.

Sejarah Kain Tenun Khas Sipirok yang Mulai Dilupakan

Budi Hutasuhut | Jurnalis Sinar Tabagsel

Bangunan berornamen rumah adat Batak Angkola bercat putih itu sesungguhnya sangat mentereng. Tapi kondisinya tak terurus, bertahun-tahun tak dipakai, tersembunyi di dalam hutan belukar semak di Kelurahan Bunga Bondar, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan. Sebuah papan merek berupa plat besi seukuran 2 m x 80 cm dengan tiang dari pipa besi berdiri di halamannya,  tapi tak ada lagi huruf yang terbaca di sana. Tiang besi itu sendiri sudah dimakan korosi.   

Tahun 1987 pertama kali merek itu ditancapkan, dan gedung seluas sekitar 350 m2 itu diresmikan Gubernur Sumatra Utara Raja Inal Siregar. Tulisan yang tertera pada merek itu berbunyi: “Unit Pertenunan Mitra Usaha PT Indosat Kelurahan Bunga Bondar, Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan”.  Inilah proyek prestisius (pilot project) dari Gubernur Sumatra Utara yang terkenal dengan program pembangunannya, Marsipature Huta Na Be (Martabe). 

Gubernur Raja Inal Siregar seorang perwira tinggi ABRI, berpangkat mayor jenderal, mendapat dukungan dari Presiden Soeharto untuk menjadi Gubernur Sumatra Utara. Waktu itu, para menteri dalam Kabinet Pembangunan Presiden Soeharto, banyak diisi tokoh-tokoh yang berasal dari Provinsi Sumatra Utara, khususnya dari wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan -- sebelum kabupaten ini dimekarkan pada tahun 1999. 

Gerakan Martabe, digaungkan Raja Inal Siregar sebagai gerakan "cinta kampung halaman", ditandai dengan melibatkan semua perantau di luar Provinsi Sumatera Utara agar ikut berpartisipasi membangun daerah kelahirannya masing-masing.  Raja Inal Siregar yang kelahiran Kelurahan Bunga Bondar, mengawali gerakan itu dengan membangun infrastruktur untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat daerah lewat industrialisasi budaya wastra (kain).  Mendapat dukungan modal dari PT Indosat sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang telekomunikasi,  dua gedung sebagai sentral pertemuanan ATBM dibangun di Kecamatan Sipirok. Selain di Kelurahan Bunga Bondar, satu lagi dibangun di Desa Padang Bujur. 

Ketika gedung di Kelurahan Bunga Bondar diresmikan, di dalam gedung itu ada 10 unit ATBM, dan para penenun yang sedang bekerja. Para penenun itu, semuanya masih anak gadis, baru saja selesai mengikuti pelatihan bertenun ATBM dengan penenun di Silungkang, Sumatra Barat. Itu sebabnya, pusat ATBM itu awalnya lebih dikenal sebagai tenun Silungkang, meskipun saat ini dikenal sebagai tenun Sipirok.

Sejak peresmian dua gedung pusat industri tenun, Kecamatan Sipirok kemudian dikenal sebagai sentra industrui tenun. Bertenun bagi masyarakat Sipirok merupakan salah satu jenis mata pencaharian yang diperoleh secara turun-temurun, dan bentuknya berupa tenun tradisional (gedokan) yang menghasilkan kain tradisional Abit Godang dan Parompa Saudun. Kedua jenis kekayaan tradisi wastra masyarakat Sipirok ini, diproduksi untuk kepentingan adat-istiadat. Kedua jenis wastra ini harus ada dalam setiap kegiatan adat-istiadat, sehingga penenunnya akan selalu ada dan produksi Abit Godang maupun Parompa Sauudun tidak akan pernah berhenti selama adat-istiadat menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sosial masyarakat. 

Keterampilan bertenun gedokan itulah yang ditingkatkan dengan kehadiran pusat pertenunan ATBM, di mana para penenun diberdyakan agar tidak hanya memproduksi wastra untuk kepentingan adat-istiadat. Tenun ATBM diharapkan memproduksi kain (tektil) untuk kebutuhan sandang, sehingga tingkat produksinya bisa lebih banyak guna memenuhi kebutuhan pasar. 

Setelah peresmian berbagai infrastruktur pusat pertenunan ATBM, Kelurahan Bunga Bondar kemudian santer sebagai daerah produksi tenun kain khas Kecamatan Sipirok. Kain tenun ini mengandalkan ornament-ornamen tradisional seperti yang banyak ditemukan pada ulos (kain adat). Namun, dua unit pusat pertenunan ATBM itu, dalam perkembangan akhir-akhir ini, tidak kedengaran lagi geliatnya sebagai pusat produksi kain tenun khas Sipirok. 

Kondisi paling parah terjadi di Kelurahan Bunga Bondar, karena fasilitas-fasilitas bantuan PT Indosat  dibiarkan terbengkalai dan tak diurus. Gedung mentereng sebagai tempat usaha yang dibangun dengan disain khas rumah adat Batak Angkola, tersembunyi di dalam belukar dan rusak pada beberapa bagian. Gedung itu menjadi bangunan tua yang menunggu saat untuk rubuh. Berbagai fasilitas berupa peralatan ATMB di dalamnya sudah hilang, sebagian lainnya rusak dan tak bisa dimanfaatkan. 

Kondisi unit pertenunan ATBM di Desa Padang Bujur memang jauh lebih terawat, meskipun kemampuan produksinya menurun jauh. Tak seperti unit usaha pertenunan ATBM di Kelurahan Bungan Bondar, unit usaha di Desa Padang Bujur mampu meregenerasi para penenun baru. Setelah penenun-penenun lama yang mendapat berbagai pelatihan berumah tangga dan tak bisa aktif lagi, muncul penenun-penenun baru. Namun, para penenun ini jarang bekerja karena unit usaha pertenunan ATBM Desa Padang Bujur kekurangan modal usaha. 

Berkembang Pesat

Jejak sejarah kain tenun ATBM di Kecamatan Sipirok kembali menggeliat pada tahun 2006 pada masa Bupati Tapanuli Selatan, Ongku P. Hasibuan yang berkuasa 2005-2010. Di masa pemerintahannya, Ongku P Hasibuan mengangkat kembali citra kain tenun ATBM Sipirok yang sempat tenggelam pasca ditinggalkan Gubernur Raja Inal Siregar. 

Melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Tapanuli Selatan, yang dimpimpin oleh Ibu Bupati Tapanuli Selatan, sektor ekonomi berupa unit usaha produksi kain tenun ATBM Sipirok kembali menggeliat. Para penenun yang sebelumnya mati suri, kembali dihidupkan dan diberi pelatihan terkait kualitas produksi dan variasi motif dan ornamen. Sejumlah penenun diberi modal, dan persoalan pasar yang dihadapi para penenun diatasi dengan membuat kebijakan "mewajibkan ASN menggunakan seragam berbahan kain tenun Sipirok". 

Saat itulah penenun baru tumbuh dan mulai memproduksi kain tenun ATBM. Kebutuhan akan kain tenun meningkat mengingat seluruh ASN di jajaran Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan diwajibkan memiliki pakaian seragam berbahan hasil tenunan ATBM Sipirok. Tingginya permintaan terhadap kain tenun ATBM membuat generasi muda belajar menjadi penenun, sehingga bermunculan pusat-pusat pertenuanan baru seperti di Desa Pahae Aek Sagala, Desa Padang Bujur, Keruhan Baringin, Kelurahan Hutasuhut, Kelurahan Parau Sorat, dan lain sebagainya.  

Kain tenun ATBM Sipirok yang semula hanya tersentralisasi di Kelurahan Bunga Bondar dan Desa Padang Bujur, saat ini sudah menjadi produksi dari sejumlah usaha mikro, kecil, dan menengah yang digerakkan masyarakat. Bahkan,  sejumlah penguasa pemilik toko di Kelurahan Pasar Sipirok yang selama ini tidak tertarik menjual kain tenun ATBM, mulai mengembangkan usaha pertenunan ATBM. 

Kembali Anjlok

Citra kain tenun ATBM Sipirok kembali jatuh setelah Ongku P. Hasibuan tidak lagi jadi Bupati Tapanuli Selatan. Penggantinya, Syahrul Mangapul Pasaribu, tidak melanjutkan kebijakan yang dibuat Ongku P Hasibuan terkait penampungan produksi hasil tenun ATBM kain Sipirok. Syahrul Mangapul Pasaribu malah memilih mengganti nama kain tenun Sipirok menjadi kain tenun Tapsel dan membuat para perajin yang bermodal rendah bersaing dengan pengusaha tenun ATBM terkait pemasaran hasil produksi. 

Akibatnya, pengusaha ATBM memperlakukan perajin sebagai buruh, memberikan peralatan tenun dan bahan baku kepada perajin dan membeli hasil produksi dengan harga yang ditentukan oleh pengusaha ATBM. Masyarakat perajin tidak bisa lagi ikut dalam program pengadaan kain tenun untuk  seragam resmi ASN, tapi hanya bisa diikuti oleh para pengusaha yang memperlakukan perajin tidak lebih dari buruh pekerja. 


Tidak ada komentar

Beranda