.

Bisnis Thrifting di Padang Sidimpuan Punya Pembeli Fanatik

Penulis: Hady Kurniawan Harahap | Jurnalis Sinar Tabagsel

Pelaku bisnis thrifting (barang bekas), utamanya yang berkaitan dengan fashion seperti pakaian dan sepatu,  marak di Kota Padang Sidimpuan.  Menawarkan dagangannya secara terbuka, bahkan di pinggir jalan, para pelaku usaha mikro ini mengaku punya pelanggan yang fanatik dengan brand terkenal.

Sepatu bot yang dipegang Ahmad (23), seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Kota Padang Sidimpuan, mirip produk brand asal Swiss, Reindeer boots Bally.  Melihat  sepatu itu dipajang di etalase sebuah toko thrifting di Pasar Sakumpal Bonang, ingatan segera tertuju kepada para pendaki gunung.  

Begitu melihat sepatu bot itu, Ahmad, yang hobi mendaki gunung,  justru membicarakan Tenzing Norgay, sering disebut Sherpa Tenzing. Pada 29 Mei 1953, tepat saat usianya 39 tahun,  ia dan Sir Edmund Hillary menjadi orang-orang yang pertama kali mencapai puncak Gunung Everest. 

"Orang lebih mengingat sepatu yang dipakai Sherpa Tenzing saat mendaki Himalaya ketimbang mengingat bagaimana wajahnya," kata Ahmad saat mencoba bot merek Bally itu di lantai tiga Pasar Sagumpal Bonang di Kota Padang Sidimpuan.  Ahmad kemudian melangkah, menikmati sepatu gunung yang sudah lama diidamkannya. "Aku beli ini," gumamnya.

Pedagang, seorang perempuan paroh baya, langsung mengangguk dan menyebutkan angka Rp200.000 untuk sepatu Reindeer boots Bally yang terlihat sudah sangat tua itu.  Tanpa menawar, Ahmad langsung membayar sambil berkata: "Aku beruntung mendapatkannya. Ini asli Reindeer boots Bally."

Lantai tiga gedung Pasar Sakumpal Bonang, masuk dari pintu Timur, menampung para pelaku bisnis thrifting (pakaian dan sepatu bekas). Mereka membuka kios, memajang dagangannya di etalase, memperlakukan barang-barang dagangan itu layaknya produk-produk bermerek. Semua barang yang dipajang merupakan bekas, mulai dari sepatu, ikat pinggang, sendal, dan pakaian. 

Tak jarang, kita akan menemukan para pedagang yang sedang menyemir sepatu dagangannya agar lebih menarik bagi calon pembeli. Atau, melihat pedagang asyik membenahi kancing-kancing baju, membuat pemandangan itu tidak mirip di sebuah ruang pasar. 

Para pedagang, yang sebagian besar terlihat masih muda, langsung menyapa di depan toko masing-masing bila ada calon pembeli yang datang. Menegur dengan ramah, melemparkan senyuman, para pedagang begitu nyaman membujuk calon pembelinya. 

"Banyak pembeli yang masih malu karena mereka membeli barang bekas," kata Siti (25), salah seorang pedagang, yang menjual berbagai jenis jins bekas.  "Jualan seperti ini harus khusus. Saya khusus jual jins. Kalau mau cari kemeja di  toko lain." 

Hampir lima tahun Siti menjadi pelaku bisnis thrifting, tapi memiliki kios dagangan di Pasar Sakumpal Bonang baru dua tahun. Dia mengembangkan bisnis itu mengikuti jejak saudaranya yang sudah lebih dahulu menekuni bisnis serupa, namun saudaranya lebih memilih berbisnis dengan cara mendatangi pasar-pasar. 

"Dia seperti grosir. Barang-barangnya dibeli di Medan. Setiap kali barang masuk, banyak pedagang eceran yang datang ke rumahnya," katanya.

Di toko yang dikelola Siti, sebuah ruang berukuran 4x4 meter di lantai paling atas Pasar Sakumpal Bonang, tampak berbagai jenis jins dipajang; ada yang dilipat dengan rapi dan ada yang digantung.  Layaknya toko-toko pakaian di lantai dasar dan lantai dua Pasar Sakumpal Bonang, Siti dan para pelaku bisnis thrifting tampak sangat bangga dengan dagangan mereka.

Begitu juga Firman, pelaku bisnis thrifting, yang menjual berbagai jenis pakaian untuk fashion laki-laki dari brand yang terkenal. Terlihat kemeja warna putih brand Arrow yang tampak mewah, dikemas dengan rapi di etalase, dan hanya akan ditunjukkan kalau ada calon pembeli yang bertanya.

"Mereka yang datang biasanya ingin ikut trend memakai barang bermerek. Harga murah, kualitas bagus, bermerek brand terkenal," kata Firman. "Pelanggan saya banyak dari kalangan pegawai negeri."

Firman mengaku, dalam sehari dia bisa menjual 10 sampai 15 picis pakaian laki-laki, mulai dari kemeja bermerek sampai t-shirt bermerek. Dengan harga Rp50.000 sampai Rp250.000 per picis, dia mampu membawa uang ke rumahnya minimal Rp500.000.  "Banyak orang yang terbantu dengan bisnis ini," akunya.

Sebagian besar pelaku bisnis thrifting ini tahu kalau pemeruintah belum melegalkan bisnis mereka. Memang, impor pakaian bekas masih berstatus illegal di Indonesia. Hal itu diatur dalam larangan impor barang bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas lalu diperbarui melalui Permendag Nomor 18/2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor yang kemudian diperbarui kembali dalam Permendag Nomor 40/2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. 

Belum lama ini Kementerian Perindustrian berjanji akan mengusut tuntas kasus impor pakaian dan sepatu bekas yang belakangan mencuat. Bahkan, pemerintah ingin menggandeng Pemerintah Singapura dalam pemberantasan penyelundupan tersebut. 

Meskipun begitu, para pelaku bisnis thrifting ini mengatakan, semua yang mereka jual barang legal. Yang membuat illegal karena pemerintah belum melihat dampak positif bisnis ini terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. 

Tak hanya jual offline dengan cara membuka toko, para pelaku  bisnis ini juga memanfaatkan platfrom media sosial seperti facebook dan istagram. 

Salah satu pemilik pakaian bekas , Shindy, mengatakan, kebanyakan pembeli jual;annya berasal dari kalangan mahasiswa, pelajar yang ingin mendapatkan pakaian bermerek dengan harga yang ramah di kantong. “Saya menjual pakaian model-model di majalah mode,” ujarnya .  

Di toko-toko biasa, pakaian yang sering muncul dalam majalah fashion dengan brand mewah untuk kondisi barunya dibanderol US$1.100 atau setara Rp17 juta. Lewat toko thrift di media sosial, brand mewah itu dijual mulai dari kisaran Rp30.000 sampai Rp100.000 saja. bahkan, tidak jarang Shindy mengaku menggelar lelang secara online dengan konsep paket penjualan yang terdiri dari beberapa potong pakaian.

Lain lagi pengakuan Laila,  yang telah memiliki ribuan pengikut di Instagram. Dia mengungkapkan, untuk menjaga kepercayaan pelanggan, dia telaten dalam berburu stok barang. Biasanya, produk yang dia dapatkan cenderung berasal dari negara Asia seperti Jepang dan Korea.   

“Saya ambil stok di  Jakarta. Saya rutin belanja ke Jakarta," katanya.

Sebelum dijual kembali,  barang-barang yang baru didapat, harus lebih dahulu dicuci sehingga baju bekas yang ditawarkan kepada pembeli sudah dalam keadaan bersih. *

Editor: Budi Hutasuhut

Tidak ada komentar

Beranda