.

Jejak Sejarah Kritik Sastra Kita

Penulis Budi Hatees | seorang esais

Sastra berbahasa Angkola, novel Toelbok Haleon karya Soetan Pangoerabaan, ayah dari Sanusi Pane dan Armijn Pane, yang ditulis 1909, jauh sebelum sastra Indonesia mengenal Angkatan Balai Pustaka atau sebelum Merari Siregar menulis novel Azab dan Sengsara.  

Kritik sastra kita masih seperti pada zaman generasi Pujangga Baru.  Kita membaca tulisan-tulisan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan J. E. Tatengkeng yang diterbitkan di majalah Pujangga Baru. Bentuknya berupa  resensi buku atau tinjauan buku, berisi apresiasi pribadi penulisnya terhadap karya sastra (buku) yang sifatnya impresionistik. Semacam fragmen pendek yang tak mendalam penggarapannya.

Selain tidak kita temukan sebuah metodelogi dengan pisau bedah yang tajam hingga tulisan-tulisan mereka mampu mengungkapkan apa yang disampaikan dan tidak disampaikan sastrawan, tulisan-tulisan itu terkesan dibuat untuk mendukung tujuan-tujuan politik tertentu.  Tujuan-tujuan politik dalam hal ini tidak ada kaitannya dengan situasi zaman pada era itu, dekade 1920-an atau 1930-an, saat bangsa kita belum bernama Republi Indonesia. 

Tujuan-tujuan politik yang tampak adalah politik identitas. Pada era Pujangga Baru, era ketika mulai banyak kaum intelektual terdidik yang lahir dari lembaga  pendidikan formal yang diselenggarakan kolonialis, manusia dihantui oleh pendapat global yang melihat dan mengaakui eksistensi manusia lain karena pendidikan formal yang diterimanya. 

Saat itu, mereka yang berpikir seperti Eropa (dengan sendirinya penjajah) dianggap sebagai manusia paripurna karena hidup tercerahkan. Manusia yang tercerahkan adalah mereka yang menganggap makan sirih sebagai perilaku barbar, dan menyajikan wiski kepada tamu sebagai gaya hidup baru. Mereka sibuk dengan urusan penampilan pribadi, memakai pantalon dan jas warna putih, dan tak terlalu perduli kenapa orang di luar rumah masih banyak yang tak memakai baju. 

Orang-orang terdidik dalam lembaga pendidikan buatan kolonial, memposisikan dirinya sekaligus diposisikan masyarakatnya pada level kelas sosial yang tinggi. Mereka semacam aristokrat di Eropa, yang berbicara tentang berapa keuntungan yang diperoleh dari perkebunan tembakau di Sumatra Timur tetapi tidak pernah bertanya berapa kali kuli kontrak mendapat cambukan dipunggungnya hanya untuk menghasilkan sekotak tembakau.

Mereka, kaum intelektual yang keintelektualannya selalu dimulai dan ditandai dengan menjadi penulis karya sastra,  memiliki tujuan politik yang belum tegas tentang bentuk sebuah bangsa merdeka dari kolonialisme, meskipun mereka sudah role model nasionalisme sebagaimana diwariskan dr. Budi Utomo pada 1908.  Namun, nasionalisme Budi Utomo itu,  bukan gagasan yang menjadi tanggung jawab bersama para intelektual. 

Pasca 1908, pada saat pencerahan Eropa menjadi ekspektasi pribadi para intelektual,  Sutan Takdir Alisjahbana kemudian menulis tentang pentingnya pengembangan kebudayaan berorientasi ke Barat karena peradaban manusia sudah berkembang pesat di Barat akibat penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan. Segala sesuatu kemudian menjadi kehilangan subtansinya manakala Sanusi Pane menegaskan pentingnya kebudayaan berorientasi ke Timur, yang akhirnya melahirkan polemik berkepanjangan tentang Barat versus Timur.  

Polemik Barat versus Timur menjauh dari semangat nasionalisme Budi Utomo, membuat para intelektual yang seharusnya melahirkan gagasan-gagasan lanjutan untuk mengkonstruksikan apa itu nasionalisme dan bagaimana membangkitkannya, justru terfragmentasi ke dalam kubu-kubu yang mendukung jalan pikiran Sutan Takdir Alisjahbana dan yang mendukung orientasi Sanusi Pane. Fragmentasi ini tak hanya terjadi dalam pemikiran kebudayaan, tapi juga mempengaruhi arah apresiasi karya sastra.  

Sutan Takdir Alisjahbana mengkritik sajak-sajak dan naskah drama Sanusi Pane lewat perspektif seseorang yang menginginkan perkembangan kebudayaan berorientasi ke Barat. Dia menyebut Sanusi Pane hanya merayakan tradisi Timur sehingga menjauh dari dinamika peradaban modern. Tak mau kalah, Sanusi Pane mengkritik karya-karya Sutan Takdir Alisjahbana sebagai tak berakar di lingkungan masyarakatnya, terutama karena tokoh-tokoh dalam novelnya, Layar Terkembang, merupakan karya yang mengadobsi sastra Belanda. 

Polemik kebudayaan itu terjadi pada dekade 1930-an, dua tahun setelah emberio Indonesia disepakati para pemuda lewat Kongres Pemuda Indonesia ke-2 yang melahirkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.  Peristiwa Sumpah Pemuda sesungguhnya anak tangga berikutnya setelah dr. Budi Utomo memperkenalkan nasionalisme pada 1908. Namun, polemik kebudayaan menyebabkan tindaklanjut dari tiga poin penting dalam Sumapah Pemuda itu jadi terabaikan. Frasa “Tanah Air Indonesia”, “bangsa Indonesia”, dan “bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”  kemudian terabaikan, seakan-akan peristiwa Sumpah Pemuda itu tidak pernah terjadi. 

Dari empat nama sastrawan Pujangga Baru yang menulis kritik sastra (kita sebut saja tulisan mereka sebagai jejak awal kritik sastra), mereka terpolarisasi ke dalam dua kubu berseberangan dengan orientasi budaya yang bertolak belakang. Sutan Takdir Alisjahbana pembawa semangat moderenisasi yang memuja Eropa (Barat), dan Sanusi Pane pemuja Timur.  Mereka sibuk saling mengejek karya. Takdir meremehkan novel Belenggu karya Armijn Pane dan drama-drama Sanusi Pane sebagai tidak bersemangat membangun zaman. Sementara Armijn Pane dan Sanusi Pane mengejek Layar Terkembang, novel yang ditulis Takdir, sebagai tidak sesuai jiwa orang Timur. 

Sejarah kritik sastra kita diletakkan pertama kali sebagai alat untuk mengejek dan saling menjatuhkan. Pertarungan kubu Takdir versus kubu Sanusi merembet kepada persolan lain, kait-berkait dengan masalah lain. Padahal, kedua kubu itu sama-sama tidak bisa dibela karena mereka mengabaikan orang banyak yang hidup dalam tekanan kolonialisme Belanda.  Kedua kubu terlalu sibuk dengan orientasi Barat versus Timur, tapi lupa bahwa mereka hanyalah rakyat dari sebuah bangsa yang dijajah oleh kolonialisme.

Meningkat ke pasca Pujangga Baru,  kritik sastra kita masih belum bergeser dari perkara non-sastra. Pertarungan antara sastrawan senior yang menjadi pendukung kekuasaan Jepang versus sastrawan junior yang tidak diperhitungkan,  merembet ke perkara-perkara non-sastra.  Kritik sastra masa itu masih melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, tokoh tua dunia sastra, yang mengkritik sajak-sajak Chairil Anwar sebagai mirip rujak (enak dimakan tapi tak perlu). Kritik yang dibalas Chairil Anwar dengan menyebut Pujangga Baru sebagai masa lalu, meskipun Chairil Anwar sendiri bersepakat dengan gagasan Takdir yang berorientasi ke Barat.

Setelah Jepang kalah, kritik sastra kita memasuki priode baru dengan lahirnya tulisan-tulisan HB Jassin. Tapi, masih seperti tulisan era Pujangga Baru, sifatnya hanya berupa apresiasi yang impresionistik.  Bedanya, Jassin mulai memperkenalkan kritik sastra yang punya hasrat untuk mengungkapkan apa yang ditulis dan tidak ditulis oleh sastrawan.  Jassin berorientasi untuk memperkenalkan sastra dan sastrawan kepada masyarakat, tapi kurang mengelaborasi untuk apa sastra dibaca oleh masyarakat.

Dampak upaya Jassin, karya sastra makin banyak ditulis dan regenerasi sastrawan terjadi.  Nama-nama sastrawan baru bermunculan seperti Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer,  Idrus, Asrul Sani, Rivai Avin, Bakri Siregar, Achidiat K Mihardja, M. Balfas, dan lain sebagainya.  Nama-nama ini kemudian mengambil alih peran sastrawan Pujangga Baru yang sudah menjadi masa lalu. Sajak-sajak Chairil Anwar, novel-novel Pramoedya Ananta Toer, dan cerpen-cerpen Idrus menyebabkan karya-karya sastrawan Pujangga Baru tidak lagi dibaca.  Namun, kritik sastra terhadap karya-karya sastra yang fenomenal itu, masih saja belum bergeser dari sejarah kritik sastra yang dibawa generasi Pujangga Baru.  

Sajak Chairil Anwar tidak dibicarakan sebagai persoalan teks sastra, tetapi sebagai persoalan pribadi Chairil Anwar selaku “binatang jalang dari kumpulannya terbuang”.  Novel-novel Pramoedya Ananta Toer tidak dibicarakan sebagai persoalan teks sastra, tetapi sebagai pribadi Pramoedya yang mengalami kepahitan hidup karena sering keluar masuk penjara.  

Dunia sastra kita berkembang pesat (kalau memang berkembang) dengan produksi karya sastra berlimpah. Regenerasi sastrawan tidak pernah berhenti. Tapi, kritik sastra kita menunjukkan gejala mengalami stagnasi karena grafik pertumbuhannya jomplang jika dibandingkan grafik pertumbuhan karya sastra. Jumlah kritik sastra kita tidak signifikan. Bila kita baca kritik sastra yang sedikit itu, isinya tidak bergeser dari apa yang pernah dipersoalkan di masa lalu,  yang menyebabkan rendahnya wibawa kritik sastra di masyarakat.  

Wiratmo Sukito pernah menulis esai, “Kegagalan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini", di  Harian Kami edisi 30 Oktober 1968, dan mengatakan penyebab rendahnya wibawa kritik sastra karena “kekuatan politik masih tetap digunakan untuk menentukan kritik sastra”.  

Pernyataan tersebut muncul setelah Wiratmo Sukito menghadapi realitas kritik sastra dan realitas rumah tangga kesusastraan kita pada dekade 1950 dan 1960-an ketika para sastrawan terpolarisasi ke dalam dua kubu yang berseberangan: Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) versus Surat Kepercayaan Gelanggang (Gelanggang). Pada masa itu, setiap kubu memperjuangkan kekuatan politik dari partai politik yang menjadi afiliasinya, dan tidak menyadari bahwa mereka sama-sama telah melakukan kesalahan fatal dengan tidak memposisikan karya sastra sebagai persoalan teks sastra. 

Mereka mengabaikan pentingnya teks sastra dalam setiap pembicaraan tentang karya sastra, lalu memposisikan para sastrawan dalam isme-isme sebagai pusat segala pembicaraan tentang kesusastraan. Pramoedya dan kawan-kawan kemudian identik dengan Lekra, lalu Asrul Sani dan kawan-kawan identik dengan Gelanggang.  Pramoedya membicarakan seni harus membawa semangat realisme sosial dan bertendensi politis, sementara Asrul Sani mengusung seni humanis universal dan bertendi politik.

Lebih dua dekade kedua kubu ini bertarung sangat keras. Setiap kubu saling menjatuhkan, saling serang fisik dan mental. Pemikiran sastra direduksi menjadi strategi politik yang berimbas ke berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dampaknya, karya-karya sastra dibakar dan dilarang dibaca.  Banyak karya kubu Pramoedya yang hilang, begitu juga karya kubu Gelanggang. 

Kritik sastra pada masa ini tidak lebih dari propaganda politik untuk memperjuangkan semangat kubu sekaligus untuk menjatuhkan kubu lawan.  Namun, pada dasarnya, persoalan yang dipersoalkan kedua kubu ini nyaris tak berbeda, dan sesungguhnya kedua kubu ini tanpa sadar juga saling memuji.  

Sejarah kritik sastra kita tidak berlebihan bila disebut sejarah pertarungan sastrawan versus sastrawan. Pertarungan yang tidak berlangsung di wilayah sastra, tetapi melebar ke wilayah non-sastra, dan sering berakhir jadi persoalan politik. Kondisi seperti ini terus berlangsung sampai sekarang, di mana para sastrawan terpolarisasi ke dalam kelompok-kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan kelompoknya. 

Bedanya, para sastrawan tidak lagi berafiliasi politik dengan orientasi untuk memperjuangkan isme tertentu, tetapi sastrawan hari ini lebih luas lagi wilayah garapannya. Mereka berkubu-kubu untuk memulus tujuan-tujuan ekonomi dengan melakukan strategi-strategi  perjuangan yang dikesankan seakan-akan bicara soal teks sastra.

Ada sastrawan yang memilih menjadi juru bicara dari moderenisme, ada yang anti-moderenisme. Semua yang dibicarakan pada akhirnya tergantung pada kepentingan siapa yang akan diperjuangkan.  Jika kepentingan itu terkait orientasi bisnis dari kapitalis, maka sastrawan tidak sungkan-sungkan akan menulis karya sastra yang memuluskan langkah kapitalis tersebut.  Kritik sastra pun diarahkan untuk memuluskan langkah tersebut.

Bagaimana dengan posisi public sastra? Bagi mereka, public pembaca hanya bagian dari pasar karya sastra yang bisa ditangani sebagaimana para konsumen dengan gampang dimanjakan oleh iklan. Karya-karya sastra pada akhirnya hanyalah produk barang yang diproduksi untuk konsumen. 


Tidak ada komentar

Beranda