.

Lubuk Larangan Warisan Budaya Tak Benda di Tapsel, Tak Diakomodir Pemerintah Daerah

Efry Nasaktion | Jurnalis Sinar Tabagsel


Lubuk larangan merupakan kearifan lokal milik hampir semua masyarakat adat di Kabupaten Tapanuli Selatan yang masuk ke dalam kategori warisan budaya tak benda. Sayangnya, Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan selalu mengabaikan kekayaan budaya yang juga berpotensi menjaga kelestarian lingkungan sekaligus meningkatkan perekonomian lokal di wilayah perdesaan.

Sumarni (34), salah seorang Panitia Pesta Pembukaan Lubuk Larangan Aek Mosa di Desa Gunungbaringin, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan,  menghampiri Burhanuddin (67) dan memintanya menunjukkan kartu tanda peserta, Minggu, 6 Agustus 2023. Laki-laki asal Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, Kota Padang Sidimpuan, itu tidak bisa menunjukkan tanda kepesertaannya, tetapi dia bergeming dan melemparkan jala di tangannya ke salah satu lubuk di sungai.

Merasa tegurannya tidak digubris, Sumarni menemui rekannya sesama anggota Panitia Pesta Pembukaan Lubuk Larangan Aek Mosa, lalu menyampaikan perihal Burhanuddin yang tidak memiliki kartu tanda kepesertaannya. Tapi, ternyata, Burhanuddin bukan satu-satunya orang yang terlibat dalam pesta menangkap ikan di Aek (sungai) Mosa itu. Para panitia mengeluhkan, banyak peserta yang tidak memiliki kartu kepesertaan tapi tetap ikut menangkap ikan.

"Setiap orang boleh ikut menangkap ikan di Aek Mosa. Ini pesta menangkap ikan yang digelar sekali setahun, tetapi setiap orang harus mendaftarkan diri lebih dahulu ke panitia," kata Lobe Hutapea (47), warga Dusun Mosa Jae, Desa Gunungbaringin, Kecamatan Angkola Selatan, Kabupaten Tapanuli Selatan. "Untuk bisa ikut, uang pendaftaran Rp100.000 per orang per satu jala. Setiap orang hanya boleh bawa satu jala."

Pesta Pembukaan Lubuk Larangan Aek Mosa yang diselenggarakan oleh masyarakat Desa Gunungbaringin, merupakan tradisi tahunan yang sudah digelar selama puluhan tahun. Di dalam pesta ini, tokoh-tokoh masyarakat Desa Gunungbaringin memberikan izin kepada siapa saja untuk ikut menangkap ikan yang ada di Sungai Mosa. Ikan-ikan yang hidup di dalam Sungai Mosa itu sudah dijaga masyarakat Desa Gunungbaringin selama setahun, dan selama itu tidak boleh ada seorang pun yang menangkap ikan di sungai tersebut. 

"Kalau ada yang berani menangkap, akan didenda. Selama ini belum ada yang melanggar aturan yang disepakati masyarakat Desa Gunungbaringin itu. Ini kearifan tradisional yang dijaga turun-temurun untuk peningkatan ekonomi masyarakat lokal," kata Sapran (34), warga Dusun Mosa Julu, Desa Gunungbaringin. 

Setiap anggota masyarakat Desa Gunungbaringin yang terletak di sepanjang lebih lima kilometer panjang Sungai Mosa, sama-sama menjaga dan melestarikan tradisi lubuk larangan yang diwariskan leluhur mereka. Masyarakat juga bersepakat, lubuk larangan itu akan dibuka setiap tahun sebagai sumber ekonomi desa. 

"Pembukaan lubuk larangan kali ini mencapai 300 peserta. Itu yang terdaftar, masih banyak yang menjadi peserta siluman. Ada juga beberapa peserta yang tidak bisa menunjukkan kartu kepesertaannya yang tertangkap oleh panitia dan harus bayar denda serta dilarang ikut menangkap ikan," kata Marzuki (45), warga Dusun Mosa Jae, Desa Gunungbaringin.   

Lubuk larangan adalah kearifan lokal masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan dalam menjaga dan melestarikan lingkungan sungai serta memanfaatkan potensi ekonomi sumber daya alam berupa perikanan sungai. Budi Hutasuhut, peneliti budaya masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan, yang ditemui saat Pembukaan Lubuk Larangan Aek Mosa, Minggu, 8 Agustus 2023, mengatakan lubuk larangan merupakan sebuah warisan budaya tak benda yang berkaitan dengan kearifan lokal sekaligus menegaskan bahwa nilai-nilai kebersamaan terus-menerus dijaga dan dipupuk oleh masyarakat.

"Lubuk larangan adalah sebuah lokasi yang berada di sungai yang disepakati masyarakat bersama lembaga adat, di mana di tempat yang telah disepakati tersebut dilarang untuk mengambil ikan dan segala yang ada di sungai dalam kurun waktu tertentu. Biasanya, pelarangan itu selama satu tahun atau dua belas bulan," kata Budi Hutasuhut. 

Dengan adanya pelarangan mengambil hasil sungai, berdampak terhadap pelestarian habitat sungai yang banyak dihuni ikan asli dataran tinggi yang hidup di sungai tersebut seperti ikan Mera (tor douronesis), garing, lappam, tali-tali, gurame, lele, dan beberapa jenis ikan air tawar lainnya. Selama setahun tidak boleh dipanen, memberi kesempatan kepada berbagai jnis ikan untuk berkembang biak. "Dengan begitu, jenis-jenis ikan air tawar yang khas di lingkungan masyarakat pemilik lubuk larangan akan terjaga kelestariannya," kata Budi Hutasuhut.

Budi Hutasuhut menyayangkan, lubuk larangan sebagai kearifan lokal masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan yang sudah diwariskan turun-temurun ini, hampir tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah daerah sebagai sebuah potensi kebudayaan yang merefleksikan banyak nilai-nilai dalam kehidupan kebudayaan masyarakat. 

"Dalam kajian kebudayaan, lubuk larangan ini masuk katagori warisan budaya tak benda. Pemerintah daerah tidak hanya perlu memperhatikannya, tetapi harus merevitalisasi untuk mendapatkan khazanah antropologi masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan," kata Budi Hutasuhut.  

Lubuk Larangan memiliki fungsi beragam seperti menjaga kelestarian hutan, air, tanah serta melestarikan adat istiadat setempat. Lubuk Larangan pun dapat bernilai secara ekonomis dan menjadi perekat kebersamaan dan kegotongroyongan masyarakat setempat. "Setiap kali membuka lubuk larangan, uang beredar di lokasi lubuk larangan mencapai Rp30 juta sampai Rp50 juta dalam sehari. Pembukaan lubuk larangan biasanya menyedot pendatang dari berbagai kabupaten/kota, dan mereka datang untuk belanja di desa tempat lubuk larangan dibuka," kata Budi Hutasuhut.


Tidak ada komentar

Beranda