Perlawanan ini menjadi rutinitas di negeri ini, membuat pemerintah rutin melakukan operasi militer. Namun, kajian cepat yang dilakukan Koalisi Bersihkan Indonesia mengungkapkan fakta berbeda, bahwa operasi militer yang dilakukan memiliki agenda ekonomi terselubung.
Kabupaten Intan Jaya di Provinsi Papua, pada awalnya merupakan areal konsesi tambang emas milik PT Freeport Indonesia. Ladang emas di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, itu kemudian ditinggal Freeport. Dari Freeport areal itu kemudian dikuasai PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) yang sahamnya dipegang oleh West Wits Mining Ltd yang bermarkas di Malbourne, Australia.
Australia pada awalnya bertindak sebagai pelindung Papua Nugini yang memiliki Ok Tedi Mining (OTM), perusahaan tambang emas di perbatasan Papua Barat dengan Papua Nugini. Ok Tedi merupakan perusahaan yang dimiliki BHP Billiton, perusahaan pertambangan terbesar di dunia sejak merger pada tahun 2001. Namun, Australia yang terlibat pada kepemilikan saham BHP Billiton, mulai tergeser oleh Rio Tinton Z di Papua Nugini. Tapi, Rio Tinto kemudian terkena gugatan hukum karena kasus pencemaran lingkungan tambang di Papua Nugini, sehingga kuasa atas tambang dialihkan kepada Ok Teddi.
Hubungan Australia dengan Papua Nugini terkait sumber daya tambang di perbatasan dengan Papua Barat, diperkuat pemerintah Australia dengan memasuki kawasan tambang tambang emas dan tembaga Grasberg milik PT Freeport Indonesia. West Wits Mining Ltd, perusahaan tambang asal Australia, kemudian mengakuisisi proyek tambang emas Sungai Derewo di Papua pada 30 Juli 2011 dari pemilik lama, PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ).
Sungai Derewo terletak sekitar 110 km dari tambang emas dan tembaga Grasberg milik PT Freeport Indonesia. Perusahaan mengembangkan proyek pertambangan emas hidrolik di sana dengan memperkenalkan metode produksi yang modern. Konsesi tambang emas di sekitar Intan Jaya dengan luas wilayah kerja (WK) 23.150 hektar ini masih tahap eksplorasi. WK PTMQ berdekatan dengan beberapa pos militer seperti Polsek Sugapa, Polres Intan Jaya, dan Kodim Persiapan Intan Jaya. Awalnya, PTMQ dimiliki Dasril dan Ason, yang kemudian menjalin kerjasama dengan perusahaan asal Australia, West Wits Mining (WWM).
West Wits Mining Ltd dimiliki oleh DRD Gold Ltd (23%), Mintails Ltd (21%), Geotorm Investments Limited (4,7%), dan AMN Nomineeds Limited (4,4%). Belakangan, WWM justru menjadi pemilik saham mayoritas PTMQ (64%) sehingga PTMQ berubah menjadi subsidiary WWM.
Namun,m untuk mengembangkan tambang emas Blok Wagu di Sungai Darewo dibutuhkan modal sebesar 2 juta dolar AS. Pada 2016, WWM memberi 30% saham kepada Tobacom Del Mandiri (TDM) atau PT Tambang Raya Sejahtera (TRS), anak perusahaan PT Toba Sejahtera. Kerjasama WWM dengan TSG yang mayoritas saham milik Luhut Binsar Panjaitan diakui sebagai perjanjian “aliansi bisnis” yang dimulai Oktober 2016.
Hasil kajian cepat Koalisi Bersihkan Indonesia menyebut, ada empat perusahaan di Intan Jaya yang mengeruk keuntungan dari operasi militer di Papua, yakni: PT Freeport Indonesia, PT Madinah Qurrata’Ain, PT Nusapati Satria, dan PT Kotabara Miratama. Keempat perusahaan itu pemilik izin usaha pertambangan emas.
Dua dari empat perusahaan itu yakni PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ) adalah konsesi tambang emas yang teridentifikasi terhubung dengan militer/polisi termasuk bahkan dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan.
Situasi kepemilik saham PTMQ inilah yang dibicarakan Haris Azhar dalam videonya. “Proses siniar saya tidak ada yang salah, tidak ada yang membahayakan seseorang, atau pihak tertentu. Untuk itu, saya tidak perlu menyesali perbuatan yang didakwakan kepada saya,” kata Haris saat membacakan nota pembelaan pribadinya.
Menurut Hareis, dakwaan jaksa yang menganggap video itu adalah penghinaan adalah salah. Video yang ia buat bersama Fatia soal Luhut semata-mata dilakukan sebagai fungsi media sosial dan komunikasi publik.
Akun youtube @harisazhar2868 sendiri memiliki‧223 ribu subscriber dan berisi 155 video. Hampir seluruh video itu merupakan sikap kritis, dari persoalan ketidakadilan proses hukum, lemahnya penegakan hukum, perampasan tanah adat, hingga proses pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu yang tak tuntas.
“Saya yakin majelis hakim bisa menjadi pembebas... yang berani menghentikan praktik yang tidak seimbang kepada seluruh warga di Indonesia ini.”
Perbincangannya dengan Fatia pun berisi mengenai ancaman terhadap hutan dan lingkungan hidup. Selain itu, riset juga telah memperlihatkan adanya dugaan keterlibatan nama-nama besar yang mendominasi media.
“Sebaliknya, saya meyakini bahwa materi yang didiskusikan dalam sinear saya, justru memuat materi yang membahayakan masyarakat terutama masyarakat Papua yang hidup dalam stigma dan praktek kekerasan berdurasi tinggi,” jelas Haris.
Ia beranggapan proses pemidanaan terhadap dirinya dan Fatia justru mengandung banyak kelemahan, dari barang bukti yang tidak sempurna, ketidakhadiran sejumlah saksi fakta dan saksi ahli, serta keengganan saksi ahli menunjukkan kapasitasnya.
Meski begitu, Haris meyakini dirinya saat ini tidak sedang melawan jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang pencemaran nama baik, melainkan melawan elite penguasa.
Ia pun berharap majelis hakim dapat membedakan kritik atau hinaan dalam video itu. Tayangan itu berisi riset yang dipresentasikan oleh Fatia sebagai salah satu narasumber.
“Saya yakin majelis hakim bisa menjadi pembebas, bukan untuk saya saja, namun pembebas yang berani menghentikan praktik yang tidak seimbang kepada seluruh warga di Indonesia ini,” ungkapnya.
COMMENTS