.

Baharuddin Aritonang, Generasi Muda Punya Banyak Kesempatan untuk Sukses

Baharuddin Aritonang lahir di Kota Padang Sidimpuan pada 7 November 1952, sebagian besar waktu hidupnya dihabiskan di luar Kota Padang Sidimpuan, sejak SMA sudah tinggal di Bandung, Jawa Barat. Orang Batak yang selalu merantau ini, tidak pernah ingin jauh dari kota kelahirannya. Tiap tahun, mantan anggota DPR/MPR periode 1998-2004 ini selalu menyempatkan pulang kampung, baik sekadar melunaskan rasa rindu kepada kampung halaman dan bernostalgia dengan masa lalu maupun untuk mendorong berkembangnya generasi muda bangsa dengan berbagi pengalaman yang menginspirasi lewat ragam kegiatan yang diinisiasi sejumlah organisasi kepemudaan dan mahasiswa seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). 

Pada Senin pagi, 6 Maret 2023,  Baharuddin Aritonang kembali berada di Kota Padang Sidimpuan, berencana akan menghadiri sejumlah kegiatan yang digelar Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan, dan juga akan menghadiri peluncuran buku terbarunya, Ikan Batak (Rajawali Press, 2023), di Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli di Kota Sibolga. Budi Hutasuhut dari Sinar Tabagsel mengajak Baharuddin Aritonang kombur (berbincang) tentang banyak hal terkait buku terbarunya, produktivitasnya untuk terus berkarya meskipun sudah pensiun dan kini sudah 71 tahun, serta bagaimana pandangannya tentang dinamika pembangunan daerah di Tapanuli bagian Selatan terutama berkaitan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ada. 

Sinar Tabagsel:  Tulang selalu berusaha untuk pulang kampung setiap tahun dan selalu terlibat dalam sejumlah kegiatan produktif yang ada di daerah, apakah sekadar bernostalgia dengan kenangan di kampung halaman atau ada yang sedang Tulang pikirkan tentang kampung halaman?

Baharuddin Aritonang: Saya seorang pensiunan,  tapi tidak berarti pensiun dalam berkreativitas. Saya tidak cuma datang ke kampung halaman di Kota Padang Sidimpuan, tetapi juga di banyak kota lain di negeri kita ini. Kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah itu sering karena undangan banyak kalangan yang menginginkan agar saya menghadiri kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan. Dalam kesempatan itu, mereka yang mengundang meminta saya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan. Semua itu saya jadikan sebaga momentum belajar kembali, setidaknya membantu saya mengingat kembali apa yang pernah saya pelajari di masa lalu. Saya berbagai pengalaman dan pengetahuan dalam rangka mengingatkan diri kembali agar saya tidak pernah melupakan banyak hal. 

Dari pengalaman berkunjung ke daerah-daerah, saya sering mendapat inspirasi  untuk berkarya, menghasilkan karya tulis, yang akhirnya akan menjadi buku.  Sama seperti buku terbaru saya, Ikan Batak, inspirasinya saya dapat dari berkunjung ke beberapa daerah yang kebetulan mengenal ikan Batak meskipun namanya berbeda, tetapi spesiesnya sama.  Dari percakapan dengan orang-orang yang mengetahui ikan Batak ini, saya menjadi lebih memahami bagaimana posisi spesies ikan ini secara sosiologi, budaya, ekonomi, dan bahkan dari perspektif sebagai spesies ikan yang akan punah karena penangkapan yang berlebihan dan faktor alam.

Pemberian nama Ikan Batak lebih menegaskan bahwa jenis ikan ini hanya ada di Tanah Batak, padahal sesungguhnya ini jenis ikan yang menyebar di banyak wilayah Asia Tenggara.

Betul, spesies ikan ini lebih dikenal secara umum sebagai Ikan Masheer, ikan air tawar keluarga Cyprinidae atau Keluarga Ikan Mas yang merupakan familia besar ikan air tawar yang terdiri atas golongan ikan ikan mas atau ikan karper, ikan mas hias, minnow, dan kerabatnya. Secara umum disebut keluarga ikan mas, anggotanya kadang disebut juga siprinid. Siprinide adalah salah satu familia ikan terbesar dan secara umum adalah keluarga hewan vertebrata dengan jumlah terbesar dengan lebih dari 2.400 spesies yang terbagi dalam 220 genera. 

Namun, Ikan Batak  berasal dari keluarga Tor spp., suku Cyprinidae, juga dipakai untuk jenis-jenis Neolissochilus. berasal dari Indo-Australia dan anak benua India. Di sejumlah daerah, Ikan Batak memiliki nama berbeda, seperti kancra (Sunda), tåmbrå (Jawa), sapan (Kalimantan), ihan mera (Padang Sidimpuan), atau  kelah (Malaysia).  Di Sumatra Selatan, Lampung, Jambi, jenis ikan ini dikenal sebagai ikan semah.

Di mana-mana, ikan yang masih sekerabat dengan ikan mas ini populer sebagai bahan pangan kelas tinggi, dan disebut juga sebagai Ikan Dewa. Di dalam tradisi kuliner masyarakat Batak, ikan Batak ini dikenal sebagai ikan raja karena hanya dikonsumsi para raja, juga disebut ikan adat karena sering dipakai sebagai pelengkap seremoni adat-istiadat. 

Lantaran tingginya konsumsi terhadap ikan jenis ini, populasinya menjadi menurun. IUCN (International Union for Concervation Nature) memasukkan ikan ini dalam daftar terancam punah. Suatu hari nanti, ikan Batak akan punah jika tidak ada antisipasi sejak jauh-jauh hari. Ada banyak solusi yang dapat dilakukan, tergantung pada para ahli masing-masing. Keahlian saya berbeda dengan para ilmuwan di bidang perikanan. Saya hanya ahli merekam realitas sosiologis ikan Batak ini ke dalam buku agar masyarakat mengetahui betapa penting posisi Ikan Batak secara sosiologi, ekonomi, dan budaya.

Dari riset dan penelitian yang Tulang lakukan tentang Ikan Batak, apa kendala terbesar yang dihadapi?

Bagi masyarakat di Sumatra Utara umumnya dan masyarakat Batak khususnya, ikan Batak ini sangat penting. Cuma, sampai hari ini saya belum pernah bertemu seorang profesor dalam dunia ilmu pengetahuan yang mengkhususkan diri sebagai peneliti ikan Batak. Sebagai ikan yang sangat penting, seharusnya ikan ini melahirkan profesor.  Sama seperti apa yang saya temukan saat menulis buku Durian si Raja Buah. Meskipun buah durian diminati banyak orang di negeri ini, tatapi sampai hari ini belum ada profesor di bidang buah durian. Di Malaysia, buah durian sudah melahirkan profesor. Saya pikir ini fenomena yang tidak boleh terjadi. Ikan Batak maupun Durian identik dengan bangsa kita dan seharusnya ada upaya lebih serius untuk mengembangkan ikan Batak maupun durian baik sebagai komoditas unggulan maupun sebagai bagian dari sosisologi budaya masyarakat.

Bukankah hal semacam itu terjadi hampir di semua lini dalam ilmu pengetahuan kita?  Kita hampir tidak punya ahli yang khusus menguasai satu hal dan spesifik.    

Kondisi seperti itu pantas disayangkan. Dunia pendidikan kita kurang berkembang untuk menghasilkan para ahli, padahal anggaran yang dialokasikan pemerintah sangat besar, 20% dari total anggaran  tiap tahun. Waktu saya jadi anggota DPR/MPR, anggaran pendidikan sangat minim, di bawah 6% dari total anggaran. Ketika legislatif mengusulkan agar anggaran ditambah satu persen saja, ternyata tidak mudah melakukannya. Penyebabnya, dengan anggaran yang hanya di bawah 6% saja daya serapnya sangat minim. Lalu, setelah reformasi, anggaran pendidikan dialokasikan sebanyak 20% dari total anggaran dan itu sangat tinggi. Namun, ternyata, daya serap anggaran 20% itu tidak maksimal sehingga ada banyak anggaran yang tidak terserap yang kalau diakumulasikan sangat tinggi. Anggaran inilah yang kemudian dialokasikan untuk beasiswa Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) yang mensyaratkan siapa saja boleh mendapatkannya asalkan berkualitas.  Ternyata, beasiswa LPDP ini pun tidak banyak terserap karena tidak banyak  generasi muda yang mampu menyesuaikan diri dengan persyaratannya. 

Ini memprihatinkan. Dulu, tak banyak program beasiswa dan generasi muda berlomba-lomba untuk bisa mendapatkannya. Sekarang, ada banyak program beasiswa, baik yang dikeluarkan pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Belum lagi  beasiswa yang sifatnya khusus dari lembaga-lembaga bentukan institusi bisnis seperti Tanito Foundation dan lain-lain. Bahkan, di luar negeri, ada konsep beasiswa dalam bentuk loan yang dikeluarkan sejumlah institusi pendidikan seperti Harvard yang bekerja sama dengan pemerintah Amerika Serikat. Dengan beasiswa loan  itu, generasi muda berkualitas dari mana saja bisa mendapatkannya dalam bentuk pinjaman murah (loan) untuk biaya pendidikan dan biaya hidup yang bisa dicicil setelah lulus. 

Generasi muda sekarang punya banyak kesempatan untuk bisa sukses, tetapi kualitasnya sering tidak sesuai standar yang diharapkan para pengelola beasiswa. 

Kondisinya sudah seperti itu, apa yang bisa dilakukan generasi muda kita hari ini?

Kembali ke soal mindset. Seperti soal profesor di bidang Ikan Batak atau profesor bidang durian. Di negeri kita tidak ada orang yang punya spesifikasi keilmuwan seperti itu karena orientasi mereka sangat global. Mungkin, hal-hal yang spesifik dianggap kurang punya daya gugah luar biasa, padahal perkembangan ilmu pengetahuan di dunia sudah mengarah pada penguasaan persoalan yang lebih spesifik.  Hanya ahli durian yang bisa diharapkan menghasilkan temuan-temuan iniovatif tentang durian sebagai komoditas unggulan, misalnya. 

Generasi muda sekarang berpikirnya terlalu banyak. Harus fokus. Saya ambil contoh anak muda yang mengelola Cafe Bonabulu di Sipirok. Saya baru dari sana dan melihat cafe itu berstandar internasional. Saya sudah pernah di cafe di luar negeri, dan di Cafe Bonabulu saya merasa tidak asing. Pelayanannya luar biasa. Setiap pelanggan yang datang, baik yang baru maupun yang lama, diperlakukan sebagai teman. Diajak berfoto, lalu diberi kenang-kenangan. Saya mendapat kenang-kenangan dari Cafe Bonabulu. Ini pelayanan luar biasa. 

Saya pikir, pengelola cafe itu fokus untuk mengembangkan bisnisnya sehingga semua hal yang mendukung kemajuan bisnisnya akan dilakukannya. Ini pantas dijadikan contoh bagi generasi muda sekarang.

Kembali ke soal buku Ikan Batak, apakah Tulang menulsinya dengan harapan agar genersi muda terinspirasi untuk menjadi ahli ikan Batak.

Buku saya bercerita dari hulu sampai hilir. Mulai dari jenis ikan Batak, budidaya ikan Batak, sampai dampak ekonomi ikan Batak. Ikan Batak ini merupakan bagian dari kearifan budaya lokal yang harus dilestarikan. Dengan melestarikan atau menjaga agar ikan Batak tidak punah, dengan sendirinya menjadi menjaga kelestarian budaya. Kita beruntung di sejumlah masyarakat Batak, ada tradisi lubuk larangan yang membuat ikan Batak ini tetap terjaga. Cuma, pemanenan lubuk larangan sering dilakukan sembarangan dengan mengambil anak-anak ikan sehingga terancam kepunahan. Seharusnya, saat panen di lubuk larangan, dibuat kebijakan pembatasan penangkapan ikan. Hanya ikan batak dewasa yang boleh dipanen.

Tulang bilang buku ini akan dibicarakan di Sekolah Tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli di Kota Sibolga. 

Saya berharap, mahasiswa di Sekolah tinggi Perikanan dan Kelautan Matauli lebih mengenal ikan Batak. Mereka berkualiah di bidang perikanan dan tentunya mereka yang paling berkompeten untuk mengurus masalah ikan Batak ini.   

Bagaimana Tulang melihat perkembangan Kota Padang Sidimpuan akhir-akhir ini? 

Saya baru saja mendatangi Wali Kota Padang Sidimpuan, Irsan Efendi Nasution, ke rumah dinasnya. Saya beri apresiasi atas apa yang dilakukannya terhadap Kota Padang Sidimpuan. Upayanya membersihkan Jalan Sutomo pantas diapresiasi. Saya perhatikan, sebagai Wali Kota Padang Sidimpuan, dia berusaha mengembalikan hal-hal bersejarah yang ada di kota ini. Saya bangga melihat perkembangan Kota Padang Sidimpuan saat ini.

Saya orang Padang Sidimpuan, tiap tahun saya pulang ke Padang Sidimpuan dan melihat kota ini tidak banyak berubah. Baru akhir-akhir ini saya melihat perubahan-perubahan mulai terjadi. Memang, tidak mudah membangun Kota Padang Sidimpuan karena masyarakatnya plural dan tidak semua keinginan masyarakat bisa diwujudkan. Tapi, perlahan-lahan dan kontinyu, Kota Padang Sidimpuan ini akan berubaha menjadi kota besar yang ramai. 



Tidak ada komentar

Beranda