.

APBD 2022 Disahkan Ketika Realisasi APBD 2021 Pemda di Sumut Belum 70% dari Pagu


Penulis: Juan Sitorus | Editor: Budi Hutasuhut

Realisasi belanja daerah dalam APBD 2021 belum sampai 70% hingga bulan November 2021, DPRD Sumatra Utara sudah mengesahkan APBD 2022 senilai Rp12,44 triliun. Dengan target pendapatan Rp12,1 triliun, APBD 2022 ini lebih rendah dari APBD 2021 senilai Rp13,5 triliun.  

Seluruh wakil rakyat di DPRD Sumatra Utara sepakat mengesahkan rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2022 menjadi peraturan daerah pada Senin, 29 November 2021. Namun, masyarakat tidak mendengar bagaimana wakil rakyat menyikapi rendahnya realisasi APBD 2021.

Struktur anggaran pendapatan daerah dalam P-APBD TA 2021 sebesar Rp13.671.385.662.525, atau mengalami peningkatan Rp153.886.210.567 atau 1,14% dari yang dianggarkan pada APBD murni yakni Rp13.517.499.451.958. Untuk belanja daerah pada P-APBD 2021, dianggarkan Rp13.937.668.293.830 atau mengalami peningkatan sebesar Rp188.168.841.872 atau 0,01% dari yang dianggarkan pada APBD murni yaitu Rp13.749.499.451.958.

Namun, menurut data di Direktorat Jenderal Pembangunan Keuangan, Kementerian Keuangan, realisasi APBD Sumut sampai November 2021 yang disajikan dalam data per 2 Desember 2021, realisasi belanja daerah baru 58,61% padahal akhir penggunaan APBD 2021 atau Semester II hanya sampai 24 Desember 2021. Sementara pendapatan APBD 2021 baru terealisasi sebesar 69,99%, atau target yang dibuat Pemda Provinsi Sumut tidak tercapai.    

Rendahnya realisasi APBD 2021 ini disinyalir Presiden Joko Widodo akibat pemerintah daerah memarkir dana di bank. Saat berkujung ke Sumatra Utara dan rapat bersama forum koordinasi pimpinan daerah (Forkopimda) se-Sumatera Utara di Aula Tengku Rizal Nurdin, Rumah Dinas Gubernur Sumut di Medan, Kamis, 16 September 2021, Presiden Jokowi menegur pemerintah daerah agar meningkatkan realisasi APBD 2021. 

Ketika itu, realisasi APBD 2021 seluruh pemerintah daerah di Sumut sampai 10 September 2021, baru 55,2 persen. Sementara rata-rata APBD yang masih mengendap di bank justru sangat tinggi, yakni Rp 1,3 triliun. 

Dari data Kementerian Keuangan pada bulan September 2021, sejumlah daerah yang menyimpan dananya di bank sebagai berikut: 1. Kota Medan Rp 1,8 triliun, 2. Kabupaten Deli Serdang Rp 636 miliar, 3. Tapanuli Utara Rp 603 miliar, 4. Labuhanbatu Rp 503 miliar, 5. Nias Rp 466 miliar, 6. Toba Samosir Rp 417 miliar, 7. Langkat Rp 388 miliar,  8. Tapanuli Selatan Rp 387 miliar, 9. Kabupaten Dairi Rp 356 miliar, 10. Karo Rp 335 miliar, 11. Mandailing Natal Rp 334 miliar, 12. Sibolga Rp 324 miliar, 13. Pematangsiantar Rp 240 miliar, 14. Serdang Bedagai Rp 235 miliar, 15. Asahan Rp 218 miliar, dan 16. Kabupaten Batu Bara Rp 199 miliar.

Sanksi Tegas

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, menilai pemerintah daerah yang masih lambat dalam menyerap anggarannya sebaiknya tidak cukup hanya ditegur oleh Presiden Joko Widodo. "Harus ada sanksi karena dianggap menunda pemulihan ekonomi nasional," katanya. 

Dari data Kementerian Keuangan disebutkan, realisasi belanja APBD per akhir November 2021 baru mencapai 65,63%, padahal tersisa beberapa hari menuju penutupan anggaran pada 24 Desember 2021

"Kepala daerah yang sengaja memperlambat penyaluran belanja dan sibuk parkir dana di bank, berarti menghambat pemulihan ekonomi nasional. Model begitu harus diberi sanksi keras," kata Bhima.

Dia mengatakan, pemda menganggarkan dana masa krisis tidak berbeda dengan pola saat ekonomi normal. Idealnya saat krisis, ungkap Bhima, pola anggaran tidak ditumpuk di akhir tahun, namun realokasi anggaran harus secara cepat.

"Masih ada saja pejabat teknis yang seolah sengaja menunda serapan belanja. Ada yang takut berlebihan soal perubahan regulasi di pemerintah pusat, padahal pemerintah pusat, BPK, kejaksaan juga berikan pendampingan sejak awal," katanya. 

Bhima menuturkan, efeknya bila anggaran daerah lambat cair akan memengaruhi sektor usaha yang bergantung dari belanja pemda, misalnya kontraktor sampai subkontraktor proyek, sehingga cash flow bisa terganggu.

"Kalau kontraktor kapasitas besar maka bisa pinjam uang ke bank agar bertahan. Tapi kalau kontraktor kecil mungkin bisa tutup permanen. Ini akan pengaruh ke lapangan kerja, dan membuat tingkat pengangguran naik. Per Agustus 2021 angka pengangguran masih 6,4 persen, penurunannya sangat kecil sejak tahun lalu," jelasnya.

Di sisi lain belanja daerah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan dan ketimpangan. Apalagi, kata Bhima, masih ada daerah yang ekonominya lambat tumbuh karena bergantung pariwisata.

"Dalam kondisi kritis, belanja daerah menjadi hal utama," katanya. *


Tidak ada komentar

Beranda