.

Gubernur Sumut dan Inflasi yang Tinggi dan Terus Meninggi

Penulis: Budi HateesPeneliti Institute Pustaha


Angka inflasi Sumatra Utara pada Februari 2023 sebesar 5,88% YoY, atau lebih tinggi dari angka inflasi nasional yang hanya 5,47% YoY. 

Sejak Biro Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia mengumumkan angka inflasi Februari 2023,  Gubernur Sumatra Utara, Eddy Rahmayadi,  mengaku pusing dihadapkan pada angka inflasi Feberuari 2023 yang mencapai 5,88%, sementara target inflasi daerah untuk tahun ini ditaksir hanya sampai angka 3%.  Tingginya inflasi Feberuari 2023 ini  didorong tingginya harga sejumlah komoditas pangan, dan ongkos transportasi. 

"Saya tak bisa tidur nyenyak memikirkan inflasi ini," kata Gubernur Eddy  kepada para pengusaha Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumatra Utara,  saat pidato dalam acara pengukuhan Pengurus Kadin Sumut periode 2022-2027, beberapa waktu lalu.  Kemudian dia meminta agar para pengusaha Kadin di seluruh Sumatra Utara ikut mengatasi persoalan inflasi ini.

Tingginya harga komoditas pangan inilah yang membuat pusing Gubernur Eddy,  padahal  tingkat produksi komoditas pangan di Provinsi Sumut sangat tinggi dan ketersediaan barang mampu memenuhi kebutuhan pokok masyarakat. Kondisi ini dikhawatirkan Gubernur Eddy akan menurunkan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Gubernur Eddy jadi khawatir, inflasi pada Maret 2023 tidak akan terkendali mengingat masyarakat sedang menghadapi bulan puasa Ramadan dan Idulfitri. Dua hari besar ummat Islam ini acap memicu kenaikan harga komoditas pangan karena tingkat permintaan pasar sangat tinggi.

"Kenaikan inflasi harus dicarikan solusinya agar masyarakat tidak kesulitan di bulan Ramadan dan Idulfitri," kata Gubernur Eddy seusai Pertemuan Level Tinggi TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah) Pemda Provinsi  Sumatra Utara di Aula Tengku Rizal Nurdin, Jalan Sudirman Nomor 41, Medan, Kamis, 9 Maret 2023 lalu.

Berbicara dalam forum TPID Provinsi Sumatra Utara yang dihadiri para Bupati dan Wali Kota se-Sumut, kentara kalau Gubernur Eddy sangat mengkhawatirkan tingginya inflasi.  Sebab itu, Gubernur Eddy meminta semua pihak ikut berperan dalam rangka pengendalian inflasi di daerah. 

Artinya, Gubernur Eddy menegaskan kembali pentingnya menjalin sinergi pusat - daerah untuk menjaga ketersediaan suplai komoditas pangan agar harga stabil dan daya beli masyarakat tidak terganggu. Bukankah strategi seperti itu dalam mengendalian inflasi sudah dicobausahakan oleh pemerintah daerah di Provinsi Sumut. Bahkan, pemerintah daerah yang ada di kota-kota yang menjadi indikator mengukur tingkat inflasi, sudah menempuh jalan yang lebih populis dengan menggelar pasar murah.  

Pemda Kota Padang Sidimpuan, misalnya, menggelar operasi pasar murah kebutuhan pokok, namun inflasi di Kota Padang Sidimpuan tetap saja tinggi.  Pasalnya, karakteistik inflasi di Kota Padang Sidimpuan lebih banyak disebabkan oleh faktor penawaran yang bersifat kejutan (schock) dan bersifat sementara (temporer). 

Posisi Kota Padang Sidimpuan sebagai daerah perlintasan yang hanya sebentar disinggahi, rentan terhadap terjadinya kejutan-kejutan dari sisi penawaran. Otoritas Bank Indonesia sendiri memiliki keterbatasan untuk mengendalikan apabila terjadi kejutan yang sangat besar seperti akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) beberapa bulan lalu.

Begitu juga halnya dengan pemerintah daerah di Kota Medan, Kota Siantar, dan Kota Sibolga.  Upaya yang dilakukan untuk mengendalikan inflasi sudah banyak. Bahkan, koordinasi pemerintah daerah dengan pemerintah pusat terus terjalin dan semua arahan dan kebijakan yang dibuat kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Tapi, inflasi tetap tinggi di daerah hingga melampaui tingkat inflasi nasional. 

Inflasi tahunan Sumut bulan Februari 2023 sebesar 5,88% YoY, atau jauh lebih tinggi dibandikan inflasi nasional sebsar 5,47 % YoY.  BI menilai inflasi Sumut masih terkendali karena lebih rendah dibandingkat inflasi  Januari 2023.  Persoalannya, Pemda Sumut menetapkan target inflasi 2023 sama seperti target inflasi nasional, sebesar 3,0% YoY.  Target itu tidak akan tercapai jika kebijakan yang dijalankan kurang mempertimbangkan faktor dinamika perekonomian di daerah. 

Tingginya inflasi Sumut pada Feberuari 2023, yang terjadi justru pada saat pasokan barang sangat baik dan produksi sangat tinggi, seakan-akan mengingatkan bahwa ada yang keliru dari hukum ekonomi Adam Smit terkait supplay and demand.  

Namun, dalam bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nation (1776), Smith juga mengemukakan pentingnya kekuatan tangan tak terlihat (invisible hand) dalam mengendalikan pasar, yakni campur tangan pemerintah untuk mengupayakan mekanisme pasar menjadi alat alokasi sumber daya yang efisien. 

Sudah umum diketahui, pasar tidak selalu bekerja dengan baik. Pada praktiknya, pasar menghasilkan lebih banyak menghasilkan sampah, polusi udara, keculasan-keculasan, premanisme. Tetapi pasar terlalu sedikit menghasilkan hal-hal yang berkaitan dengan barang publik. Sebab itu, seperti saran dari Joseph E. Stiglitz, ahli ekonomi mikro yang pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Penasihat Ekonomi Presiden AS pada masa pemerintahan Bill Clinton (1995-1997),  pemerintah harus turut menjadi pemain di dalam pasar, terlebih lagi bagi negara berkembang yang perekenomiannya tergolong volatile.

Dalam kasus inflasi Sumatra Utara, pemerintah sebagai the invisible hand bukan tidak campur tangan, melainkan sudah sangat jauh terlibat. Sejak wabah Corona,  untuk mengantisipasi terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi yang terdampat virus akibat kebijakan pembatasan sosial berskla besar,  pemerintah melakukan intervensi melalui pos pendapatan negara.  Tujuannya, tak lain untuk mengendalikan inflasi.

Misalnya, pemerintah memberlakukan berbagai insentif perpajakan untuk merespon perlambatan ekonomi yang terjadi, yang ditujukan kepada Badan Usaha, UMKM dan bahkan karyawan untuk sektor tertentu. Insentif perpajakan tersebut meliputi PPh 21, PPh 22 Impor, PPN, dan lain-lain yang tertuang dalam PMK-23/PMK.03/2020 dan PMK-44/PMK.03/2020. 

Dengan adanya insentif tersebut, pemerintah memberi sinyal terjadinya  penurunan target penerimaan pajak sebagaimana telah diundangkan dalam Perpres 72 Tahun 2020, yang semula Rp1.866 T menjadi Rp1.404 T. Penurunan ini merupakan sinyal dari pemerintah untuk memberi ruang gerak bagi perkembangan bisnis. Dari sisi produsen, langkah pemerintah ini akan memberi ruang fiskal (net income/EBT) yang lebih luas bagi korporat untuk berekspansi.  Di lain pihak, bagi konsumen, pengurangan target pajak akan memberi sinyal peningkatan daya beli mereka pada tahun berjalan.

Intervensi lain dari pemerintah, melalui pos belanja negara dengan menganggarkan dana besar untuk bantuan bidang kesehatan dan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Bahkan, pemerintah melakukan percepatan pembayaran gaji ke-13, memberikan bantuan kepada karyawan swasta, juga memperbanyak pos-pos bantuan sosial. 

Namun, intervensi hanya dilakukan pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengekor seakan-akan semua strategi pengendalian inflasi cocok terhadap semua daerah. Padahal, daerah Sumatra Utara memiliki karakteristik perekonomian yang berbeda dengan daerah lain, terutama karena kualitas infrastruktur di Provinsi Sumatra Utara kurang mendukung bagi lancarnya proses distribusi sehingga acap mengganggu pasokan.  

Buruknya infrastruktur dari sejumlah kabupaten/kota menuju Kota Medan, atau sebaliknya natara kota-kota di Provinsi Sumatra Utara, menjadi salah satu penyebab meningkatnya biaya transportasi. Belum lagi faktor lain yang tak diperhitungkan seperti kasus-kasus premanisme yang acap menimpa para sopir truk distribusi bahan-bahan pangan. Selain itu, sudah sering kita dengar, para pengusaha (swasta) yang menjadi pelaku dalam pasar bahan pangan, acap terjerat kasus penimbunan bahan pangan byang justru mendapat perlindungan dari penegak hukum. 

Ekonomi mikro di Sumatra Utara penuh dengan kejutan-kejutan pada sektor permintaan maupun penawaran, sehingga inflasi agak sulit untuk dikendalikan. 

 


Tidak ada komentar

Beranda