.

Ikan Batak, Buku Baharuddin Aritonang yang Merekam Pengetahuan Tradisional

Penulis: Budi HutasuhutJurnalis Sinar Tabagsel 

Baharuddin Aritonang, penulis buku Ikan Batak (2023), saat peluncuran di Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan di Kota Sibolga. Acara dibuka oleh Fitri Tandjung, Ketua Umum Yayasan Matauli.
 Foto: Dokumen Baharuddin Aritonang

Ikan Batak, buku terbaru dari Baharuddin Aritonang, yang diterbitkan Rajawali Pres tahun 2023, merupakan sebuah usaha kreatif dan inspiratif untuk merekam nilai-nilai budaya lokal yang berkembang di lingkungan masyarakat Batak agar menjadi pengetahuan bagi pembaca yang berhasrat untuk memajukan kebudayaan nasional.   

Masyarakat adat Batak, yang lahir dan menetap di sepanjang Lansekap Bukit Barisan sebelah Utara--kini menjadi Provinsi Sumatra Utara-- pada dasarnya adalah masyarakat yang memiliki tradisi bahari dengan mata pencaharian sebagai nalayan. Temuan arkeologi berupa bekas sungai-sungai besar dan bekas pelabuhan di sepanjang sungai-sungai yang berhulu di lerng-lereng Bukit Barisan dan bermuara di pesisir pantai Timur maupun pesisir pantai Barat di Pulau Sumatra, itu merupakan bukti tak terbantah bahwa nenek moyang masyarakat Batak adalah pelaut. 

Memang, belum pernah ada penemuan arkeologi yang menegaskan leluhur masyarakat Batak memiliki tradisi perahu, tapi dalam kajian-kajian arkeologi tentang sejarah Melayu, pernah ada kerajaan bahari muncul di pesisir pantai Timur di Pulau Sumatra yang ikut berkolaborasi membentuk negara dagang yang kuat bernama Sriwijaya.  Para sejarawan menyebut kerajaan-kerajaan bahari itu sebagai kerajaan Melayu, meskipun apa yang disebut sebagai kerajaan Melayu itu beberapa abad kemudian diklaim sebagai kerajaan yang dihuni masyarakat Batak -- setidaknya  John Anderson dalam Mission to the Eastcost of Sumatera in 1832; misinya untuk memetakan kerajaan-kerajaan di pesisir pantai Timur di Pulau Sumatra, menemukan masyarakat Melayu sebagai penghuni pesisir yang hidup sebagai nelayan.

Adanya tradisi solu (jukung) -- kapal kecil yang dipakai para nelayan -- yang masih bisa ditemukan bukan hanya di lingkungan masyarakat nelayan di sekitar Danau Toba, tetapi juga di lingkungan masyarakat di sepanjang sungai Batang Barumun, Batang Gadis, Batang Toru, dan Batang Angkola, menjadi bukti bahwa menangkap ikan pernah menjadi tradisi mata pencaharian masyarakat Melayu di Lansekap Bukit barisan -- yang kemudian oleh Koentjaraningrat disepakati atas nama keutuhan kebudayaan nasional bahwa masyarakat itu disebut Batak.     

Masyarakat Batak memiliki persentuhan budaya dengan hampir seluruh masyarakat yang ada di Asia justru lewat seekor ikan yang dikisahkan Baharuddin Aritonang dalam buku ini.  Ikan Batak di kalangan masyarakat Batak sendiri memiliki banyak nama, Ihan Batak,  Ihan Mera, dan Ihan Jurung. Jenis ikannya sama saja bernama Latin Neolissochilus thienemanni   atau ikan yang oleh para hobis pemancing disebut Masheer.  Bagi masyarakat adat di Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Pulau Irian, ikan Masheer ini dikenal sebagai menu kuliner yang nikmat, dagingnya manis, dan karena itu ikan ini disebut juga sebagai "makanan para raja". Sebagai makanan para raja, ikan ini dijuluki juga  Ikan Dewa. 

Baharuddin Aritonang dan bukunya, Ikan Batak

Di lingkungan masyarakat Batak, Ihan Batak identik sebagai makanan "para raja".  Disebut seperti itu bukan karena ekonomi masyarakat umum tak mampu menjangkau harga ikan ini, tetapi karena masyarakat Batak meyakini bahwa "siapa saja yang disebut raja adalah orang yang sudah menjalani prosesi adat-istiadat".  Mereka yang sudah menjalani prosesi adat-istiadat (sudah diadati) seperti adat pernikahan, misalnya, maka orang itu layak disebut sebagai "raja". 

Penobatan seseorang menjadi "raja" ditandai dengan menikmati ragam kuliner yang menjadi bagian dari prosesi adat-istiadat. Salah satu kuliner itu adalah Ihan Batak, yang dihidangkan kepada "para raja" sambil dilisankan dengan pantun yang berkisah tentang riwayat hidup Ikan Batak yang panjang dan sering berganti nama yang akhirnya menjadi Ikan Batak sebagai Ikan Dewa. 

Dikisahkan dalam cerita lisan, yang  disampaikan saat prosesi adat berlangsung, bahwa ikan Batak adalah jenis ikan yang unik dan punya habitat hidup di air yang jenih dan deras. Saat masih kecil, ikan Batak disebut garing, dan ikan ini hidup berkelompok di air deras yang bersih. Ketika beranjak dewasa, ikan yang bernama garing ini akan berubah nama menjadi ikan mera dan hidup berkelompok dalam jumlah besar di air bersih dan deras. Tenaga ikan dewasa sangat besar, mampu berenang melalui air terjun yang tinggi untuk bisa berpindah ke lubuk yang lebih jernih. 

Riwayat hidup ikan Batak inilah, sejak bernama ikan garing sampai bernama  ikan mera, akan diriwayatkan agar menjadi inspirasi bagi orang yang sedang menjalani prosesi adat-istiadat. itu sebabnya, Ikan Batak dikenal juga sebagai ikan adat bagi masyarakat Batak. Tanpa keberadaan Ikan Batak sebagai salah satu kuliner yang disajikan dalam prosesi adat-istiadat, maka adat-istiadat itu terasa kurang greget. 

Sebagai ikan adat, Ikan Batak ini menjadi komoditas konsumsi yang laris dan punya nilai jual yang mahal. Namun, tingginya tingkat konsumsi terhadap Ikan Batak berdampak serius terhadap populasi jenis ikan ini di alam. Di Danau Toba salah satu habitat Ikan Batak, belakangan semakin sulit ditemukan. para nelayan semakin jarang menangkap Ikan batak dari Danau Toba. Habitatnya di Danau Toba sudah habis, meskipun Ikan Batak ini belum punah. 

Ikan Batak hidup di air yang jernih dan deras, tinggal di lubuk-lubuk sungai secara bergerombol. Habitat hidup Ikan Batatk ini membuat masyarakat Batak berusaha membudidayakannya secara komersial. Namun, upaya budidaya tidak selalu berjalan mulus, dan kondisi ini pantas dikhawatirkan mengingat populasi Ikan batak harus terus dijaga.    

Dalam buku Ikan Batak, selain mengungkapkan perihal khazanah budaya masyarakat batak yang memposisikan Ikan Batak sebagai Ikan Adat,  Baharuddin Aritonang juga menawarkan gagasan penting tentang budidaya Ikan Batak secara profesional. Sebab itu, begitu Penerbit Rajawali Pres meluncurkan buku ini, Baharuddin Aritonang yang sudah banyak menghasilkan buku, memutuskan meluncurkan buku ini pertama kali di hadapan mahasiswa-mahasiswa di Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan di Kota Sibolga. Sekolah yang dikelola Yayasan Matauli, ini mendorong para mahasiswa menjadi lulusan yang memahami teknologi perikanan.

"Lewat perguruan tinggi perikanan, upaya mengembangkan dan membudidayakan Ikan batak ini akan lebih mudah," kata Baharuddin Aritonang kepada Sinar Tabagsel. 

Editor: M. Yunus Hutasuhut


  

Tidak ada komentar

Beranda