KEBIJAKAN investasi Pemerintah Joko Widodo selama dua kali masa pemerintahannya berdampak serius terhadap munculnya gelombang investasi ke berbagai daerah di Nusantara, meskipun pemerintah daerah tampak seperti orang kebingungan karena tidak punya cukup persiapan menerima kehadiran orang-orang asing yang membawa dana triliunan rupiah ke daerahnya.
Kebijakan investasi ini akan terus berlanjut, apalagi belakangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, peluang investasi energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia cukup terbuka lebar bagi para investor, baik domestik maupun asing.
Presiden Joko Widodo ambisius mewujudkan proyek listrik nasional 35.000 MW. Listrik sebanyak itu akan dipenuhi dengan EBT karena pemerintah membuat target rasio elektrifikasi mencapai 100 persen di 2022 mendatang. Rasio elektrifikasi adalah gagasan mengurangii pemakaian energi fosil yang bukan saja mahal tetapi berdampak negatif terhadap lingkungan hidup karena menjadi pemicu pemanasan global. Makanya, sumber daya alam EBT seperti air, surya, angin, gelombang, dan panas bumi menjadi solusi yang harus dimanfaatkan.
Untuk pemanfaatan itu, pemerintah mengundang investor sembari terus memperkuat kerangka peraturan untuk memastikan keberhasilan gagasan peralihan energi di Indonesia. PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), penguasa domain energi listrik di negeri ini dan sering byar-pet, merumuskan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2021-2030 yang memberikan porsi lebih besar kepada EBT dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik yakni 20,9 GW atau mencapai 51,6 persen dari total kapasitas pembangkit yang akan dibangun hingga 2030.
Di samping itu, pemerintah juga menetapkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, yang mengatur mekanisme perdagangan karbon dan pajak atas karbon. Artinya, pemerintah akan mengenakan pajak karbon pada kegiatan yang menghasilkan karbon dan memberi insentif efisiensi-karbon kepada kegiatan yang berdampak melestarikan lingkungan seperti EBT.
Dan, sesungguhnya, itulah yang digaungkan PT. North Sumatera Hydro Energy, pengelola PLTA Batangtoru di Kabupaten Tapanuli Selatan, dan kita bisa membacanya dalam Adendum ANDAL yang disusun PT. Global Inter Sistem. Investasi PT NSHE diberi cap indah sebagai "investasi hijau" karena perusahaan konsorsium ini membawa semnangat EBT untuk memenuhi ambisi Presiden Joko Widodo menghadirkan tenaga listrik sebesar 35.000 MW.
PT HSNE sebagai konsorsium, 52,82% sahamnya dimiliki PT Dharma Hydro Nusantara (Dharmawangsa Grup), PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) yang merupakan anak perusahaan PT (Persero) PLN sebanyak 25 persen, dan Fareast Green Energy Pte Ltd. yang sebelumnya bernama China Huadian Singapore Company Pte. Ltd. sebesar 22,18 persen. PLTA Batang Toru awalnya bakal dibiayai Bank Dunia, namun lembaga keuangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ini mundur karena isu lingkungan di area pembangkit. Bank of China kemudian menggelontorkan dana US$1,6 miliar atau setara Rp21 triliun.
PLTA Batangtoru masih dalam tahap konstruksi yang dimulai sejak 2017, ditargetkan rampung 2026, meskipun awalnya direncakan rampung pada 2022. Berdasarkan Adendum AMDAL PT HSNE tahun 2016, pada tahap konstruksi PT NHSE akan melakukan kegiatan: penerimaan tenaga kerja, pembuatan access road, pembuatan dan aktivitas basecamp, pembukaan lahan, pengambilan dan mobilisasi material quary, dan pelepasan tenaga kerja. Namun, sayangnya, tenaga kerja lokal kurang diberi tempat dan PT NHSE membawa tenaga kerja dari negara Bank of China.
Kehadiran PLTA Batangtoru yang membawa uang Rp21 triliun ke wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan tidak membawa dampak positif terhadap pengurangan di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Berdasarkan data BPS Kabupaten Tapanuli Selatan, tingkat pengangguran terbuka (TPT) tahun 2020 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2018 dan 2019.
Tahun 2018 jumlah pengangguran 7.713 jiwa atau 5,27 persen di tahun 2019 sempat mengalami penurunan dengan jumlah 6.101 jiwa atau 4,17 persen. Tapi, pada 2020 pengangguran mengalami kenaikan menjadi 6.746 jiwa atau 4,42 persen. Sejak kehadiran PLTA Batangtoru, yang seharusnya mampu menampung tenaga kerja baru, justru terjadi peningkatan angka pengangguran sebanyak 645 jiwa atau sekitar 0,25 persen dari 283.389 jiwa jumlah penduduk.
Pemerintah Daerah Kabupaten Tapanuli Selatan terkesan gagap menerima kehadiran investor asing dan tidak punya persiapan berupa kebijakan yang dapat memberi keuntungan kepada masyarakat. Terkait kesempatan kerja baru, tidak adanya kebijakan pemerintah daerah menyebabkan tenaga kerja lokal tidak punya tempat dalam pekerjaan konstruksi di PLTA Batangtoru.
Padahal, sejumlah lokasi konstruksi PLTA Batangtoru yang ada di Kecamatan Sipirok, Maratcar, Batangtoru, Muara Batangtoru, dan Angkola Selatan membutuhnya banyak tenaga kerja. Sayangnya, kebutuhan tenga kerja untuk konstruksi berupa pembangunan pembuatan access road, pembuatan dan aktivitas basecamp, pembukaan lahan, pengambilan dan mobilisasi material quary, mengandalkan tenkerja asing.
"Pemerintah harus memikirkan kontribusi lebih besar bagi rakyat Kabupaten Tapanuli Selatan dari kehadiran investor ke daerahnya," kata Djoe, panggilan akrab Djuanda Gematrisna.
Di sejumlah negara di dunia, kehadiran investor mampu berkontribusi jangka panjang dan dinikmati masyarakat selama puluhan tahun. Djoe mencontohkan, kehadiran investor seperti PT Agin Court Resources yang mengelola Tambang Martabe, seharusnya sudah mampu mendirikan sebuah perguruan tinggi bidang pertambangan di tengah-tengah masyarakat Tapanuli bagian Selatan yang tujuannya menghasilkan sumber daya manusia yang unggul di bidang teknologi pertambangan.
Djuand menyebut, investasi jangka panjang seperti ini bisa disiasati pemerintah daerah agar kesejahteraan masyarakat terjamin. Namun, sebagian besar pemerintah daerah tak punya kemampuan mendorong dampak jangka panjang terhadap kehadiran investor. Djoe mencontohkan Provinsi Riau yang minyanyak dieksploitasi selama ratusan tahun oleh Chevront, tapi hingga hari ini tidak ada satu pun perguruan tinggi di bidang teknologi eksplorasi minyak bumi di Provinsi Riau.
Begitu juga halnya kehadiran PT HSNE yang berinvestasi Rp21 triliun. Perekrutan tenaga kerja tahap konstruksi hanya dampak jangka pendek bagi Kabupaten Tapanuli Selatan, dan seharusnya pemerintah daerah memikirkan dampak jangka panjang yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat. PT HSNE hanya 30 tahun mengelola PLTA Batangtoru untuk kemudian diserahkan ke negara, dan seharusnya masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan yang akan terlibat dalam pengelolaan setelah 30 tahun.
"Jika tahap konstruksi PT HSNE membutuhkan besi baja, semen, dan berbagai material lainnya, apa salahnya pemerintah daerah mengupayakan perusahaan pabrikan besi di wilayah Tapanuli bagian Selatan. Setelah proses konstruksi PLTA Batangtoru selesai, masih ada perusahaan pabrikasi baja milik masyarakat di daerah ini," katanya.
Senada dengan Djoe, Budi P Hutasuhut menyebut minimnya kontribusi investasi Rp21 triliun bagi masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan bukan saja akibat pemerintah daerah tidak punya kebijakan yang jelas tetapi juga karena masyarakat tidak punya pengetahuan yang baik tentang investor. Menurut Budi, masyarakat menerima investor karena berharap bisa memperoleh dampak jangka pendek berupa kenaikan harga lahan dan itu berpeluang menjadi orang kaya baru.
"Di Desa Aek Batang Paya, masyarakat berlomba-lomba menjual lahannya kepada PT NSHE, tapi menurut data kependudukan di Provinsi Sumatra Utara, Desa Aek Batang Paya merupakan desa sangat tertinggal di Kabupaten Tapanuli Selatan," kata Budi.
Berhasil menjual lahan budidaya miliknya kepada investor tidak membuat kesejahteraan masyarakat Desa Aek Batang Paya menjadi lebih sejahtera, sebaliknya justru bertambah miskin karena kehilangan lahan usaha pertaniannya. Hal yang sama juga terjadi di Desa Luat Lombang, Desa Bulu Mario, dan Sitandingan. Masyarakat kehilangan sebagian lahan budidayanya, mengubah nasibnya dari petani pemilik lahan menjadi petani buruh, dan perubahan ini mempengaruhi sistem sosial masyarakat setempat.
"PT HSNE melakukan ganti rugi lahan dengan pendekatan tokoh-tokoh luat, tokoh ormas, dan pejabat pemerintah yang berdampak pada berkurangnya nilai ganti rugi yang sampai ke tangan petani pemilik lahan. Kondisi ini telah menyebabkan konflik di sejumlah daerah," katanya.
Budi mengatakan, pemerintah daerah mestinya berperan besar sebagai pemilik wilayah dalam membuat kebijakan terkait ganti rugi. Sayangnya, pemerintah daerah tidak punya database yang memadai tentang tata ruang areal di wilayahnya, sehingga kebijakan soal ganti rugi justru diambil alih elite-elite masyarakat dengan mengembalikan persoalan tanah kepada para pemilik luat (tokoh-tokoh adat).
"Investor datang justru membuat masyarakat menderita, tapi segelintir elite merasa diuntungkan karena bisa ikut sub pekerjaan di dalam PLTA Batangtoru dan mendapat keuntungan jangka pendek," katanya.
Terkait masalah lingkungan, Budi mengatakan kehadiran PLTA Batangtoru di lokasi Hutan Batangtoru yang merupakan habitas Orangutan tapnuli, akan berdampak pada pelestarian hewan yang menjadi ikon Tapanuli tersebut. Sayangnya, pemerintah daerah yang tidak punya database tentang kawasan hutan di daerahnya, mempercayai bahwa PLTA Batangtoru berada di lokasi kawasan APL (area penggunaan lain) dan tidak mengganggu habitat Orangutan tapanuli.
"Situasi ini dimanfaatkan lembaga konservasi internasional untuk membuat kegiatan pelestarian Orangutan Tapanuli dan menjadi masyarakat Tapanuli bagian Selatan sebagai volunter organisasi. Malangnya, para voluntir yang merupakan pemilik daerah ini, bangga karena bisa jadi voluntir bagi organisasi asing yang hidup di daerahnya," katanya.
Muhammad Iqbal Harahap menyoroti dari aspek kontribusi ekonomi kehadiran investor di Tapanuli bagian Selatan. Menurut Iqbal, likuidasi ekonomi atau uang beredar dalam arti luas (M2) di Tapanuli Selatan setiap tahun suai Produk Regional Bruto hanya Rp13 triliun.
"Sebanyak 60% pertumbuhan ekonomi kita didorong sektor konsumsi. Sisanya oleh sektor lain termasuk kegiatan APBD. Cuma, APBD Tapanuli Selatan yang minim terlalu banyak diperebutkan masyarakat untuk mendapatkan berbagai pekerjaan proyek pemerintah," katanya.
Iqbal menegaskan, APBD Tapanuli Selatan menjadi incaran masyarakat yang menjadi kontraktor, meskipun pekerjaan yang dibiayai APBD tidak pernah berubah setiap tahun. Akibatnya, dunia bisnis tidak tumbuh dengan baik di Tapanuli Selatan, dan masyarakat tidak bisa menjadi kreatif karena ketergantungan yang tinggi untuk bisa berperan dalam mengelola APBD.
"Salah satu alternatif untuk berusaha adalah investasi. Para pengusaha lokal harus dapat kue dari kegiatan investasi PLTA Batangtoru. Tapi, persoalannya, pengusaha lokal tidak bisa berperan dan investor lebih memprioritaskan pada mitra mereka dari luar negeri juga para elite," katanya.
Iqbal berharap, momentum hadiran investor asing ini menjadi momentum bagi generasi muda untuk mengembangkan usaha agar tidak mengalami middle incom track yang penuh masalah sosial. "Investasi PLTA Batangtoru harus memberi manfaat kepada generasi muda berupa usaha-usaha lain mengingat ada Rp20 triliun dana yang ada," katanya.
Menurut Iqbal, pemerintah daerah harus menyambut investasi dengan kebijakan yang lebih tegas demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. "Pemerintah daerah harus mendorong generasi muda lebih kreatif dengan mendorong kebijakan yang berpihak pada masyarakatnya," katanya. *
Posting Komentar