.

Pilih Penjabat Wali Kota Padang Sidimpuan Harus Transparan

Budi Hutasuhut | Jurnalis Sinar Tabagsel


Masyarakat Kota Padang Sidimpuan berharap agar Kementerian Dalam Negeri lebih transparan dan akuntabel dalam menentukan pejabat Wali kota Padang Sidimpuan untuk menggantikan posisi Wali Kota Irsan Effendi Nasution yang habis masa jabatannya pada September 2023 mendatang. 

Kota Padang Sidimpuan akan menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 2024 karena masa jabatan Wali kota Padang Sidimpuan, Irsan Effendi Nasution. Kepala Daerah yang terpilih saat Pilkada tahun 2018 lalu itu, akan habis masa jabatannya pada September 2023 dan segera digantikan dengan penjabat sementara.

Walikota Padang Sidimpuan, Irsan Efendi Nasution, merupakan satu dari 170 Kepala Daerah di Indonesia yang akan habis masa jabatannya pada September 2023 mendatang. Sebab itu, Irsan Effendi Nasution harus berhenti sebagaimana 17 gubernur, 38 Walikota, dan 115 bupati lainnya yang terpilih sebagai kepala daerah pada Pilkada 2018 lalu.  

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, mengatakan, jabatan 170 kepala daerah itu akan digantikan oleh penjabat sementara yang akan ditentukan oleh pemerintah pusat. Para pejabat sementara itu akan bertugas hingga Pilkada 2024 selesai. 

Tito juga menyampaikan, untuk para pejabat eselon I yang berminat menjadi penjabat sementara gubernur dan pejabat eselon II yang berkeinginan menjabat penjabat sementara bupati atau wali kota agar mendaftarkan diri. "Eselon II kalau minat bupati wali kota daftar, nanti dites," kata Tito.

Proses penentuan pejabat sementara pengganti kepala daerah yang habis masa jabatannya masih mengundang polemik yang belum ada solusinya sampai kini. Pasalnya, pengangkatan pejabat sementara itu dinilai tidak menghormati proses demokrasi dalam  memilih kepala daerah yang mensyaratkan pentingnya partisipasi publik. Sebab itu, keberadaan penjabat sementara kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat yang sedang berkuasa, dikhawatirkan bertendensi politik yang bertujuan mempertahankan oligarki kekuasaan. 

Selain itu, para kepala daerah yang habis masa jabatannya itu,  dikhawatirkan ikut melakukan manuver politik untuk mendorong pejabat eselon I dan eselon II di lingkungan pemerintah daerah masing-masing agar terpilih sebagai penjabat sementara kepala daerah. Fakta ini tidak bisa dimungkiri mengingat para kepala daerah yang habis masa jabatannya memiliki kepentingan untuk kembali bisa menduduki jabatan pada periode kedua.

Para kepala daerah yang habis masa jabatan dan masih ingin ikut Pilkada 2024, besar kemungkinan akan melanggengkan langkahnya dengan tetap mempertahankan pengaruhnya di internal pemerintah daerah melalui "bonekanya" yakni penjabat Kepala Daerah. Upaya itu dilakukan dengan cara menunjuk pejabat eselon I atau pejabat eselon II agar bersedia menjadi calon pejabat sementara kepala daerah. Meskipun keputusan final tentang siapa yang bisa menjadi penjabat sementara ada di tangan pemerintah pusat, namun pengusulan nama pejabat eselon I dan pejabat eselon II tidak menggambarkan proses demokrasi yang sesungguhnya. 

Terpilih atau tidak pejabat eselon I dan pejabat eselon II asal daerah untuk menjadi penjabat sementara kepala daerah, tentu saja mengabaikan partisipasi publik sebagai syarat utama demokrasi yang sebenarnya. Padahal, para pejabat sementara kepala daerah itu menjalankan tugas dan tanggung jawab dari kepala daerah yang digantikannya, yakni kepala daerah yang terpilih dalam proses Pilkada 2018 yang dilakukan oleh masyarakat. 

Ombudsman Republik Indonesia, lembaga pengawas pelayanan publik, menyikapi polemik tentang penunjukkan pejabat sementara oleh pemerintah pusat itu. Untuk menentukan pejabat sementara dari 170 kepala daerah yang habis masa jabatannya pada September 2023, Ombusdman RI menyarankan agar Kementerian Dalam Negeri menyusun peraturan turunan berupa peraturan pemerintah yang mengatur kewenangan pengangkatan penjabat sementara baik oleh Presiden maupun oleh Mendagri.

Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, menjelaskan, peraturan turunan yang dimaksud ini adalah peraturan pemerintah. Pasalnya, berdasarkan undang-undang yang ada, pengangkatan kepala daerah itu tidak hanya oleh Mendagri. Untuk mengangkat gubernur kewenangannya ada pada presiden. Untuk ngangkat Bupati dan Wali Kota itu kewenangannya di Mendagri. Selama ini, pengangkatan penjabat sementara gubernur berdasarkan pada produk hukum berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri), sehingga Presiden dalam menetapkan penjabat sementara gubernur berdasarkan Permendagri tersebut.

Robert Na Endi Jaweng menilai, pengangkatan gubernur tidak dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Mendagri. Mestinya, pengangkatan penjabat sementara kepala daerah yang dilakukan oleh Presiden harus berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) atau Peraturan Pemerintah (PP). Dengan kata lain, Mendagri tidak boleh mengatur apa yang harus dilakukan Presiden Republik Indonesia.

Transparansi dan Akuntabilitas

Selain itu, kebijakan menentukan pejabat kepala daerah yang tersentralisasi di pusat, bertolak belakang dengan semangat demokratisasi yang melahirkan sistem Pilkada. Di dalam sistem Pilkada itu memposisikan masyarakat sebagai pihak yang menentukan (memilih)  siapa yang akan menjadi kepala daerah. Posisi pemerintah pusat hanya sebagai pengesah atas hasil Pilkada. 

Dengan logika Pilkada yang menegaskan pentingnya pemilihan kepala daerah secara langsung oleh masyarakat, maka logika itu juga berlaku dalam menentukan penjabat kepala daerah. Meskipun keputusan final ada di tangan pemerintah pusat, masyarakat perlu tahu bagaimana proses keterpilihan dari penjabat kepala daerah tersebut. Artinya, perlu ada proses yang tranparan dan akuntabel tentang penunjukkan penjabat kepala daerah yang di dalamnya tetap melibatkan keberadaan masyarakat. 

"Masyarakat punya hak untuk mengetahui proses penunjukkan pejabat kepala daerah itu," kata Burhan Harahap (56), warga Kecamatan Hutaimbaru. "Pemerintah harus membuka informasi seluas-luasnya tentang penjabat Wali kota Padang Sidimpuan. Siapa nama-nama yang diusulkan dan bagaimana bisa ada nama yang disetujui dan ada nama yang tidak disetujui."

Burhan Harahap dan sebagian besar masyarakat Kota Padang Sidimpuan yang jadi responden dalam poling yang dibuat Sinar Tabagsel selama Juli 2023 mengharapkan agar Kementerian Dalam Negeri bersikap transparansi dan akuntabilitas dalam menentukan dan menunjuk pejabat Kepa Daerah di Kota Padang Sidimpuan yang akan habis masa jabatannya pada 28 September 2023 mendatang. Tuntutan ini dikaitkan dengan menyebar informasi tentang sejumlah nama yang akan menempati posisi sebagai pejabat Wali Kota Padang Sidimpuan dan mereka  sudah maupun sedang melakukan pendekatan agar namanya yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri.  

Bagi masyarakat Kota Padang Sidimpuan, tidak jadi masalah siapa yang akan ditetapkan jadi pejabat Wali Kota Padang Sidimpuan asalkan sosok tersebut diketahui sepak terjangnya sejak awal. Untuk itu, Kementerian Dalam Negeri yang menerima usulan nama-nama calon penjabat Wali Kota Padang Sidimpuan harus mengumumkan kepada publik agar informasi itu menjadi pengetahuan umum. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga harus memberi kesempatan kepada masyarakat Kota Padang Sidimpuan untuk menguji kelayakan dan kepatutan setiap nama yang diusulkan.

"Beri masyarakat kesempatan untuk meneliti nama-nama yang diusulkan. Jangan sampai masyarakat tidak kenal dengan penjabat Wali kota Padang Sidimpuan, atau lebih parah lagi penjabat Kota Padang Sidimpuan ternyata sosok yang selama ini tidak pernah berperan di Kota Padang Sidimpuan," kata Hasrul Nasution (62), warga Kecamatan Batunadua. 

Transparansi dan akuntabilitas terkait penunjukan pejabat Kepala Daerah ini merupakan amanat putusan Mahkamah konstitusi dan Laporan akhir Hasil Pemeriksaan dari Ombusdman RI. Disebutkan bahwa proses penunjukan pejabat Kepala Daerah mengedepankan aspek transparansi dan akuntabilitas. Ini penting untuk memastikan penunjukan penjabat Kepala Daerah berbasis sistem merit. Selain itu, masyarakat juga punya informasi tentang siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. "Kalau nama yang diusulkan ternyata tidak memiliki kapabilitas, atau terindikasi terlibat kasus-kasus hukum, masyarakat boleh mengajukan keberatan. Tapi, mekanismenya harus diatur," kata Nasrun Siregar (45), warga Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.  

Sementara itu Kementerian Dalam Negeri menyatakan, pihak mereka masih menunggu usulan nama-nama dari daerah untuk menjadi pejabat kepala daerah di 85 daerah yang masa jabatannya habis pada September 2023. "Batas akhir penyampaian usulan nama untuk penjabat kepala daerah pada 9 Agustus 2023," kata Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Benni Irawan, di Jakarta, Kamis, 3 Agustus 2023. 


Tidak ada komentar

Beranda