Jangan Terlalu Cepat Memenjarakan Pelaku Kejahatan


Gubernur Sumatra Utara, Bobby Nasution, mengundang Kejaksaan Tinggi Sumatra Utara untuk membahas kerja sama lembaga pemerintah daerah itu dengan lembaga kejaksaan perihal restorative justice.

Penulis: Irwansyah Simatupang | Editor: Budi Hutasuhut

Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sumatra Utara,  Harli Siregar,  bersama rombongannya mendatangi Gubernur Sumatra Utara, Bobby  Nasution, di Kantor Gubernur, Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 30 Medan, Selasa, 12 Agustus 2025.  Kedatangan ini tak ada kaitannya dengan sejumlah kasus korupsi yang sedang ditangani Kejati Sumut di Provinsi Sumatra Utara, hanya untuk memenuhi undangan Gubernur Sumatra Utara.

"Banyak hal yang bisa kita kolaborasikan dengan Kejati Sumut untuk mewujudkan rasa aman dan tertib di masyarakat di Provinsi Sumut," kata Bobby Nasution. 

Harli Siregar merupakan pemimpin baru di lingkungan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatra Utara sejak Juli 2025.  Harli yang  sebelumnya menjabat Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, mengganti posisi Indianto sebagai Kajati Sumut berdasarkan surat keputusan Jaksa Agung bernomor: 352 dan 353.  Begitu menjadi Kajati Sumut, Harli Siregar langsung merombak struktur pejabat di lingkungan Kejati Sumut. Sebagian besar pejabat baru, datang dari lingkungan kejaksaan di wilayah Indonesia bagian Timur, di mana Herli Siregar pernah menjadi Kepala Kejati Papua Barat. 

Sebuah kebetulan,  penetapan Harli Siregar sebagai Kajati Sumut  hampir bersamaan dengan "meledaknya" kasus operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah pejabat di lingkungan Pemda Provinsi Sumatra Utara. Kasus yang sedang dalam proses hukum di KPK itu, masih berjalan sampai hari ini meskipun gaungnya telah "meredup".  Pasalnya,  KPK kekurangan alat bukti untuk menjerat para tersangka, terutama pengusaha yang terlibat dalam kasus drama pelelangan yang telah memiliki pemenang itu. 

Kasus OTT KPK bertambah redup ketika Tim Jaksa Penyidik Kejati Sumut menggeledah kantor PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau PT Pelindo Belawan di Gedung Graha Pelindo Satu di  Jalan Lingkar Pelabuhan No.1, Belawan II, Medan pada Senin, 11 Agustus 2025 lalu. Pejabat di BUMN sektor kepelabuhanan itu diduga melakukan korupsi dalam kasus pengadaan dua kpal tunda kapasitas 2 x 1.800 HP untuk Cabang Dumai pada 2019 yang melibatkan galangan kapal BUMN, PT Dok dan Perkapalan Surabaya (Persero), dengan nilai kontrak Rp135,81 miliar.

Perhatian masyarakat tersedot pada kasus dugaan korupsi yang baru ini. Dua BUMN yang selama ini bersih dari kasus-kasus dugaan korupsi,  mendadak jadi perhatian publik. Kemunculan kasus korupsi ini erat kaitannya dengan kehadiran pejabat-pejabat baru di lingkungan Kejati Sumut. 

Sepak terjang para penegak hukum yang baru di lingkungan Kejati Sumut ini diduga mendorong Gubernur Sumut, Bobby Afif Nasution,  untuk berkolaborasi dalam banyak hal terkait mewujudkan rasa aman dan tertib di masyarakat. Salah satu bentuk kolaborasi itu berupa Program Perlindungan Rakyat melalui Restorative Justice atau disingkat Prestice.

Bobby Nasution beralasan,  kerja sama Prestice untuk menghadirkan sistem penyelesaian hukum yang lebih adil, humanis, dan berpihak kepada masyarakat kecil. Padahal, tanpa adanya kerja sama pun apa yang disebut restorative justice  bisa diterapkan. 

Restorative justice salah satu prinsip penegakan hukum dalam penyelesaian perkara yang dapat dijadikan instrumen pemulihan dan sudah dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dalam bentuk pemberlakuan kebijakan.  

Fokus utama Restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana adalah pemidanaan yang diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait.

Dalam Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482, KUHP,  konsep restorative justice bisa diterapkan dalam kasus-kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga bulan dan denda Rp 2,5 juta.

Selain itu, restorative justice dapat digunakan terhadap anak atau perempuan yang sedang berhadapan dengan hukum, anak yang menjadi korban atau saksi tindak pidana, hingga pecandu atau penyalahgunaan narkotika.

Di dalam restorative justice terdapat prinsip dasar yang merupakan pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku yang melakukan kerja sosial, maupun kesepakatan lain.

"Prestice akan berjalan melalui pembentukan satuan tugas lintas instansi, termasuk aparat hukum, masyarakat, dan advokat, serta didukung oleh klinik hukum gratis dan layanan pengaduan online-offline," kata Bobby Nasution.

“Kami menyambut baik, hal-hal yang fungsinya sebagai pengawalan sampai keamanan yang bisa ditingkatkan ke depan. Kita berkomitmen dengan restorative justice,” kaya Harli Siregar.

Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung No. 15 Tahun 2020, syarat dalam melakukan restorative justice, yaitu: (1)Tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan; (2)Kerugian di bawah Rp 2,5 juta; (3)Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban; (4)Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau dianca, dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun; (5)Tersangka mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana kepada korban; (6)Tersangka mengganti kerugian korban; dan (7) Tersangka mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana dan atau memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana.

Penyelesaian perkara dengan restorative justice dikecualikan untuk tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Meskipun begitu, restorative justice sering gagal diterapkan karena pihak korban sering merasa dirinya teraniaya dan memilih untuk menjalani proses hukum. Kasus-kasus dalam tindak pidana miring seperti perkelahian yang menyebabkan luka ringan, sering berakhir jadi persoalan hukum yang diproses di pengadilan dengan sanksi hukum yang berat. Ini disebabkan, pihak yang menjadi tersangka tidak memiliki pengacara dan tidak pahan proses peradilan, sehingga acap menjadi korban akibat minimnya pengetahuannya tentang hukum. 

alt gambar
Copyright © Sinar Tabagsel. Designed by OddThemes