Efry Nasaktion | Jurnalis Sinar Tabagsel
Masyarakat adat di Tapanuli bagian Selatan memiliki peraban yang tinggi sejak dahulu kala dengan sumber daya manusia yang menghasilkan produk-produk kebudayaan seperti sistem tata pemerintahan yang jelas, sistem religi, sistem sosial, sistem bahasa (aksara), dan lain sebagainya. Mereka hidup sejahtera dari memanfaatkan sumber daya alam yang ada di dalam wilayah ulayatnya.
Di dalam bukunya, The Histori of Sumatra, William Marsden bercerita tentang Charles Milner, seorang penjelajah dari Inggris, menginjakkan kaki di Luat Hutaimbaru pada dekade 1600-an. Raja di Luat Hutaimbaru menyambut orang Inggris itu dengan jamuan makan yang mewah, tari-tarian yang meriah, bebunyian petasan, dan pemotongan hewan kerbau yang merupakan simbol rasa bangga atas kunjungan dari tamu.
Marsden dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam baha Indonesia dan diterbitkan Komunitas Bambu serta diberi kata pengantar oleh Basyaral Hamidy Harahap itu, menjelaskan bahwa para perempuan di Luat Hutaimbaru berpakaian mewah dan mengenakan perhiasan emas di hampir seluruh tubuhnya. Perhiasan emas merupakan simbol kemakmuran, kesejahteraan, dan kelas sosial bagi masyarakat Luat Hutaimbaru yang berkebudayaan Angkola.
Cerita tentang masyarakat sejahtera yang menghiasi diri dengan perhiasan emas di Luat Hutaimbaru itu diceritakan kembali oleh Arrum Harahap, moderator dalam seminar seminar "Eksistensi Masyarakat Adat dan Hak Atas Tanah di Tapanuli Bagian Selatan" di Hotel Natama, Padang Sidimpuan, Selasa, 25 Juli 2023. Seminar yang digelar AMAN Tano Batak bekerjasama dengan Harajaon Luat Marancar ini menghadirkan pembicara Budi Hutasuhut (penulis dan peneliti kebudayaan Angkola dan aktis di DPD Batak Center Sumut), Dr. Zainal Effendy Hasibuan MA (akademisi di UIN Syahada Padang Sidimpuan), Rasyid Assaf Dongoran (Wakil Bupati Tapanuli Selatan), Saurlin P Siagian (Komnas HAM RI), dan Abdon Nababan (pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara/AMAN).
Luat Hutaimbaru, salah satu luat dari 14 luat yang ada di Tapanuli bagian Selatan. Luat atau haluatan merupakan wilayah geografis sekaligus administrasi masyarakat adat bermarga Harahap yang mengacu pada perkampungan awal dalam masyarakat lama. Kini Luat Hutaimbaru menjadi Kecamatan Hutaimbaru, ada dalam wilayah Kota Padang Sidimpuan. Dan Arrun Harahap salah satu generasi muda dari Luat Hutaimbaru yang bekerja sebagai peneliti kebudayaan (antropologi) untuk sebuah lembaga internasional di Australia.
"Saat ini sulit menemukan masyarakat di Luat Hutaimbaru yang memakai perhiasan emas seperti yang diceritakan Marsden dalam bukunya. Itu menunjukkan, tingkat kesejahteraan masyarakat Luat Hutaimbaru menurun dibanding pada masa lalu," katanya.
Menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat adat di Tapanuli bagian Selatan tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat adat Luat Hutaimbaru yang bermarga Harahap, tetapi juga terjadi pada hampir semua masyarakat adat di 14 luat. Dari tahun ke tahun, masyarakat adat kehilangan sumber-sumber mata pencaharian tradisional akibat digerus perkebangan zaman, yang berdampak langsung pada tergerusnya nilai-nilai budaya lokal dari kehidupan sehari-hari mereka.
Kekayaan sumber daya alam milik masyarakat adat marga Harahap yang ada di Luat Losung Batu tidak bisa lagi jadi sumber perekonomian masyarakat. Pasalnya, lahan adat berupa kawasan hutan telah dikelola pemerintah dan diberikan hak pengelolaannya kepada investor tanpa melibatkan masyarakat adat. Akibatnya, tingkat kesejahteraan masyarakat adat Luat Losung Batu terus menurun dari tahun ke tahun, padahal awalnya mereka merupakan masyarakat yang sejahtera.
Akibat kehilangan hak-hak atas tanah adat karena diposisikan pemerintah sebagai objek, masyarakat adat perlahan-lahan tidak lagi merasa memerlukan adat dan istiadatnya. Keperdulian mereka terhadap kebudayaannya menjadi berkurang, nillai-nilai adat ditinggalkan.
"Masyarakat adat di Tapanuli bagian Selatan tidak bisa lagi mengidentifikasi dirinya sendiri," kata Budi Hutasuhut. "Pengetahuan mereka tentang dirinya sendiri sangat minim sehingga gampang berubah oleh pengetahuan baru yang tidak ada subtansinya dengan esensi masyarakat adatnya."
Berbagai khazanah warisan masyarakat adat yang berbudaya Angkola dianggap tidak penting jika tidak ada kaitannya dengan perkara material, sehingga upaya pewarisan terhadap generasi muda mengalami stagnasi. Pada akhirnya, kebudayaan Angkola akan hilang atau digantikan dengan kebudayaan lain yang dianggap sebagai kebudayaan Angkola. Itu sebabnya, masyarakat adat tidak pernah memprotes ketika orang lain, bahkan, pemerintah menyebut Angkola sama dengan Mandailing atau sebaliknya.
"Rasa memiliki tidak ada. Akibatnya, warisan budaya Angkola yang telah mengatur peran dan kedudukan seseseorang sering dipahami secara keliru. Tidak jarang masyarakat adat Angkola sendiri menduduki kursi yang bukan tempat duduknya," lanjut Budi.
Kondisi ini tidak hanya terjadi pada masyarakat adat pemilik atau ahli waris kebudayaan Angkola, tetapi juga pada elite-elite pemerintah yang bertanggungjawab persoalan-persoalan kebudayaan. Akibatnya, segala pembicaraan tentang kebudayaan Angkola selalu saja menitikberatkan pada pembicaraan terkait objek-objek pemajuan kebudayaan daerah. Padahal, kebudayaan Angkola itu bukan hanya persoalan objek-objek pemajuan kebudayaan daerah.
"Persoalan kebudayaan Angkola itu adalah siapa masyarakat adat yang menjadi ahli warisnya atau pemilik kebudayaan Angkola itu sendiri. Lantaran tidak tahu, orang yang tidak seharusnya jadi raja luat sering diklaim atau dinobatkan menjadi raja luat, sementara prosesi penobatannya sendiri acap hanya dibuat-buat seolah-olah sah padahal melanggar aturan adat," kata Budi.
Sebab itu, eksistensi masyarakat adat Angkola ini harus ditetapkan lebih dahulu. Namun, upaya penegasan eksistensi ini jangan dilakukan hanya untuk mengejar kepentingan sesaat seperti agar masyarakat adat mendapat legalitas atas hak-hak tanah ulayat.
"Kalau orientasi menegaskan eksistensi masyarakat adat hanya agar dapat hak atas tanah ulayat kemudian dijual, tidak perlu ada eksistensi masyarakat adat. Tapi, jika tujuannya untuk kepentingan yang lebih luas demi kesejahteraan masyarakat adat seluruhnya, eksistensi itu harus mendapat legitimasi," kata Rasyid Assaf Dongoran.
Di Kabupaten Tapanuli Selatan sering muncul tuntutan agar pemerintah memberikan legitimasi terhadap masyarakat adat. Namun, pemerintah daerah sampai hari ini belum pernah ada mengeluarkan regulasi untuk menguatkan eksistensi masyarakat adat di daerahnya. Kondisi ini terjadi karena vis dan misi pembangunan daerah tidak secara langsung diarahkan untuk mengembangkan masyarakat adat.
"Masyarakat adat diketahui ada, tetapi keberadaannya entah di mana di dalam regulasi," katanya.
Sebab itu, jika masyarakat adat memang mengharapkan legitimasi dan pengakuan atas keberadaannya di Kabupaten Tapanuli Selatan, mereka juga harus menunjukkan eksistensinya. "Pengakuan dan legitimasi itu penting agar masyarakat adat bisa ambil bagian sebagai subjek dalam dinamika pembangunan daerah," katanya.
Senada juga disampaikan Zainal Effendy Hasibuan terkait eksistensi masyarakat adat. Di dalam warisan budaya masyarakat adat Angkola, ada nilai-nilai budaya atau produk-produk kebudayaan masyarakat yang melegitimasi hak-hak masyarakat adat. Dia menyarankan agar masyarakat adat di Tapanuli bagian Selatan untuk melakukan upaya mencintai kebudayaannya.
"Salah satunya dengan mendorong adanya muatan lokal tentang kebudayaan Angkola yang diajarkan di sekolah. Di Kota Padang Sidimpuan sudah dimulai, dan buku-buku muatan lokal untuk SD dan SMP sudah dibuat," katanya.
Selain mendidik generasi muda terkait adat-istiadat, para pemangku adat di lingkungan masyarakat adat di Tapanuli bagian Selatan juga harus mulai saling mendukung antara satu dengan lainnya. Pasalnya, pemilik semua lahan yang ada di Tapanuli bagian Selatan adalah masyarakat adat, maka masyarakat adat harus bisa mengorganisir diri agar tidak dijadikan objek oleh orang lain.
"Masyarakat adat harus terlibat dan melibatkan diri dalam berbagai dinamika kehidupan di daerahnya," kata Zainal.
Posting Komentar