Penulis: Budi Hutasuhut | Jurnalis Sinar Tabagsel
PT Toba Pulp Lestari menjadi satu-satunya perusahaan yang hadir sejak 1983 hanya untuk menghancurkan kawasan hutan di Kota Sipirok, ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan. Berlindung di balik kata "penghijauan", perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atas ratusan ribu hektare lahan di Provinsi Sumatra Utara ini memperluas areal konsesi lahan hingga ke Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS), habitat Orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Di Provinsi Sumatra Utara, hanya Kabupaten Tapanuli Selatan yang memiliki dua kawasan cagar alam: Cagar Alam Dolok Sibualbuali seluas lebih 5.000 hektare dan Cagar Alam Dolok Sipirok seluas lebih 6.000 hektare. Kedua cagar alam ini bagian dari bentang alam Hutan Batangtoru yang luasnya sesuai citra satelit 133.841 hektare, terbagi dalam Blok Barat dengan luas 78.891 hektar dan Blok Timur luas 54.950 hektar.
Dua cagar alam di Kecamatan Sipirok masuk dalam Blok Timur. Kedua blok ini merupakan tipe vegetasi hutan hujan tropika Sumatra, kawasan hutan yang pernah mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai wrisan dunia yang harus senantiasa dijaga kelestariannya. Pasalnya, di dalam cagar alam yang berfungsi sebagai kawasan lindung flora dan fauna, hidup ragam jenis hewan dan tumbuhan langka yang endemik dan terancam punah. Beberapa dari hewan endemik itu, seperti Orangutan tapanuli, tak ditemukan di bagian lain di dunia ini.
Sayangnya, dua cagar alam di Kecamatan Sipirok yang menjadi habitat Orangutan tapanuli, perlahan dan sangat pasti mengalami deforestrasi baik yang dilakukan oleh masyarakat, atau malah yang sengaja dilakukan oleh para investor asing (penanam modal asing) yang didukung oleh pemerintah. Lahan pada dua cagar alam ini sudah diberikan pemerintah kepada swasta asing dalam bentuk kontrak karya, izin usaha penambangan energi sebagai bagian dari proyek strategis nasional di bidang energi baru terbarukan, dan HPH bagi perusahaan hutan tanam industri (HTI).
Yang disebut terakhir, perusahaan HTI, adalah PT Inti Indorayon Utama (IIU), sebelum kemudian berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari. Perusahaan produsen pulp dan rayon ini, mengantongi HPH atas ratusan ribu hektare hutan di Provinsi Sumatra Utara, yang konsesi meliputi hutan di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Kawasan hutan di Kecamatan Sipirok yang masuk ke dalam konsesi PT Toba Pulp Lestari adalah kawasan hutan yang mengelilingi Kecamatan Sipirok, berupa hutan dengan tegakan pinus yang oleh pemerintah pada masa Orde Baru dilabeli sebagai "Hutan Negara". Kata "negara" yang menyertai kata "hutan", membuat masyarakat tak punya keberanian berada di dalamnya karena ancaman peraturan perundang-undangan.
BACA: Toba Puls Lestari Hancurkan Habitat Orangutan Tapanuli di Cagar Alam Dolok Sipirok
Namun, hak penguasaan dan pengelolaan kawasan "Hutan Negara" yang terdiri dari tegakan hutan Pinus merkusii Jungh. et de Vriese atau lebih dikenal Pinus Tapanuli, membentang puluhan ribu hektare yang tersebar di Kecamatan Sipirok sebelum pemekaran meliputi (Kecamatan Angkola Timur, Kecamatan Arse, Kecamatan Saipar Dolok Hole, dan Kecamatan Biru, dan Kecamapan Dolok) diberikan pemerintah begitu saja kepada PT Inti Indorayon Utama. .
Kawasan "Hutan Negara" berupa tegakan pinus itu, pada awalnya merupakan tanah adat masyarakat adat marga Siregar yang ada di wilayah Kuria Baringin di Kecamatan Sipirok dan lahan masyarakat adat marga Harahap di Kecamatan Angkola Timur.
Pada tahun 1960, pemerintah Orde Baru memakai lahan tersebut untuk lokasi Program Penyelamatan Hutan,Tanah, dan Air, sebuah program reboisasi oleh Kementerian Kehutanan sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA I, 1969). Lahan masyarakat adat itu dipinjam pakai untuk reboisasi dn penghijauan dengan ditanami Pinus Tapanuli, salah satu jenis tanaman yang pertama kali dijumpai di Kecamatan Sipirok.
Setelah kawasan "Hutan Negara" itu berdiri berupa tegakan pinus sebanyak puluhan ribu hektare meliputi seluruh wilayah Kecamatan Sipirok, pemerintah kemudian memberikan hak HPH kepada PT Indorayon. Pada Juni 1998, Gubernur Sumut, Raja Inal Siregar, yang merupakan putra asli Kecamatan Sipirok, mengeluarkan keputusan pengehentian operasi PT Indorayon. Keputusan tersebut diambil setelah masyarakat sekitar pabrik PT Indorayon bersama ribuan mahasiswa di Medan melakukan unjuk rasa.
Penghentian operasi tersebut berlaku sampai ada keputusan lebih lanjut. Penghentian operasi PT Indorayon ini bergayung sambut hingga ke pusat. Pada 15 Juni 1998, dalam Rapat Kerja Komisi V DPR RI, Menneg KLH yang saat itu dijabat Panangian Siregar mengusulkan agar PT Indorayon ditutup. Namun, PT Indorayon tetap eksis mengingat perusahaan ini merupakan penanam modal asing (PMA) yang sangat didukung pemerintah.
PT Indorayon mendapat suntikan dana dari luar negeri dan statusnya berubah dari PMDN (penanam modl dalam negeri) menjadi penanaman modal asing (PMA) dengan surat pemberitahuan Ketua BKPM tentang Persetujuan Presiden. Investor asing yang membiayai PT Indorayon adalah Cellulosa International S.A (6,2%) dan Scann Fibre Co. S.A. dari Luxemburg (9,3%). Sedangkan investor dalam negeri yakni Sukanto Tanoto (24,3%), Polar Yanto Tanoto (5,8%), PT Adimitra Rayapratama (25,2%), PT Inti Indorayonesia Lestari (18,5%), Hendrik Muhamad Affandi, Dr Semion Tarigan dan Hakim Haryanto.
Menyandang status sebagai PMA, PT Indorayon mendapat persetujuan Presiden mengenai perluasan usaha dengan surat pemberitahuan Ketua BKPM. Perluasan usaha tersebut mencakup tujuh jenis produk: pulp (165.000 ton), HCL, NaOH, viscose rayon staple fiber (Rayon) diperluas, Na2SO4 diperluas, CS2 diperluas, dan H2SO4 diperluas. Investasi awal PT Indorayon sebesar Rp489,132 miliar dan perluasan sebesar Rp451,336 miliar, termasuk nilai mesin 167 juta dolar AS, realisasi perluasan berakhir 20 April 1993.
Sebagai PMA yang menjadi "anak emas" pemerintah, PT Indorayon pasca reformasi kemudian berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari. Perusahaan yang memiliki konsinyasi atas kawasan "Hutan Negara" berupa hutan pinus di Kecamatan Sipirok, kemudian membabat habis tegakan pinus untuk bahan baku pabrik bubur pulp dan serat rayon. Di bekas hutan pinus itu, PT Toba Pulp Lestari kemudian menanam ekaliptus (Eucalyptus urophylla), tanaman yang tidak memiliki persentuhan apapun terhadap antropologi masyarakat di Kecamatan Sipirok, Kabupaten Tapanuli Selatan.
Hilangnya kawasan "Hutan Negara" berupa tegakan Pinus Tapanuli di Kabupaten Tapanuli Selatan, hampir tidak pernah disesalkan oleh pihak mana pun. Para elite di Kabupaten Tapanuli Selatan justru meributkan perihal siapa yang mendapatkan proyek penebangan sekaligus pengangkutan Pinus Tapanuli dari lokasi penebangan ke pabrik PT Toba Pulp Lestari di Kabupaten Tapanuli Utara. Semua pihak ingin dilibatkan guna mendapatkan keuntungan dari berbisnis merusak hutan pinus, sehingga para pengusaha lokal berhadap-hadapan dengan pengusaha yang didukung oleh elite Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan.
Keuntungan bisnis jual-beli kayu Pinus Tapanuli lebih menggairahkan para elite ketimbang dampak dari hilangnya kawasan hutan tegakan Pinus Tapanuli terhadap kondisi iklim dan suhu di Kecamatan Sipirok, yang saat itu baru saja ditetapkan sebagai ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan.
Akibatnya, Kecamatan Sipirok , yang awalnya merupakan daerah dingin dan sejuk, pasca hilangnya hutan Pinus Tapanuli berubah menjadi daerah yang panas. Selain itu, hilangnya hutan pinus mempengaruhi debit air di sejumlah sungai yang berdampak terhadap hasil panen usaha pertanian yang dikelola oleh masyarakat. Yang paling dirasakan, hilangnya hutan Pinus Tapanuli itu mengubah habitat flora dan fauna endemik, yang sebagian justru kemudian berstatus kritis.
Setelah "Hutan Negara" hilang, kawasan hutan lindung yang berstatus Cagar Alam Dolok Sibualbuali dan Cagar Alam Dolok Sipirok pun mengalami deforestrasi. Tak puas dengan mendeforestrasi hutan Pinus Tapanuli, PT Toba Pulp Lestari kini menebangi pepohonan di Cagar Alam Dolok Sipirok, menganti tanaman alami yang merupakan sumber utama kehidupan hewan endemik seperti Orangutan tapanuli dengan ekaliptus. Kegiatan itu dilakukan secara terbuka, melibatkan masyarakat yang disebut kelompok tani, dan mengemas kegiatan deforestrasi itu sebagai "penghijauan".
Ajaibnya, kegiatan PT Toba Pulp Lestari ini berlangsung pada saat dunia sedang mengembangkan konsep ekonomi hijau, dan menolak segala kegiatan ekonomi yang menyebabkan deforestrasi. Ancaman sejumlah negara untuk memboikot hasil industri yang menyebabkan deforestrasi, sepertinya bukan sebuah masalah bagi PT Toba Pulp Lestari yang mengekspor pulp dan rayon ke luar negeri. Kita berharap, Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan tidak membiarkan hal ini terjadi mengingat Orangutan tapanuli merupakan hewan langka yang populasinya sangat kritis.
Mestinya, keberadaan Orangutan tapanuli di hutan Kabupaten Tapanuli Selatan, terutama di kawasan Cagar Alam Dolok Sibualbuali dan Cagar Alam Dolok Sipirok, bisa mengangkat citra Kabupaten Tapanuli Selatan. Sayangnya, kebijakan-kebijakan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan belum pernah diarahkan untuk mendukung keberadaan Orangutan tapanuli, kecuali digembar-gemborkan sebagai bagian dari pembangunan pariwisata daerah yang konsepnya hampir tidak ada kaitannya dengan pelestarian hewan yang oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) dimasukkan dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (Critically endangered).
COMMENTS